EtIndonesia. Konon, saat menciptakan manusia, para dewa memberikan setiap makhluk hidup sepasang mata biasa, serta satu “mata ketiga” yang tersembunyi di antara kedua alis—tepat di dalam batok kepala. Dua mata biasa melihat dunia nyata, sementara mata ketiga—dikenal sebagai Tianmu—bisa melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata manusia.
Mata ketiga ini diberikan agar manusia tak tersesat mengejar ketenaran dan kekayaan, karena dia memungkinkan pemiliknya melihat kebenaran yang melampaui dunia fisik dan memberikan peringatan saat manusia akan berbuat salah demi kepentingan pribadi. Dengan kata lain, setiap orang sejatinya lahir dengan kemampuan spiritual ini.
Namun, seiring berjalannya waktu dan berulang kali terlahir kembali, manusia menumpuk “materi hitam” atau karma buruk akibat perbuatan salah mereka. Lama-kelamaan, kemampuan spiritual ini pun memudar. Hanya mereka yang tidak banyak melakukan kesalahan atau memiliki jiwa yang bersih sejak lahir, yang masih memiliki mata ketiga yang terbuka sebagian atau sepenuhnya—sehingga mereka dapat melihat hal-hal yang tak kasat mata.
Kisah seperti ini tak hanya terdengar di satu wilayah—fenomena mata ketiga atau penglihatan batin telah dilaporkan di banyak tempat di dunia.
Tragedi Seorang Gadis Bermata Ketiga di Zaman Meiji, Jepang
Pada era Meiji di Jepang, kisah nyata tentang seorang gadis bernama Mifune Chizuko menjadi sorotan publik. Gadis ini akhirnya harus menanggung takdir yang tragis karena memiliki kemampuan melihat dunia yang tak terlihat.
Mifune Chizuko lahir pada 17 Juli 1886 di Prefektur Kumamoto, Jepang, dalam keluarga seorang tabib. Di usia muda, dia menikah dengan seorang perwira muda Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Namun tak lama setelah menikah, sang suami dikirim ke medan perang. Chizuko pun tinggal bersama mertua.
Suatu hari, sang ayah mertua kehilangan 50 yen dari dompetnya. Setelah merenung sejenak, Chizuko memberitahu bahwa uang itu tersimpan di salah satu laci. Mereka pun mencari di tempat yang dia sebut, dan benar—uang itu ditemukan.
Akan tetapi, bukannya berterima kasih, ibu mertuanya justru curiga bahwa Chizuko adalah pencurinya, karena seolah terlalu tahu tempat persembunyian uang. Dia lalu menghubungi putranya yang berada di medan perang, dan hasilnya: Chizuko diceraikan.
Ketenaran yang Berujung Duka
Setelah bercerai, Chizuko kembali ke rumah orangtuanya dan bekerja membantu ayahnya di toko obat tradisional. Berkat kemampuan batinnya—mata ketiga yang terbuka—Chizuko mampu mendiagnosis penyakit pasien dengan sangat akurat. Bisnis keluarga pun semakin berkembang pesat.
Kakak iparnya, Kiyohara Takeo, kemudian mengajarinya teknik hipnosis dan pernapasan dalam untuk lebih mengembangkan potensinya. Di bawah pengaruh hipnosis, kemampuan Chizuko semakin tajam—dia bahkan bisa melihat keberadaan dunia lain dengan jelas.
Suatu hari, seorang pengusaha tambang kaya meminta bantuan Chizuko untuk mencari lokasi batu bara. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam bersama tim penambang, Chizuko menunjukkan lokasi yang diprediksi. Hasilnya mencengangkan: area itu ternyata benar-benar kaya akan batu bara.Dia pun diberi imbalan dalam jumlah fantastis.
Berita ini mengejutkan Jepang. Media nasional memberitakannya secara luas, dan Chizuko pun mendadak terkenal. Namun, kejadian ini juga menimbulkan masalah dalam keluarganya. Kakak iparnya merasa dirinya layak mendapat bagian besar dari uang itu karena telah “melatih” Chizuko. Terjadilah konflik internal, pertengkaran yang membuat Chizuko semakin tertekan secara emosional.
Ketika Sains Menolak Kenyataan
Pada tahun 1910, dr. Yamakawa Kenjiro—mantan rektor Universitas Kekaisaran Tokyo—mengundang Chizuko ke ibu kota untuk mengadakan eksperimen ilmiah guna membuktikan kemampuan luar biasanya. Nama Chizuko saat itu sudah tersebar ke seluruh Jepang. Banyak orang datang padanya, meminta bantuan untuk menemukan barang hilang, memprediksi keberuntungan, dan sebagainya.
Uji coba dilakukan sebanyak dua kali. Dalam suasana yang hening, Chizuko menenangkan diri, lalu dengan tepat menuliskan isi dari kertas yang disegel rapat dalam tabung logam. Para ilmuwan Jepang menyaksikan sendiri keakuratannya.
Namun, meskipun mereka melihat dengan mata kepala sendiri kemampuan luar biasa Chizuko, sebagian besar ilmuwan yang berhaluan materialistik tetap menolak untuk mengakui kebenarannya. Karena takut kehilangan kredibilitas dan tak mampu menjelaskan fenomena itu secara ilmiah, mereka akhirnya menyatakan bahwa kemampuan Chizuko adalah kebohongan. Media nasional lalu menurunkan berita sesuai dengan pernyataan para ilmuwan: “kemampuan Chizuko palsu.”
Penderitaan yang Tak Terbendung
Setelah eksperimen itu, Chizuko kembali ke kampung halamannya. Tapi reputasinya telah hancur. Media telah menyebarkan stigma, dan masyarakat mulai mencemoohnya. Dia dicap sebagai penipu, dibicarakan ke sana ke mari, dicibir oleh orang-orang yang dulu mengaguminya.
Dalam tekanan sosial yang luar biasa berat, ditambah kekecewaan dari keluarga dan pengkhianatan dunia ilmiah yang tidak adil, Chizuko akhirnya tidak mampu menanggung beban itu lebih lama.
Pada 18 Januari 1911, di usia baru 24 tahun, Chizuko Mifune bunuh diri dengan menenggak racun, mengakhiri hidup yang penuh kesakitan dan ketidakadilan.
Refleksi: Ketika Dunia Menolak yang Tak Terlihat
Kisah Chizuko adalah potret nyata betapa dunia sering kali menolak hal-hal yang tak dapat dijelaskan secara logika. Padahal, mungkin yang dibutuhkan hanyalah hati yang terbuka dan keberanian untuk menerima kenyataan bahwa tak semua kebenaran bisa diukur dengan rumus dan angka.
Mata ketiga, atau kemampuan spiritual, bukanlah kutukan. Namun dalam dunia yang terlalu kaku dan skeptis, keistimewaan bisa berubah menjadi beban.
Dan dalam kasus Mifune Chizuko, beban itu terlalu berat untuk ditanggung seorang gadis muda.(jhn/yn)