Ketika Nama Xi Jinping Menghilang dari Media: Sandi Suksesi dan Kudeta Halus di Tubuh PKT

EtIndonesia. Tradisi politik yang sudah mengakar kuat di Tiongkok akhirnya goyah di tahun ini. Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, perayaan Hari Anak pada 1 Juni — yang biasanya menjadi panggung wajib bagi Xi Jinping untuk membangun citra “Bapak Bangsa” di hadapan jutaan rakyat — berlangsung tanpa kehadiran sosok sang pemimpin. Tiada kunjungan ke sekolah, tiada gestur mengusap kepala anak-anak, bahkan sekadar video ucapan atau tanda tangan pada scarf merah anak-anak pun absen total. Semua ritual propaganda yang selama ini menjadi andalan Partai Komunis Tiongkok (PKT) seolah “lenyap dari sejarah”.

Yang tersisa hanyalah sebuah surat ucapan selamat yang kering dan datar, tanpa sentuhan personal. Saking minimnya materi baru, media resmi seperti CCTV dan Xinhua pun terpaksa memutar ulang rekaman lawas, seperti membuat memorial bagi tokoh masa lalu. Seolah-olah, dalam kalender politik 2025, Xi Jinping benar-benar dihapus dari narasi Hari Anak.

Dalam sistem propaganda PKT yang sangat kaku dan penuh perhitungan, absennya seluruh rangkaian ini tentu bukan sekadar kelalaian teknis. Justru, ini menjadi alarm keras akan adanya turbulensi besar di pusat kekuasaan Tiongkok.

Cai Qi, Scarf Merah, dan “Bapak Presiden Sakit”

Situasi makin memanas pada 27 Mei lalu, ketika Cai Qi — anggota Politbiro sekaligus loyalis dan “tangan kanan” Xi Jinping — tiba-tiba tampil ke depan, membawa scarf merah dan hadir dalam acara anak-anak, mewakili “pimpinan pusat partai”. Dalam pidatonya, secara terbuka dia menyampaikan bahwa “Bapak Presiden baru-baru ini sakit, hanya perlu istirahat”. Namun, pertanyaan besar pun muncul: siapa yang sebenarnya bertanya soal itu? Mengapa harus buru-buru membantah rumor di ruang publik? Semakin ingin menutup-nutupi, justru semakin besar rasa penasaran masyarakat: ada apa dengan Xi Jinping?

Atmosfer politik ibu kota pun semakin tegang, terlebih setelah para pejabat provinsi berbondong-bondong kembali ke Beijing. Sementara itu, scarf merah — simbol khas generasi penerus — tidak lagi tampak di dada “inti” kekuasaan.

Xinhua: “Siap Mengambil Alih”—Sandi Suksesi yang Tak Lagi Terselubung

Tepat di tengah keanehan ini, Xinhua News Agency menerbitkan tajuk utama dengan judul mencolok: “Harus Selalu Siap untuk Mengambil Alih Kepemimpinan di Masa Depan”. Headline itu tanpa subjek dan objek — hanya kata “mengambil alih” yang begitu gamblang, tanpa tedeng aling-aling. Di sistem media PKT yang serba penuh sensor dan pengawasan, judul seperti ini jelas bukan iseng, melainkan sandi keras bahwa “pergantian pemimpin” memang sedang dipersiapkan.

Sejumlah pengamat menilai, Xinhua sudah membaca arah angin sejak kasus hilangnya Fu Hua, mantan Pemimpin Redaksi People’s Daily dan “penyambung lidah nomor satu” Xi Jinping. Fu Hua kini lenyap tanpa jejak dari jajaran inti media, diduga terdepak akibat loyalitas “berlebihan” pada Xi — sebuah sinyal keras bagi seluruh birokrasi propaganda: “Era baru segera dimulai, cari pijakan baru sebelum terlambat!”

Headline “mengambil alih” dalam pemberitaan Hari Anak sejatinya adalah bunyi gong dari Xinhua: “Kami tahu dia akan mundur. Semua orang, siap-siap saja!”

PLA Daily: Loyalitas Berpindah dari Pribadi ke Partai

Kejutan berikutnya datang dari Harian Tentara Pembebasan (PLA Daily) pada hari yang sama. Dalam editorial penting berjudul “Pertajam Loyalitas Revolusioner Prajurit”, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, nama Xi Jinping tidak disebutkan sama sekali. Jika biasanya editorial PLA Daily dipenuhi ungkapan seperti “Patuh sepenuhnya pada perintah Ketua Xi”, kali ini mereka hanya menulis “Loyal pada Partai”, “Mendengarkan perintah Partai”, dan “Menjaga disiplin ketat”.

