Home Blog Page 17

Turis di Tiongkok Merusak Patung Tentara Terakota Berusia 2.000 Tahun Setelah Melompat ke Dalam Lubang

EtIndonesia. Seorang turis menuai kecaman luas setelah melompat ke bagian yang dilindungi di situs Tentara Terakota di Xi’an, Tiongkok dan merusak dua patung kuno tersebut.

Insiden tersebut terjadi pada hari Jumat (30/5) ketika seorang pria berusia 30 tahun, yang hanya dikenal sebagai Sun, melompati penghalang pengaman — termasuk pagar pembatas dan jaring — ke salah satu lubang yang menampung tentara tanah liat berusia 2.000 tahun tersebut.

Meskipun lubang tersebut sedalam lebih dari 5m, Sun berhasil turun ke dalamnya dan mulai menarik beberapa patung, menyebabkan kerusakan yang terlihat pada setidaknya dua di antaranya.

Dia baru berhenti ketika petugas keamanan turun tangan dan menahannya.

Pihak berwenang museum telah mengonfirmasi bahwa Sun menderita penyakit mental dan bahwa penyelidikan polisi masih berlangsung.

Situs Tentara Terakota, yang dianggap sebagai salah satu harta arkeologi terbesar di Tiongkok, tetap terbuka untuk pengunjung.

Para pejabat saat ini sedang menilai tingkat kerusakan dan cara terbaik untuk melakukan perbaikan.

Lubang yang dimasuki Sun adalah satu dari ratusan lubang di kompleks luas yang dibangun untuk menjaga makam kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Huang.

Ditemukan pada tahun 1974 oleh petani setempat, area tersebut telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Lubang tersebut berisi lebih dari 8.000 patung terakota, termasuk prajurit, kereta perang, kuda, musisi, akrobat, dan pejabat.

Insiden di Xi’an menambah pola vandalisme yang meresahkan di tempat-tempat bersejarah.

Pada bulan Mei, seorang pria di Vietnam ditangkap setelah menaiki singgasana dinasti Nguyen yang berusia berabad-abad di Istana Thai Hoa di Hue dan mematahkan salah satu sandaran lengannya.

Pihak berwenang mengatakan bahwa dia tampak sangat mabuk dan menunjukkan tanda-tanda psikosis.

Beberapa hari kemudian, Kementerian Kebudayaan Peru mengecam tindakan penodaan warisan budaya lainnya setelah seorang pria terekam sedang menyemprotkan cat simbol falus pada dinding berusia 600 tahun di Chan Chan, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.(yn)

Sumber: mustsharenews

Jembatan Krimea Meledak, Pangkalan Nuklir Hancur: Dunia Waswas Menanti Langkah Putin Selanjutnya

EtIndonesia. Dunia internasional tengah berada dalam ketegangan luar biasa setelah serangkaian peristiwa dramatis yang berpotensi mengubah jalannya sejarah. Dalam rentang waktu kurang dari seminggu, konflik antara Rusia dan Ukraina mengalami eskalasi tajam yang disebut-sebut sebagai titik balik paling berbahaya sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Dari upaya pembunuhan Presiden Vladimir Putin hingga serangan masif drone Ukraina terhadap kekuatan udara strategis Rusia, situasi di Eurasia kini kian panas dan menimbulkan kekhawatiran global—bahkan potensi pecahnya Perang Dunia Ketiga.

Upaya Pembunuhan Putin dan “Operasi Jaring Laba-laba”

Pada 1 Juni, Ukraina melancarkan operasi gabungan besar-besaran yang dinamai “Operasi Jaring Laba-laba”. Serangan ini menargetkan sejumlah pangkalan strategis Angkatan Udara Rusia yang tersebar di lima wilayah kunci: mulai dari Murmansk di Kutub Utara, Irkutsk di Siberia, hingga Amur di Timur Jauh. Dengan menggunakan ratusan drone, Ukraina menyerang fasilitas-fasilitas militer dan lapangan terbang yang diketahui menjadi basis pesawat pengebom strategis Rusia—termasuk armada pembom nuklir yang selama ini menjadi tulang punggung kekuatan deterrent Moskow.

Serangan ini, yang diyakini sebagai salah satu aksi militer terbesar sejak dimulainya invasi, diduga menghancurkan setidaknya 34%—bahkan beberapa sumber menyebut hampir 40%—dari total armada pesawat pengebom strategis Rusia. Akibatnya, kemampuan Rusia untuk melancarkan serangan nuklir jarak jauh mendadak terpangkas secara drastis. Dunia internasional, termasuk Amerika Serikat, dikabarkan terkejut dengan keberanian dan skala serangan ini.

Kejutan Besar dan Diamnya Gedung Putih

Yang membuat situasi semakin pelik, menurut pernyataan resmi dari pemerintahan Trump, Amerika Serikat sama sekali tidak mengetahui rencana serangan besar ini dan tidak menerima notifikasi atau permintaan konsultasi dari pihak Ukraina.

Jenderal (Purn) Michael Flynn, mantan wakil penasihat keamanan nasional AS, menyatakan dengan nada prihatin: “Bagaimana mungkin operasi sebesar ini lolos dari radar sistem intelijen? Siapa yang memberi otorisasi, siapa yang memblokir informasi kepada Presiden? Ini ibarat serangan 9/11 di mana Presiden Bush bahkan tidak sempat menerima telepon peringatan. Ini bukan sekadar kecelakaan sistem, melainkan bencana dalam manajemen keamanan nasional.”

Flynn menambahkan, serangan ini bukan sekadar “gangguan” di garis depan, tetapi adalah “serangan langsung terhadap platform nuklir”—sebuah tindakan yang secara strategis dapat dianggap oleh Moskow sebagai deklarasi perang terbuka, bahkan potensi eskalasi menuju konflik nuklir.

Jembatan Krimea: Simbol yang Terus Dihantam

Tak berhenti di situ, pada 3 Juni, Badan Keamanan Ukraina mengonfirmasi telah melakukan serangan peledakan bawah air terhadap Jembatan Krimea—jalur vital yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea yang diduduki. Dalam operasi yang disebut telah dipersiapkan selama berbulan-bulan, Ukraina menggunakan bom bawah air yang sebelumnya sudah dipasang untuk menghancurkan pilar-pilar utama jembatan tersebut. Rekaman video yang dirilis memperlihatkan ledakan masif di bawah permukaan air, disusul semburan air dan serpihan logam yang beterbangan.

Serangan ini menjadi yang ketiga kalinya terhadap jembatan Krimea sejak perang pecah. Jembatan ini bukan hanya simbol aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina, tetapi juga jalur logistik utama bagi pasukan Rusia di selatan. Kerusakan parah pada jembatan menyebabkan lalu lintas darat dan kereta terputus sementara, memaksa Rusia menetapkan status darurat.

