Benarkah Tiongkok Membuat Myanmar Semakin Kacau? The Economist: Semua Ini Ada Kaitannya dengan Taiwan

EtIndonesia. Di jantung Asia Tenggara, Myanmar tengah terjerumus cepat ke dalam kekacauan tanpa hukum. Di balik krisis ini, Partai Komunis Tiongkok (PKT) memainkan peran ganda—di satu sisi menjalin hubungan erat dengan junta militer, dan di sisi lain, secara diam-diam menjalin kerja sama dengan berbagai kelompok bersenjata, bahkan menyuplai senjata untuk memengaruhi dinamika konflik. Tujuan utamanya? Menjaga keamanan jalur energi Tiongkok-Myanmar, yang sangat strategis sebagai jalur cadangan andai pecah perang di Selat Taiwan.

Pada tanggal 4 Juni, majalah ternama asal Amerika The Economist melaporkan bahwa Myanmar kini hampir menjadi negara yang sepenuhnya dikuasai kekerasan. Lebih dari 2 juta orang berada di ambang kelaparan, dan perdagangan narkoba, pusat-pusat penipuan daring berskala besar, serta jaringan perdagangan manusia telah menyebar melintasi perbatasan. Myanmar kini berada dalam krisis kemanusiaan yang serius, dan posisi strategisnya membuat krisis ini semakin penting secara geopolitik.

Dengan mundurnya Amerika Serikat dan Eropa yang dulu pernah memainkan peran penting, Tiongkok kini menjadi kekuatan eksternal paling dominan di Myanmar—dan dengan kebijakan luar negeri yang mengabaikan nilai-nilai seperti hak asasi manusia dan supremasi hukum, Beijing memperlihatkan wajah “realpolitik”-nya secara gamblang.

Tiongkok Pegang Kendali Myanmar dari Luar

Myanmar memang memiliki sejarah yang kelam. Sejak kudeta militer tahun 1962, negara ini dikuasai oleh militer selama hampir setengah abad. Meski sempat mengalami reformasi politik antara 2011 hingga 2021 yang memungkinkan Aung San Suu Kyi memimpin pemerintahan sipil, berbagai pelanggaran HAM tetap terjadi, termasuk pembersihan etnis terhadap minoritas Rohingya.

Namun, semua itu berubah pada tahun 2021 saat militer kembali mengambil alih kekuasaan lewat kudeta berdarah. Sejak itu, junta militer terlibat dalam perang sipil melawan puluhan kelompok pemberontak, aktivis kebebasan, dan bahkan geng kriminal. Negara yang luasnya hampir sebanding dengan Ukraina itu kini menjadi ladang perang yang brutal. Di tengah semua itu, pengaruh Tiongkok tumbuh secara dramatis.

Pipa Energi Strategis: Bekal Tiongkok untuk Perang di Selat Taiwan

Berbeda dengan negara-negara Barat yang mementingkan nilai-nilai universal, Beijing lebih pragmatis: dia siap bekerja sama dengan siapa pun, entah itu penguasa, oligarki, atau milisi bersenjata. Setelah sebelumnya bekerja sama dengan Aung San Suu Kyi, kini Tiongkok menjalin hubungan dengan junta militer sekaligus kelompok pemberontak.

Dengan memasok senjata dan amunisi, Tiongkok berusaha mengontrol jalannya konflik demi melindungi kepentingan strategisnya, salah satunya adalah pipa energi sepanjang 2.500 kilometer yang membentang dari Samudra Hindia hingga ke wilayah daratan Tiongkok.

Jalur ini memungkinkan Tiongkok menghindari ketergantungan pada Selat Malaka, jalur laut yang sangat strategis namun rawan blokade jika terjadi konflik besar, terutama di Selat Taiwan. Maka, jika perang Taiwan meletus, pipa Myanmar akan menjadi jalur cadangan vital untuk menyuplai minyak dan gas ke Tiongkok.

Tiongkok Ingin Kendali atas Sumber Daya dan Infrastruktur Myanmar

Selain melindungi jalur energinya, Tiongkok juga ingin tetap mengontrol sumber daya alam Myanmar, sekaligus menjaga proyek infrastruktur besar dalam skema “Belt and Road Initiative” (BRI).

Tak hanya itu, Beijing juga berusaha menindak kelompok kriminal penipuan daring yang menargetkan warga Tiongkok dari wilayah Myanmar, serta mencegah masuknya pengaruh Barat ke perbatasan selatannya.

Dorongan Tiongkok untuk Pemilu Palsu Bisa Picu Kekerasan Baru

Untuk menjaga stabilitas yang menguntungkan Beijing, Tiongkok kini menekan junta Myanmar agar menyelenggarakan pemilu semu tahun ini guna menciptakan kesan legitimasi. Namun, pemilu ini dikhawatirkan akan memicu gelombang kekerasan baru, karena kelompok-kelompok oposisi kemungkinan besar akan menolak dan mencoba menggagalkannya.

Jika kekacauan semakin dalam, wilayah perbatasan Myanmar dengan Bangladesh, Tiongkok, India, Laos, dan Thailand juga berisiko ikut terdampak.

Apakah Ada Harapan untuk Myanmar?

Harapan jangka panjang Myanmar sangat bergantung pada apakah kekuatan pro-demokrasi bisa bersatu dan menang dalam perang sipil ini. Atau, apakah negara-negara tetangganya seperti India dan Thailand mau berperan aktif mendorong proses damai yang adil dan berkelanjutan.

Namun hingga kini, sebagian besar negara tetangga Myanmar justru mendukung atau bersikap permisif terhadap junta, bahkan mendorong pemulihan hubungan internasional dengan rezim militer.
Namun cepat atau lambat, mereka akan menyadari bahwa hanya dengan mendorong demokratisasi Myanmar, stabilitas kawasan bisa benar-benar tercapai.

Jika tidak, maka kekerasan akan terus berulang, dan Myanmar akan terus terseret ke dalam jurang penderitaan—didorong oleh ambisi Tiongkok yang semakin agresif dan mementingkan keuntungan semata, serta kelambanan dan ketidakpedulian komunitas internasional.

Kondisi ini bukan hanya tragedi bagi Myanmar, tapi juga sebuah peringatan serius bagi dunia.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS