EtIndonesia. Dalam perkembangan terbaru konflik Suriah, kelompok pemberontak berhasil merebut kendali atas lebih dari 50 desa dan kota di distrik Aleppo setelah bentrokan sengit dengan pasukan Pemerintah Suriah yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad. Keberhasilan ini menandai pertama kalinya sejak 2016 pemberontak dapat memasuki Aleppo, menurut laporan dari Asharq Al-Awsat.
Dukungan Internasional dan Strategi Pemberontak
Kelompok pemberontak Suriah, yang didukung oleh Israel dan Turki, berhasil mengalahkan pasukan rezim Assad yang didukung oleh Rusia dan Iran. Organisasi pemberontak menyatakan bahwa mereka telah menutup jalan tol utama yang menghubungkan Aleppo dengan ibu kota Damaskus serta mengelilingi kota strategis Saraqib di timur Idlib, pusat utama bagi pasukan Iran dan milisi pro-Iran. Total wilayah yang dikuasai pemberontak mencapai 400 kilometer persegi.
Salah satu tujuan utama aliansi pemberontak adalah mengusir pasukan Iran dari Suriah. Keberhasilan cepat ini dipicu oleh runtuhnya garis pertahanan rezim Assad dan melemahnya kekuatan pro-Assad yang dipimpin oleh Iran. Konflik ini telah menelan sekitar 200 korban jiwa, sementara sebagian besar wilayah yang diperebutkan kini tidak lagi dihuni oleh warga sipil akibat pengungsian massal sejak 2020.
Serangan Udara dan Korban Sipil
Meskipun berhasil menguasai wilayah baru, pasukan Rusia yang mendukung Assad melancarkan serangan udara pada 28 November 2024, menewaskan setidaknya 17 warga sipil. Pada hari yang sama, Kioumars Pourhashemi, komandan penasihat militer Iran di Aleppo, dilaporkan tewas dalam serangan pemberontak, menurut media Iran.
Keterlibatan Negara-negara Besar
Turki, yang mendukung berbagai kelompok oposisi, telah membangun kehadiran militer di beberapa wilayah barat laut Suriah. Sementara itu, Amerika Serikat terus mendukung kelompok milisi Kurdi yang berperang melawan ISIS di timur Suriah. Menurut laporan ABC, sejak protes anti-pemerintah pada 2011, Rusia dan Iran bersama-sama mendukung pasukan pemerintah Suriah dalam konflik berkepanjangan ini.
Pada tanggal 28 November 2024, Turki menyatakan bahwa mereka sedang memantau dengan cermat serangan yang dilancarkan oleh kelompok oposisi di utara Suriah. Militer Turki telah mengambil berbagai langkah untuk melindungi pasukan mereka di wilayah tersebut. Kelompok oposisi di Idlib telah lama merencanakan serangan untuk mengusir pasukan pemerintah dan milisi, guna melindungi warga sipil.
Reaksi dan Opini Netizen
Seorang netizen di platform X melaporkan bahwa teman dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, berusaha menghambat serangan dari belakang. Video online menunjukkan pemberontak yang memasuki Aleppo merobek poster Assad sebagai simbol penolakan terhadap rezim.
Blogger militer Vishagrad24 menyatakan bahwa pasukan Assad hampir tidak melakukan perlawanan, memperkirakan kota ini akan segera jatuh. Profesor Zhang Ping dari Universitas Tel Aviv mengungkapkan bahwa kejatuhan Hizbullah akan menjadi awal dari malapetaka abadi bagi Assad.
Perkembangan di Kancah Internasional
Di sisi lain, militer Korea Selatan mengumumkan pengembangan sistem pertahanan udara jarak jauh berbasis darat yang mirip dengan sistem misil THAAD. Sistem ini diharapkan dapat mencegat misil musuh yang kembali ke atmosfer, sebagai respons terhadap ancaman dari Korea Utara. Proyek ini telah selesai dan diperkirakan akan diproduksi massal setelah tahun 2025.
Presiden Korea Selatan, Yoon Seok-yeol, serta Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun menyatakan bahwa sistem ini bertujuan untuk melindungi keamanan warga negara dan memperkuat kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat.
Ketegangan di Laut China Selatan
Pada saat yang sama, kapal induk Amerika Serikat, USS Lincoln, yang baru saja menyelesaikan misi di Timur Tengah, kembali ke wilayah Pasifik dan memasuki Laut China Selatan melalui Selat Malaka.
Presiden Taiwan, Lai Ching-te, akan memulai kunjungan ke negara-negara sahabat Taiwan mulai 30 November 2024, melewati Hawaii dan Guam di Amerika Serikat. Kunjungan ini memicu respons militer dari Tiongkok, yang mengirim 41 pesawat militer dan kapal perang untuk mengganggu perjalanan Presiden Lai. Militer Taiwan telah meningkatkan kesiapsiagaan dengan menempatkan pesawat, kapal, dan sistem rudal pantai untuk menghadapi potensi ancaman.
Departemen Pertahanan Taiwan melaporkan bahwa dalam 24 jam terakhir, udara dan perairan Taiwan telah diganggu oleh 33 pesawat militer Tiongkok dan 8 kapal perang, termasuk balon udara terdeteksi di barat Taiwan. Hal ini menandai gangguan militer terbesar oleh Tiongkok dalam lebih dari tiga minggu terakhir.
Kesimpulan
Situasi di Suriah dan ketegangan di Laut China Selatan menggambarkan kompleksitas geopolitik yang semakin meningkat. Dengan keterlibatan berbagai negara besar dan pengembangan teknologi pertahanan baru, dunia menyaksikan eskalasi konflik yang dapat berdampak luas pada stabilitas regional dan global. Pemantauan terus menerus dan diplomasi internasional menjadi kunci untuk mencegah konflik lebih lanjut dan mencapai perdamaian yang berkelanjutan.