EtIndonesia. Belt and Road Inisiatif (BRI) yang diluncurkan oleh Tiongkok telah berjalan lebih dari satu dekade. Baru-baru ini, Presiden Tiongkok, Xi Jinping menyatakan bahwa, “Menganggap pembangunan negara lain sebagai ancaman dan melihat ketergantungan ekonomi sebagai risiko tidak akan membuat suatu negara menjadi lebih baik atau berkembang lebih cepat.” Namun, sejumlah media internasional justru menilai bahwa Tiongkok belum benar-benar mewujudkan prinsip “keuntungan bersama dan saling menguntungkan” sebagaimana yang diklaim. Sebaliknya, mereka mengkritik Tiongkok karena telah menjebak banyak negara dengan ekonomi lemah dalam beban utang besar—disebut sebagai praktik “diplomasi perangkap utang”.
Proyek Bernilai Triliunan Dolar, Tapi Tidak Simetris
Menurut data yang dihimpun, total kontrak konstruksi dan investasi non-keuangan yang dilakukan Tiongkok dalam kerangka BRI telah melampaui 1,175 triliun dolar AS. Media asing mencatat bahwa hubungan dalam proyek BRI tidak bersifat setara atau simetris, melainkan sangat bergantung pada ekspor modal besar-besaran dari Tiongkok ke negara-negara penerima.
Sebuah analisis dari Lowy Institute, lembaga kajian strategis asal Australia, memperkirakan bahwa hingga tahun 2025, negara-negara berkembang akan menghadapi kewajiban pembayaran utang ke Tiongkok sebesar 35 miliar dolar AS. Yang mencemaskan, lebih dari 60% dari jumlah tersebut—sekitar 22 miliar dolar AS—ditanggung oleh 75 negara termiskin dan paling rentan di dunia. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin mempersempit anggaran penting seperti sektor kesehatan dan pendidikan di negara-negara tersebut.
Proyek “Kecil Namun Indah”: Strategi Baru, Tapi Tantangan Tetap Ada
Laporan The Indian Express menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, strategi BRI mulai bergeser dari proyek-proyek raksasa ke pendekatan yang lebih terkonsentrasi pada proyek “kecil namun indah” (small but beautiful). Pergeseran ini mencerminkan keprihatinan Beijing atas meningkatnya tekanan internasional, lambatnya progres di lapangan, serta naiknya risiko kredit dan pinjaman. Xi Jinping sendiri telah beberapa kali mengakui tantangan-tantangan tersebut dalam berbagai pernyataannya sejak tahun 2023.
Contoh Kasus: Pakistan dan Sri Lanka
Pakistan: Investasi Besar, Hasil Minim
Pakistan merupakan salah satu negara yang utangnya paling banyak berasal dari Tiongkok. Dalam proyek unggulan BRI bernama Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC), Tiongkok menjanjikan total investasi sebesar 62 miliar dolar AS. Namun hingga kini, hanya sekitar 26,6 miliar dolar AS yang telah terealisasi.
Sayangnya, proyek ini belum mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan. Para pengamat menilai bahwa hambatan utama berasal dari ketidakstabilan politik, krisis energi, serta korupsi sistemik di dalam negeri Pakistan.
Sri Lanka: Proyek Mangkrak dan Krisis Utang
Kasus serupa terjadi di Sri Lanka, terutama terkait proyek pelabuhan Hambantota, yang saat ini dikelola oleh China Merchants Port Holdings. Meski secara strategis dianggap sebagai “pijakan Tiongkok” di Samudra Hindia, proyek inti berupa pembangunan kilang minyak yang direncanakan sejak 2019 belum menunjukkan perkembangan berarti.
Sri Lanka kini sedang mengalami krisis ekonomi yang parah, dan sekitar 10% dari total utang luar negerinya berasal dari Tiongkok. Akibat beban tersebut, proyek kilang minyak telah berulang kali dihentikan sejak 2020.
Investasi Tiongkok Terus Berlanjut Meski Dihantam Kritik
Walau menghadapi berbagai tantangan dan kritik internasional, investasi Tiongkok dalam kerangka BRI tetap berjalan. Kementerian Perdagangan Tiongkok mengumumkan bahwa pada kuartal pertama tahun 2024 saja, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah mengucurkan investasi langsung non-keuangan senilai 63,63 miliar yuan ke negara-negara sepanjang jalur BRI—angka ini mencatat kenaikan tahunan sebesar 16,8%. Selain itu, nilai kontrak proyek pembangunan yang ditandatangani pada periode yang sama mencapai 338,27 miliar yuan.
Risiko Jangka Panjang bagi Negara Ekonomi Lemah
Meskipun sejumlah negara dengan struktur ekonomi yang lebih kuat mungkin masih bisa mendapatkan manfaat dari proyek BRI, laporan tersebut memperingatkan bahwa bagi negara-negara di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika, ketergantungan utang terhadap Tiongkok bisa membawa risiko jangka panjang yang serius.
Sebagian besar negara tersebut memiliki institusi internal yang lemah, sistem pemerintahan yang rentan, serta daya tahan fiskal yang terbatas, sehingga tidak mampu menyerap guncangan ekonomi besar jika proyek BRI tidak berjalan sesuai harapan.
Kesimpulan
Inisiatif Belt and Road yang digadang sebagai proyek kerja sama global justru semakin dicurigai sebagai alat ekspansi ekonomi dan geopolitik Beijing. Di balik slogan “saling menguntungkan”, tersembunyi pola ketergantungan finansial yang dalam jangka panjang bisa menjebak banyak negara berkembang dalam krisis utang dan keterikatan strategis. Dunia internasional kini terus menyoroti bukan hanya manfaat, tetapi juga dampak laten dari investasi besar-besaran Tiongkok, terutama terhadap kedaulatan ekonomi dan stabilitas sosial negara penerima.(jhn/yn)