Respons Rusia: Bom Udara FAB-3000 Menghantam Ukraina

Hanya berselang satu hari setelah “Pearl Harbor versi Rusia” ini, Moskow akhirnya melancarkan serangan balasan. Pada 2 Juni, Angkatan Udara Rusia melakukan serangan udara berat ke markas komando militer Ukraina di wilayah Sumy, Ukraina timur laut. Dengan menggunakan bom udara FAB-3000 berkekuatan besar, fasilitas komando Ukraina diratakan dengan tanah. Laporan awal menyebutkan banyak korban tewas di kalangan perwira tinggi dan staf komando Ukraina.

Pengamat menilai serangan ini hanyalah awal dari kemungkinan rangkaian aksi balasan Rusia yang lebih dahsyat. Namun, dunia kini menanti langkah berikutnya, mengingat Vladimir Putin sendiri masih memilih untuk tidak membuat pernyataan publik.

Kesunyian yang Mencekam: Apakah Ini “Sebelum Badai”?

Yang paling mencemaskan dunia saat ini bukan hanya aksi militer yang terjadi, melainkan keheningan yang menyelimuti para aktor utama. Baik Vladimir Putin di Moskow maupun Presiden AS, Donald Trump di Washington hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai serangkaian serangan yang terjadi—termasuk upaya pembunuhan terhadap Putin sendiri.

Rebecca Koffler, mantan analis intelijen Rusia dan penulis naskah pidato Putin, menegaskan: “Kita sudah melewati tahap perang perwakilan (‘proxy war’). Ini sudah menjadi konfrontasi militer langsung antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan Rusia. Keheningan saat ini justru yang paling menakutkan, karena sering kali diam berarti sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar.”

Senada dengan itu, analis militer Steve Bannon mengingatkan: “Amerika Serikat kini terseret ke dalam pusaran konflik berskala dunia yang bisa saja jauh lebih parah dibanding dua perang dunia sebelumnya. Jika ini dibiarkan, siapa pun bisa saja menyalakan sumbu perang global.”

Dampak Global dan Spekulasi: Menuju Perang Dunia Ketiga?

Dengan keberhasilan Ukraina melumpuhkan sebagian besar pesawat pengebom strategis Rusia, tatanan keamanan dunia kini dipertaruhkan. Banyak pengamat meyakini bahwa aksi Ukraina, meski secara teknis adalah upaya mempertahankan diri, secara geopolitik justru dapat memicu aksi balasan Rusia yang tak terduga—bahkan penggunaan senjata nuklir tak lagi sepenuhnya tabu.

Media internasional menyebut serangan ke pangkalan udara Rusia sebagai “Pearl Harbor versi Rusia”. Namun, pertanyaannya, apakah Rusia akan bereaksi sekuat Amerika Serikat pada 1941? Dan jika ya, apakah dunia siap menanggung akibatnya?

Sampai artikel ini ditulis, baik Vladimir Putin maupun Donald Trump masih memilih diam. Tidak ada satupun pernyataan resmi dari Kremlin atau Gedung Putih terkait eskalasi yang terjadi. Dunia menahan napas—menanti, apakah diam ini adalah tanda perang yang segera meledak, atau upaya terakhir untuk mencegah kiamat nuklir.

Ketika Nama Xi Jinping Menghilang dari Media: Sandi Suksesi dan Kudeta Halus di Tubuh PKT

EtIndonesia. Tradisi politik yang sudah mengakar kuat di Tiongkok akhirnya goyah di tahun ini. Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, perayaan Hari Anak pada 1 Juni — yang biasanya menjadi panggung wajib bagi Xi Jinping untuk membangun citra “Bapak Bangsa” di hadapan jutaan rakyat — berlangsung tanpa kehadiran sosok sang pemimpin. Tiada kunjungan ke sekolah, tiada gestur mengusap kepala anak-anak, bahkan sekadar video ucapan atau tanda tangan pada scarf merah anak-anak pun absen total. Semua ritual propaganda yang selama ini menjadi andalan Partai Komunis Tiongkok (PKT) seolah “lenyap dari sejarah”.

Yang tersisa hanyalah sebuah surat ucapan selamat yang kering dan datar, tanpa sentuhan personal. Saking minimnya materi baru, media resmi seperti CCTV dan Xinhua pun terpaksa memutar ulang rekaman lawas, seperti membuat memorial bagi tokoh masa lalu. Seolah-olah, dalam kalender politik 2025, Xi Jinping benar-benar dihapus dari narasi Hari Anak.

Dalam sistem propaganda PKT yang sangat kaku dan penuh perhitungan, absennya seluruh rangkaian ini tentu bukan sekadar kelalaian teknis. Justru, ini menjadi alarm keras akan adanya turbulensi besar di pusat kekuasaan Tiongkok.

Cai Qi, Scarf Merah, dan “Bapak Presiden Sakit”

Situasi makin memanas pada 27 Mei lalu, ketika Cai Qi — anggota Politbiro sekaligus loyalis dan “tangan kanan” Xi Jinping — tiba-tiba tampil ke depan, membawa scarf merah dan hadir dalam acara anak-anak, mewakili “pimpinan pusat partai”. Dalam pidatonya, secara terbuka dia menyampaikan bahwa “Bapak Presiden baru-baru ini sakit, hanya perlu istirahat”. Namun, pertanyaan besar pun muncul: siapa yang sebenarnya bertanya soal itu? Mengapa harus buru-buru membantah rumor di ruang publik? Semakin ingin menutup-nutupi, justru semakin besar rasa penasaran masyarakat: ada apa dengan Xi Jinping?

Atmosfer politik ibu kota pun semakin tegang, terlebih setelah para pejabat provinsi berbondong-bondong kembali ke Beijing. Sementara itu, scarf merah — simbol khas generasi penerus — tidak lagi tampak di dada “inti” kekuasaan.

Xinhua: “Siap Mengambil Alih”—Sandi Suksesi yang Tak Lagi Terselubung

Tepat di tengah keanehan ini, Xinhua News Agency menerbitkan tajuk utama dengan judul mencolok: “Harus Selalu Siap untuk Mengambil Alih Kepemimpinan di Masa Depan”. Headline itu tanpa subjek dan objek — hanya kata “mengambil alih” yang begitu gamblang, tanpa tedeng aling-aling. Di sistem media PKT yang serba penuh sensor dan pengawasan, judul seperti ini jelas bukan iseng, melainkan sandi keras bahwa “pergantian pemimpin” memang sedang dipersiapkan.

