Mimi Nguyen Li
Dua perusahaan besar, Cotton On dan Target Australia, dilaporkan telah menghentikan pasokan katun dari Xinjiang, Tiongkok. Itu setelah invesitgasi dari program TV Australia melaporkan, bahwa Muslim Uighur dipaksa untuk bekerja di sejumlah pabrik tekstil di wilayah tersebut.
Program “Four Corners,”dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), mengungkapkan pada bulan Juli lalu, bahwa merek-merek pakaian tertentu yang dijual di Australia — termasuk Target, Cotton On, Jeanswest, Dangerfield, Ikea, dan H&M — memperoleh kapas dari Xinjiang. Laporan menunjukkan “ semakin banyak bukti ” soal sistem kerja paksa di wilayah tersebut.
ABC melaporkan pada bulan Juli, bahwa Cotton On dan Target Australia sedang menyelidiki hubungan mereka dengan pemasok mereka di Xinjiang. Sedangkan pada 17 Oktober, Cotton On telah menyelesaikan penyelidikan internalnya.
Menurut ABC, Cotton On mengatakan pasokannya tidak lagi bersumber dari subkontraktor Litai Tekstil yang berbasis di Xinjiang, Tiongkok. Cotton On juga mengatakan bahwa “sangat berkomitmen untuk memiliki rantai pasokan yang etis.”
The Epoch Times telah menghubungi Cotton On untuk memberikan komentar.
Sedangkan, Target Australia mengatakan, telah “membuat keputusan untuk menghentikan pesanan” dari sebuah pabrik yang dimiliki oleh perusahaan Huafu di Xinjiang, seperti yang dilaporan peritel itu. Investigasi internal sedang dilakukan terhadap pasokan yang bersumber dari pabrik.
Seorang juru bicara Target mengatakan, perusahaan memiliki sumber kode etik yang ketat.”
Seorang juru bicara Target dalam pernyataan melalui email kepada The Epoch Times Amerika Serikat mengatakan, sebagai bagian dari Kode Etik Sumber Perilaku perusahaan itu, Target Australia menanggapi pelanggaran Kode Etik tersebut dengan sangat serius. Hal demikian mencakup segala dugaan terkait kerja paksa.
Perusahaan itu mengatakan, mengikuti laporan terbaru tentang Pabrik Huafu di Xinjiang, pihaknya mengidentifikasi bahwa satu pemasok langsung Target menggunakan sejumlah kecil benang katun dari pabrik yang dimiliki Huafu di provinsi Xinjiang. Target meminta pemasok untuk menghentikan pesanan dari pabrik tersebut. Kini situasinya diklarifikasi.
Sementara itu, H&M kepada Four Corners mengatakan, bahwa penyelidikan mereka terhadap perusahaan Huafu, salah satu pemasok mereka, “tidak menunjukkan bukti kerja paksa.” H&M juga mengatakan bahwa benang yang bersumber dari Huafu berasal dari fasilitas di luar Xinjiang.
Jeanswest mengatakan, bahwa penyelidikan internal setelah laporan Four Corners menghasilkan “tidak ada bukti bahwa kapas mereka berasal dari wilayah tersebut seperti yang dilaporkan oleh ABC.
Juru kampanye Amnesty International, Ruse Kulak mengatakan, dalam sebuah pernyataan pada 17 Oktober : “Amnesty menyambut baik langkah tersebut dengan Cotton On dan Target untuk menghentikan sumber kapas dari Xinjiang. Keduanya tidak mengetahui adanya pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan terjadi kepada jutaan muslim Uighur. Dikarenakan pada saat ini etnis uighur dikebumikan di kamp-kamp ‘pendidikan ulang’ politik, di mana praktek kerja paksa adalah praktik umum.“
Warga Australia sangat peduli dengan hak asasi manusia dan tidak ingin membantu praktik seperti kerja paksa, ketika mereka membeli baju baru.
Ruse Kulak mengatakan, risikonya terlalu besar bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk dikaitkan dengan penindasan etnis Uighur. Ia menyerukan kepada semua perusahaan Australia untuk membuat transparan rantai pasokan mereka. Langkah itu, untuk memastikan konsumen yang tanpa disadari mendukung pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap etnis Uighur.
Associated Press melaporkan pada awal Oktober lalu, bahwa Administrasi Trump memblokir pengiriman dari sebuah perusahaan Tiongkok yang memproduksi piyama bayi. Itu setelah adanya tuduhan bahwa orang-orang yang memproduksinya, yakni etnis Uighur diduga sebagai sasaran korban kerja paksa.
Penjabat Komisaris CBP Mark Morgan menduga, produk tersebut dibuat dari sistem kerja paksa. Pihaknya menegaskan, akan menarik produk-produk tersebut dari rak-rak di Amerika Serikat.
Pada awal Oktober lalu, Amerika Serikat memberlakukan pembatasan visa kepada pejabat Komunis Tiongkok yang diyakini bertanggung jawab atas penahanan atau penindasan terhadap minoritas Muslim di Xinjiang.
Departemen Perdagangan AS juga menambahkan, sebanyak 28 biro keamanan publik dan perusahaan Tiongkok dalam daftar hitam perdagangan Amerika Serikat. Hal demikian atas perlakuan Komunis Tiongkok terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya. (asr)