Darurat di Perbatasan Selatan AS: Deportasi Massal Dimulai

ETIndonesia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi dilantik pada Senin (20 Januari) dan langsung mengumumkan bahwa perbatasan selatan Amerika Serikat akan memasuki status darurat nasional. Trump juga memerintahkan pengiriman pasukan militer untuk berjaga di perbatasan. Selain itu, mulai Selasa (21 Januari), pemerintah AS akan melaksanakan deportasi massal terhadap imigran ilegal selama seminggu. 

“Semua masuk secara ilegal akan segera dihentikan. Kami akan mulai mendeportasi jutaan warga asing yang melakukan kejahatan. Kami juga akan menghidupkan kembali kebijakan ‘Tetap tinggal di Mexico,” ujar Presiden AS Donald Trump. 

Pidato pelantikan Trump mendapat sambutan hangat dari pendukungnya.

Trump menambahkan, “Saya akan mengakhiri kebijakan ‘tangkap dan lepaskan’. Saya akan mengirimkan pasukan ke perbatasan selatan untuk menangkal invasi yang menjadi bencana bagi negara kita. Berdasarkan perintah yang saya tandatangani hari ini, kami juga akan menetapkan kartel narkoba sebagai organisasi teroris asing.”

Tom Homan, yang ditunjuk Trump sebagai “Tsar Perbatasan,” mengonfirmasi dalam wawancara media baru-baru ini bahwa Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) akan memulai operasi deportasi massal terhadap imigran ilegal mulai 21 Januari.

Gelombang pertama deportasi akan mencakup sekitar 700.000 orang yang sudah menerima perintah pengusiran.

Beberapa jam sebelum pelantikan Trump, sebuah kelompok besar migran karavan berangkat dari Tapachula, Meksiko, menuju perbatasan AS-Meksiko.

Para imigran ilegal ini berharap dapat memasuki AS sebelum kebijakan perbatasan baru Trump diberlakukan.

Peter Tu, Penasihat Utama Kamar Dagang Tionghoa New York, menyatakan bahwa kebijakan imigrasi Trump yang ketat mungkin akan menghadapi tantangan di negara bagian yang menjadi suaka imigran.

“Menurut saya, dia (Trump) akan melakukan ini. Kebijakan imigrasinya jelas akan mengambil tindakan keras terhadap imigran ilegal. Namun, saat menghadapi negara bagian yang dikuasai Demokrat, dia perlu beroperasi dengan fleksibilitas agar gagasan dan tindakannya dapat diterima secara bertahap, bukan langsung mendesak terlalu keras,” kata Peter Tu.

Sementara itu, aplikasi perbatasan era pemerintahan Biden, GBP One, dihentikan penggunaannya pada 20 Januari.

Aplikasi ini sebelumnya memungkinkan imigran untuk masuk ke AS secara legal melalui sistem janji temu.

Maria Francisca, seorang imigran dari Honduras, berkata, “Jika dia (Presiden Trump) memutuskan untuk menghapus aplikasi ini, maka kami harus memikirkan langkah selanjutnya.”

Badan Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai AS (CBP) telah mengonfirmasi bahwa semua janji temu yang ada melalui aplikasi tersebut telah dibatalkan. (Hui)

Sumber : NTDTV.com

FOKUS DUNIA

NEWS