Sejumlah pengamat menilai, Xinhua sudah membaca arah angin sejak kasus hilangnya Fu Hua, mantan Pemimpin Redaksi People’s Daily dan “penyambung lidah nomor satu” Xi Jinping. Fu Hua kini lenyap tanpa jejak dari jajaran inti media, diduga terdepak akibat loyalitas “berlebihan” pada Xi — sebuah sinyal keras bagi seluruh birokrasi propaganda: “Era baru segera dimulai, cari pijakan baru sebelum terlambat!”

Headline “mengambil alih” dalam pemberitaan Hari Anak sejatinya adalah bunyi gong dari Xinhua: “Kami tahu dia akan mundur. Semua orang, siap-siap saja!”

PLA Daily: Loyalitas Berpindah dari Pribadi ke Partai

Kejutan berikutnya datang dari Harian Tentara Pembebasan (PLA Daily) pada hari yang sama. Dalam editorial penting berjudul “Pertajam Loyalitas Revolusioner Prajurit”, untuk pertama kalinya dalam satu dekade, nama Xi Jinping tidak disebutkan sama sekali. Jika biasanya editorial PLA Daily dipenuhi ungkapan seperti “Patuh sepenuhnya pada perintah Ketua Xi”, kali ini mereka hanya menulis “Loyal pada Partai”, “Mendengarkan perintah Partai”, dan “Menjaga disiplin ketat”.

Pergantian diksi ini tidak bisa dipandang enteng. Bagi sistem PKT, ini pertanda bahwa loyalitas militer telah beralih dari kultus individu kembali ke kepemimpinan kolektif partai. Ini pula sinyal bahwa militer — pilar utama kekuasaan di Tiongkok — tidak lagi 100% berada di bawah komando pribadi Xi. Pengalaman pahit Hu Yaobang dan Zhao Ziyang di masa lalu menjadi pengingat: jika militer sudah tidak lagi memihak, maka tak lama lagi, sang pemimpin tinggal menunggu waktu untuk “masuk museum sejarah”.

Editorial tersebut adalah deklarasi terbuka: “Era baru, pemimpin baru!” Fase transisi ini bukan lagi rumor di balik layar, tapi sudah mulai diwartakan secara gamblang.

Roket Karier Lu Dongliang: Sandi Pengangkatan Darurat untuk Suksesi

Pergeseran besar juga tampak pada struktur birokrasi. Pada 30 Mei, Komite Provinsi Shanxi mengumumkan penunjukan mendadak: Lu Dongliang diangkat menjadi Wakil Sekretaris Komite Provinsi, membawahi bidang keuangan, keamanan, dan integrasi sipil-militer — tiga sektor strategis. Lonjakan karier Lu begitu luar biasa: dari Wakil Gubernur ke Wakil Sekretaris hanya dalam lima bulan, tanpa “masa magang” bertele-tele.

Lebih dari sekadar promosi, jabatan yang dipegang Lu Dongliang adalah “kursi kendali” ekonomi dan keamanan: dari Komisi Pembangunan dan Reformasi, Dinas Keuangan, hingga penanganan krisis dan integrasi militer-sipil. Menurut tradisi PKT, ini adalah langkah “pengangkatan darurat” — sandi bahwa faksi baru tengah menyiapkan suksesi nyata.

Profil Lu Dongliang pun menarik: dia bukan berasal dari “kelompok Xi”, melainkan birokrat ekonomi-teknologi, jebolan reformis, dan dianggap representasi “arus teknologi baru”. Penempatan Lu Dongliang di Shanxi — wilayah yang secara historis kerap jadi laboratorium reformasi PKT — adalah ujian untuk format suksesi di era pasca-Xi.

Manuver di Sektor Keuangan: Kembalinya Orang Wang Qishan

Pergantian besar juga terjadi di pusat keuangan negara. Pada hari yang sama, Zhang Xiaodong ditunjuk sebagai Wakil Sekretaris Partai di Bank Pembangunan Pertanian Tiongkok (ADBC), salah satu “tombak fiskal” utama Tiongkok. Zhang adalah teknokrat keuangan, jebolan ICBC — bank yang selama ini dikenal sebagai basis Wang Qishan, mantan “menteri keuangan” paling berpengaruh era Xi.

Kembalinya loyalis Wang Qishan ke posisi kunci keuangan menjadi sinyal jelas: reformasi fiskal tengah berjalan cepat, dan faksi lama kembali merapat ke inti kekuasaan — tanda bahwa masa dominasi “kelompok Xi” benar-benar sedang diakhiri.

“Pukulan Pamungkas”: Tiga Jabatan Zheng Yanxiong Disikat Sekaligus

Puncak drama terjadi pada larut malam 30 Mei. Zheng Yanxiong — tokoh “tangan besi” yang pernah jadi simbol penumpas demonstrasi di Wukan dan arsitek “kota polisi” di Hong Kong — dicopot sekaligus dari tiga jabatan kunci: Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Pusat untuk Hong Kong, Wakil Direktur Kantor Urusan Hong Kong-Makau, serta Penasihat Keamanan Nasional Komite Keamanan Hong Kong. Tanpa masa transisi, tanpa rotasi, tanpa basa-basi.

Pencopotan brutal ini hanya bermakna satu: faksi baru penguasa ingin segera “membersihkan utang lama”, menyapu bersih seluruh sistem warisan “kelompok Xi”, dan menata ulang struktur kekuasaan dari akar.

Zheng Yanxiong, simbol pendekatan represif sejak era Xi, kini harus lengser tanpa perlawanan. Kejadian ini menjadi penanda dimulainya gelombang besar pembersihan internal: berikutnya, “serigala diplomat” akan disingkirkan, kepolisian dirombak, sektor keuangan dan parlemen juga akan diam-diam diganti.

Menuju Era Baru: Transformasi Ekstrem di Tubuh PKT

Seluruh rangkaian peristiwa di atas bukanlah deretan kebetulan. Dari absennya Xi Jinping di Hari Anak, headline Xinhua tentang suksesi, perombakan pejabat di pusat keuangan dan pemerintahan daerah, hingga pembersihan brutal terhadap loyalis Xi — semuanya adalah bagian dari skenario besar menuju era baru di tubuh PKT.

Tiongkok kini tengah memasuki fase transisi internal yang paling ekstrem dan berbahaya dalam 40 tahun terakhir. Semua berawal dari hilangnya “suara manusia kuat” di Beijing, absennya satu scarf merah, dan getaran pertama dari perubahan rezim yang sudah tak bisa dibendung lagi.