Pergantian diksi ini tidak bisa dipandang enteng. Bagi sistem PKT, ini pertanda bahwa loyalitas militer telah beralih dari kultus individu kembali ke kepemimpinan kolektif partai. Ini pula sinyal bahwa militer — pilar utama kekuasaan di Tiongkok — tidak lagi 100% berada di bawah komando pribadi Xi. Pengalaman pahit Hu Yaobang dan Zhao Ziyang di masa lalu menjadi pengingat: jika militer sudah tidak lagi memihak, maka tak lama lagi, sang pemimpin tinggal menunggu waktu untuk “masuk museum sejarah”.

Editorial tersebut adalah deklarasi terbuka: “Era baru, pemimpin baru!” Fase transisi ini bukan lagi rumor di balik layar, tapi sudah mulai diwartakan secara gamblang.

Roket Karier Lu Dongliang: Sandi Pengangkatan Darurat untuk Suksesi

Pergeseran besar juga tampak pada struktur birokrasi. Pada 30 Mei, Komite Provinsi Shanxi mengumumkan penunjukan mendadak: Lu Dongliang diangkat menjadi Wakil Sekretaris Komite Provinsi, membawahi bidang keuangan, keamanan, dan integrasi sipil-militer — tiga sektor strategis. Lonjakan karier Lu begitu luar biasa: dari Wakil Gubernur ke Wakil Sekretaris hanya dalam lima bulan, tanpa “masa magang” bertele-tele.

Lebih dari sekadar promosi, jabatan yang dipegang Lu Dongliang adalah “kursi kendali” ekonomi dan keamanan: dari Komisi Pembangunan dan Reformasi, Dinas Keuangan, hingga penanganan krisis dan integrasi militer-sipil. Menurut tradisi PKT, ini adalah langkah “pengangkatan darurat” — sandi bahwa faksi baru tengah menyiapkan suksesi nyata.

Profil Lu Dongliang pun menarik: dia bukan berasal dari “kelompok Xi”, melainkan birokrat ekonomi-teknologi, jebolan reformis, dan dianggap representasi “arus teknologi baru”. Penempatan Lu Dongliang di Shanxi — wilayah yang secara historis kerap jadi laboratorium reformasi PKT — adalah ujian untuk format suksesi di era pasca-Xi.

Manuver di Sektor Keuangan: Kembalinya Orang Wang Qishan

Pergantian besar juga terjadi di pusat keuangan negara. Pada hari yang sama, Zhang Xiaodong ditunjuk sebagai Wakil Sekretaris Partai di Bank Pembangunan Pertanian Tiongkok (ADBC), salah satu “tombak fiskal” utama Tiongkok. Zhang adalah teknokrat keuangan, jebolan ICBC — bank yang selama ini dikenal sebagai basis Wang Qishan, mantan “menteri keuangan” paling berpengaruh era Xi.

Kembalinya loyalis Wang Qishan ke posisi kunci keuangan menjadi sinyal jelas: reformasi fiskal tengah berjalan cepat, dan faksi lama kembali merapat ke inti kekuasaan — tanda bahwa masa dominasi “kelompok Xi” benar-benar sedang diakhiri.

“Pukulan Pamungkas”: Tiga Jabatan Zheng Yanxiong Disikat Sekaligus

Puncak drama terjadi pada larut malam 30 Mei. Zheng Yanxiong — tokoh “tangan besi” yang pernah jadi simbol penumpas demonstrasi di Wukan dan arsitek “kota polisi” di Hong Kong — dicopot sekaligus dari tiga jabatan kunci: Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Pusat untuk Hong Kong, Wakil Direktur Kantor Urusan Hong Kong-Makau, serta Penasihat Keamanan Nasional Komite Keamanan Hong Kong. Tanpa masa transisi, tanpa rotasi, tanpa basa-basi.

Pencopotan brutal ini hanya bermakna satu: faksi baru penguasa ingin segera “membersihkan utang lama”, menyapu bersih seluruh sistem warisan “kelompok Xi”, dan menata ulang struktur kekuasaan dari akar.

Zheng Yanxiong, simbol pendekatan represif sejak era Xi, kini harus lengser tanpa perlawanan. Kejadian ini menjadi penanda dimulainya gelombang besar pembersihan internal: berikutnya, “serigala diplomat” akan disingkirkan, kepolisian dirombak, sektor keuangan dan parlemen juga akan diam-diam diganti.

Menuju Era Baru: Transformasi Ekstrem di Tubuh PKT

Seluruh rangkaian peristiwa di atas bukanlah deretan kebetulan. Dari absennya Xi Jinping di Hari Anak, headline Xinhua tentang suksesi, perombakan pejabat di pusat keuangan dan pemerintahan daerah, hingga pembersihan brutal terhadap loyalis Xi — semuanya adalah bagian dari skenario besar menuju era baru di tubuh PKT.

Tiongkok kini tengah memasuki fase transisi internal yang paling ekstrem dan berbahaya dalam 40 tahun terakhir. Semua berawal dari hilangnya “suara manusia kuat” di Beijing, absennya satu scarf merah, dan getaran pertama dari perubahan rezim yang sudah tak bisa dibendung lagi.

FOKUS DUNIA

NEWS