Kepala Intelijen Inggris: Rusia adalah Dalang di Balik Kegiatan Pengacau di Eropa

ETIndonesia. Richard Moore, kepala intelijen rahasia Inggris (MI6, Military Intelligence Section 6), pada Jumat (29/11/2024) menyatakan bahwa Rusia telah melancarkan “kegiatan pengacau tanpa batas yang mengejutkan” di Eropa, sekaligus meningkatkan ancaman nuklirnya untuk mengintimidasi negara-negara lain agar tidak mendukung Ukraina.

Dalam pidatonya, Moore menegaskan bahwa pengurangan dukungan untuk Ukraina akan membuat Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan sekutunya menjadi lebih berani. 

“Harga untuk mendukung Ukraina sudah diketahui umum, tapi harga untuk tidak mendukung akan jauh lebih tinggi lagi. Jika Putin berhasil, Tiongkok akan mempertimbangkan pengaruhnya, Korea Utara akan menjadi lebih berani, dan Iran akan menjadi lebih berbahaya,” ujar Moore.

Pidatonya di Paris tampaknya ditujukan untuk memberi pesan kepada Presiden AS yang akan datang, Donald Trump, dan beberapa sekutu Eropa yang meragukan apakah dukungan untuk Ukraina harus dilanjutkan. Ia menilai bahwa Eropa dan sekutu di seberang Atlantik harus tetap teguh menghadapi agresi yang semakin meningkat.

“Baru-baru ini, kami menemukan bahwa Putin dan pengikutnya menciptakan ketakutan akan konsekuensi dari bantuan untuk Ukraina melalui ancaman nuklir, sementara Rusia juga melakukan kegiatan merusak yang mengejutkan dan tanpa pertimbangan di Eropa,” kata Moore.

Pada September lalu, Moore pernah menyatakan bahwa NATO dan kepala intelijen dari negara-negara Barat lainnya telah memperingatkan bahwa aktivitas lembaga intelijen Rusia telah menjadi “sedikit di luar kendali,” termasuk serangan siber yang berulang dan insiden pembakaran yang terkait dengan Moskow. Namun, Rusia menyangkal bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut.

Bulan lalu, kepala Badan Keamanan Nasional Inggris (MI5, Military Intelligence Section 5) mengatakan bahwa Direktorat Intelijen Militer Rusia (GRU) sedang berupaya menciptakan “kekacauan”.

Seorang sumber yang akrab dengan intelijen AS mengatakan kepada Reuters bahwa Moskow mungkin meningkatkan serangan terhadap target di Eropa untuk meningkatkan tekanan terhadap negara-negara yang mendukung Ukraina.

Kerja Sama Intelijen Inggris-Prancis

Moore dan Nicolas Lerner, kepala Direktorat Keamanan Luar Negeri Prancis (DGSE), bersama-sama menghadiri peringatan 120 tahun perjanjian Inggris-Prancis. 

Moore menyatakan bahwa MI6 Inggris dan DGSE Prancis bekerja sama dalam “menilai risiko dan menginformasikan keputusan pemerintah masing-masing” untuk mencegah eskalasi bahaya yang disebabkan oleh “bluff dan agresi” Presiden Putin.

Lerner sependapat bahwa “keamanan kolektif seluruh Eropa” bergantung pada konflik di Ukraina. Dia mengatakan, pengalaman Inggris dalam menghadapi serangan terkini Rusia, seperti penggunaan agen saraf Novichok untuk membunuh mantan mata-mata Rusia pada tahun 2018, sangat penting bagi badan intelijen Prancis dalam menangani tindakan Rusia.

Lerner juga menyebutkan bahwa badan intelijen Prancis dan Inggris bekerja sama secara erat untuk mengatasi potensi penyebaran nuklir Iran. Iran berulang kali membantah memiliki niat untuk mengembangkan senjata nuklir.

Dunia berada dalam kondisi paling berbahaya dalam hampir 40 tahun terakhir.

 Pidato Moore sebagian besar berfokus pada pentingnya persatuan Barat. Ia menyatakan bahwa kekuatan kolektif sekutu Inggris akan melampaui Putin, yang semakin bergantung pada Tiongkok, Korea Utara, dan Iran.

Presiden terpilih AS, Trump, bersumpah untuk segera mengakhiri perang Ukraina, tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara mengakhirinya, sementara anggota Partai Republik AS lainnya bersikap skeptis terhadap dukungan strategis yang kuat Washington untuk Kyiv dan pasokan senjata berat.

 Moore mengatakan, “Jika Putin diizinkan untuk berhasil mengubah Ukraina menjadi negara vasal, dia tidak akan berhenti di situ. Keamanan kita—Inggris, Prancis, Eropa, dan transatlantik—akan terancam.”

Moore menyatakan bahwa secara keseluruhan, dunia berada dalam keadaan paling berbahaya selama 37 tahun ia bekerja di dunia intelijen, dengan kebangkitan kembali ISIS, ambisi nuklir Iran yang terus mengancam, dan dampak radikalisasi dari serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang belum sepenuhnya terungkap. (jhon)

Sumber : Epochtimes.com