Situasi Epidemi di Tiongkok Memanas, Dokter Mengungkap Upaya Menutup-nutupi Epidemi oleh PKT

Setelah secara langka mengakui bahwa wabah COVID-19 kembali meningkat, rezim PKT kembali mengklaim bahwa wabah sudah mereda. Namun, banyak warga dari berbagai daerah di Tiongkok mengatakan kepada NTD bahwa wabah sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Gelombang baru COVID-19 kini sedang merebak; rumah sakit dan klinik penuh sesak, banyak orang meninggal mendadak—bahkan ada dokter yang wafat di tempat kerja. Sejumlah dokter mengungkap bagaimana Partai Komunis Tiongkok (PKT) terus menutupi kenyataan wabah COVID-19

EtIndonesia. Pada awal Mei, PKT secara tidak biasa mengakui bahwa penyebaran virus Corona kembali meningkat. Namun pada 28 Mei, media pemerintah menyebutkan bahwa menurut Biro Pengendalian Penyakit, tren peningkatan kasus sudah mulai melambat.

Menjelang akhir Mei, seorang dokter di daratan Tiongkok mengatakan kepada wartawan NTD bahwa “wabah sebenarnya tidak pernah pergi.” Pemerintah melarang penyebutan COVID-19 atau pengakuan adanya wabah, karena semua ditentukan oleh kebutuhan politik.


“Karena ini menyangkut pemantauan pemerintah, mereka tidak akan bicara secara blak-blakan. Misalnya seperti tes PCR, dulu sempat dilarang. Kalau kamu ingin tes, biayanya lebih dari  RMB.100 . Jadi para dokter bilang, ya sudah, entah itu COVID atau bukan, sama saja—infeksi saluran pernapasan atas. Tidak perlu dites. Sekarang mulai dites lagi, karena negara juga ingin memantau dan tahu situasi. Kalau-kalau terjadi hal besar,” ujar Dokter Klinik Guangzhou, Kang Hong.

Kang juga mengungkap bahwa gelombang baru COVID-19 telah meledak, banyak orang terinfeksi, dan seorang dokter senior di rumah sakit kelas atas (Tingkat 3A) di Guangzhou meninggal dunia di tempat kerja setelah terinfeksi.

Kang Hong melanjutkan:  “Tingkat kematian COVID lebih tinggi dari flu biasa. Gejalanya lebih berat. Biasanya saya tidak pakai masker, sekarang saya pakai. Umumnya yang parah itu orang tua, yang bisa menyebabkan komplikasi seperti pneumonia. Ada yang bisa disembuhkan, ada yang tidak. Di rumah sakit tempat anak saya bekerja, seorang dokter tua meninggal. Dia masih bekerja, tapi hanya dua hari sudah tak kuat. Setelah diperiksa, gejalanya parah. Kasus seperti ini dihitung sebagai kecelakaan kerja.”

Belakangan ini, di Shanghai, Guangzhou, Yunnan, Hunan, dan Guizhou, banyak dokter terkenal juga meninggal mendadak. Usia tertua 64 tahun, termuda 37 tahun.

Kang mengungkapkan bahwa bahkan jika seseorang meninggal akibat COVID-19, rumah sakit tidak diperbolehkan melaporkannya.

Kang Hong menjelaskan:  “Sebagian besar pasien saya mengalami demam dan flu. Kami juga tidak melakukan tes; pasien juga enggan karena mereka tahu itu pasti COVID, dan tidak mau buang-buang uang. Dalam waktu lama, rumah sakit tidak mengadakan tes, karena takut menimbulkan kepanikan. Kalau sampai ada yang meninggal, semua jadi takut. Sekarang, dinas kesehatan sudah bilang: tidak perlu dilaporkan.”

Menurutnya, rumah sakit umumnya tidak mencatat jumlah kematian akibat COVID. Data resmi berasal dari “pos pemantauan” atau sentinel points, yaitu rumah sakit tertentu yang pembiayaan tesnya ditanggung negara. Tujuannya adalah untuk keperluan pengawasan pemerintah.

Kang berkata:  “Misalnya di Guangzhou, ada puluhan pos pemantauan, biasanya rumah sakit kelas 3A dan klinik demam. Dulu, meskipun belum ada COVID, sudah ada klinik demam. Jadi setiap pasien yang datang langsung dites. Tes ini dibiayai negara, bukan pasien. Pemerintah bisa memantau, tapi masyarakat umum tidak tahu.”

Chen Yang, seorang tabib Tiongkok di Zhuzhou, Hunan, juga mengungkap bahwa pemerintah terus menutupi wabah.

Chen Yang menyampaikan:  “Virus ini sedang meledak lagi. Menurut saya, sebenarnya tidak pernah berhenti. Saya sering menerima pasien. Setelah gagal ditangani dengan pengobatan barat, mereka datang ke saya. Saya beri obat tradisional Tiongkok, dan banyak yang membaik. Kalau ada yang meninggal, tidak boleh dikatakan akibat virus. Saya kira dari 1 miliar lebih penduduk Tiongkok, hampir semuanya sudah terinfeksi. Virus ini sudah membunuh setidaknya ratusan juta orang.”

Liu, warga Yulin, Shaanxi, mengatakan bahwa wabah datang bergelombang, dan banyak orang di sekitarnya mengalami gejala flu berulang-ulang.

Liu mengatakan:  “Banyak orang dewasa yang demam, diare, sakit tenggorokan. Banyak juga yang harus diinfus. Umumnya bisa disembuhkan, tapi butuh waktu sekitar seminggu.”

Beberapa warga Shenzhen juga mengatakan bahwa banyak orang di daerah mereka terinfeksi COVID, dan rumah sakit serta klinik dipenuhi pasien.

Jian, warga Shenzhen, mengatakan:  “Di selatan Tiongkok ini sangat parah. Di Shenzhen, hampir semua rumah sakit dan klinik penuh. Banyak yang sakit tenggorokan dan demam. Secara resmi ini dianggap sebagai COVID varian baru. Tapi kalau ada yang meninggal karena ini, pemerintah tidak akan mengakuinya.”

Tao, warga Jilin, juga menyampaikan bahwa banyak orang di sekitarnya meninggal, namun semua informasi ini diblokir oleh pemerintah.

Tao menyatakan:  “Akhir-akhir ini banyak yang meninggal. Beberapa hari ini saja sudah ada beberapa kasus. Ada yang tua, ada juga yang masih muda. Ada yang pagi-pagi masih sehat jalan-jalan, belum sempat ke rumah sakit sudah meninggal. Banyak yang bilang itu karena vaksin. Setelah disuntik, banyak yang mengeluh bahu sakit, tekanan darah naik terus. Banyak yang meninggal dunia.”

