Menurut laporan Associated Press (AP), pemerintahan Trump baru-baru ini memperketat pemeriksaan visa mahasiswa internasional. Hingga saat ini, mahasiswa dari setidaknya 128 universitas di seluruh Amerika Serikat terdampak, dan 901 orang telah kehilangan status hukum mereka.
EtIndonesia. Asosiasi Pengacara Imigrasi Amerika melaporkan bahwa awalnya mereka hanya menerima segelintir panggilan bantuan setiap hari, namun sejak awal April, laporan dari para mahasiswa meningkat drastis. Banyak mahasiswa mengaku tidak menerima pemberitahuan sebelumnya, dan tiba-tiba mendapati visa mereka telah dicabut, menyebabkan mereka tidak dapat masuk ke AS, melanjutkan studi, atau bekerja.
Menurut data gabungan dari pernyataan kampus dan surat internal, setidaknya 901 visa telah dicabut. Asosiasi Pendidikan Internasional (NAFSA) memperkirakan jumlah sebenarnya bisa mencapai 1.300 orang. Beberapa yang terdampak bukan mahasiswa aktif, melainkan mereka yang sedang bekerja di AS dengan status OPT (Optional Practical Training).
Para pengacara menyebutkan bahwa sebagian besar mahasiswa tidak memiliki catatan kriminal, atau hanya terlibat pelanggaran ringan seperti tilang. Empat mahasiswa dari negara bagian Michigan menggugat pemerintahan Trump, menyatakan bahwa mereka tidak pernah menerima alasan jelas pencabutan visa, hanya diberi email singkat dari pihak kampus. Ada pula yang disebut visanya dicabut karena “latar belakang kriminal” atau “bertentangan dengan kepentingan nasional”, namun tidak ada bukti yang sesuai.
CNN mengutip kasus seorang mahasiswa PhD dari Georgia Institute of Technology yang dijadwalkan lulus pada Mei dan telah mendapatkan tawaran mengajar. Namun, visanya dicabut hanya karena ada tilang yang belum dibayar oleh temannya saat meminjam mobilnya. Tilang itu kemudian dicabut, tetapi visanya tetap dibatalkan.
Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyatakan bahwa pemerintah berhak mencabut visa bagi mereka yang melanggar kepentingan nasional, termasuk individu yang memprotes dukungan Israel dalam perang Gaza. Ia menegaskan bahwa visa diberikan untuk belajar, bukan untuk menjadi aktivis pengacau kampus.
Pada Jumat lalu (11 April), seorang hakim imigrasi AS memutuskan bahwa mahasiswa pro-Palestina dari Universitas Columbia, Mahmoud Khalil, boleh dideportasi oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif NAFSA, Fanta Aw, menyatakan bahwa berbeda dari masa lalu di mana status imigrasi mahasiswa biasanya diperbarui lewat pemberitahuan dari pihak kampus, kini banyak perubahan status langsung tercermin di sistem pemerintah, menimbulkan ketidakpastian di kalangan mahasiswa asing.
Beberapa universitas menyarankan mahasiswa untuk meninggalkan AS demi menghindari penahanan, sementara sebagian lainnya memilih untuk mengajukan banding dan tetap di AS menunggu hasil keputusan hukum.
Sejumlah pengadilan negara bagian akhir-akhir ini membuat keputusan yang mendukung mahasiswa:
- Seorang mahasiswa PhD dari Dartmouth College bernama Liu Xiaotian (nama disamarkan) mendapat perintah perlindungan sementara dari pengadilan New Hampshire.
- Seorang mahasiswa pascasarjana dari University of Wisconsin-Madison juga mendapat perlindungan serupa.
- Dua mahasiswa pascasarjana dari Montana State University, kampus Bozeman, berhasil mencegah deportasi mereka.
Seorang mahasiswa PhD asal Tiongkok dari University of North Carolina, Chapel Hill, mengaku bahwa kini ia selalu membawa paspor dan dokumen imigrasi untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan kejadian mendadak. (Hui)
Sumber : Theepochtimes.com