Fan Yu – The Epochtimes
Yang Jiechi, diplomat top Komunis Tiongkok, baru-baru ini membuat beberapa kunjungan di Afrika untuk memantau kepentingan Tiongkok dan meningkatkan hubungan bilateral di benua itu.
Yang Jiechi, direktur Kantor Urusan Luar Negeri dan anggota Politbiro Partai Komunis Tiongkok, juga memastikan untuk mengkritik mereka yang menuduh rezim Komunis Tiongkok mengambil keuntungan dari Afrika dan terlibat dalam “neokolonialisme.”
“Beberapa orang yang tidak senang dengan meningkatnya hubungan Tiongkok-Afrika membuat tuduhan yang tidak berdasar untuk mencemarkan nama baik dan menyerang kerja sama Tiongkok-Afrika,” kata Yang Jiechi dalam pidato pada tanggal 22 Desember 2019, seperti dilansir Xinhua News, outlet media yang dikendalikan oleh pemerintahan Komunis Tiongkok.
“Mereka yang berusaha merusak persahabatan tradisional antara Tiongkok dengan Afrika hanya akan menemui kegagalan,” ujarnya.
Rezim Komunis Tiongkok menghadapi kritik yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dikarenakan keterlibatannya dengan negara-negara Afrika. Selama beberapa dekade terakhir, Beijing menjadi mitra ekonomi terpenting bagi Afrika di seluruh bidang perdagangan, investasi, bantuan keuangan, dan pembiayaan infrastruktur.
Akan tetapi, tujuan rezim Tiongkok tidak sepenuhnya tanpa pamrih memperhatikan kesejahteraan negara lain. Dipercayai bahwa Beijing menjerat negara-negara berkembang untuk menerima pinjaman mahal. Pada saat para pemimpin negara tersebut yang tidak kompeten tidak dapat menyeimbangkan anggaran untuk membayar kembali pinjaman seperti itu, rezim Komunis Tiongkok memberlakukan hukuman berat seperti pengambilalihan aset dan konsesi lainnya.
Lebih dari 10.000 perusahaan milik Tiongkok beroperasi di Afrika, di mana Nigeria, Zambia, dan Tanzania menarik perhatian terbesar dari perusahaan Tiongkok, menurut laporan tahun 2017 oleh konsultan McKinsey & Co.
“Di bidang manufaktur, kami memperkirakan bahwa 12 persen produksi industri Afrika — bernilai sekitar USD 500 miliar per tahun — sudah ditangani oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok,” menurut McKinsey & Co.
“Dalam infrastruktur, dominasi perusahaan Tiongkok bahkan lebih menonjol, dan perusahaan Tiongkok mengklaim hampir 50 persen pasar konstruksi Afrika yang dikontrak secara internasional.”
Keterlibatan rezim Komunis Tiongkok yang paling terlihat di Afrika adalah pembangunan infrastruktur. Sebagian besar proyek infrastruktur baru — jembatan, jalan raya utama, gedung pencakar langit, dan terowongan — dibiayai dan dibangun oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok, yang menggunakan tenaga kerja Tiongkok dan material Tiongkok.
‘Perangkap Utang’
Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris menghadapi kritik karena mengeksploitasi Afrika secara historis. Saat ini, peran tersebut sedang dimainkan oleh rezim Komunis Tiongkok.
Di permukaan, investasi infrastruktur rezim Komunis Tiongkok di Afrika adalah untuk membantu dalam pengembangan dan untuk meningkatkan perdagangan. Tetapi dalam menyediakan begitu banyak pembiayaan, Beijing mengendalikan masa depan benua Afrika.
Afrika adalah pusat Inisiatif “One Belt, One Road” atau OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road, rezim Komunis Tiongkok dalam memperluas pengaruh geopolitik, yang mencakup akses ke minyak, sumber daya alam, dan lokasi strategis Afrika.
Antara tahun 2000 hingga 2017, Beijing meminjamkan lebih dari 140 miliar dolar AS ke negara-negara Afrika, menurut laporan oleh Institut Brookings, lembaga pemikir yang berbasis di Washington. Sebagian besar pinjaman itu terkonsentrasi di beberapa negara kaya sumber daya.