Sejak Januari 2023, pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi, telah memperingatkan bahwa PKT terus menutupi wabah selama lebih dari tiga tahun. Beliau  menyatakan bahwa hingga saat itu, COVID telah membunuh 400 juta orang di Tiongkok, dan jumlah itu bisa mencapai 500 juta ketika wabah ini benar-benar berakhir. (Hui)

Penyunting: Li Yun | Reporter: Xiong Bin | Pascaproduksi: Gao Yu

Lembaga Investasi Emas Ternama di Tiongkok Mengalami Gagal Bayar, Dana yang Terlibat Setara Lebih dari 4,4 Triliun Rupiah

0

Baru-baru ini, penyedia layanan komprehensif emas ternama di Tiongkok, Yongkun Gold, mengalami krisis pembayaran karena putusnya rantai pendanaan. Peristiwa ini berdampak pada lebih dari 10.000 investor. Saat ini, kantor pusat Yongkun Gold yang berada di Hangzhou, Zhejiang, telah disegel.

EtIndonesia. Pada 1 Juni, sejumlah media daratan melaporkan bahwa Yongkun Gold, penyedia layanan emas terkenal dengan lebih dari 30 gerai, mengalami kejanggalan dalam pembayaran — tidak mampu membayar maupun mengembalikan dana.

Beberapa korban menyampaikan bahwa Yongkun telah membangun kepercayaan selama 10 tahun melalui pembayaran yang stabil. Beberapa keluarga bahkan menginvestasikan hingga 20 juta yuan. Bahkan, ada karyawan Yongkun sendiri yang menginvestasikan seluruh harta mereka, bahkan sampai berutang demi berinvestasi.

Saat ini, jumlah korban penipuan diperkirakan telah melebihi 10.000 orang, dengan total dana yang terlibat lebih dari 2 miliar yuan. Selain itu, masih banyak investor lain yang belum melaporkan kasus mereka. Perkiraan konservatif menyebutkan jumlah total dana bisa mencapai 5 miliar yuan.

Yongkun mempromosikan produknya dengan menjanjikan imbal hasil tinggi antara 12% hingga 18%, serta menggunakan klaim “latar belakang modal negara” dan “penitipan oleh bank” sebagai jaminan kredibilitas untuk menarik investor. 

Mereka juga menyatakan bahwa jika harga emas naik, investor bisa menarik emas fisik atau menerima keuntungan, dan jika harga emas turun, modal akan dikembalikan dengan bunga tahunan 8%. Ada juga program penukaran poin dengan emas, yang menarik banyak investor.

“Ini hanyalah produk keuangan berkedok investasi emas. Ketika harga emas melonjak dan nasabah meminta pencairan emas, barulah platform ini memperlihatkan jati dirinya — bahwa sebenarnya tidak ada emas, ini murni penipuan,” kata ekonom Amerika Serikat, Huang Dawei. 

Investigasi menemukan bahwa “emas” yang dipamerkan Yongkun hanyalah kuningan berlapis emas. Dana investor dialihkan ke investasi berisiko tinggi dan dipindahkan ke luar negeri. Akhirnya, akibat fluktuasi harga emas dan gelombang penarikan dana secara massal, rantai pendanaan pun putus.

Sun Guoxiang, Associate Professor di Departemen Urusan Internasional dan Bisnis Universitas Nanhua, Taiwan, menyatakan: “Ini sangat mirip dengan skema Ponzi. Begitu aliran dana masuk berkurang atau banyak investor secara bersamaan meminta pencairan, platform tidak mampu menepati janji, yang berujung pada runtuhnya rantai pendanaan.”

Pada 27 Mei, pihak kepolisian Hangzhou mengonfirmasi bahwa kasus ini telah masuk tahap penyelidikan resmi. Perwakilan hukum perusahaan, Wang Guohai, dilaporkan menghilang, kepala keuangan kabur ke Yunnan, dan beberapa eksekutif lainnya telah ditahan.

Huang Dawei menambahkan: “Banyak penipuan yang mengatasnamakan investasi emas. Mereka telah lama beroperasi di luar jangkauan pengawasan. Pemerintah pun sebenarnya tahu, namun membiarkannya begitu saja. Ini adalah salah satu bentuk perampokan brutal di sudut gelap kekacauan sistem keuangan Tiongkok.” (Hui)

Laporan oleh reporter NTD, Li Yun dan Qiu Yue.

Gempa Magnitudo 5,8 Guncang Turkiye, Warga Terbangun dari Tidur – Seorang Gadis Diduga Meninggal Dunia karena Ketakutan

Pada 3 Juni 2025 dini hari, wilayah Marmaris di barat daya Turki diguncang gempa berkekuatan 5,8 magnitudo yang mengejutkan warga dari tidur mereka. Gempa ini menyebabkan seorang gadis remaja dilaporkan meninggal dunia akibat serangan panik, dan sedikitnya tujuh orang lainnya terluka saat berusaha melarikan diri dari rumah.

EtIndonesia. Gempa di Turki  pada pukul 02.17 waktu setempat. Stasiun televisi NTV melaporkan bahwa getaran terasa kuat dan membangunkan banyak orang, bahkan terasa hingga ke wilayah terdekat seperti Pulau Rhodes di Yunani.

Menteri Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya, menyatakan bahwa sejauh ini belum ada laporan kerusakan bangunan di kawasan pemukiman. Namun, di kota resort Fethiye, seorang gadis berusia 14 tahun dilaporkan meninggal dunia karena ketakutan.

Selain itu, tujuh orang lainnya mengalami luka-luka, sebagian besar karena melompat keluar dari jendela dalam keadaan panik. Saat ini belum ada laporan korban jiwa lainnya. 

Dalam video yang beredar, terlihat tamu-tamu hotel di kota tersebut dievakuasi keluar dari kamar mereka saat gempa terjadi, dan menunggu di luar karena kekhawatiran akan gempa susulan. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

Drama Diplomasi Timur Tengah: Prancis dan AS Bertarung Kata-kata, Hamas Tolak Damai!

EtIndonesia. Ketegangan diplomatik antara Amerika Serikat, Prancis, dan Israel semakin memanas menyusul pernyataan tajam dari Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, dalam sebuah wawancara eksklusif pada 2 Juni. Huckabee secara terbuka mengkritik sikap Presiden Prancis, Emmanuel Macron terkait isu pembentukan negara Palestina di tengah situasi perang yang masih berlangsung di Gaza.

Dalam wawancara tersebut, Huckabee menyindir keras proposal Prancis yang mendorong realisasi solusi dua negara. 

“Jika Prancis sungguh ingin mendirikan negara Palestina, silakan saja dirikan di French Riviera. Jangan memaksakan tekanan semacam itu kepada negara berdaulat lain,” ujarnya tegas.

Pernyataan Huckabee ini merespons pidato Presiden Macron yang pada pekan sebelumnya menyebut bahwa: “Di bawah kondisi tertentu, pembentukan negara Palestina adalah sebuah tuntutan moral sekaligus politik bagi komunitas internasional.” 

Macron bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Israel jika negara tersebut tidak menunjukkan itikad baik untuk menuju solusi damai.

