Tiongkok bertujuan untuk menjadi pemimpin dunia dalam otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan robotika. Ini adalah sasaran yang ditetapkan dalam program “Made in China 2025” dan ditegaskan kembali selama setiap pembaruan kebijakan ekonomi.
Namun akan ada kerugian yang mengiringi dalam mencapai tujuan tersebut, yang telah terwujud dalam sektor manufaktur negara, sebagai tulang punggung ekonomi Tiongkok.
Dalam upaya Beijing untuk mengejar agenda teknologi yang ambisius, narasi dari media dan otoritas yang dikelola negara berkonsentrasi pada hal-hal positif. Kenyataannya, otomatisasi (serba mesin) telah menggantikan hingga 40 persen pekerja di beberapa perusahaan industri Tiongkok, termasuk “beberapa perusahaan di provinsi manufaktur ekspor Tiongkok Zhejiang, Jiangsu, dan Guangdong,” menurut laporan Financial Times 30 Agustus.
Secara diam-diam, pihak berwenang Tiongkok prihatin dengan dampak jangka panjang dari tindakan pengurangan tenaga kerja seperti itu terhadap stabilitas sosial, dan akhirnya, politik.
100 Juta Pekerja
Perkembangan pesat AI dan otomatisasi akan secara permanen mengubah lapangan kerja dan ekonomi Tiongkok.
Sekitar 40 hingga 50 juta pekerja akan tergantikan dalam 15 tahun mendatang, dan hampir 100 juta pekerja akan perlu mengubah bidang kerja mereka, menurut laporan penelitian terbaru yang dirilis bersama oleh China Development Research Foundation (CDRF), sebuah think tank (lembaga riset) yang dikendalikan negara, dengan Sequoia Capital China, cabang Tiongkok dari firma modal ventura Silicon Valley, seperti dikutip oleh China Daily, sebuah outlet media resmi.
“Jika kita memutuskan untuk pergi menuju masa depan dengan AI, kita harus menekankan investasi modal manusia, dan ini harus dilakukan pada tahap awal,” Lu Mai, Wakil Ketua dan Sekretaris Jenderal CDRF, mengatakan saat merilis laporannya.
“Tindakan harus diambil sesegera mungkin untuk mengatasi tantangan potensial ini.”
Sementara laporan baru tersebut berfokus pada sektor manufaktur, ia menyuarakan kembali kesimpulan yang dicapai dalam laporan Maret tentang dampak AI pada industri jasa keuangan di Tiongkok yang diterbitkan bersama antara CDRF dengan perusahaan konsultan Boston Consulting Group (BCG).
Dalam laporan tersebut, BCG memperkirakan bahwa pada tahun 2027, sebesar 23 persen dari semua pekerjaan di sektor keuangan Tiongkok akan dikurangi atau diubah menjadi posisi yang membutuhkan keahlian yang berbeda. Perusahaan-perusahaan asuransi akan menjadi yang paling terpukul, dengan 25 persen pekerjaan terkena dampaknya, diikuti oleh perbankan (22 persen), dan pasar modal (16 persen). Secara total, itu berarti sekitar 2,3 juta pekerjaan keuangan penuh waktu (full-time) yang digantikan, menggunakan tingkat-tingkat sektor lapangan kerja tahun 2017.
Kemajuan di bidang AI akan mempengaruhi pekerjaan di hampir setiap sektor di setiap negara, tetapi kerangka kerja politik dan struktur pekerjaan Tiongkok yang ada sangat rentan terhadap dampak-dampak otomatisasi tersebut.
Tanpa Penerangan
Pertama dan terpenting, topik pengangguran itu sendiri adalah larangan (tabu) dan tidak dipahami dengan baik. Tidak seperti angka bulanan yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS, indikator kunci untuk ekonomi AS, angka-angka pengangguran Tiongkok sebagian besar tidak berguna.
Pada tingkat makro, Tiongkok secara historis tidak melaporkan tingkat penganggurannya. Politik adalah penyebab utama; hingga pertengahan tahun 1990-an PKT menyangkal keberadaan tingkat penganggurannya, melihatnya sebagai efek samping negatif dari kapitalisme asing.
Namun ketika ekonomi negara diliberalisasi dan Deng Xiaoping mereformasi perusahaan negara pada tahun 1990-an, Beijing harus mengakui pengangguran dan mulai menawarkan manfaat terbatas bagi para pekerja yang terlantar.
