Jocelyn Neo – The Epochtimes
Sebelum tanggal 2 Februari 2013, Jewher Ilham adalah mahasiswi baru di perguruan tinggi yang ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman barunya di kampus. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanan satu bulan yang direncanakan ke Amerika Serikat akan mengubah hidupnya dan menggiringnya pada jalan untuk membela ayahnya, seorang etnis Uighur yang dijatuhi hukuman penjara oleh komunis Tiongkok. .
Ayah Jewher Ilham adalah Ilham Tohti, adalah seorang profesor ekonomi Uighur di Beijing yang mengelola situs web yang disebut “Uighur Biz.” Situs ini berusaha menjembati warga Uyghur di Tiongkok dengan suku Han Tiongkok.
Pada tahun 2013, ia diundang ke Universitas Indiana sebagai sarjana tamu; namun, pihak berwenang imigrasi Tiongkok tidak mengizinkannya meninggalkan Tiongkok pada hari ia dan putrinya akan naik pesawat di Bandara Beijing. Rezim komunis Tiongkok kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Ilham Tohti atas tuduhan menghasut separatisme — tuduhan yang menurut Ilham Tohti tidak berdasar.
“Ilham Tohti tidak pernah menyebutkan sepatah kata pun untuk memisahkan diri dari Tiongkok,” kata Jewher Ilham kepada China Uncensored.
Dipaksa Mulai dari Awal
Sebelum terjadinya insiden ini, Jewher Ilham selalu berpikir ayahnya adalah seorang “paranoid, yang curiga setiap saat” bahwa pihak berwenang Komunis Tiongkok mengawasinya.
Kebenaran akhirnya muncul setelah ayahnya memberitahunya di bandara supaya ia pergi ke Amerika Serikat tanpa sang ayah.
“Lihatlah sekelilingmu. Negara ini memperlakukan anda seperti ini. Apakah anda masih ingin tinggal di sini?” ingat Jewher Ilham apa yang dikatakan sang ayah kepadanya.
“Pada saat itu, semuanya mulai masuk akal,” tambah Jewher Ilham lebih lanjut.
Jewher Ilham naik pesawat menuju Amerika Serikat meskipun ia sebenarnya tidak ingin pergi. Namun, datang ke Amerika Serikat saja tidaklah mudah, karena Jewher Ilham yang gugup hampir dikirim kembali ke Tiongkok — visa miliknya terikat pada visa ayahnya. Karena ia tidak paham bahasa Inggris, ia tidak dapat menjelaskan kepada petugas imigrasi Amerika Serikat mengenai situasi dirinya.
Setelah menunggu lebih dari 30 jam tanpa makanan, air, dan tidur, Jewher Ilham ingat ia membawa kartu nama “Elliot Sperling,” pria yang mengundang ayahnya ke universitas. Dengan bantuan Elliot Sperling, ia berhasil masuk Amerika Serikat.
Begitu tiba di Amerika Serikat, Jewher Ilham berusaha mengetahui situasi ayahnya. Tiga hari berikutnya, Jewher Ilham menghubungi ayahnya dan ia diberitahu bahwaa ayahnya dipukul dan diinterogasi.
Selama percakapan mereka, ayahnya juga membuat keputusan untuk Jewher Ilham – keputusan yang menurut Jewher Ilham adalah “konyol” – untuk tinggal di Amerika Serikat.
“Tidak peduli apa yang saya katakan di masa depan, tidak peduli apa yang saya katakan pada kamu, jika saya katakan kembali, saya tidak bersungguh-sungguh. Tetaplah di Amerika Serikat. Saya lebih suka kamu menyapu jalan di Amerika Serikat daripada kembali ke sini,” sang ayah kepadanya.
Jewher Ilham tidak mempercayai apa yang didengarnya. Sebelum datang ke Amerika Serikat, ia menikmati kehidupan kampusnya yang baru di Tiongkok dan tiba-tiba disuruh memulai kehidupan dari awal. Meskipun demikian, ia mendengarkan saran ayahnya dan kemudian bersekolah di Amerika Serikat berkat bantuan Elliot Sperling.
“Elliot Sperling banyak membantu saya dan ia membimbing saya. Ia merawat saya, ia memperlakukan saya seperti putrinya sendiri,” kata Jewher Ilham.
Penjara Seumur Hidup dan Kamp Pendidikan Ulang di Xinjiang
Pada tahun 2014, Ilham Tohti dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Pada saat itu, Jewher Ilham berhasil menulis surat kepada ayahnya dan mengirim fotonya melalui pengacaranya. Namun, itu adalah pesan terakhir Jewher Ilham untuk ayahnya.
Tiga tahun kemudian, pada tahun 2017, keluarga Jewher Ilham di Tiongkok kehilangan kontak dengan Ilham Tohti dan sejak itu tidak ada kabar di mana Ilham Tohti berada. Tahun 2017 juga adalah tahun di mana rezim komunis Tiongkok memulai kamp pendidikan ulang di Xinjiang.
Tidak dapat mengetahui keberadaan ayahnya membuat Jewher Ilham khawatir. Ia berharap rezim Tiongkok dapat memberikan beberapa bukti untuk menunjukkan bahwa ayahnya masih hidup.