Kondisi Terbaru di Gaza: Hamas Masih Menyandera 58 Warga Israel

Situasi di Gaza masih sangat panas. Sejak serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, situasi keamanan di kawasan tersebut berubah drastis. Hingga hari ini, setidaknya 58 warga Israel masih disandera oleh Hamas. Operasi militer dan blokade ketat terus dilakukan oleh Israel, sementara tekanan diplomatik terhadap pemerintah Netanyahu semakin meningkat dari berbagai negara Barat.

Menurut Duta Besar Huckabee, wacana mengenai solusi dua negara yang didengungkan Prancis sangat tidak realistis untuk diterapkan dalam situasi saat ini. 

“Israel sedang berada dalam keadaan perang. Wacana negara Palestina di tengah situasi seperti ini justru memperkeruh keadaan dan tidak menawarkan solusi nyata,” katanya.

Perpecahan Internasional: AS, Prancis, dan Arab Saudi

Pernyataan Macron telah memicu reaksi keras tidak hanya dari Israel, tetapi juga dari Amerika Serikat. Menurut analisis para pengamat politik internasional, hubungan Prancis dan Israel mengalami ketegangan paling serius sejak beberapa dekade terakhir.

Sebelum ancaman sanksi dijatuhkan, Israel sebenarnya telah menerima proposal Amerika Serikat mengenai gencatan senjata selama 60 hari—namun proposal ini ditolak mentah-mentah oleh Hamas. Pemerintah Israel menuding, manuver Macron hanyalah bagian dari kampanye global anti-Israel, bahkan ada tudingan bahwa Prancis “berniat mengusir warga Yahudi dari Tepi Barat” lewat tekanan internasional.

Sementara itu, Prancis dan Arab Saudi telah dijadwalkan untuk memimpin sebuah konferensi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juni ini. Tujuan utama konferensi tersebut adalah untuk membahas secara serius kemungkinan realisasi negara Palestina yang merdeka dan dapat berdampingan secara damai dengan Israel. Konferensi ini akan melibatkan negara-negara kunci Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat sebagai penengah utama.

Dinamika Diplomatik: Ancaman Sanksi hingga Manuver Politik Global

Tekanan terhadap Israel datang tidak hanya dari Prancis. Uni Eropa, sejumlah negara anggota G20, serta organisasi internasional lainnya semakin gencar menyerukan penyelesaian dua negara. Namun, para pejabat tinggi Israel tetap pada posisi keras, menolak upaya yang dianggap melemahkan posisi strategis mereka di kawasan.

Pemerintah Netanyahu menyebut bahwa keamanan nasional adalah prioritas utama.

“Israel tidak akan tunduk pada tekanan eksternal, terutama dalam situasi di mana keselamatan warga negara kami masih terancam langsung oleh aksi terorisme,” ungkap salah satu juru bicara pemerintah Israel.

Di sisi lain, para diplomat Prancis menegaskan bahwa tekanan internasional merupakan bagian dari upaya nyata menegakkan perdamaian dan keadilan di Timur Tengah. 

“Kami akan terus mendukung solusi dua negara. Hanya dengan cara inilah hak rakyat Palestina bisa dihormati dan keamanan Israel dapat dijamin,” tegas Macron dalam pernyataan terpisah.

Perspektif Amerika Serikat: Fokus pada Gencatan Senjata dan Keamanan

Sikap Amerika Serikat hingga kini tetap berfokus pada upaya mendorong gencatan senjata jangka menengah, bantuan kemanusiaan, serta perlindungan bagi warga sipil di kedua belah pihak. Namun, pemerintahan AS masih menolak tekanan untuk memaksa Israel menerima syarat-syarat internasional yang dinilai “tidak adil” dalam situasi konflik bersenjata.

“Prioritas kami adalah keselamatan sandera dan menurunkan eskalasi militer. Tidak ada solusi permanen yang bisa didiktekan oleh pihak luar selama pihak-pihak terkait belum siap untuk duduk bersama secara jujur,” jelas Huckabee menegaskan kembali posisi Pemerintah AS.

Penutup: Krisis Timur Tengah Menuju Titik Kritis

Konferensi internasional PBB yang akan dipimpin Prancis dan Arab Saudi pada bulan Juni mendatang diprediksi akan menjadi salah satu pertemuan paling menentukan dalam sejarah negosiasi Timur Tengah. Namun, dengan masih tertahannya 58 sandera Israel di Gaza dan tidak adanya tanda-tanda penurunan eskalasi militer, para pengamat pesimis akan tercapai solusi konkret dalam waktu dekat.

Diplomasi global kembali diuji, sementara rakyat di kedua sisi konflik terus berharap pada keajaiban perdamaian di tengah ancaman perang yang tak kunjung reda.

Indosat Gelar INSPIRE Career Week 2025 di Universitas Airlangga, Bekali Talenta Muda Hadapi Tantangan Era Digital

0

Surabaya Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung pengembangan talenta muda Indonesia melalui gelaran INSPIRE Career Week 2025 di Auditorium Ternate – Airlangga Sharia & Enterpreneurship Education Center (ASEEC) Tower Universitas Airlangga (UNAIR). Acara bertema “Gear Up: Your Future Starts Now!” ini dihadiri lebih dari 600 mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan.

INSPIRE (Indosat Ooredoo Hutchison Apprenticeship Experience) Career Week hadir sebagai wadah edukatif dan inspiratif yang membekali generasi muda dengan wawasan, keterampilan, serta motivasi untuk memasuki dunia kerja yang semakin terdigitalisasi.

Seminar ini menghadirkan Lisa Qonita, SVP Head of People & Culture Indosat Ooredoo Hutchison, yang membagikan panduan praktis dan strategi menghadapi tantangan karier di era digital.“Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, penting bagi generasi muda untuk memiliki skillset yang relevan dan mentalitas yang adaptif. Seminar ini kami hadirkan untuk membantu mahasiswa mempersiapkan diri sejak dini agar mampu meraih cita-cita mereka,”ujar Lisa.

Mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024, terdapat sekitar 3,6 juta Gen Z usia 15–24 tahun yang menganggur, atau sekitar 50% dari total pengangguran terbuka nasional. Fakta ini menunjukkan pentingnya inisiatif nyata untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.

Fahd Yudhanegoro, EVP Head of Circle Java Indosat Ooredoo Hutchison menyampaikan, “Kami percaya bahwa kewirausahaan menjadi salah satu solusi untuk menekan angka pengangguran. Melalui bootcamp ini, kami ingin menumbuhkan jiwa entrepreneur sekaligus membekali mahasiswa dengan keterampilan yang dibutuhkan di era teknologi.”

