EtIndonesia. Pemimpin cabang Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, baru-baru ini menyatakan bahwa organisasinya berharap dapat mencapai kesepakatan menyeluruh untuk mengakhiri perang di Gaza. Dalam usulan tersebut, Hamas bersedia menyerahkan semua sandera Israel sebagai imbalan atas pembebasan warga Palestina yang dipenjara di Israel. Namun, mereka menolak kesepakatan gencatan senjata sementara yang diajukan oleh Israel.
Menurut laporan Reuters, dalam pidato yang disiarkan di televisi, Al-Hayya mengatakan bahwa Hamas siap segera melakukan “perundingan paket lengkap” yang mencakup pembebasan seluruh sandera yang tersisa, sebagai imbalan atas penghentian perang di Gaza, pembebasan warga Palestina dari penjara-penjara Israel, serta dimulainya proses rekonstruksi Gaza.
Al-Hayya menegaskan: “Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan pemerintahannya memanfaatkan sebagian isi kesepakatan sebagai kedok untuk agenda politik mereka. Mereka terus menjalankan perang genosida dan kelaparan, bahkan dengan mengorbankan semua tahanan (sandera). Kami tidak akan ikut ambil bagian dalam kebijakan seperti itu.”
Menanggapi pernyataan tersebut, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, James Hewitt, menyatakan: “Pernyataan Hamas menunjukkan bahwa mereka tidak peduli terhadap perdamaian, mereka hanya peduli untuk melanjutkan kekerasan. Syarat dari pemerintahan Trump tetap tidak berubah: bebaskan para sandera, atau bersiap menghadapi neraka.”
Sumber dari pihak Palestina dan Mesir mengungkapkan bahwa dalam putaran pembicaraan terbaru yang digelar pada Senin (14/4) di Kairo untuk membahas pemulihan gencatan senjata dan pembebasan sandera Israel, belum tercapai terobosan yang signifikan.
Dalam perundingan tersebut, Israel mengusulkan gencatan senjata selama 45 hari di Gaza sebagai syarat awal untuk pembebasan sandera dan kemungkinan dimulainya negosiasi tidak langsung guna mengakhiri konflik. Namun, salah satu syarat yang diajukan oleh Israel—yakni pelucutan senjata Hamas—telah ditolak mentah-mentah. Al-Hayya menyebut syarat yang diajukan Israel sebagai “tidak realistis” dan “mustahil untuk dipenuhi”. (jhn/yn)