Lalu lintas pengunjung yang rendah dan peserta pameran yang membongkar stan lebih awal di pameran dagang Tiongkok mengungkap tekanan yang dialami eksportir dan lapangan kerja pabrik akibat tarif baru dari AS
Sean Tseng – The Epoch Times
EtIndonesia. Para petugas keamanan berkeliaran di aula Canton Trade Fair di Guangzhou minggu lalu, memperingatkan para pemilik stan agar tidak membongkar lebih awal. Namun banyak yang tetap melakukannya. Pada hari keempat, seluruh lorong sudah setengah gelap — pemandangan mencolok di sebuah acara yang selama ini dipuji sebagai etalase terbesar Tiongkok ke dunia.
Pameran ini adalah ajang dua tahunan utama Tiongkok untuk perdagangan luar negeri. Ketika lorong-lorongnya mulai kosong, kepercayaan terhadap mesin ekspor negara itu ikut menurun. Jumlah pengunjung yang lesu pada musim semi ini — dan larangan resmi dari panitia agar peserta tidak meninggalkan lokasi sebelum waktu pembongkaran resmi — menyoroti bagaimana tarif yang dipimpin AS dan pergeseran rantai pasok global mulai mencekik pabrik-pabrik Tiongkok.
Fase pertama pameran, yang berlangsung dari 15 hingga 19 April dan berfokus pada elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, pencahayaan, dan perangkat keras, dibuka dengan klaim optimistis dari para pejabat: Lebih dari 200.000 pembeli dari 215 negara telah mendaftar sebelumnya, termasuk peritel besar Barat seperti Walmart, Target, Carrefour, dan Adeo.
Namun, lalu lintas pengunjung di lapangan menceritakan kisah yang berbeda.
“Jumlah pengunjung jauh lebih sedikit dibanding musim gugur lalu,” kata seorang peserta pameran dalam video yang diperoleh The Epoch Times. Peserta lain mencatat bahwa “hampir tidak ada orang Eropa atau Amerika, kebanyakan pembeli dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.” Pada hari ketiga, banyak stan yang sudah tidak menerima kunjungan lagi.
Seorang penjual peralatan pencahayaan mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ia tidak mendapatkan satu pun orderan di pameran. Ia hanya bisa berharap beberapa buyer yang penasaran akan datang ke pabriknya nanti.
Veteran industri, Karen Huang, yang dulu bisa menjual sampel gadget senilai 300.000 yuan (sekitar USD 41.000) hanya dalam lima hari, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa perbedaannya sangat mencolok.
“Dulu dari pagi sampai malam kami tak pernah berhenti,” kenangnya tentang pameran-pameran sebelumnya. “Tahun ini, teman-teman bilang aula sudah kosong setelah makan siang.”
Pada hari pembukaan, panitia pameran mengeluarkan pengumuman resmi, memperingatkan rombongan agar tidak membongkar stan atau meninggalkan lokasi sebelum pukul 18.00 di hari terakhir (19 April), dengan alasan situasi perdagangan yang “parah dan kompleks.” Pelanggaran akan membuat grup kehilangan penghargaan tahunan dan diumumkan secara terbuka.
Namun aturan itu cepat dilonggarkan. Pada hari keempat, 18 April, peserta menerima pesan tidak resmi—yang telah diverifikasi oleh The Epoch Times—bahwa mereka bisa mulai membongkar pada siang hari jika aula tetap sepi.
“Dulu tidak pernah seperti ini,” kata Huang. “Mereka tahu pembeli dari Amerika tidak akan datang.”
Lorong-lorong yang kosong ini langsung berkaitan dengan putaran tarif terbaru antara AS dan Tiongkok. Awal bulan ini, Washington menaikkan tarif rata-rata pada impor Tiongkok menjadi 145 persen dan menutup celah pajak untuk paket kecil dari daratan Tiongkok dan Hong Kong. Beijing membalas dengan tarif 125 persen terhadap impor AS.
“Orderan menghilang dalam semalam,” kata Tuan Wu, yang kerabatnya di Jiangxi mengerjakan produk untuk eksportir. “Sejak pertengahan Maret, tidak ada pekerjaan,” katanya kepada The Epoch Times.
Menurut Huang, banyak pabrik bergantung pada pasar Amerika Serikat untuk 70 persen atau lebih dari penjualannya. PHK telah dimulai — 30 persen lebih dulu, lalu 50 persen — sementara para pemilik berharap ada keajaiban politik, yang tampaknya tidak mungkin terjadi.
Data AS menunjukkan bahwa impor dari Tiongkok mencapai USD 438,9 miliar pada 2024, didominasi oleh elektronik dan mesin — produk utama di pameran ini.
Sejak pandemi, para pembeli mulai mendiversifikasi sumber, beralih ke Vietnam, Thailand, dan negara lain. “Perusahaan Amerika belajar untuk berjaga-jaga,” kata Huang. “Tiongkok bukan satu-satunya pilihan lagi.”
Di masa jayanya, berbagai perusahaan berebut dan rela membayar mahal untuk mendapatkan tempat: Stan bekas bisa mencapai harga 300.000 yuan (sekitar USD 41.000), tempat strategis seluas sembilan meter persegi minimal 200.000 yuan (sekitar USD 27.000), dan merek-merek besar sering kali menyewa empat stan sekaligus, menghabiskan 200.000 yuan lagi untuk dekorasi khusus. Pemberian hadiah dan “uang hubungan” kepada panitia adalah hal biasa, kata Huang.
Kini, banyak perusahaan memilih tinggal di rumah. Selama pandemi, pameran dilakukan secara daring dan gratis; beberapa sesi terakhir bahkan menawarkan diskon atau membebaskan biaya bagi wilayah miskin, tambahnya.
“Setiap yuan sangat berarti,” kata Huang. “Terbang ke luar negeri untuk mengejar klien tidak masuk akal kalau mereka sendiri belum yakin.”
Kementerian Perdagangan Tiongkok mendorong para peritel dan raksasa e-commerce untuk membeli stok ekspor yang tak terjual untuk pasar domestik. JD.com saja menjanjikan pembelian setidaknya 200 miliar yuan selama setahun ke depan.
Namun Huang ragu. “Pasar dalam negeri sudah jenuh. Menambahkan stok ekspor hanya memperburuk krisis lapangan kerja.”
Dengan menurunnya permintaan dari AS dan minimnya pembeli dari Barat, para peserta mulai bertanya-tanya apakah masa keemasan Canton Trade Fair telah berlalu. Permintaan panitia—tolong jangan pergi lebih awal—mungkin menjadi tanda paling jelas betapa sulitnya masa-masa itu untuk kembali. (asr)
Sumber : Theepochtimes.com