Sebagai bagian dari rangkaian acara, Indosat juga memperkenalkan Inspire Program (Indosat Ooredoo Hutchison Apprenticeship Experience) Circle Java, yaitu program magang eksklusif untuk mahasiswa semester 4–6 di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara. Program ini membuka kesempatan bagi peserta untuk terlibat langsung dalam proyek nyata di Indosat selama 3–6 bulan, lengkap dengan workshop pengembangan diri, mentoring profesional, dan remunerasi yang kompetitif.

Prof. Dr. Elly Munadziroh, drg., M.S. – Direktur DPKKA (Direktorat Pengembangan Karir, Inkubasi, Kewirausahaan, dan Alumni) UNAIR menyampaikan apresiasinya terhadap kerja sama ini, “Kami menyambut baik inisiatif Indosat dalam mendukung mahasiswa UNAIR. Kegiatan seminar, bootcamp, hingga program magang seperti Inspire sangat relevan untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja dan industri masa depan.”

Dengan INSPIRE Career Week 2025, Indosat berharap dapat terus menjadi bagian dari perjalanan transformasi generasi muda Indonesia menuju masa depan yang lebih siap, tangguh, dan penuh peluang.

Rapat Rahasia Hilang, Xi Jinping Tak Muncul! Ada Apa di Balik Tembok Kekuasaan?

EtIndonesia. Situasi politik di Tiongkok belakangan ini tengah menjadi sorotan dunia. Spekulasi dan rumor berkembang liar, terutama menyangkut nasib Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping, serta stabilitas kepemimpinan di pusat kekuasaan Partai, Zhongnanhai.

Rapat Politbiro Tidak Digelar: Sebuah Kejadian Langka

Pada bulan Mei, untuk pertama kalinya dalam sejarah kepemimpinan Xi Jinping, rapat bulanan Politbiro Pusat Partai Komunis Tiongkok tidak digelar. Biasanya, rapat ini selalu dilaksanakan pada akhir bulan, dan merupakan forum terpenting untuk menentukan arah kebijakan nasional, membahas isu-isu strategis, hingga melakukan konsolidasi politik internal Partai. Keputusan, arahan, dan pernyataan yang keluar dari rapat Politbiro selalu menjadi acuan utama bagi seluruh struktur pemerintahan dan partai di seluruh Tiongkok.

Absennya rapat bulanan ini jelas menimbulkan pertanyaan besar. Pengamat politik kawakan, Chen Pokong, dalam siaran langsungnya menegaskan bahwa kejadian ini sangat tidak lazim, bahkan tergolong sebagai sinyal adanya guncangan besar di lingkaran elite kekuasaan Tiongkok.

Xi Jinping “Menghilang” dari Publik Setelah Kunjungan ke Henan

Yang menambah kecurigaan, sejak melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Henan beberapa waktu lalu, Xi Jinping tidak pernah lagi muncul di hadapan publik. Tidak ada berita kegiatan resmi, tidak ada penayangan video kunjungan kerja, bahkan media-media pemerintah pun mendadak bungkam mengenai aktivitas sang pemimpin. Padahal, dalam sistem politik Tiongkok, kehadiran Xi Jinping selalu diekspos secara masif dan menjadi penanda stabilitas rezim.

Chen Pokong menilai, hilangnya Xi Jinping secara mendadak dari pemberitaan publik merupakan salah satu indikator penting adanya “sesuatu” yang terjadi di balik tembok tebal Zhongnanhai.

Dua Skenario Utama: Sakit Keras atau Dikudeta?

Menurut analisis Chen Pokong, jika Xi Jinping tidak mampu memimpin rapat Politbiro, ada dua kemungkinan besar yang terjadi. Pertama, Xi Jinping benar-benar sakit keras dan tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Partai sekaligus negara. Kedua, seperti rumor yang semakin santer beredar, Xi Jinping sedang berada dalam tahanan rumah, diduga di Kota Luoyang, Henan.

Chen juga menyampaikan bahwa kemungkinan Xi Jinping “dikurung” oleh faksi internal Partai bukanlah hal mustahil. Dalam sejarah Partai Komunis Tiongkok, persaingan dan intrik di tingkat elite kerap berakhir dengan penyingkiran paksa para pemimpin puncak, baik lewat mekanisme politik maupun operasi-operasi rahasia.

Analisis: Potensi Perlawanan Balik dari Xi Jinping

Chen Pokong tidak menutup kemungkinan bahwa jika memang benar Xi Jinping sedang “dikurung” atau diasingkan, dia bisa saja berupaya melakukan perlawanan balik. Selama satu dekade terakhir, Xi dikenal sebagai pemimpin yang sangat kuat, sentralistis, dan mampu mengendalikan hampir seluruh institusi utama negara, mulai dari militer, aparat keamanan, hingga media massa. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa rival-rival politik di dalam Partai mulai merasa terancam dan mengambil langkah dramatis untuk mengakhiri kekuasaannya.

Dalam dinamika Partai Komunis Tiongkok, segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Intrik, manuver, dan bahkan kudeta senyap kerap menjadi bagian dari sejarah panjang Partai.

Implikasi Global: Bagaimana Nasib Selat Taiwan?

Menghilangnya Xi Jinping dan absennya rapat Politbiro Pusat segera menimbulkan pertanyaan di ranah internasional, terutama terkait stabilitas kawasan Asia Timur. Selama ini, di bawah kepemimpinan Xi, ketegangan di Selat Taiwan semakin meningkat. Banyak analis memprediksi, jika terjadi pergantian kekuasaan mendadak di Tiongkok, kemungkinan besar prioritas utama pemerintah sementara (atau transisi) adalah memulihkan stabilitas internal terlebih dahulu, sehingga potensi konflik militer di Selat Taiwan untuk sementara waktu bisa mereda.

Namun, sebagian lain berpendapat, ketidakpastian di Beijing justru bisa memicu tindakan nekat dari kelompok garis keras di militer atau faksi “hawkish” yang ingin mempertahankan stabilitas dengan menunjukkan kekuatan ke luar negeri.

Reaksi Publik dan Dunia: Spekulasi Terus Bergulir

Di tengah absennya kejelasan, diskusi publik pun marak di berbagai platform media sosial, baik di dalam negeri Tiongkok (meski diawasi ketat), maupun di diaspora Tionghoa di luar negeri. Pertanyaan utama yang bergema di kalangan analis dan masyarakat umum adalah: Apakah benar Xi Jinping telah kehilangan kekuasaan? Apakah ini pertanda awal dari perubahan rezim di Tiongkok? Dan, jika benar terjadi pergantian, seperti apa dampaknya bagi stabilitas kawasan, terutama di Selat Taiwan?

Penutup: Titik Balik dalam Sejarah Tiongkok?

Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari Pemerintah Tiongkok mengenai keberadaan maupun kondisi Xi Jinping. Media pemerintah dan lembaga resmi memilih diam seribu bahasa, sementara isu-isu liar terus berkembang tanpa kendali. Apa pun kenyataannya, situasi ini telah memunculkan satu pertanyaan besar yang tak bisa diabaikan: Apakah Tiongkok tengah berada di ambang perubahan besar dalam kepemimpinan?

