Theepochtimes.com- Di seluruh Tiongkok, orang-orang berduka karena kehilangan orang yang dicintainya akibat terinfeksi virus Komunis Tiongkok, yang telah merusak Tiongkok di tengah-tengah kerahasiaan pihak berwenang.
Para peneliti memperkirakan bahwa jutaan orang cenderung terinfeksi di seluruh Tiongkok. Sejumlah kasus kematian tidak dilaporkan, beberapa kasus kematian diakibatkan kekurangan perawatan dasar di saat-saat terakhir.
Bagi yang selamat, mata pencahariannya dipertaruhkan. Pandemi juga menutup bisnis dan menjerumuskan ekonomi Tiongkok dalam kontraksi pertama selama beberapa dekade.
Kerugian ekonomi karena virus itu mencapai 1.3 triliun yuan atau usd 183,7 miliar untuk periode dari bulan Januari hingga Februari 2020 saja. Menurut perkiraan oleh Zhu Min, mantan wakil direktur utama Dana Moneter Internasional.
Kehancuran tersebut mendorong semakin banyak warga Tiongkok meluncurkan tantangan hukum melawan rezim Tiongkok yang berkuasa.
Pada tanggal 6 Maret 2020, sekitar dua lusin pengacara dan pembela hak dari sembilan provinsi di Tiongkok bergabung dengan para pembangkang Tiongkok di Amerika Serikat untuk menawarkan konsultasi bagi para korban yang mencari kompensasi dari rezim Tiongkok.
“Tanggung jawab ada pada pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menyebabkan wabah besar-besaran, kematian, dan akibat-akibat setelahnya, tetapi kini rakyat jelata menanggung kerugian,” kata Li Fang, seorang anggota kelompok konsultasi.
Kelompok konsultasi tersebut menerima setidaknya tujuh pertanyaan sejauh ini. Dua warga Tiongkok mengatakan keluarganya menderita infeksi paru tetapi tidak mampu mendapatkan perawatan, karena rumah sakit juga kelebihan beban.
Kedua anggota keluarga itu akhirnya meninggal sebagai kasus yang tidak dipastikan karena kurang dari dua jam dirawat di rumah sakit.
Pengadu lain, yang pulih dari virus itu, belum menerima laporan diagnostik dan akibatnya ia tidak dapat mengajukan klaim asuransi.
Yi An nama samaran, seorang pria warga Wuhan yang kehilangan orang tuanya karena virus itu, menuduh rezim Tiongkok melakukan “pembunuhan.”
Menelusuri posting internet, Yi An mengatakan ia membaca tragedi yang tidak terhitung jumlahnya yang mencerminkan pengalamannya.
“Tidak ada permintaan maaf … bahkan tidak ada kata belasungkawa dari pemerintah Tiongkok,” katanya dalam sebuah wawancara.
Kini Yi An sedang mempertimbangkan tindakan hukum. Menurutnya itu bukan karena uang tapi soal penjelasan.
“Seseorang harus bertanggung jawab,” kata Tan Jun, seorang pegawai negeri Tiongkok yang telah mengajukan gugatan di Pengadilan Rakyat Yichang Xining terhadap pemerintah Provinsi Hubei, wilayah di mana wabah muncul.
Tan Jun adalah seorang karyawan administrasi berusia 52 tahun di Taman anak-anak di kota Yichang, Hubei. Tan Jun adalah orang pertama yang diketahui di Tiongkok yang menuntut Komunis Tiongkok di pengadilan atas kegagalannya dalam menanggapi virus tersebut.
Tan Jun menyalahkan Komunis Tiongkok karena membiarkan komunitas Baibuting di kota Wuhan mengadakan acara makan-makan yang dihadiri 40.000 rumah tangga, beberapa hari sebelum Wuhan dikarantina. Pada pertengahan bulan Februari lalu, penghuni dari puluhan apartemen di lingkungan Baibuting melaporkan adanya kasus infeksi.
Dengan menyensor peringatan dini dari dokter pelapor pelanggaran Li Wenliang dan awalnya menyangkal bahwa virus dapat menyebar di antara manusia, pihak berwenang tidak memberitahu kepada masyarakat mengenai risiko kesehatan yang sebenarnya dengan konsekuensi yang mematikan.
Tan Jun menilai karena kegagalan pemerintah Hubei, kini penduduk Provinsi Hubei menghadapi diskriminasi di dalam negerinya sendiri, sering dijauhi dan bahkan dipukuli.
