Olivia Li – The Epochtimes
Warga di kompleks perumahan mewah di kota Tianjin, utara Tiongkok, mati-matian mempertahankan rumahnya. Komunitas perumahan tersebut, yang berbatasan dengan lahan basah, sedang dihancurkan karena masalah lingkungan, menurut pihak berwenang setempat.
Akan tetapi pemilik rumah tidak percaya alasan ini dan mencurigai pihak berwenang memiliki motif tersembunyi untuk pembongkaran paksa tersebut.
Seorang penduduk, bermarga Li, berbicara dengan The Epoch Times berbahasa Tionghoa pada tanggal 30 Desember 2019. Ia tidak mengungkapkan nama lengkapnya karena kepekaan masalah ini.
Ia memutuskan untuk menghubungi The Epoch Times untuk mengungkap insiden itu karena ia percaya media pemerintah Tiongkok akan menolak untuk melaporkannya.
Li mengungkapkan bahwa para penduduk dibiarkan hidup tanpa air dan listrik. Mereka akan kehilangan rumahnya kapan saja. Mereka juga tidak menerima kompensasi yang adil dari pemerintah.
Komunitas tempat Li tinggal, yang disebut “Cuijin Lake & Beautiful Villa Island,” dikenal sebagai komunitas “pulau kelas dunia” dan ideal untuk pekerja di Beijing.
Menurut situs web resmi mereka, komunitas itu meliputi area seluas 494 hektar, dengan kira-kira setengahnya berupa tanah dan setengah air. Ada empat pulau dan lima semenanjung, dikelilingi oleh danau besar, dan taman tepi danau Tuscany.
Vila-vila baru dalam gaya arsitektur Prancis, Italia dan Spanyol, dengan model terbesar 750 meter². Semua fitur ini menjadikan kompleks ini sangat diidamkan dan menarik bagi penghuni kelas menengah ke atas.
Ada beberapa ratus rumah tangga yang tinggal di komunitas ini, kebanyakan dari mereka adalah karyawan kerah putih yang bekerja di Beijing.
Waktu perjalanan dari daerah ini ke Stasiun Kereta Api Beijing adalah sekitar 30 menit dengan kereta api berkecepatan tinggi, dan harga rumah di sini jauh lebih terjangkau daripada di dalam ibu kota.
Menurut Li, saat pembongkaran tahap pertama yang dimulai pada tanggal 4 April 2019, tim pembongkaran memberitahu penduduk dan memberitahu penghuni bahwa niatnya adalah memulihkan lahan basah. Sedangkan semua pemilik rumah harus bersiap untuk menemukan tempat tinggal baru.
Sampai kini, semua rumah yang tidak terjual telah dirobohkan, termasuk sekelompok rumah yang belum selesai masih dalam pembangunan. Mereka juga menghancurkan semua clubhouse dan toko ritel yang melayani komunitas.
Clubhouse ini juga menampung utilitas, sehingga setiap orang dibiarkan tanpa listrik, air dan pemanas, ungkap warga itu.
Li menambahkan bahwa banyak penduduk memilih untuk tinggal di komunitas tersebut. Dikarenakan, mereka mampu membeli rumah yang lebih besar di Tianjin, daripada di Beijing dan mampu menampung orangtua mereka yang sudah lanjut usia.
Akan tetapi, kini mereka berada dalam situasi yang mengerikan di mana seluruh rumah tangga menjadi korban pembongkaran paksa.
“Saat ini ratusan penjaga keamanan yang memproklamirkan diri berseragam hitam menjaga gerbang keamanan komunitas kami 24 jam sehari. Mereka mengintimidasi penduduk, menuntut agar kami pindah pada tanggal 31 Desember 2019. Jika tidak, mereka akan dengan paksa membawa kami keluar dari rumah kami. Selain itu, tim pembongkaran terus menghancurkan bangunan setiap hari,” kata Li.
Para penjaga menolak untuk memberikan kartu identitas atau surat perintah kerja. Mereka memberitahu pemilik rumah untuk pergi ke pemerintah setempat jika mereka memiliki keluhan, seperti ditambahkan Li.
Li mengatakan, warga memang pergi ke pemerintah setempat, akan tetapi tidak berhasil.
Keluhan terbesar mereka, menurut Li, adalah kompensasi yang tidak memadai yang mereka tawarkan, yaitu hanya 10.000 yuan per meter persegi, sedangkan harga pasaran saat ini untuk rumah pra-milik adalah 30.000 yuan per persegi meter.
Dalam kasus Li, dia menghabiskan sekitar 3,5 juta yuan di rumahnya yang seluas 260 meter persegi – harga pembelian ditambah biaya renovasi – dan dia hanya akan mendapatkan kompensasi sebesar 2,6 juta yuan.
“Dengan harga rumah saat ini dan pembatasan pembelian rumah di Beijing, saya tidak mampu membeli rumah, saya juga tidak memenuhi syarat untuk membeli yang lain,” kata Li.
“Kami merasa tidak berdaya. Jika mereka memaksa kami untuk pindah, kami bahkan tidak mengetahui di mana harus menyimpan furnitur kami, ” ungkapnya.
Beberapa warga pergi ke Beijing untuk mengajukan permohonan, tetapi tidak ada yang mau membantu mereka. Setidaknya satu pemilik rumah ditangkap karena mengajukan banding ke otoritas yang lebih tinggi.
Selain itu, Li mengatakan ada rumor bahwa tokoh berpengaruh telah menyukai komunitas perumahan dan berencana untuk mengubahnya menjadi komunitas perawatan lansia kelas atas untuk mendapatkan keuntungan.
Warga memperhatikan, meskipun pembongkaran dilakukan atas nama restorasi lahan basah. Akan tetapi, desa-desa di sekitar lahan basah sama sekali tidak ditargetkan untuk dihancurkan sama sekali.
Di Tiongkok, di bawah sistem komunisme, semua tanah dimiliki oleh negara. Ketika warga Tiongkok membeli rumah, mereka hanya memiliki bangunan itu.
Selama bertahun-tahun, sistem tersebut telah mengakibatkan jutaan warga Tiongkok kehilangan rumah mereka melalui penghancuran paksa, pemindahan desa secara paksa.
Bahkan seluruh kota ketika pemerintah daerah memutuskan untuk mengklaim kembali tanah tersebut untuk penggunaan yang lebih menguntungkan.
Pihak berwenang umumnya menargetkan rumah-rumah di daerah yang dilanda kemiskinan atau penduduk pedesaan.
Merupakan hal yang tidak biasa bagi komunitas elit, seperti Cuijin Lake & Beautiful Villa Island, menjadi sasaran pembongkaran paksa. (Vv/asr)