Perang Psikologis Mungkin Merupakan Cara Terbaik untuk Menyelamatkan Tentara Korea Utara

oleh Xia Luoshan

Jika tentara Rusia dianggap berjuang demi impian kekaisaran Putin, lalu mengapa tentara Korea Utara pergi ke negara asing yang jauh untuk mempertaruhkan nyawa mereka? Ketika tentara Korea Utara mulai memasuki medan perang untuk ikut berperang melawan pasukan Ukraina, ceritanya belum tentu akan sejalan dengan apa yang dirancang oleh Putin dan Kim Jong-un.

Pada 1 November, beredar berita terbaru sejak Korea Utara ikut serta dalam perang Ukraina. Sebuah video yang diposting di platform media sosial X dan Telegram merekam wawancara seorang tentara Korea Utara dari sebuah unit kecil yang dikirim ke medan pertempuran di Kursk, tentara tersebut mengaku bahwa dirinya adalah satu-satunya tentara Korea Utara yang selamat dalam serangan.

Dalam video tersebut, terlihat seorang tentara Korea Utara dari sebuah unit kecil terdiri 40 orang yang telah menjadi sasaran serangan hebat dari artileri dan drone Ukraina di wilayah Kursk sedang terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah mengalami luka cukup serius. Ia menceritakan pengalamannya di medan perang dalam kalimat-kalimat yang penuh dengan dialek Korea, mengatakan: “Militer Rusia berbohong kepada kami, mereka bilang bahwa kita tidak akan diserang selama tetap berada di kawasan lindung (bunker), katanya bahwa kami tidak akan pernah dikerahkan ke garis depan”. “Namun, selama pertempuran di Kursk, komandan pasukan Rusia dengan ceroboh memaksa kami untuk menyerang. Mereka tidak melakukan pengintaian sama sekali sebelum melancarkan serangan, membiarkan kami dalam kondisi tanpa senjata untuk mempertahankan diri”.

Ketika Ukraina melancarkan serangan, tentara Korea Utara terpaksa ikut menyerang bersama tentara Rusia. “Kami yang terdiri dari 40 orang, termasuk dua teman saya, tewas semuanya”. “Bahkan kepala dari seorang tentara Rusia terpenggal oleh pecahan peluru. Sedangkan saya bisa selamat dengan bersembunyi di bawah tubuh rekan-rekan saya yang tewas”.

Tentara Korea Utara tersebut juga menceritakan lebih banyak detail dengan mengatakan: “Saya mendengar cerita dari kakek saya tentang perang pembebasan (Korea Utara), tapi tidak ada yang seperti ini. Jadi ini adalah fakta bahwa rekan-rekan kami telah digunakan sebagai umpan serangan dan dikorbankan”. “Tentara Ukraina dilengkapi dengan senjata terbaru dan memiliki motivasi tinggi, sedangkan tentara Rusia menderita kerugian serius pada alat berat sehingga mati-matian mengerahkan tentara seperti kami ini untuk melakukan serangan”. “Ini benar-benar dunia yang jahat”. “Saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri tumpukan jenazah tentara Rusia, dan hancurnya lokasi pertahanan”. “Putin pasti akan kalah dalam perang ini”.

Meskipun sejauh ini Ukraina, Rusia, dan Korea Utara belum secara resmi mengklaim bahwa pasukan Korea Utara ikut serta dalam pertempuran tersebut, tetapi prospek konfrontasi langsung antara pasukan Korea Utara dan pasukan Ukraina tampaknya tidak dapat dihindari. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky memperingatkan bahwa konflik akan segera menjadi kenyataan, yang akan muncul dalam hitungan hari, bukan bulan.

Pada 1 November, Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son-hui mengunjungi Moskow. Saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, dia memuji kepemimpinan Presiden Rusia Putin dan berjanji bahwa Pyongyang akan mendukung Moskow “sampai hari kemenangan”.

Selama pembicaraan, Choe Son-hui meyakinkan Lavrov bahwa Korea Utara akan terus mendukung militer Rusia dan mempertahankan “aliansi militer yang tak terkalahkan”. Pada saat yang sama Sergey Lavrov juga mengakui “hubungan yang sangat erat” antara Korea Utara dan Rusia, juga menyatakan bahwa militer dan dinas keamanan dari kedua negara saat ini sedang melaksanakan kerja sama dalam “menangani urusan keamanan yang cukup penting”.