Rezim komunis Tiongkok mengklaim bahwa kamp-kamp pendidikan ulang itu, yang dikatakan menahan sekitar satu juta orang termasuk warga Uyghur dan etnis minoritas, adalah untuk “mendidik dan mengubah” mereka yang dianggap berisiko melakukan “tiga kekuatan jahat” yaitu “ekstremisme, separatisme, dan terorisme.”
Menurut laporan media, Prof. Tashpolat Tiyip, mantan presiden Universitas Xinjiang, diyakini telah dihukum karena melakukan tindakan “separatisme” pada tahun 2017 setelah “dihilangkan secara paksa,” menurut Amnesty International.
Prof. Tashpolat Tiyip ditahan atas tuduhan korupsi dan penyuapan serta secara diam-diam dijatuhi hukuman mati. Namun, rezim Tiongkok membantah hal ini.
Menurut laporan dari BBC, teman-teman mengatakan bahwa profesor tersebut akan pergi ke Eropa untuk menghadiri konferensi dan membentuk kerjasama dengan Universitas Jerman pada tahun 2017 saat tiba-tiba ia ditangkap di Bandara Beijing dan dikirim kembali ke Urumqi, ibukota Xinjiang. Setelah itu, ia tidak pernah kembali ke rumah.
Mantan tahanan memberi informasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di kamp pendidikan ulang tersebut.
Seorang mantan tahanan, Gulbakhar Jalilova, mengatakan kepada The Epoch Times pada tahun 2018 bahwa ia melihat bagaimana para wanita Uyghur “pingsan karena dipukuli begitu keras, dan paku-paku ditusukkan ke jari-jari mereka supaya darah mengalir keluar.”
Jewher Ilham mengatakan kepada Dewan Riset Keluarga bahwa “umat Kristen, Buddha Tibet, bahkan pengacara hak asasi manusia” sedang dikurung.
Dua orang yang selamat mengatakan kepada Radio Free Asia pada tahun 2019 bahwa suku Han dan praktisi Falun Gong juga ditahan di kamp-kamp tersebut.
Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, adalah disiplin spiritual yang diperkenalkan di Tiongkok pada tahun 1992. Falun Gong terdiri dari ajaran moral dan lima latihan, termasuk meditasi. RezimKomunis Tiongkok melancarkan penindasan brutal terhadap Falun Gong pada tanggal 20 Juli 1999, setelah jumlah orang yang berlatih Falun Gong mencapai setidaknya 70 juta hingga 100 juta, lebih banyak daripada keanggotaan Partai Komunis Tiongkok.
Sejak penganiayaan dimulai, banyak praktisi Falun Gong ditangkap, ditahan, dan mengalami penyiksaan brutal. Juga telah dipastikan bahwa lebih dari 4.000 praktisi Falun Gong tewas dalam penganiayaan tersebut.
Jalan Menuju Kebebasan
Setelah sang ayah kehilangan kebebasannya, Jewher Ilham memutuskan untuk memulai perjalanan untuk mengusahakan kebebasan ayahnya. Pada bulan Juli 2019, Jewher Ilham mendapat kesempatan bertemu Presiden Donald Trump di Gedung Putih, bersama dengan para penyintas agama lainnya yang selamat. Ia juga diundang untuk berbicara di Majelis Umum PBB pada bulan September 2019.
Pada tanggal 18 Desember, Jewher Ilham menerima Penghargaan Sakharov tahun 2019 dari Parlemen Eropa mewakili ayahnya untuk membela hak asasi manusia.
“Saya berusaha melakukan apa saja yang mungkin membantu ayah saya dan komunitas saya. Saya tidak tahu apakah hal tersebut membantu, saya tidak tahu apakah ada yang akan membantu. Saya tidak ingin menyesal,” kata Jewher Ilham.
Jewher Ilham juga telah mengerjakan film dokumenter berjudul “Static & Noise” yang mencakup penganiayaan terhadap warga Uighur dan kelompok lain seperti umat Kristen yang ditindas oleh rezim Komunis Tiongkok.
Terlepas dari semua yang dilakukannya, Jewher Ilham mengatakan ia tidak menentang negara asalnya atau pun rakyat Tiongkok.
“Beberapa teman baik saya sebenarnya adalah orang Tiongkok tetapi saya menentang kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap kelompok-kelompok tertentu, seperti warga Uighur, seperti minoritas umat Kristen di Tiongkok, suku Han Tiongkok, orang-orang yang ditindas oleh pemerintah Tiongkok,” kata Jewher Ilham.
Dan sementara yang lain mungkin menghubungkan kegiatannya dengan politik, Jewher Ilham memohon untuk tidak disamakan dengan hal tersebut.
“Ini adalah masalah kemanusiaan, dan ini bukanlah mengenai politik, bukanlah mengenai agama,” jelas Jewher Ilham.
“Tidak masalah jika saya adalah orang Uighur, jika saya adalah orang Tionghoa, jika saya adalah orang Amerika, jika saya berasal dari negara lain, dari etnis lain atau kelompok agama lain, ini bukanlah masalah satu orang. Ini adalah mengenai kita semua,” tambah Jewher Ilham. (vivi/asr)
Screenshoot : Jewher Ilham saat diwawancarai oleh China Uncensored.
Video Rekomendasi :