oleh Xu Jian
Maskapai penerbangan murah terbesar di Asia milik Malaysia ‘AirAsia’ mengumumkan pembatalan rencana joint venture dengan Zhengzhou Airlines untuk membuka pelayanan penerbangan murah.
Tahun lalu, AirAsia menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan keuangan BUMN Tiongkok Everbright Group dan Kelompok Kerja Pemerintah Provinsi Henan. Isi nota kesepahamannya menyangkut rencana kerjasama antar tiga pihak untuk selain mengembangkan bisnis transportasi penumpang, cabang perusahaan dari pihak Tiongkok juga akan berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur penerbangan, pelatihan personel penerbangan, memberikan layanan penerbangan dan sebagainya.
Tetapi dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Kamis (30 Agustus) oleh maskapai AirAsia menyebutkan bahwa nota kesepahaman yang ditandatangani bersama dengan China Everbright dan pemerintah Henan telah dianggap gagal, dan tidak akan diperpanjang. Namun AirAsia tidak memberikan alasan spesifiknya.
Juru bicara AirAsia pada Jumat mengatakan : “Tiongkok masih merupakan pasar yang sangat penting bagi AirAsia, kami saat ini masih menjadi perusahaan penerbangan internasional yang memberikan pelayanan paling murah kepada penumpang”, “Sekarang permintaan sedang tumbuh, dan kami akan terus memperluas pasar.”
Maskapai ‘AirAsia’ berdiri pada tahun 2001, ia adalah maskapai penerbangan internasional terbesar kedua di Malaysia dan menjadi maskapai penerbangan berbiaya rendah pertama di Asia.
Maskapai tersebut telah dianugerahi gelar “Pembawa Biaya Rendah Terbaik di Dunia” selama 8 tahun berturut-turut. AirAsia memiliki operasi yang kuat di negara-negara besar di Asia Tenggara, dengan cabang yang tumbuh di India dan Jepang, tetapi belum di daratan Tiongkok.
Kesepakatan AirAsia ditandatangani pada bulan Mei 2017 ketika kunjungan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak ke Tiongkok dalam rangka ikut berpartisipasi dalam Forum Kerjasama Internasional Proyek OBOR (One Belt One Road). Najib diberhentikan pada bulan Mei lalu dan dituduh melakukan korupsi dan menerima suap.
Perdana Menteri baru Malaysia, Mahathir Mohamad percaya bahwa kesepakatan dengan Tiongkok komunis adalah tidak adil dan menghentikan proyek-proyek yang didanai mereka.
Dalam konferensi persnya bersama Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang, Mahathir menyerukan untuk diciptakannya perdagangan yang lebih adil bagi kedua negara dan mendukung perlawanan terhadap munculnya neo-kolonialisme.
Dalam konperensi pers bersama di Beijing pada 21 Agustus itu Mahathir mengatakan secara terbuka bahwa Malaysia membatalkan ketiga proyek berdinai USD. 22 miliar yang didanai Tiongkok. Hal ini menjadi pukulan bagi Tiongkok dalam pelaksanaan OBOR yang sedang mereka gencarkan.
Sedangkan dinding tebal dan tinggi yang dibangun untuk mengurung Kuantan Industrial Park yang oleh orang-orang Malaysia dijuluki Tembok Besar Tiongkok telah diperintahkan Mahathir untuk dibongkar.
Tembok yang untuk menunjukkan eksklusivitas perusahaan investor Tiongkok dan membatasi masuknya warga masyarakat Malaysia jelas melanggar peraturan Malaysia. “Kawasan industri bukanlah wilayah negara asing dan harus dibongkar,” kata Mahathir.
Mahathir pada 27 Agustus mengatakan bahwa apartemen proyek real estat ‘Country Forest City’ yang dananya didukung pihak Tiongkok tidak diizinkan untuk dijual-belikan kepada warga negara asing, dan pemerintah juga tidak akan mengeluarkan visa tinggal kepada orang asing.
Dua pertiga pembeli real estat ‘Country Forest City’ berasal dari Tiongkok, mereka telah memperoleh visa tinggal jangka panjang di bawah kebijakan pemerintah sebelumnya.
Jika berhasil, maka ‘Country Forest City’ ini bisa menjadi proyek tunggal terbesar dalam sejarah real estat yang dikelola Tiongkok, atau menjadi China Town besar yang bakal dihuni oleh 700.000 orang.
Tahun lalu, Mahathir menyebutkan bahwa siapa saja yang telah tinggal di Malaysia selama 12 tahun memiliki hak untuk memilih, dan ia telah mulai khawatir dengan hal ini.
Bloomberg menganalisanya bahwa Mahathir takut bahwa di bawah tekanan ekonomi dari Tiongkok komunis, Malaysia akan kehilangan kedaulatan nasionalnya, Inilah alasannya mengapa Mahathir menuduh Tiongkok komunis sedang mewujudkan neo-kolonialisme. (Sin/asr)