Faktanya, sudah ada konfirmasi resmi mengenai pasukan Korea Utara yang memasuki Rusia perlu menerima pelatihan sebelum diterjunkan ke medan perang. Mengapa pasukan reguler Korea Utara dalam jumlah besar masih perlu dilatih di Rusia sebelum mereka dapat berpartisipasi dalam pertempuran? Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Rusia menyadari bahwa melibatkan pasukan asing dalam perang jarak jauh yang kurang terhormat memerlukan persiapan multifaset yang mungkin memerlukan pengemasan identitas dan pencucian otak, selain pengetahuan yang diperlukan tentang medan perang yang asing juga bukan milik tentara Korea Utara. Setidaknya sebelum mereka gugur “sebagai kusuma bangsa”, pikiran mereka perlu direformasi agar mereka menganggap keterlibatan Korea Utara dalam perang selain “sah” juga “superior”. 

Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat percaya bahwa militer Korea Utara yang belum pernah bertempur lagi sejak usainya Perang Korea, tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi peperangan modern. Setelah Perang Korea, sifat perang telah berubah drastis, dan tentara Korea Utara pada dasarnya tidak siap untuk berpartisipasi dalam perang ini. Pyongyang semestinya juga telah memahami perubahan ini.

Namun Pyongyang berharap dapat belajar sesuatu dari perang Rusia-Ukraina dan memahami serta menguasai senjata dan peralatan modern serta metode tempur baru dalam praktiknya, termasuk peperangan elektronik (Electronic Warfare. EW), cara menggunakan sistem tak berawak orang pertama  (First Person View. FPV), tindakan anti-drone, juga gangguan GPS, dan lain-lain, untuk dibandingkan dengan potensi konflik di Semenanjung Korea dalam persiapan melawan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Namun Korea Utara pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut kecuali mengoperasikan jammer GPS di dekat DMZ.

Kemungkinan prajurit Korea Utara mendapatkan pengalaman tempur di medan perang akan sangat bergantung pada bagaimana komando militer Rusia memutuskan untuk memanfaatkan kemampuan tempur Korea Utara, serta bagaimana kinerja pasukan Korea Utara dalam pertempuran. Tentara Rusia telah menggunakan taktik serangan frontal yang dipimpin infanteri dalam operasinya di Ukraina, yang umumnya dikenal sebagai “pertempuran tangan kosong”. Hal ini mengakibatkan tingginya korban jiwa di pihak tentara Rusia, yang telah sangat mengurangi dan menghambat kekuatan dan efektivitas tempur tentara Rusia. Penambahan pasukan Korea Utara sepertinya tidak akan mengubah cara militer Rusia berperang.

Pelatihan beberapa minggu jelas tidak dapat mengubah tentara Korea Utara menjadi kekuatan yang dapat berinteraksi secara mulus dengan tentara Rusia. Jika komando militer Rusia memutuskan untuk menggunakan pasukan Korea Utara sebagai “umpan meriam”, tentu saja pelatihan untuk menggunakan peralatan yang rumit dan pelatihan koordinasi taktis untuk pasukan Korea Utara tidak diperlukan lagi. Namun dampaknya akan berupa banyak korban jiwa di pihak militer Korea Utara. Dibandingkan pengalaman berharga di medan perang seperti yang diharapkan Pyongyang. Tentu saja, masa depan tentara Korea Utara yang suram tampaknya tidak akan mempengaruhi kesepakatan antara Kim Jong-un dengan Putin.

Melalui moral yang ditunjukkan oleh tentara Korea Utara kita sudah dapat mengerti banyak hal. Antara lain seperti apa yang diungkapkan oleh tentara Korea Utara yang lolos dari maut karena bersembunyi di bawah jenazah rekan-rekannya, badan intelijen Ukraina juga menyebutkan bahwa lebih dari 18 orang tentara Korea Utara telah kabur dari bunker Rusia sebelum memasuki operasi tempur.

Lee Hyun Seung, seorang pembelot asal Korea Utara yang pernah bertugas di pasukan khusus Korea Utara menulis surat terbuka kepada Presiden Ukraina Zelensky pada 25 Oktober, dengan pesan yang mengharap Zelensky dapat menyelamatkan nyawa tentara Korea Utara yang tidak bersalah dan sedang berperang di Ukraina.

