Sejak Presiden Donald Trump memulai kampanyenya untuk menangani pencurian kekayaan intelektual oleh Beijing, Departemen Luar Negeri AS telah mengeluarkan pembatasan pemberian visa kepada para mahasiswa pascasarjana Tiongkok di bidang teknologi tinggi tertentu.
Para sarjana yang mempelajari robotika, penerbangan, dan manufaktur berteknologi tinggi, bidang-bidang yang diidentifikasi sebagai prioritas nasional dalam cetak biru ekonomi “Made in China 2025” akan dibatasi untuk visa satu tahun. Keterbatasan seperti itu mulai berlaku pada 11 Juni, menurut The Associated Press.
Di tengah latar belakang ini, kasus publik pertama muncul dari seorang ahli saraf Tiongkok teratas yang telah ditolak permintaan visanya ke Amerika Serikat untuk rencana menghadiri lokakarya yang diselenggarakan oleh Yayasan Sains Nasional AS, yang diadakan pada 23 dan 24 Juli.
Rao Yi adalah seorang ahli saraf (neuroscientist) dan dekan dari Peking University School of Life Sciences yang belajar dan bekerja di Amerika Serikat selama lebih dari dua dekade, sebelum kembali ke Tiongkok pada tahun 2007 untuk mengambil jabatannya saat ini. Dia kemudian menyerahkan kewarganegaraan AS-nya.
Rao mengirim email ke sejumlah wartawan di mana dia mengajukan banding ke Kedutaan Besar AS di Beijing untuk memungkinkan dia mengunjungi Amerika Serikat, menurut laporan 18 Juli di majalah Science.
Dia mengatakan kepada majalah Science bahwa dia secara teratur bepergian ke Amerika Serikat sampai tahun 2016, ketika dia pertama kali ditolak visanya untuk melakukan perjalanan ke San Francisco untuk reuni di almamaternya, University of California, San Francisco.
Pada 16 Juli, Rao mengadakan wawancara di Kedutaan Besar AS, di mana dia diminta untuk memberikan CV yang diperbarui dan jadwal perjalanannya. Tetapi permintaan visanya tidak dikabulkan.
Tidak jelas apakah Rao ditolak sehubungan dengan pembatasan visa Departemen Luar Negeri baru-baru ini, meskipun kebijakan baru yang dilaporkan secara luas pada bulan Mei tidak termasuk bidang ilmu saraf, atau ilmuwan senior. Kedutaan Besar AS di Beijing mengatakan tidak akan mengomentari kasus visa individu.
Konferensi Luar Angkasa
Sementara itu, pengguna internet Tiongkok menyadari bahwa pada konferensi penelitian ruang angkasa selama seminggu yang diadakan di Pasadena, California, mulai dari 14 Juli, sekelompok ahli Tiongkok terlihat absen dari panel.
CSES (China Seismo-Electromagnetic Satellite) adalah misi ruang angkasa bersama Tiongkok-Italia untuk meluncurkan satelit yang dapat memonitor gelombang dan medan elektromagnetik. Satelit tersebut diluncurkan pada Februari 2018 dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan di Mongolia Dalam.
Pada 15 dan 16 Juli, konferensi COSPAR (Committee on Space Research) telah menjadwalkan beberapa panel yang akan menyajikan temuan dari misi luar angkasa. Namun, beberapa pengguna Weibo pertama kali melaporkan bahwa panitia panel mengatakan panelis Tiongkok tidak dapat menerima visa untuk menghadiri konferensi tersebut, menurut media Tiongkok Guancha. Weibo adalah platform media sosial yang mirip dengan Twitter.
Ilmuwan Tiongkok proyek CSES, yang dijadwalkan untuk muncul di COSPAR, kemudian mengkonfirmasikan berita tersebut kepada Guancha, mengatakan bahwa tidak jelas mengapa mereka tidak dapat memperoleh visa.
COSPAR mengatakan kepada Guancha bahwa ia tidak dapat mengkonfirmasi alasan mengapa para peserta yang diundang tidak dapat hadir.
Rekrutmen Agresif
Pembatasan visa baru-baru ini di Amerika Serikat mencerminkan kekhawatiran tentang tren nyata: warga negara Tiongkok yang unggul dalam bidang-bidang penting setelah belajar atau bekerja di Amerika Serikat, sesudahnya hanya untuk direkrut kembali ke Tiongkok.
Rejim Tiongkok telah membentuk beberapa program rekrutmen yang dimaksudkan untuk menarik Tionghoa perantauan di bidang sains dan teknologi untuk bekerja di Tiongkok. Program semacam itu adalah bagian penting dari strategi Tiongkok untuk mengejar dan akhirnya menggantikan industri-industri teknologi global.
Tong Guanshan, misalnya, bekerja untuk IBM selama lebih dari satu dekade, melayani di kantor pusat global di berbagai posisi. Pada tahun 2016, Tong menjadi VP senior dan chief technology officer BOE, pabrikan tersebut saat ini dalam persaingan ketat dengan perusahaan Korea Selatan di bidang mutakhir OLED (dioda pemancar cahaya organik), teknologi baru untuk membuat layar-layar lebih cerah, lebih banyak warna tajam pada perangkat-perangkat elektronik.
Robin Li, pendiri mesin pencari Baidu Tiongkok, mendaftarkan sendiri dalam perekrutan setelah bekerja di Amerika Serikat. Setelah perekrutan perusahaan tersebut, dia juga merekrut Xu Wei, mantan ilmuwan senior di Facebook, untuk bergabung dengan laboratorium penelitian kecerdasan buatan Baidu, juga Wu Ren, yang meninggalkan pekerjaannya di pembuat chip canggih Amerika, Advanced Micro Devices, untuk menjadi kepala arsitek perangkat lunak Baidu.
Rejim Tiongkok telah menggunakan taktik ini sejak masa awal sejarah komunisnya. Qian Xuesen, seorang ilmuwan roket, belajar di Institut Teknologi Massachusetts dan Caltech, kemudian terlibat dengan Proyek Manhattan untuk mengembangkan senjata nuklir, menurut sebuah artikel di majalah The New Yorker.
Pada tahun 1949, ketika Partai Komunis naik ke tampuk kekuasaan di Tiongkok, Qian sedang mempersiapkan untuk kembali ke tanah airnya, hanya saja dihentikan oleh otoritas AS dengan kecurigaan bahwa dia adalah anggota Partai Komunis. Dia akhirnya dibebaskan pada tahun 1955. Segera setelah tiba di Tiongkok, dia menjadi direktur program untuk mengembangkan rudal balistik dan senjata nuklir dan merupakan bagian integral dari pengembangan bom atom pertama Tiongkok. (ran)
ErabaruNews