Ketika Rusia Balik Serang Tiongkok: Persahabatan Ternyata Tak Gratis

EtIndonesia. Dalam episode terbaru dari geopolitik dan ekonomi global, Partai Komunis Tiongkok (PKT) kembali menjadi sorotan. Strategi diplomasi abu-abu yang dijalankannya—berusaha netral di hadapan dunia tetapi tetap mesra dengan Rusia—kini berujung petaka. Pada 18 April, Ukraina secara resmi menjatuhkan sanksi terhadap tiga perusahaan Tiongkok: Beijing Kongtian Xianghui Technology, Ruijin Machinery, dan Zhongfu Shenying Carbon Fiber Sydney Ltd. Tuduhannya: memasok perlengkapan militer ke Rusia.

Di tengah konflik tiga tahun antara Rusia dan Ukraina, PKT terus menjalin hubungan misterius tanpa batas dengan Moskow. Walau begitu, Tiongkok tetap ngotot menampilkan diri sebagai pihak netral dan membantah segala tuduhan keterlibatan. Maka tak heran jika Kementerian Luar Negeri Tiongkok langsung membantah tuduhan Ukraina sebagai tidak berdasar.

Namun, respons Ukraina ini hanyalah “gerimis” dibandingkan gempuran Rusia terhadap perusahaan otomotif Tiongkok. Media Rusia melaporkan penurunan tajam 32% dalam penjualan mobil Tiongkok di Rusia pada kuartal pertama 2025. Bahkan, 213 showroom mobil asal Tiongkok tutup, mewakili 78% dari total showroom yang gulung tikar di negeri itu.

Langkah Rusia mencakup penerapan pajak barang mewah, peningkatan biaya impor kendaraan, hingga larangan dan penarikan kembali kendaraan dengan alasan keamanan. Pangsa pasar mobil Tiongkok di Rusia yang sempat mencapai 68% pada akhir 2024, kini anjlok menjadi 49,6% per Maret 2025. Merek Geely menjadi korban paling parah dengan penjualan turun 67% di Maret dan 56% sepanjang kuartal pertama.

Padahal, saat pabrikan Barat mundur akibat perang Rusia-Ukraina, produsen mobil Tiongkok seperti Chery dan Great Wall membanjiri pasar Rusia, sempat membuat ekspor mobil Tiongkok ke Rusia meningkat 5 kali lipat pada 2023 hingga menembus 950.000 unit.

Namun dominasi itu justru menimbulkan kecurigaan Kremlin. Rusia kemudian melancarkan serangkaian kebijakan proteksionis, menekan kendaraan impor Tiongkok dengan berbagai cara, termasuk menyebut mobil Tiongkok sebagai “barang mewah” dan mengenakan pajak khusus.

Dari pengalaman ini, terlihat bahwa bahkan hubungan dekat pun punya batas. Rusia tak mau jadi “tong sampah” tempat Tiongkok membuang kelebihan produksi. Penetapan mobil Tiongkok sebagai barang mewah juga dinilai sebagai sindiran halus terhadap kualitas dan persepsi produk Tiongkok.

Wall Street Hampir Tersandung IPO Tiongkok

Kisah “hampir tergelincir” lainnya datang dari Wall Street. Dua raksasa keuangan, JPMorgan Chase dan Bank of America, tengah mengatur IPO besar untuk CATL (Contemporary Amperex Technology Ltd.)—pemasok baterai kendaraan listrik Tiongkok—di bursa saham Hong Kong. Ini disebut sebagai IPO terbesar di Hong Kong dalam empat tahun terakhir.

Namun tepat sebelum transaksi terjadi, Ketua Komite Khusus Tiongkok di DPR AS, John Moolenaar, mengirim surat peringatan. Dia menuntut kedua bank itu keluar dari kesepakatan karena CATL disebut terafiliasi dengan militer Tiongkok dan terkait pelanggaran HAM di Xinjiang. Jika diteruskan, keterlibatan mereka dianggap mendukung genosida dan mengancam keamanan nasional.

Meski tekanan tersebut belum berdampak langsung secara hukum—karena IPO berlangsung di Hong Kong—peringatan Kongres ini menjadi penanda seriusnya tren pemisahan finansial AS-Tiongkok.

Delisting Saham Tiongkok di AS: Sekadar Ancaman atau Kenyataan?

Situasi ini memperkuat kekhawatiran bahwa saham-saham Tiongkok (China Concept Stocks) akan didepak dari bursa AS. Menteri Keuangan AS pada 9 April menyatakan tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi, dan pada 10 April media AS melaporkan bahwa ketua SEC yang baru akan mempertimbangkan skenario ini secara serius.

Isu ini bukan hal baru. Tiga tahun lalu, saham Tiongkok terancam delisting karena masalah transparansi audit. Banyak perusahaan Tiongkok lalu menggelar dual-listing di Hong Kong sebagai langkah antisipasi. Kini, kekhawatiran itu kembali mencuat, bahkan lebih besar.

Terlebih, sejak awal 2000-an, perusahaan Tiongkok memanfaatkan gelombang globalisasi untuk masuk ke bursa AS dan menarik modal dari dana pensiun warga AS. Menurut Robert Robinson, mantan penasihat ekonomi Presiden Reagan, hingga 2019 PKT mungkin telah meraup sekitar 3 triliun dolar dari pasar modal AS.

Salah satu kasus mencolok adalah Luckin Coffee, yang terdaftar di Nasdaq pada 2019 tapi hanya dalam waktu satu tahun terlibat skandal keuangan besar. Bank-bank besar seperti Credit Suisse, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley disebut telah meraup jutaan dolar dari IPO ini.

Perang Teknologi dan Strategi Trump

Di akhir laporan, akun independen Zerohedge menyoroti kunjungan Goldman Sachs ke 19 perusahaan teknologi Tiongkok dalam waktu empat hari. Mereka mencakup sektor strategis seperti AI, semikonduktor, mobil terbang, fotonika, satelit, hingga kendaraan otonom.

Goldman menyimpulkan bahwa Tiongkok mengendalikan sebagian besar rantai pasok penting, dari bahan mentah hingga produksi, dalam sektor-sektor vital yang menyangkut pertahanan dan keamanan AS. Maka disimpulkan: Amerika harus memulangkan manufaktur dan rantai pasok strategis kembali ke tanah air.

Hal ini sejatinya sejalan dengan misi kebijakan Trump, yaitu mengembalikan dominasi manufaktur untuk memastikan supremasi teknologi AS di masa depan. Industrialisasi dan penguasaan teknologi adalah dua kaki penopang kekuatan nasional AS.

Pertanyaannya kini: apakah Wall Street bisa terus bersikap netral dan “bermain dua kaki” dalam tren pemisahan yang kian jelas ini? Apakah AS akan menutup mata demi keuntungan finansial, atau benar-benar memilih jalur tegas?

FOKUS DUNIA

NEWS