Dia menyatakan dalam suratnya bahwa perang di Ukraina yang diprovokasi oleh Rusia adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada alasan bagi militer Korea Utara untuk mengorbankan nyawa tentaranya di medan perang asing. Kim Jong-un hanya menggunakan nyawa tentara Korea Utara sebagai alat tawar-menawar untuk mengantongi dana rahasia jutaan dolar. Itu semua hanya untuk menjaganya tetap aman dan mempertahankan kekuasaannya. “Itu bukan perang demi membela kebenaran, juga bukan untuk membela tanah air dan kepentingan Anda sendiri, orang tua Anda atau saudara-saudara Anda. Ini adalah kejahatan brutal yang semata-mata didorong oleh keserakahan dan keinginan Kim Jong-un untuk mempertahankan kekuasaan serta didorong oleh ambisinya”. Lee meminta tentara Korea Utara untuk berani memilih jalan baru demi mengejar kebebasan.

Lee Hyun-seung menekankan bahwa tidak seperti tentara dan sukarelawan Rusia atau tentara bayaran yang secara sukarela bergabung dalam konflik demi uang, tentara Korea Utara yang dikirim ke Rusia tidak termotivasi oleh kesetiaan kepada Rusia atau untuk mengejar kepentingan finansial tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya. Mereka adalah korban dari kesepakatan antara Kim Jong-un dan Putin. Satu-satunya “kesalahan” yang dilakukan para prajurit tak berdosa ini adalah bahwa mereka dilahirkan di Korea Utara.

Dia meminta Zelensky untuk menyelesaikan masalah tersebut bukanlah dengan senjata, melainkan perang psikologis, yang bahkan lebih dahsyat daripada senjata nuklir, karena generasi muda yang menghadapi kekecewaan ini tidak ingin mati konyol.

Dia mendesak Zelensky untuk bekerja sama dengan pemerintah Korea Selatan dalam melakukan perang psikologis, termasuk mengerahkan siaran Korea sepanjang waktu lewat pengeras suara di garis perbatasan, mendistribusikan selebaran melalui drone, menggunakan radio portabel, dan mengerahkan tim perang psikologis khusus. Melalui cara-cara ini untuk menekankan bahwa misi tentara Korea Utara adalah sia-sia, dan para prajurir tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun sebagai balas jasa dari Kim Jong-un.

Selain itu siaran juga digunakan untuk mengungkap kekejaman Kim Jong-un dan menggambarkan kebenaran tentang dunia bebas dan jalan aman untuk menyerah. Pada saat yang sama, rumah aman, persediaan makanan, dan konsultasi online dibentuk untuk memberikan dukungan yang cepat dan aman bagi para pengungsi yang melarikan diri.

Lee percaya bahwa jika Ukraina menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan kepada para tentara Korea Utara yang berperang untuk Rusia, bahwa ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kesempatan untuk merasakan kebebasan, melihat dunia yang belum pernah mereka kenal, dan mematahkan belenggu psikologis yang dikenakan Kim Jong-un terhadap mereka, maka Zalensky bisa meyakinkan mereka untuk menyerah secara damai. Hal ini tidak cuma menghilangkan ancaman baru yang datang dari Korea Utara terhadap Ukraina, namun juga akan menyelamatkan nyawa generasi muda yang tidak ingin berperang.

Ketika berbicara tentang pasukan Korea Utara pada 30 Oktober, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan, bahwa jika situasi ini terus berlanjut, konflik akan menjadi panjang dan meluas. Jika demikian, pasukan Korea Utara akan menjadi sasaran empuk bagi Ukraina yang menggunakan senjata AS.

Ini berarti bahwa tentara Korea Utara akan menghadapi pukulan fatal dari senjata dan amunisi Amerika Serikat yang sangat mematikan di medan perang, dan mungkin juga mereka akan menghadapi pukulan dari belakang oleh pasukan Rusia. Dalam hal ini, perang psikologis kemungkinan akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan “pembunuhan” lewat artileri terhadap pasukan Korea Utara yang menyerbu Ukraina.  (Sin)