EtIndonesia. Pada malam 14 April, sepasang suami istri berkewarganegaraan Tiongkok tewas tertembak dari jarak dekat di jalanan Roma. Menurut penilaian awal kejaksaan, tragedi berdarah ini kemungkinan besar berkaitan dengan perebutan kekuasaan logistik di kalangan pelaku industri tekstil Tionghoa yang beroperasi di Italia. Seiring berkembangnya kasus, dugaan mengenai keterlibatan triad Tiongkok (mafia Tionghoa) dan perluasan pengaruh Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Eropa kembali mencuat ke permukaan.
Mengutip laporan CNN, polisi Italia mengonfirmasi bahwa pasangan warga negara Tiongkok itu menjadi korban penembakan brutal di jantung ibu kota. Motif awal mengarah pada konflik internal jaringan bisnis Tionghoa di industri tekstil, khususnya dalam penguasaan jalur distribusi dan logistik lokal.
Media Italia menyoroti wilayah Prato, yang terletak di kawasan Tuscany, sebagai pusat industri tekstil Tionghoa. Kejaksaan setempat mengungkap bahwa untuk merebut dominasi distribusi, kelompok mafia berlatar belakang Tiongkok telah memicu apa yang disebut sebagai “perang gantungan baju”—dengan metode kekerasan yang kejam dan menakutkan.
Prato: Dari Jantung Mode ke Sarang Industri Bayangan
Prato dulunya adalah kota terbesar ketiga di Italia tengah dan terkenal karena kualitas tinggi produksi tekstilnya. Namun sejak memasuki abad ke-21, dan seiring dorongan strategi “Go Global” oleh Pemerintah Tiongkok, wajah Prato perlahan berubah. Para pengrajin lokal Italia mulai tergantikan oleh para imigran asal Tiongkok, khususnya dari wilayah Wenzhou.
Mengandalkan sistem produksi bergaya “Made in China” dan memanfaatkan jaringan tenaga kerja murah dan abu-abu, para pengusaha Tiongkok ini dengan cepat membangun sistem ekonomi tertutup ala Tiongkok di jantung Italia.
Mereka menyewa pabrik tua yang terbengkalai, mengimpor bahan baku murah dari Tiongkok, dan menempelkan label “Made in Italy” pada produk-produk tersebut sebelum didistribusikan ke seluruh pasar Eropa. Meskipun model bisnis ini terbukti efisien dan cepat, dia juga membawa berbagai masalah serius: tenaga kerja ilegal, penghindaran pajak, polusi lingkungan, dan persaingan bisnis yang tidak sehat.
Ketua asosiasi pengusaha Prato mengakui bahwa sejak Tiongkok bergabung ke WTO pada 2001, nasib para pengrajin lokal seperti “diketuk lonceng kematiannya”. PKT, menurutnya, memanfaatkan kelengahan dan krisis ekonomi lokal untuk masuk dan mengubah lanskap industri Prato secara menyeluruh.

“Dua Dunia” dalam Satu Kota
Laporan dari Deutsche Welle menyebut Prato kini bak dua kota dalam satu ruang: di satu sisi, sisa-sisa industri tradisional yang tengah sekarat; di sisi lain, sistem produksi Tiongkok yang beroperasi cepat dan hampir tertutup dari interaksi luar.
Data resmi menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga warga Tiongkok di Prato adalah imigran ilegal, dan 90% dari pabrik tekstil Tiongkok melanggar satu atau lebih aturan hukum. Insiden tragis pada 2013, di mana kebakaran di sebuah pabrik milik warga Tiongkok menewaskan 7 orang, menjadi bukti nyata buruknya kondisi kerja dan keselamatan.
Para pekerja bekerja 12–16 jam sehari, tinggal di bilik-bilik sempit yang dibuat dari kardus di dalam pabrik, dan bergantung sepenuhnya pada penyediaan makanan, tempat tinggal, hingga izin tinggal dari majikan. Praktik ini menciptakan bentuk baru dari perbudakan ekonomi.
Lebih dari 60% pabrik hanya beroperasi dua tahun sebelum berganti nama dan “lahir kembali”, sebagai cara untuk menghindari pajak dan inspeksi hukum.

Dior & Skandal Buruh Ilegal
Pada tahun 2024, polisi Italia juga mengungkap fakta mengejutkan: merek mewah global seperti Dior diketahui mengalihdayakan sebagian proses produksinya ke kontraktor asal Tiongkok yang beroperasi di Italia. Kontraktor ini terbukti mempekerjakan buruh ilegal dan melanggar aturan ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan. Temuan ini mengejutkan opini publik internasional dan mendorong Uni Eropa untuk mempertimbangkan ulang aturan label “Made in Italy”.
Prato—kota bersejarah dari abad pertengahan—kini berubah menjadi “ibu kota pakaian murah”, ditekan oleh gelombang modal Tiongkok dan pabrik-pabrik abu-abu. Banyak warga Italia merasa kalah di tanah sendiri, namun di sisi lain, sebagian imigran Tiongkok membela diri:
“Kalian sendiri yang tak mau mengerjakan pekerjaan ini. Kami hanya mengisi kekosongan.”

Antara Ketegangan dan Upaya Damai
Walau ketegangan terus terjadi, beberapa pelaku usaha Italia dan Tiongkok tetap mencoba membangun kerja sama lintas budaya, menjembatani kesenjangan bahasa, sistem hukum, dan nilai-nilai. Namun dalam konteks ekspansi sistem kontrol ala PKT, masa depan Prato tetap diliputi ketidakpastian.
Tragedi berdarah yang terjadi di Roma mungkin hanya puncak dari gunung es — pertanda dari konflik yang lebih besar dan senyap antara dua sistem ekonomi, dua cara hidup, dan dua narasi tentang siapa yang mengendalikan masa depan industri Eropa.(jhn/yn)