Oleh Xiao Lusheng
Baru-baru ini, masalah krisis pangan di Tiongkok kembali menjadi sorotan. Sebagai negara berpenduduk 1,3 milyar jiwa dengan 900 juta jiwa di antaranya adalah petani, dalam memenuhi kebutuhan pangannya justru semakin tergantung pada impor. Dosen pembicara di University of South Carolina Aiken yakni Profesor Xie Tian mengatakan, begitu pasokan pangan dunia mengalami kekurangan, RRT pun akan terjebak dalam bahaya keamanan pangan.
Sebuah akun wechat (8/10/2017) memublikasikan artikel berjudul “Krisis RRT Berikutnya: Krisis Pangan”.
Dalam artikel tersebut diungkapkan, hingga tahun 2013 penduduk RRT yang mengalami kelaparan adalah sebanyak 158 juta jiwa, sedangkan penduduk yang mengalami kelaparan tersembunyi sebanyak 300 juta jiwa.
Pasokan pangan di Tiongkok tahun 2015 telah mengalami kekurangan sebanyak 20 juta ton. Menurut perkiraan para pakar, hingga tahun 2020 kebutuhan pangan di Tiongkok adalah sekitar 700 juta ton, sementara kapasitas produksi pangan hanya 554 juta ton, yang artinya Tiongkok akan mengalami kekurangan pangan sebanyak hampir 200 juta ton.
Artikel itu juga mengutip data yang dirilis oleh majalah “The Economist” berjudul “2016 World Food Security Index Report”. Dan RRT menduduki posisi ke-42, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara makmur lainnya, bahkan jauh lebih tertinggal dibandingkan dengan negara yang sangat tergantung pada impor bahan pangan seperti Jepang (posisi ke-18) dan Korea Selatan (posisi ke-24).
Di sisi lain, harga bahan pangan di Tiongkok telah melonjak 50% dalam 15 tahun terakhir; harga beras dan gandum telah melonjak sebesar masing-masing 59% dan 69% sejak tahun 2009.
Menurut World Economic Forum FAO mengungkapkan, dalam 10 tahun mendatang harga pangan akan terus meroket naik.
Kepada wartawan Epoch Times, Xie Tian mengatakan bahwa PKT tidak membuat perencanaan strategis mendetail dan rasional bagi warga tani dan industri pertanian, “Seandainya terjadi krisis pangan dunia, maka RRT akan terjebak dalam krisis keamanan pangan, warga Tiongkok juga akan mengalami masalah paling runyam.”
Sebab sekarang Tiongkok sangat bergantung pada impor pangan, dan PKT tidak peduli akan hal ini, dan hanya peduli menjaga stabilitas terhadap rakyat dan bagaimana melindungi rezimnya sendiri.
Menurut Xie Tian, dalam hal impor bahan pangan, “PKT berkonspirasi dengan perusahaan Monsanto dari AS yang memiliki teknologi transgenetik, petinggi PKT mendapat keuntungan dari Monsanto, dengan membiarkan bibit transgenetiknya memasuki pasar Tiongkok. Hal ini berdampak pada keamanan pangan RRT dalam produksi pangan nasional RRT.”
Menurut dia, desa pertanian sangat kekurangan akan tenaga tani yang muda, para manula dan anak kecil yang berdiam di desa tidak bisa bercocok tanam. Sebagai dalam proses urbanisasi, digorengnya harga properti, telah menghabiskan tidak sedikit lahan pertanian.
Dia menambahkan sudah sejak lama melewati ambang batas 180 juta hektar, pemerataan mesin pertanian sangat rendah. Oleh karena itu, para petani tidak boleh memiliki lahan tani, sehingga kemungkinan munculnya pertanian pribadi berskala besar sangat kecil.
Akibatnya efektivitas tani sangat rendah, nilai produksi lahan tidak mampu bersaing dengan negara makmur, semua itu merupakan penyebab kurangnya ketersediaan pangan di RRT.
Xie Tian selanjutnya mengatakan, dilihat dari akar masalahnya adalah karena PKT tidak mempedulikan hidup mati kaum tani. Selain tidak ada asosiasi yang melindungi hak legalitas kaum tani, para petani juga tidak diijinkan untuk mengimpor bahan pangan yang mengakibatkan aksi unjuk rasa karena tekanan pasar bahan pangan dalam negeri.
