Pertemuan Menteri Pertahanan AS, Australia, dan Jepang: Pernyataan Bersama Menunjuk Tiongkok Sebagai Perusak  Stabilitas

EtIndonesia. Pada Minggu (17/11), menteri pertahanan dari Amerika Serikat, Australia, dan Jepang mengadakan pertemuan di Darwin, Australia, menekankan pentingnya memperdalam hubungan pertahanan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Para menteri pertahanan ini kembali menegaskan pentingnya mempertahankan perdamaian di Selat Taiwan dan mengutuk tindakan berbahaya Tiongkok yang merusak stabilitas di Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Ini merupakan pertemuan ketiga belas menteri pertahanan tiga negara. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, Menteri Pertahanan Australia Richard Marles, dan Menteri Pertahanan Jepang Nakatani Gen mengukuhkan langkah baru untuk memperkuat kerja sama pertahanan dan interoperabilitas antara ketiga negara di pertemuan tersebut.

“Darwin adalah fokus kami untuk terus memperluas hubungan trilateral kami, dan ikatan pertahanan kami sedang membawa keamanan, pencegahan, dan interoperabilitas yang nyata,” kata Austin dalam konferensi pers setelah pertemuan.

Dalam pernyataan bersama, para menteri pertahanan secara langsung menyatakan perilaku berbahaya Tiongkok yang merusak stabilitas regional.

“Kami kembali menegaskan kekhawatiran kami atas perilaku yang merusak stabilitas di kawasan Laut China Timur dan Laut China Selatan, termasuk tindakan berbahaya Tiongkok terhadap kapal-kapal dari Philipina dan negara pesisir lainnya,” kata para menteri pertahanan. “Kami menegaskan kembali penolakan kami terhadap setiap upaya sepihak untuk mengubah status quo dengan kekerasan atau paksaan. Penting bagi semua negara untuk dapat dengan bebas menjalankan hak dan kebebasan mereka sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB, yang mencakup kebebasan navigasi dan penerbangan serta penggunaan laut lainnya yang sah.”

Austin dan kedua menteri pertahanan lainnya sekali lagi memperingatkan Tiongkok untuk mematuhi keputusan arbitrase Laut China Selatan.

Tiongkok menggunakan “Sembilan Garis Putus” untuk mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, namun beberapa area tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara seperti Philipina, Vietnam, dan Malaysia yang menimbulkan kontroversi.

Pada 12 Juli 2016, Pengadilan Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim kedaulatan Tiongkok di Laut China Selatan dengan “Sembilan Garis Putus” tidak memiliki dasar hukum. Keputusan ini juga dikenal sebagai “Putusan Arbitrase Laut China Selatan”. Sekutu Philipina, Amerika Serikat, mendukung keputusan ini, tetapi Beijing secara tegas menolak, menyatakan bahwa keputusan tersebut “ilegal.”

Dalam pernyataan bersama, menteri-menteri pertahanan tersebut mengatakan: “Kami menegaskan kembali bahwa semua negara harus menyelesaikan sengketa secara damai sesuai dengan hukum internasional. Putusan Arbitrase Laut China Selatan 2016 adalah keputusan akhir dan mengikat secara hukum bagi para pihak dalam prosedur tersebut.”

Para menteri pertahanan sekali lagi menekankan perlunya mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

“Kami menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan menyerukan penyelesaian masalah lintas selat secara damai,” kata pernyataan bersama tersebut. “Kami bersatu, dengan tekad yang tak tergoyahkan, untuk membangun Indo-Pasifik yang damai, stabil, dan makmur, di mana hukum ditegakkan, kedaulatan dihormati, dan negara-negara dapat membuat keputusan tanpa diancam atau dipaksa oleh kekuatan militer.”

Pernyataan itu juga mengutuk tindakan Korea Utara yang mengganggu stabilitas (termasuk uji coba misil), yang merupakan pelanggaran serius terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB.

Para menteri pertahanan mendesak Rusia untuk segera dan tanpa syarat menarik pasukannya dari wilayah Ukraina. Mereka juga mencapai konsensus bahwa perlu terus mengingatkan negara ketiga, termasuk Tiongkok, bahwa “mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga hukum internasional dan tidak boleh mengakui, mendukung, atau membiarkan upaya Rusia untuk mendapatkan wilayah dengan kekerasan, yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB.” (jhn/yn)