oleh Li Yixin
Setelah Hong kong kembali ke pangkuan ibu pertiwinya yaitu komunis Tiongkok, banyak warga Hong kong khawatir dengan masa depan mereka sehingga memilih bermigrasi.
Analisis pakar asal Hong kong menyebutkan bahwa fenomena itu muncul terkait dengan kontroversi politik dan tekanan hidup yang meningkat. Di mana jumlah pemuda yang ingin bermigrasi naik secara signifikan.
Tujuan migrasi mereka selain Amerika Serikat, Kanada dan Australia, Taiwan yang memiliki lingkungan yang ramah dan rendah dalam jumlah imigran asing, juga menjadi alasan yang menarik para warga Hong kong.
Beberapa hari yang lalu, Badan Konsultasi Risiko Politik Taipei menyebutkan bahwa tren bermigrasi ke Taiwan ini akan terus berlanjut mengingat kekecewaan banyak warga Hongkong terhadap Hongkong yang berada dalam pelukan komunis Tiongkok.
Gelombang eksodus warga Hong kong pernah terjadi pada akhir 1980-an hingga 1990-an, puncaknya terjadi pada 5 tahun setelah peristiwa pembantaian mahasiswa Tiananmen 4 Juni 1989. Sekitar 300 ribu warga Hongkong yang bermigrasi. Kemudian gelombang tersebut mereda dalam 10 tahun berikutnya. Namun saat ini, tingkat populasi Hong kong yang bermigrasi ke luar negeri kembali meninggi.
Zhong Jianhua, seorang Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Sosial di Universitas Politeknik Hong kong kepada Media Jerman mengatakan bahwa tren dan niat kaum muda hengkang dari Hong kong masih terus meningkat, bahkan beberapa mahasiswa yang belum lulus, sudah berupaya menyimpan uang yang cukup untuk melanjutkan studi atau mencari kerja di Taiwan, Amerika Serikat, Kanada, Australia.
Menurut dia, niat anak-anak muda untuk pergi keluar Hong kong terus meningkat, hal ini berbeda dengan situasi 30 – 40 tahun silam di mana yang hengkang adalah warga yang lebih berkekuatan ekonomi yang usianya antara 30 hingga 40 tahun. Ada banyak contoh dari teman dan siswa di sekitarnya, “Yang telah bermigrasi ke Taiwan sudah tidak sedikit”, katanya.
Zhong Jianhua mengatakan bahwa fenomena ini terkait dengan kontroversi politik di Hong Kong yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Terutama setelah insiden Pendudukan Central dengan Cinta dan Damai (Occupy Central with Love and Peace) pada tahun 2011. Kaum muda merasa tidak puas dengan situasi sosial saat ini tetapi tidak mampu mengubahnya.
Selain itu, harga kebutuhan dan tekanan hidup Hong Kong terus meningkat, membuat kaum muda tidak mampu membeli rumah. Jika Anda tinggal di Hong Kong, tidak tertarik lagi untuk bertahan hidup di Hong Kong dan memilih hengkang. Zhong mengatakan bahwa putra sulungnya juga memilih tinggal di AS setelah lulus dari institut pada tahun 2018 karena kekecewaan yang mendalam atas masa depan Hong Kong.
Seorang pemuda bermarga Xue yang kini berusia 20 tahun, ia telah 9 tahun tinggal di Australia dan kembali ke Hongkong setelah lulus universitas. Tetapi baru 1 tahun hidup di Hongkong ia mengajukan permohonan untuk bermigrasi ke negara kangguru.
Ia mengatakan bahwa bukankan Beijing telah berjanji untuk menjamin untuk tidak mengubah (sistem pemerintahan) Hong Kong selama 50 tahun. tetapi sebenarnya telah membiarkan Hongkong menjadi sangat aneh, ditambah lagi dengan tekanan kehidupan dan pekerjaan telah membuatnya ‘terengah-engah’. Tidak hanya dia, tetapi banyak dari teman-temannya ingin meninggalkan Hong Kong. “Coba Anda tanyakan pada 10 orang, dan 10 orang itu akan mengatakan kepada Anda bahwa mereka ingin pergi dari Hongkong.”
Menurut statistik dari kantor konsultasi imigrasi Hong Kong bahwa jumlah pengajuan permohonan bermigrasi untuk tahun 2018 telah meningkat sekitar 20 % dibandingkan dengan tahun 2017. Destinasi mereka masih tertuju pada Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, tetapi jumlah untuk bermigrasi ke Taiwan juga meningkat. Pada saat yang sama, proporsi kaum muda yang datang berkonsultasi juga naik secara signifikan, dan kaum muda itu rata-rata masih baru lewat umur 20 tahun.
Jumlah imigran asal Hong Kong ke Taiwan meningkat karena pupus harapan
Setelah komunis Tiongkok mengambil alih Hong Kong pada tahun 1997, beberapa orang Hong Kong khawatir bahwa kebebasan berbicara akan melemah secara bertahap. Namun, berbeda dengan Taiwan yang telah memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus sejak tahun 40-an dan menerapkan pemerintahan yang demokrasi pada tahun 80-an.