Untuk nyawa yang hilang dan kesalahannya, pemerintah Hubei harus meminta maaf kepada masyarakat di halaman depan surat kabar milik pemerintah setempat, Hubei Daily, tulis Tan Jun dalam arsip pengadilannya yang dibagikan kepada The Epoch Times.
Rezim Tiongkok bertindak cepat untuk menekan tindakan pembangkangan semacam itu.
Hanya dalam waktu seminggu setelah kelompok pengacara terbentuk, Kementerian Hukum Tiongkok mengeluarkan perintah informal yang melarang pengacara “menciptakan masalah” dengan terlibat dalam tuntutan hukum untuk mencari kompensasi, menandatangani pernyataan bersama, menghubungi pengacara hak asasi, atau menerima wawancara dari media luar negeri.
“Tampaknya hal itu adalah tanggapan langsung terhadap upaya kelompok pengacara,” kata Li Fang.
Setidaknya satu orang menarik tuntutan hukumnya setelah tempat kerjanya mengetahui rencananya. Ia dikritik karena membuat “kesalahan politik.”
Yang Zhanqing, seorang pembela hak asasi manusia dalam kelompok pengacara itu, mengatakan, polisi setempat baru-baru ini memanggil keluarganya di Tiongkok sebanyak dua kali untuk bertanya mengenai kegiatannya. Keluarganya diminta untuk menandatangani formulir non-pengungkapan yang berjanji untuk tidak membicarakan diskusi mereka di kantor polisi.
Menurut Yang Zhanqing, para pejabat cenderung melakukan semua yang mereka mampu, dari menawarkan bantuan kecil hingga mengancam untuk mencegah tindakan hukum semacam itu, yang memotivasi kelompok pengacara itu lebih banyak untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
“Setelah diajukan, maka akan menjadi kasus peristiwa penting, apakah pengadilan menunda atau memprosesnya,” kata Yang Zhanqing.
Yang Zhanqing telah menyusun sampel keluhan 14 halaman dan mempostingnya secara online dengan empat petunjuk langkah untuk referensi orang-orang.
“Banyak orang telah menerima ancaman dari pemerintah daerah selama komunikasi kami … jadi saya pikir mungkin lebih baik jika mereka tidak perlu kontak dengan kami. Seorang korban harus merasa berhak membela haknya. Pihak berwenang dapat mengklaim tindakan itu adalah tindakan anti-bangsa dan anti-pemerintah, tetapi hak-hak rakyat dijamin oleh hukum,” kata Yang Zhanqing.
Sekitar jam 6 sore tanggal 13 April 2020 lalu, beberapa jam setelah Tan Jun mengantarkan gugatan, polisi kota Yichang memanggil Tan Jun dan penyelianya.
Polisi kota Yichang menuntut Tan Jun untuk berhenti menerbitkan materi online. Mereka memperingatkan, jangan sampai itu diambil diuntungkan oleh media asing.
Sang penyelia juga berusaha menghalangi Tan Jun, mengungkapkan kekhawatiran didenda. Namun meski ada tekanan, Tan Jun bersumpah untuk melanjutkan.
“Bukti yang saya kumpulkan semuanya adalah dokumen pemerintah. Saya tidak mengarang apa pun,” kata Tan Jun, menambahkan bahwa ia memastikan untuk menyimpan salinan setiap dokumen yang ia ajukan.
Tan Jun tahu risiko menyinggung rezim Komunis Tiongkok. Pada tahun 2008, ia ditahan selama 10 tahun hari setelah menulis postingan di media sosial yang oleh pihak berwenang diklaim “menfitnah pemimpin nasional.”
Memperhatikan sistem hukum Tiongkok yang buram yang berpihak pada kepentingan Komunis Tiongkok, Tan Jun mengakui bahwa peluangnya untuk memenangkan gugatan adalah tipis.
“Komunis Tiongkok mengerahkan mekanisme nasional dan menghabiskan semua sumber daya menentang warganegara. Memenangkan gugatan atau tidak adalah tidak lagi penting bagi saya… lebih baik jika saya dapat menang, tetapi saya tidak perlu menyesal,” kata Tan Jun.
Keterangan Gambar: Seorang warga mempersembahkan bunga saat penghormatan diam-diam kepada para martir yang tewas dalam perang melawan wabah virus coronavirus (COVID-19) yang baru terjadi dan rekan sebangsa yang meninggal karena penyakit itu di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada 4 April 2020. (Getty Images)
Vivi/rp
Video Rekomendasi