Mengapa Trump Memilih Inggris Sebagai Negara Pertama yang Mencapai Kesepakatan Perjanjian Tarif?

oleh Wang He

Pada 8 Mei, Presiden Trump dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan bahwa AS dan Inggris telah mencapai kesepakatan perdagangan baru, yang oleh Trump disebut sebagai “terobosan”, yang bertujuan untuk mengurangi tarif pada beberapa komoditas dan lebih jauh memperluas akses pasar untuk produk dari kedua negara. Rincian akhir yang tercakup dalam negosiasi ini akan diumumkan dalam beberapa minggu mendatang. “Ini benar-benar hari yang fantastis dan bersejarah,” ujar Keir Starmer.

Banyak negara yang mengantri untuk bernegosiasi tarif dengan Amerika Serikat, seperti Israel, India, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain, dan mereka telah membuat kemajuan besar, semua ingin menjadi yang pertama menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat (yang dapat membawa banyak manfaat). Mengapa Trump memilih Inggris sebagai negara pertama untuk menandatangani kesepakatan terobosan tersebut? Penulis yakin bahwa selain terkait signifikansi ekonomi (Amerika Serikat akan memperoleh USD.6 miliar dalam pendapatan eksternal dan USD.5 miliar dalam peluang ekspor baru dari perjanjian perdagangan dengan Inggris), Trump setidaknya masih memiliki 3 tujuan lainnya.

Pertama, Tidak lama setelah pemerintahan Trump 2.0 berkuasa, AS berhasil membuat serangkaian langkah besar yang mengguncang dunia. Meskipun ada beberapa orang yang beranggapan bahwa pemerintahan Trump 2.0 tidak lagi dapat dipercaya, lantaran ia lebih memilih untuk mengabaikan hubungan historis antara sekutu Barat. Tetapi pilihan Trump untuk menjadikan Inggris sebagai negara pertama yang menandatangani kesepakatan perdagangan baru dengan AS, merupakan deklarasi untuk meyakinkan sekutu Barat bahwa AS yang dipimpinnya masih menghormati tradisi diplomatik. Hal ini jelas terlihat dari unggahan Trump berikut: “Perjanjian dengan Inggris Raya bersifat lengkap dan menyeluruh serta akan memperkuat hubungan antara Amerika Serikat dan Inggris Raya untuk tahun-tahun mendatang. Mengingat sejarah dan aliansi kita yang panjang, merupakan suatu kehormatan besar bagi kami bahwa Inggris Raya merupakan negara pertama yang menandatangani kesepakatan perdagangan baru dengan Amerika Serikat.”

Hubungan khusus antara Inggris dan Amerika Serikat penting bagi kedua negara tersebut. Inggris, yang dulunya merupakan “Kekaisaran yang Mataharinya Tidak Pernah Terbenam”, saat ini hanya menduduki peringkat keenam dalam perekonomian dunia (total PDB tahun 2024 sekitar USD.3,58 triliun, dan PDB per kapita adalah USD.52.400,-). PDB Inggris  setara dengan 12% dari PDB Amerika Serikat, dan 19% dari PDB PKT. Tetapi Inggris masih memiliki pengaruh yang luas dan merupakan penasihat bagi dunia Barat. 

Meskipun kadang-kadang terjadi perselisihan antara Amerika Serikat dan Inggris, namun Inggris tetap merupakan sekutu nomor satu Amerika Serikat. Perang tarif Trump kali ini sengit, tetapi ia memberi Inggris keringanan. Pada 2 April, pemerintahan Trump memberlakuan tarif timbal balik pada banyak negara, tetapi Inggris merupakan pengecualian, karena ia hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10%. Dari perspektif ini, masuk akal jika Trump memilih Inggris sebagai negara pertama yang menandatangani kesepakatan perdagangan baru dengan AS.

Kedua, kesepakatan tersebut juga terkait dengan “Adanya niat lain yang tersembunyi di balik permukaan”, yakni mengekang ekspansi PKT.

Di satu sisi, bertujuan untuk memberi tekanan langsung kepada PKT yang berlagak tangguh dengan memperlihatkan bahwa AS berhasil mencapai kesepakatan dengan Inggris dalam waktu kurang dari sebulan penerapan tarif baru. Dan masih terdapat lebih dari 10 negara yang mengantri untuk menandatangani kesepakatan dengan AS. Jika PKT tetap bersikap tangguh dan enggan melakukan konsesi, maka AS akan membuat PKT terisolasi dari masyarakat internasional.

Di sisi lain, tujuannya adalah untuk lebih menarik kedekatan pemerintahan Starmer Inggris dengan pemerintahan Trump. Pada Juli tahun lalu, Partai Buruh Inggris kembali berkuasa setelah 14 tahun absen. Pemerintahan Starmer mengadopsi apa yang disebut diplomasi “realisme progresif” dan menerapkan kebijakan “re-angage” (keterlibatan kembali) terhadap PKT. Ia mengutus Menteri Luar Negeri Inggris dan Menteri Keuangan Inggris untuk mengunjungi Beijing guna memulai kembali Dialog Ekonomi dan Keuangan Tiongkok-Inggris yang telah terputus selama 6 tahun. 