Secara sektoral, pinjaman tersebut difokuskan pada industri transportasi, jaringan listrik, dan pertambangan yang penting dan strategis.
Narasi “perangkap utang” tidak akan hilang. Dan apa yang terjadi baru-baru ini di Zambia meningkatkan kritik terhadap rezim Komunis Tiongkok.
Zambia, yang mengalami kesulitan membayar utang, dilaporkan menawarkan aset utama Zambia sebagai jaminan. Jumlah pasti utang Zambia kepada Beijing masih diperdebatkan — pemerintah Amerika Serikat mengklaim utang tersebut mungkin sebesar 10 miliar dolar AS. Akan tetapi Zambia, menurut laporan Reuters bulan Desember 2018, mengklaim bahwa Zambia hanya berutang sebesar 3,1 miliar dolar AS kepada Tiongkok.
Jumlah utang riil adalah tidak diketahui, karena “sebagian besar utang Zambia kepada Tiongkok belum sepenuhnya dipertanggungjawabkan, penghitungan utang yang tidak ingin diselesaikan oleh Menteri Keuangan Lusaka, karena takut akan bahaya yang akan ditimbulkan oleh angka-angka itu,” demikian laporan Africa Confidential.
Zambia mengadakan pembicaraan dengan Komunis Tiongkok mengenai menyerahkan ZESCO, perusahaan negara yang berguna, kepada Tiongkok sebagai pembayaran dalam bentuk barang, bukannya dalam bentuk uang, sumber mengatakan kepada Africa Confidential.
“Tiongkok sudah mengendalikan perusahaan penyiaran negara, ZNBC. Ada juga kekhawatiran bandara utama di Lusaka akan menjadi target berikutnya.”
Sikap mengenai kehadiran Tiongkok di tengah media Zambia adalah sangat terpolarisasi, di mana semakin banyak berita utama yang mengkritik motif Beijing, serta kualitas dan umur panjang proyek-proyek yang dipimpin Tiongkok.
Beberapa negara Afrika mulai melawan strategi predator Komunis Tiongkok.
Pada pertengahan tahun 2019, Tanzania menunda rencana untuk bekerja sama dengan Tiongkok untuk membangun pelabuhan terbesar di Afrika Timur yaitu di Bagamoyo, Tanzania. China Merchant Holding International dijadwalkan menjadi operator pelabuhan tunggal tersebut.
Mengutip ketidaksepakatan dengan investor Tiongkok mengenai tuntutan “eksploitatif dan canggung”, Presiden Tanzania John Pombe Magufuli membatalkan proyek tersebut.
“Tiongkok ingin Tanzania memberi Tiongkok jaminan 33 tahun dan sewa 99 tahun, dan Tanzania tidak boleh mempertanyakan siapa pun yang datang untuk berinvestasi di sana begitu pelabuhan beroperasi. Tiongkok ingin mengambil tanah itu sebagai milik Tiongkok, tetapi Tanzania harus memberikan kompensasi kepada Tiongkok untuk pengeboran pembangunan pelabuhan itu,” kata John Pombe Magufuli kepada The Economic Times of India tahun lalu.
Beijing juga menuntut kompensasi ganti rugi pemerintah Tanzania selama proyek tersebut, serta keringanan pajak dan bea cukai.
Penolakan Tanzania terhadap rezim Tiongkok mengikuti pembatalan proyek yang didanai Tiongkok di Sierra Leone pada tahun 2018.
Bandara yang diusulkan senilai USD 320 juta — yang akan dibiayai oleh Beijing — di luar Freetown, ibukota Sierra Leone dibatalkan pada akhir tahun 2018, setelah Sierra Leone menganggap proyek tersebut tidak ekonomis dan tidak perlu. (Vivi/asr)
FOTO : Seorang teknisi bekerja di lokasi pembangunan terminal peti kemas baru di pelabuhan Abidjan pada 27 Maret 2019. Modernisasi Pelabuhan Abidjan yang dimulai pada 2012 dipimpin oleh insinyur dan pekerja Tiongkok yang negaranya membiayai hingga 1.100 miliar FCFA (1,67 miliar) euro). (Issouf Sanogo / AFP via Getty Images)