Bahkan selain tidak memberikan tunjangan bagi produk pertanian yang dihasilkan oleh petani, penguasa masih memeras petani, dan mendiskriminasikan petani, serta merampas tanah milik mereka.
Penulis Tiongkok yang selama ini menyoroti masalah pangan di RRT bernama Jing Chu mengatakan pada surat kabar Epoch Times: “Saya senantiasa mengkhawatirkan masalah ini. Sebagai negara pengonsumsi pangan paling besar di dunia, lahan tani dipetak, petani tidak antusias bercocok tanam, banyak lahan subur pertanian dibiarkan terbengkalai.”
“Di dalam hati saya ada suatu kekalutan. Begitu terjadi panik bahan pangan, negara mana pun, bahkan Amerika pun tidak akan sanggup menghidupi Tiongkok, maka bagi RRT itu akan menjadi suatu bencana,” lanjutnya.
Menurutnya terus berubahnya kebijakan terhadap pedesaan, setelah PKT membentuk pemerintahan tandingan terhadap pemerintah pusat (pemerintahan nasionalis), sejumlah tindakan yang melupakan penolong (petani) mereka.
Menurut dia, akibat kebijakan ini mengakibatkan lingkungan keberadaan para petani makin menurun: “Suatu ketika memanfaatkan petani untuk membantai tuan tanah, lalu membagikan tanah yang berhasil direbut itu pada petani, tapi tak lama kemudian dibangun koperasi pertanian, lahan tani pun direbut lagi dari tangan petani.”
“Partai komunis pun menjadi tuan tanah terbesar, PKT yang telah membangun rezimnya dan merebut kekuasaan pada 1949, kembali melupakan petani, hingga saat ini akan halnya bibit, pupuk, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan para petani tidak pernah diberi subsidi.”
Dia menambahkan, setelah bersusah payah bekerja setahun di sawah, saat panen harganya tidak sampai 10% dari gaji jika bekerja sebagai kuli bangunan di proyek-proyek terhadap para petani yang bekerja sebagai pekerja migran di kota selain diusir, bahkan mereka juga diperas.
“Beban kaum tani Tiongkok sangat berat, harga pupuk dan bibit melejit, harga pangan yang dijual tidak berubah, sungguh menderita,” jelasnya.
Seorang petani bermarga Zhang dari provinsi Shandong mengatakan, “Juga tidak ada dana pensiun yang mendasar, sedikit tunjangan pengobatan sama sekali tidak mencukupi. Pejabat korup dan merampas hak kaum tani.”
“Asset sosial yang dimiliki oleh petani adalah yang paling sedikit, dikatakan pemerintah akan mengembangkan industri, sekarang ini seharusnya juga kembali meloloh industri pertanian. Betapa pun inudstrinya berkembang pesat toh manusianya tetap harus makan.”
Mr Zhang juga menyatakan, sekarang untuk mengembangkan properti di pinggiran kota, yang dipakai terus menerus adalah lahan pertanian, termasuk juga lahan yang subur dan lahan untuk hunian petani, mengakibatkan petani tidak bisa membeli rumah, juga kehilangan lahan subur untuk bercocok tanam.
“Untuk memberikan rumah bagi generasi penerus, untuk hidup, petani terpaksa harus bekerja di kota sebagai buruh tani. Tapi akan menyulitkan untuk biaya-biaya sekolah anak-anak, berobat, dan bertempat tinggal… sungguh menderita, jadi ada yang tidak punya pilihan akhirnya melompat bunuh diri dari gedung tinggi,” ujarnya.
“Rakyat tidak seburuk bayangan mereka. Disaat mereka menetapkan kebijakan, jika mau mempertimbangkan masalah kepentingan rakyat, rakyat pun akan menerima penyesuaian kebijakan,” tambahnya.
“Tapi sekarang, setelah sekian lama, tidak ada satu pun kebijakan yang melindungi rakyat, suara keluhan masyarakat terus meningkat. Tapi PKT tidak membiarkan rakyat menyuarakannya hanya demi menjaga stabilitas masyarakat,”simpul Zhang. (Sud/WHS/asr)