Ny. A Fen bersama suaminya yang asal Hongkong telah menjadi warga Taiwan sejak tahun 2017. A Fen mengatakan bahwa dibandingkan dengan ambang imigrasi AS, Kanada dan Australia, jutaan dolar Kanada atau dolar AS, sedangkan Taiwan hanya minta pembuktian memiliki NTD. 6 juta yang relatif lebih mudah.
Selain itu, ia tidak dapat menerima sikap Beijing merusak komitmen mereka sendiri yang menyebut akan memberlakukan sistem pemerintahan Hongkong yang berbeda dengan daratan Tiongkok. Sehingga memutuskan untuk bermigrasi ke Taiwan. Ketika datang ke Taiwan saya merasakan sikap ramah dan bersahabat dari orang-orang Taiwan, banyak teman-teman Hong Kong juga menjelajahi peluangnya untuk bermigrasi ke Taiwan.
Raymond Wu, direktur eksekutif konsultasi risiko politik e-intelligence, Taiwan mengatakan : “Imigran asal Hongkong yang datang ke Taiwan akan terus meningkat. Jumlah ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, mengingat banyaknya warga Hong Kong yang kecewa terhadap masa depan Hong Kong.”
Zhu Kangming, seorang pensiunan profesor yang tinggal di Taiwan mengatakan bahwa jika ada orang yang merasa bahwa prospek Hong Kong tidak dapat diprediksi, mereka akan pergi dari sana, dan kebebasan berbicara di Taiwan jauh lebih kental.
Liu Yijun, seorang profesor urusan publik di Universitas Fo Guang, Taiwan mengatakan bahwa imigran yang datang ke Taiwan membantu memotivasi para aktivis yang masih berjuang untuk demokrasi di Hong Kong. Hal yang menjadi daya tarik Taiwan bagi warga Hongkong dan Makau adalah bahwa lingkungan kehidupan dan budaya Tionghoa yang tetap terpelihara. Dan waktu tempuh penerbangan pesawat hanya sekitar 90 menit. Selain itu, beli apartemen di Taipei kurang dari setengah harga Hongkong. Imigran juga dapat menikmati asuransi kesehatan universal Taiwan.
Jumlah “Pengungsi Mc” meningkat, kegersangan jiwa dan kehampaan hidup bertambah
Sekelompok orang tidak bermalam di kamar tidur yang hangat dan nyaman, tetapi menghabiskan malam yang panjang di dalam gerai McDonald. CNN melaporkan bahwa antara bulan Juni dan Juli tahun ini, tercatat ada 334 orang yang bermalam di stan McDonald yang beroperasi 24 jam. Mereka menganggap tempat itu sebagai rumah.
Oleh karena itu mereka dijuluki pengungsi Mc. Dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya memiliki 57 orang pengungsi Mc di Hongkong pada waktu itu, hanya dalam waktu 5 tahun jumlah mereka telah tumbuh enam kali lipat.
Peneliti menemukan bahwa alasan mereka bermalam di McDonald’s sebagian besar karena masalah ekonomi. Lebih dari 70% pengungsi Mc memiliki rumah sendiri, tetapi karena kemiskinan, ketidakmampuan untuk membayar biaya listrik dan AC, atau karena faktor keluarga, sehingga tidak dapat kembali ke rumah, atau karena berbagai faktor seperti lingkungan hidup yang buruk, menghemat biaya transportasi, waktu, dan lain-lain.
Sementara itu, 30% pengungsi Mc lainnya mengatakan bahwa McDonald’s adalah satu-satunya tempat tinggal mereka, 57% mengatakan mereka memiliki pekerjaan penuh waktu, paruh waktu atau wiraswasta, 43% tidak memiliki pekerjaan, di samping itu, usia rata-rata pengungsi Mc adalah 53,4 tahun, yang paling muda berusia 19 tahun dan tertua berusia 79 tahun.
Warganet Taiwan Xie Wanyun telah berbincang-bincang dengan seorang pria pengungsi Mc di Hong Kong yang setiap hari bermalam di gerai McDonald. Padahal pria tersebut bekerja di siang hari. Kata pria itu : “Mari belajar sebanyak mungkin, kemudian menghargai, hargai keluarga dan teman-temanmu karena kamu tidak akan tahu di mana selanjutnya kaki kita akan berpijak.”
Ahli mengatakan bahwa para pengungsi Mc itu tidak hanya miskin, tetapi kegersangan jiwa dan kehampaan hidup juga menyertai mereka. Sehingga orang perlu mengubah sikap sosial mereka, dan pemerintah harus melakukannya. (Sin/asr)
Video Rekomendasi :
https://www.youtube.com/watch?v=KE95edFB1gc