Pada  Februari tahun ini, Menteri Luar Negeri PKT mengunjungi Inggris lagi setelah selang 10 tahun, memulai kembali Dialog Strategis PKT-Inggris yang telah ditangguhkan selama 7 tahun. Pada April, Sekretaris Perdagangan Inggris dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Inggris mengunjungi Beijing. Dalam sebuah wawancara pada April tahun ini, Menteri Keuangan Rachel Jane Reeves bahkan mengatakan bahwa akan sangat bodoh untuk mengurangi hubungan dengan PKT demi menyenangkan Trump. Ia juga mengatakan bahwa meskipun ada kekhawatiran tentang spionase, dia akan tetap senang mengendarai mobil listrik buatan Tiongkok. Perdana Menteri Starmer juga berencana untuk mengunjungi Tiongkok pada akhir tahun ini dalam upaya untuk memecahkan kebuntuan dalam hubungan Inggris-PKT, dan sebagainya.

Pemerintahan Trump tetap memberikan kewaspadaan tinggi terhadap sikap Inggris yang “menampilkan pertunjukan jultagi” antara AS dan PKT. Misalnya, pada 3 Mei, Peter Navarro, penasihat senior Trump untuk perdagangan dan manufaktur, saat berwawancara dengan reporter surat kabar Inggris Daily Telegraph secara terus terang mengatakan: Inggris adalah “pelayan yang patuh” dari PKT dan kurang waspada terhadap apa yang disebut “hadiah bersyarat” yang diberikan oleh PKT. 

“Jika PKT, vampir ini, tidak bisa menghisap darah Amerika Serikat, ia akan menghisap darah Inggris dan Uni Eropa.” “Ini adalah momen yang sangat berbahaya dalam hal ketergantungan ekonomi dunia terhadap PKT,” kata Peter Navarro.

Karena tekanan dan arahan strategis dari Amerika Serikat, pemerintahan Starmer kembali menyesuaikan sikap kebijakannya terhadap PKT. Saat itu, Menteri Keuangan Inggris, Rachel Jane Reeves yang tengah berupaya memperbaiki hubungan dengan PKT, selama negosiasi di Washington, telah mengubah sikap dan menunjukkan keinginannya untuk secara aktif bekerja sama dengan Amerika Serikat. Hal ini pula yang menjadi pendorong bagi AS dan Inggris untuk mencapai kesepakatan dalam negosiasi tarif.

Ketiga, memilih Inggris sebagai negara pertama untuk menandatangani kesepakatan juga dapat membantu negosiasi antara Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Dalam masa pemerintahan Trump 1.0 hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah tampak ada ketegangan. Oleh karena itu, meskipun ada gesekan dengan Amerika Serikat, Uni Eropa yang di bawah kepemimpinan Angela Merkel saat itu, pada tahun 2020 tetap menandatangani Perjanjian Investasi Komprehensif PKT-Uni Eropa, yang telah lama diimpi-impikan oleh PKT. 

Pemerintahan Trump saat ini juga tidak lagi ramah terhadap Uni Eropa. Mediasi Trump dalam perang Rusia-Ukraina menyingkirkan Uni Eropa. Bulan Februari tahun ini JD Vance mengkritik Uni Eropa pada Konferensi Munich. Trump menuntut negara-negara NATO untuk meningkatkan anggaran belanja pertahanan mereka sebagai persentase PDB dari 2% (target yang baru saja tercapai pada tahun 2024) menjadi 3,5%. Trump berencana untuk mengenakan tarif timbal balik sebesar 20% terhadap Uni Eropa, dan seterusnya. Semua ini membuat Uni Eropa sangat kesal. 

Mengenai tarif, Uni Eropa telah memperingatkan bahwa jika negosiasi dengan AS gagal, maka Uni Eropa akan mengenakan tarif pada produk-produk AS senilai EUR.95 miliar, termasuk mobil, pesawat terbang, bahan kimia, peralatan elektronik, dan alkohol. Uni Eropa juga mengatakan akan mengajukan protes kepada Organisasi Perdagangan Dunia terhadap tarif AS. 

Selain itu, Partai Komunis Tiongkok berupaya memanfaatkan setiap peluang untuk menciptakan perpecahan antara Amerika Serikat dan Eropa, dan juga menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Uni Eropa.

Inggris pada awalnya merupakan salah satu dari “Troika” Uni Eropa, bahkan setelah Brexit, Inggris masih memiliki hubungan dekat dengan Uni Eropa. Pemerintahan Starmer juga ingin memulihkan hubungan ekonomi dan militer dengan Uni Eropa. Kini setelah AS dan Inggris mencapai kesepakatan mengenai tarif, pemerintahan Starmer dapat maju dan membantu AS melakukan tugas Uni Eropa.

Singkatnya, Merupakan suatu kemenangan besar bagi Donald Trump yang mampu mencapai kesepakatan dengan Inggris Raya hanya dalam waktu satu bulan setelah perang tarif berkobar. Kesepakatan tersebut selain dapat dijadikan sebagai “denah alur negosiasi tarif” bagi negara lain untuk bersepakat dengan Amerika Serikat, tetapi juga memiliki implikasi politik yang lebih besar. 

Meski PKT dapat melihat “denah” tersebut, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Hal ini telah menambah tekanan lebih besar terhadap rezim Beijing yang mulai menunjukkan hasratnya untuk bernegosiasi tarif dengan AS. (***)

FOKUS DUNIA

NEWS