EtIndonesia. Baru-baru ini, aktivitas kriminal Tren de Aragua di AS telah menarik perhatian. Organisasi kriminal ini berasal dari penjara di Venezuela dan telah meresap ke AS memanfaatkan gelombang imigran Venezuela dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut statistik, lebih dari 800.000 imigran Venezuela telah memasuki AS dalam empat tahun terakhir, termasuk ratusan anggota geng tersebut.
Menurut laporan dari New York Post, pada Januari 2024, karena Pemerintah Venezuela menolak menerima penerbangan deportasi dari AS, pemerintahan Biden terpaksa menghentikan upaya untuk mendeportasi para pelaku kriminal dan anggota geng tersebut, menyebabkan banyak orang berbahaya tertahan di dalam negeri AS.
Masalah rumit ini akan diwariskan kepada Presiden terpilih Trump, yang juga berkaitan dengan apakah dia dapat memenuhi janji kampanyenya untuk deportasi besar-besaran.
Tom Homan, yang ditunjuk oleh Trump sebagai kepala urusan perbatasan, menyatakan bahwa pemerintahan baru nanti memiliki berbagai cara untuk memaksa Venezuela memulai kembali program deportasi, termasuk meningkatkan sanksi dan membekukan bantuan. Tahun lalu, AS telah memberikan bantuan 209 juta dolar kepada Venezuela.
Homan mengatakan: “Trump pernah berhasil meyakinkan El Salvador untuk menerima anggota geng MS-13, serta meyakinkan Meksiko untuk menyetujui program ‘Tetap (tinggal) di Meksiko’. Saya percaya dia juga bisa mencapai kesepakatan dengan Presiden Venezuela.”
Belakangan ini, Venezuela telah menjadi salah satu sumber imigran terbesar ke AS. Di bawah rezim komunis Presiden Nicolás Maduro, korupsi dan kehancuran ekonomi telah memaksa jutaan orang Venezuela meninggalkan tanah air mereka.
Pemerintahan Biden memberikan status perlindungan sementara kepada orang Venezuela, yang tidak hanya melindungi mereka dari deportasi tetapi juga mempercepat proses persetujuan izin kerja, yang jelas akan meningkatkan motivasi mereka untuk menyelundup ke AS.
Situasi infiltrasi geng sangat serius.
Tren de Aragua memanfaatkan kesempatan, dengan anggota geng menyamar sebagai pengungsi untuk mengajukan suaka. Untuk menghindari dikenali oleh petugas penegak hukum perbatasan, banyak anggota bahkan tidak lagi menato tanda khas geng mereka.
Ron Vitiello, yang menjabat sebagai kepala Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) selama masa jabatan pertama Trump, menyatakan bahwa geng ini baru masuk ke dalam perhatian lembaga penegak hukum setelah Biden menjabat.
Vitiello menuturkan: “Dari data Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai sebelum 2021, tidak ada catatan penangkapan satu pun anggota Tren de Aragua. Ini sangat mengejutkan. Saya telah bekerja di departemen pemerintah selama 34 tahun dan baru mendengar tentang organisasi ini setelah saya pensiun pada tahun 2021, ketika mereka mulai beraksi di New York.”
Saat ini, organisasi kriminal yang berasal dari penjara di Venezuela ini telah berakar di 16 negara bagian AS, dan anggotanya telah melakukan beberapa kejahatan serius, termasuk pembunuhan kejam terhadap Laken Riley, seorang mahasiswa keperawatan di Georgia.
Karena adanya larangan deportasi, meskipun penegak hukum mengidentifikasi anggota geng ini sebagai ancaman bagi masyarakat, mereka tidak dapat dideportasi kembali ke negara mereka.
Beberapa anggota geng yang ditangkap karena pelanggaran ringan kemudian dibebaskan dan melakukan kejahatan kekerasan yang lebih serius.
Sebagai contoh, Niefred Serpa-Acosta, berusia 20 tahun, ditangkap oleh ICE karena pencurian berulang dan dibebaskan pada 17 Juli. Hanya sebulan kemudian, dia kembali muncul di berita karena terlibat dalam sebuah perampokan bersenjata di sebuah apartemen di pinggiran Aurora, Colorado.
Menurut sumber internal Departemen Keamanan Dalam Negeri, sebelum Serpa-Acosta dibebaskan oleh ICE, dia telah mengakui bahwa dia adalah anggota Tren de Aragua dan memiliki tato simbolis geng pada tubuhnya.
Menurut laporan Wall Street Journal, sebelum Januari tahun ini, Venezuela hampir setiap minggu menerima penerbangan deportasi dari Amerika Serikat. Namun, ketika administrasi Biden-Harris menerapkan sanksi baru terhadap negara tersebut, proses deportasi terhenti.
Tiga Solusi yang Mungkin
Sekarang, solusi untuk memulihkan deportasi kriminal Venezuela menjadi masalah yang harus dihadapi Trump. Berikut adalah beberapa solusi yang mungkin diterapkan :
- Meningkatkan Sanksi dan Mencabut Bantuan
Wes Tabor, yang pernah mengepalai kantor DEA di Caracas pada tahun 2012, menyarankan untuk menggunakan “tindakan komersial” untuk “menekan secara ekonomi” pada negara kaya minyak ini, memaksa mereka untuk memulai kembali kerja sama deportasi.
Tabor mengatakan: “Di bawah sikap keras Trump, Venezuela tidak memiliki pilihan lain. Jika Trump membuat langkah pertama dengan mencoba bernegosiasi secara rasional dan pemerintahan Maduro tidak menanggapi dengan baik, maka Trump pasti akan menggunakan semua cara yang mungkin untuk menghancurkan mereka secara ekonomi.”
- Deportasi Paksa Anggota Geng
Daniel Di Martino, seorang pengamat Venezuela dan peneliti di Manhattan Institute, menyebutkan bahwa meskipun ada banyak tantangan, Trump masih bisa mempertimbangkan deportasi paksa anggota geng ini tanpa persetujuan Pemerintah Venezuela.
“Amerika Serikat memiliki preseden serupa. Dalam menghadapi masalah Haiti, Penjaga Pantai AS pernah mengirim orang kembali ke pantai Haiti tanpa persetujuan Pemerintah Haiti,” kata Di Martino.
Operasi ini mungkin dilakukan dengan cara mengirimkan deportee ke wilayah Karibia atau Kolombia terlebih dahulu, kemudian mengatur kapal untuk membawa mereka ke pantai Venezuela.
- Kerja Sama dengan Negara Ketiga
Sebuah alternatif lain adalah membayar negara lain untuk menerima imigran yang dideportasi.
John Fabbricatore, mantan kepala kantor ICE di Denver, mengatakan bahwa Trump bisa mencoba bernegosiasi dengan negara seperti Kolombia dengan imbalan bantuan dan hubungan ekonomi untuk kerja sama.
Namun, karena Kolombia saat ini sudah menampung sekitar 3 juta pengungsi Venezuela, meminta mereka untuk menerima orang-orang dengan catatan kriminal mungkin tidaklah mudah.
Kesimpulan dari pendekatan ini akan sangat bergantung pada kemampuan diplomasi dan kekuatan ekonomi AS untuk memaksa atau membujuk negara lain untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah kriminal transnasional ini. (jhn/yn)