Selama beberapa dekade, tingkat pengangguran Tiongkok mengambang sekitar 4 persen karena statistik hanya menghitung pekerja perkotaan yang dapat mengajukan dan disetujui untuk tunjangan-tunjangan pengangguran. Tetapi angka-angka tersebut tidak dapat diandalkan, karena mereka tidak menghitung sekitar 300 juta populasi pekerja migran Tiongkok, dan tidak termasuk pekerja perkotaan yang tidak disetujui untuk tunjangan pengangguran.
Tahun ini, Tiongkok mulai menerbitkan “Tingkat Pengangguran yang Disurvei” dengan “Gaya Barat” setiap triwulan, masih hanya terbatas pada daerah perkotaan, di samping Tingkat Pengangguran tetap yang Terdaftar. Pada kuartal kedua tahun 2018, tingkat yang disurvei adalah 4,8 persen sementara tingkat yang terdaftar adalah 3,8 persen.
Di atas kertas kedua angka tersebut jauh di bawah target 5,5 persen dan 4,5 persen, masing-masing, yang ditetapkan oleh Kongres Rakyat Nasional pada bulan Maret.
Lalu mengapa Politbiro baru-baru ini mengumumkan “stabilisasi tingkat pengangguran” sebagai No.1 dari enam target teratas pada paruh kedua tahun 2018?
Dari semua penyebab kesulitan ekonomi seperti perdagangan, mata uang, dan kredit macet, Politbiro secara aneh telah memilih pekerjaan. Dengan membaca deretan tersebut, pasti ada kerumitan-kerumitan domestik yang mendasarinya di luar tingkat pengangguran yang dicetak secara resmi tersebut.
Masalah Struktural
Sulit, dan tidak disarankan, untuk menyamaratakan lingkungan kerja yang kompleks dan berkembang di Tiongkok.
Ada beberapa dinamika bermain, yang semakin diperumit oleh kemajuan dalam otomatisasi dan AI.
Karena kebijakan historis PKT untuk melindungi pekerjaan dan kepemilikan sebagian besar perusahaan besar oleh negara, pengusaha Tiongkok biasanya kurang efisien daripada rekan-rekan Barat mereka. Ini berarti perusahaan-perusahaan Tiongkok dapat mengalami pukulan yang lebih besar dari otomatisasi dibandingkan dengan rekan-rekan Barat.
Pengangguran juga telah meningkat baru-baru ini, karena penutupan pabrik-pabrik industri besar di “rust belt” (area di mana industri berat mengalami kemunduran) di Timur Laut Tiongkok, pabrik-pabrik keluar dari Tiongkok Timur dan Selatan ke daerah-daerah yang berbiaya lebih rendah di Asia Selatan, dan upaya-upaya Beijing dalam mengendalikan utang berlebihan yang memperlambat ekspansi ekonomi.
Peran PKT sebagai pencipta lapangan pekerjaan juga mengundang kritik ketika pekerjaan-pekerjaan hilang, menyebabkan kantung kerusuhan dan protes di seluruh negeri. Pihak berwenang telah meningkatkan upaya untuk menindak protes-protes buruh, namun tren terbaru tentang para veteran militer yang telah pensiun bergabung dengan protes-protes tersebut seharusnya menjadi kekhawatiran bagi PKT.
Adapun dampak AI, para ekonom berharap bahwa teknologi akan menciptakan bidang baru dan dalam jangka panjang, lapangan kerja bahkan akan menjauh.
“Jika kita kembali ke awal abad ke-19, ada kekhawatiran tentang mesin pemintalan otomatis dan suatu pemikiran bahwa ini akan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan,” kata Kepala Ekonom Goldman Sachs Jan Hatzius dalam catatan penelitian akhir tahun 2016 tentang AI. “Dalam jangka pendek, kekacauan tersebut adalah sesuatu yang dapat memiliki dampak signifikan.”
“Tetapi bukan berarti kemajuan teknologi dalam rentang sejarah yang lebih panjang telah menyebabkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Bukan itu masalahnya.” Dengan kata lain, teknologi-teknologi baru dan industri-industri baru akan menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru yang bahkan meningkatkan pengangguran dari waktu ke waktu.
Tetapi bagi Partai Komunis Tiongkok, yang terobsesi dengan stabilitas sosial, waktu adalah sumber daya yang paling langka. (ran)