oleh Fang Xiao
Epochtimes.id- Sosok Zhang Lifan, seorang sejarawan yang merupakan Generasi Merah Kedua Tiongkok berpendapat bahwa akibat kebijakan luar negeri Tiongkok yang ekspansif One Belt and One Road Initiative atau Inisiatip Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR) bagaikan sebuah revisi dari gagasan Mao Zedong di masa lalu yang menghendaki revolusi diekspor ke seluruh penjuru dunia.
Wawancara dengan Deutsche Welle baru-baru ini, Zhang Lifan mengatakan bahwa proyek OBOR Tiongkok tak lain adalah revisi dari ‘Ekspor Revolusi’ gagasan Mao, hanya saja Partai Komunis Tiongkok sekarang melakukan infiltrasi politik melalui langkah-langkah ekonomi.
Zhang berpendapat bahwa strategi OBOR juga merupakan sebuah sarana untuk mengendalikan/mengambil alih sumber daya ekonomi banyak negara melalui metode menjaminkan sumber daya (proyek). Dampaknya kelak dapat mempengaruhi nilai-nilai Barat serta sistem demokrasi dunia.
Pada 30 November tahun lalu, Partai Komunis Tiongkok menjadi tuan rumah ‘Dialog Tingkat Tinggi antara PKT dengan Partai Politik di dunia’, dan Zhang Lifan percaya bahwa setelah konferensi tersebut, semua negara akan menaruh kewaspadaan terhadap tujuan politik, ekonomi dan militer PKT.
Pada Oktober 2017, Apple Daily yang berbasis di Hong Kong melaporkan bahwa pemerintah Tiongkok menggunakan strategi diplomatik luar negeri yang menabur uang demi kepentingan pertumbuhan ekonominya.
Data statistik Kementerian Keuangan Tiongkok dari tahun 2012 – 2016 menunjukkan bahwa jumlah total bantuan luar negeri Tiongkok telah mencapai jumlah RMB. 92.219.000.000,-
Tiongkok yang memiliki pendapatan per kapita kurang dari separuh negara maju, malahan memiliki jumlah bantuan luar negeri yang melampaui negara-negara maju.
Pada saat itu, Zhang Lifan kepada media Hong Kong mengatakan bahwa cara pemerintah Tiongkok menghambur-hamburkan uang membuat mata orang melotot. Ketika membantu beberapa negara di Afrika, pihak Tiongkok menyerahkan tumpukan uang kertas dolar AS kepada presiden setempat. Presiden lalu memanggil datang beberapa menterinya untuk menerima pembagian rezeki.
Bagi pejabat Tiongkok yang memberikan uang itu, ia hanya diminta untuk menuliskan sendiri jumlah uang yang dikeluarkan sebagai pertanggungjawaban, tanpa perlu kuitansi atau tanda terima apapun sebagai bukti.
Korupsi yang terjadi di dalam negeri itu saja tidak mudah untuk dibongkar, tentu akan lebih sulit untuk mengawasi korupsi yang terjadi di luar negeri.
Pada saat pemerintah Tiongkok menghambur-hamburkan uang di luar negeri, distribusi untuk kepentingan kesejahteraan rakyat terjadi sangat berat sebelah.
Tahun 2016, Yang Gailan, wanita berusia 28 tahun yang tinggal di perkampungan Agushan, desa Jinggu, Kabupaten Kangle, propinsi Gansu yang merupakan daerah miskin di barat laut Tiongkok, membunuh keempat anak kandungnya dengan kampak, lalu bunuh diri bersama suaminya dengan meminum racun. Insiden tersebut menggemparkan seluruh negeri dan memicu kritikan tajam masyarakat.
Huang Tong-chu, seorang penulis online menulis demikian : Di tanah pedesaan Tiongkok yang luas, banyak sekali orang miskin tidak punya waktu dan kemampuan untuk menyampaikan penderitaan mereka secara online. Mungkin sekali yang mereka inginkan hanyalah mengetahui bagaimana caranya untuk bertahan hidup.
Profesor Chen Zhiwu, seorang ekonom terkenal dan Yale University pernah berkata : “Uang kertas keluaran Tiongkok itu bisa digunakan di Amerika, Afrika, Korea Utara, dapat dipakai oleh pemerintah, para pejabat, kaum Generasi Kaya Kedua, gundik-gundik cantik, hanya rakyat Tiongkok yang tidak boleh menggunakannya”
Usai Dwi Konperensi tahun 2015, Perdana Menteri Li Keqiang dalam menjawab pertanyaan wartawan saat siaran pers mengatakan bahwa, Tiongkok yang merupakan negara ekonomi terbesar dunia menjadi ternoda gara-gara posisi pendapatan per kapita sesuai perhitungan PDB. Tiongkok berada di urutan 80-an dunia.
Li Keqiang juga mengakui bahwa sesuai dengan standar perhitungan Bank Dunia, Tiongkok yang memiliki hampir 200 juta penduduk sangat miskin sebenarnya tergolong negara sedang berkembang. (Sinatra/asr)