Pemerintah daerah di Tiongkok telah mengalami kekurangan uang tunai hingga mereka terpaksa membayar tagihan dengan apartemen yang belum selesai dan belum terjual akibat krisis properti
Milton Ezrati
Semakin banyak tanda-tanda yang menunjukkan betapa parahnya krisis keuangan yang melanda Tiongkok. Pemerintah daerah tampaknya begitu kekurangan uang tunai sehingga mereka menggunakan apartemen yang belum selesai dibangun dan belum terjual sebagai alat pembayaran demi melunasi utang mereka akibat krisis properti yang sedang berlangsung.
Jenis barter seperti ini menunjukkan kemunduran ke dalam sistem ekonomi primitif yang biasanya ditemukan di negara-negara dunia ketiga. Hal ini mencerminkan seberapa jauh Tiongkok telah jatuh dan betapa banyak yang harus dilakukan Beijing untuk kembali ke jalur pembangunan yang layak.
Akar dari permasalahan ini cukup jelas dan seharusnya sudah tidak asing bagi para pembaca tetap kolom ini. Beijing menanam benih krisis ini dengan bertahun-tahun mempromosikan pengembangan real estat perumahan secara berlebihan.
Pada tahap awal pembangunan Tiongkok, penekanan ini memang sesuai. Namun, Beijing terus memberikan kemudahan dalam pembiayaan dan dukungan dari pemerintah daerah terlalu lama setelah kebutuhan perumahan negara tersebut terpenuhi.
Karena dukungan besar dari Beijing, para pengembang dapat menawarkan kesepakatan menarik kepada calon pembeli rumah, sehingga meningkatkan pembelian, sementara mereka sendiri memanfaatkan situasi yang tampaknya menguntungkan dengan membiayai sebanyak mungkin proyek pengembangan menggunakan utang.
Pada saat yang sama, pemerintah daerah yang menikmati pendapatan besar dari penjualan tanah juga meminjam dana dalam jumlah besar untuk menciptakan lingkungan kota yang menarik.
Pada puncaknya, sektor real estat di Tiongkok menyumbang hampir 25 persen dari ekonomi negara. Sebagai perbandingan, sebagian besar negara maju jarang mengalokasikan lebih dari 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka untuk pengembangan real estat, sehingga angka ini mencerminkan sejauh mana ketergantungan ekonomi Tiongkok terhadap sektor ini.
Pada tahun 2019, ketika para perencana di Beijing mulai menyadari bahwa pembangunan perumahan telah mencapai tingkat yang berlebihan, mereka tiba-tiba menarik dukungan sebelumnya. Karena perubahan ini dilakukan tanpa peringatan yang memadai, baik pengembang maupun pemerintah daerah tidak memiliki waktu untuk menyesuaikan diri.
Dampaknya pertama kali terlihat pada para pengembang. Mereka mulai gagal memenuhi kewajibannya. Tanda-tanda pertama dari bencana ini muncul pada tahun 2021 ketika raksasa properti Evergrande mengumumkan bahwa mereka tidak dapat memenuhi kewajiban sebesar sekitar $300 miliar. Setelah itu, beberapa pengembang lainnya juga mengalami kegagalan serupa.
Tak heran, aktivitas konstruksi pun terhenti, begitu pula laju pembelian rumah. Sistem keuangan ikut terkena dampak akibat banyaknya utang yang tidak terbayar, terutama karena pada saat yang sama, banyak rumah tangga Tiongkok yang telah membeli properti dari para pengembang juga tidak mampu menyelesaikan pembayaran dan menolak untuk melanjutkan cicilan hipotek mereka. Karena Beijing menolak menerapkan kebijakan untuk meredakan tekanan keuangan ini, krisis pun semakin parah.
Ketika masalah ini terus memburuk, pemerintah daerah yang sebelumnya mengandalkan pendapatan dari penjualan tanah tiba-tiba kehilangan sumber kas utama mereka, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kewajiban utang yang telah mereka ambil selama masa booming serta gagal membiayai layanan publik untuk penduduk mereka.
Tidak hanya pemberi pinjaman yang diminta menunggu pembayaran, tetapi pemerintah daerah juga menunda pembayaran kepada kontraktor untuk berbagai layanan, termasuk utilitas, pengumpulan sampah, pembersihan jalan, dan perbaikan infrastruktur. Dalam beberapa kasus, masalah ini menjadi begitu parah hingga pegawai negeri sipil—seperti guru, tenaga medis, polisi, dan pemadam kebakaran—harus menunggu gaji mereka.
Karena tidak memiliki uang tunai untuk membayar tagihan, pengembang dan pemerintah daerah akhirnya menggunakan satu-satunya aset yang masih mereka miliki dalam jumlah besar untuk melunasi utang mereka: apartemen yang belum selesai dan belum terjual. Berikut beberapa contoh yang menggambarkan situasi ini:
- Kota Changji di Tiongkok membayar utang gas sebesar $25 juta kepada Xinjiang East Universe Gas dengan sekitar 260 apartemen yang sebelumnya direncanakan sebagai kompleks hunian mewah.
- Shanghai Urban Architecture Design menerima 115 apartemen untuk melunasi utang senilai sekitar $10 juta.
- Departemen kepolisian di Kabupaten Dejiang, Yuping, dan Sinan di Tiongkok melunasi utang sebesar $10 juta kepada pengembang perangkat lunak dengan mentransfer kepemilikan apartemen dari pengembang properti yang gagal.
Patut diapresiasi kreativitas orang-orang yang terlibat dalam skema ini. Namun, fakta bahwa sistem ini telah berubah menjadi bentuk ekonomi barter menunjukkan betapa seriusnya krisis ekonomi dan keuangan yang sedang terjadi di Tiongkok.
Seandainya Beijing bertindak cepat ketika tanda-tanda awal kegagalan mulai terlihat, masalah ini mungkin bisa dicegah. Namun, kenyataannya, pemerintah baru mulai mengambil langkah pada akhir tahun 2023—dua tahun penuh setelah Evergrande runtuh.
Sayangnya, kebijakan yang telah diterapkan sejauh ini masih belum cukup untuk menghentikan krisis yang telah berkembang selama bertahun-tahun.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Milton Ezrati adalah editor kontributor di The National Interest, afiliasi dari Center for the Study of Human Capital di Universitas Buffalo (SUNY), dan kepala ekonom di Vested, sebuah perusahaan komunikasi berbasis di New York. Sebelum bergabung dengan Vested, ia menjabat sebagai kepala strategi pasar dan ekonom di Lord, Abbett & Co. Ia juga sering menulis untuk City Journal dan secara rutin berkontribusi di Forbes. Buku terbarunya adalah “Thirty Tomorrows: The Next Three Decades of Globalization, Demographics, and How We Will Live.”