Situasi di Beijing saat ini mengingatkan pada masa-masa penuh ketidakpastian dalam sejarah Tiongkok modern. Dunia pun menanti, dengan penuh kecemasan dan antisipasi, ke mana arah angin perubahan akan berembus.

Sang Dokter Mengenang Tragedi Tiananmen 1989 dan Bantuan Medis yang Dihalang-halangi oleh Partai Komunis Tiongkok

“Para dokter garis depan yang menjawab telepon sangat cemas, mereka mengatakan semua persediaan sudah habis,” kata ahli saraf Huang Chen-ya.

ETIndonesia. Sudah lebih dari 35 tahun berlalu, namun hal itu tidak menghentikan Huang Chen-ya yang kini berusia 85 tahun untuk mengingat betapa dalamnya cinta warga Hong Kong terhadap Tiongkok.

Sebagai mantan legislator Hong Kong dan ahli saraf, Huang merupakan tokoh penting dalam komunitas medis kota tersebut pada tahun 1989.

Hal pertama yang ia lakukan ketika berita tentang Pembantaian Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989 merebak adalah menghubungi rumah sakit-rumah sakit besar di Beijing.

“Sebagai seorang dokter, hal yang paling saya khawatirkan adalah apakah saya bisa melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang yang terbunuh atau terluka,” katanya dalam sebuah aksi peringatan 36 tahun tragedi tersebut yang digelar di Ashfield, Sydney, pada 1 Juni.

Tank-tank berjaga di sebuah jalan di Beijing dua hari setelah penindasan terhadap protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen. (Foto oleh David Turnley/Getty Images)

“Saya menelepon setiap pusat bantuan darurat besar, dan para dokter garis depan yang menjawab semuanya sangat cemas, mereka mengatakan semua persediaan telah habis…,” kata Huang. “Semua rumah sakit darurat besar di Beijing—setiap dokter garis depan yang saya ajak bicara—memberikan jawaban yang sama.”

Ia sedang mempersiapkan bantuan medis darurat untuk dikirimkan lewat udara dari Hong Kong ke Beijing, tetapi pengiriman itu memerlukan persetujuan dari pimpinan rumah sakit.

Lapangan Tiananmen saat peristiwa 4 Juni 1989 (sumber: internet)

“Ketika kami menghubungi pihak yang lebih tinggi, setiap direktur langsung mengubah nada bicara mereka dan mengatakan bahwa masalah ini tidak separah yang diberitakan, bahwa Beijing bisa menanganinya sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari luar,” katanya.

“Pembantaian Lapangan Tiananmen bukan hanya tragedi bagi rakyat Tiongkok, bukan hanya bagi etnis Tionghoa, bukan hanya bagi Asia—tetapi merupakan aib dan trauma bersama bagi seluruh umat manusia,” tambahnya.

Lilin-lilin dalam acara doa bersama dengan cahaya lilin untuk mengenang para korban pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989 di Washington pada 2 Juni 2023. Foto: Madalina Vasiliu/The Epoch Times

Peristiwa pembantaian itu menjadi titik balik besar bagi Tiongkok maupun Australia.

Bagi rakyat Tiongkok, harapan akan demokrasi padam seketika, sementara bagi Australia, 42.000 warga Tiongkok—termasuk mahasiswa, dokter, akademisi, dan seniman—diberi status tinggal tetap, menjadi bagian dari keberagaman yang terus berkembang dalam masyarakat Australia.

Begadang Semalaman dalam Kesedihan

Li Yuanhua, yang saat itu adalah dosen di Universitas Normal Ibu Kota Beijing, mengatakan bahwa ia pulang ke rumah karena takut untuk keluar.

“Saya sangat sedih setelah sampai di rumah,” katanya.

Li menunggu di rumah sementara suara tembakan terdengar sepanjang malam seperti petasan pada malam tahun baru.

Ia tidak tidur malam itu, dan menyadari bahwa para mahasiswa di Lapangan Tiananmen kemungkinan besar telah tertimpa musibah.

“Saya mengambil bangku kecil dan duduk di depan pintu rumah, menangis diam-diam,” kenangnya.

Rangkaian bunga di depan patung “Dewi Demokrasi” yang memperingati Pembantaian Lapangan Tiananmen di Gereja Ashfield Uniting, Sydney, Australia, pada 1 Juni 2025. Foto: Cindy Li/The Epoch Times

Mahasiswa Mengetahui Kebenaran Setelah ke Luar Negeri

Wiki Chan, seorang mahasiswa program doktoral, adalah salah satu dari banyak mahasiswa Tiongkok yang baru mengetahui secara utuh sejarah kelam Partai Komunis Tiongkok (PKT) setelah berada di luar negeri.

“Saya pikir kita tetap perlu mengingat sejarah—baik sisi baik maupun buruknya harus dibuka agar orang bisa memahaminya,” ujarnya kepada The Epoch Times dalam pameran foto di Universitas Sydney pada 30 Mei, untuk memperingati peristiwa 4 Juni.

“Sejarah tetaplah sejarah. Anda boleh memiliki pendapat subjektif sendiri, tetapi menyembunyikan bagian buruk adalah sesuatu yang salah—itu sangat jahat. Terutama jika menyangkut penindasan terhadap suara-suara yang menyerukan hak asasi manusia dan kebebasan. Itu justru menunjukkan bahwa rezim tersebut sebenarnya tidak percaya diri,” katanya.

Sebuah spanduk dipajang dalam pameran foto pembantaian Lapangan Tiananmen yang diselenggarakan di Universitas Sydney pada 30 Mei 2025. Foto: Cindy Li/The Epoch Times

Partai Buruh Didorong untuk Menyadari Sifat PKT

Li, yang kini menjadi warga negara Australia, mengatakan bahwa keputusan Perdana Menteri dari Partai Buruh saat itu, Bob Hawke, untuk memberikan izin tinggal permanen kepada 42.000 mahasiswa Tiongkok merupakan keputusan yang tepat sebagai respons terhadap tragedi Tiananmen.

“Ia memahami sifat destruktif dari rezim komunis ini—bahayanya, kekejamannya terhadap rakyatnya sendiri… Dari hati nuraninya, ia mengambil keputusan dari posisinya yang, jika kita lihat sekarang, merupakan tindakan yang benar-benar mulia dan berani.”

Mantan Perdana Menteri Australia dari Partai Buruh, Bob Hawke, di Brisbane pada 16 Agustus 2010. Foto: William West/AFP/Getty Images

“Saya pikir pemerintah Partai Buruh saat ini seharusnya lebih cermat melihat apa saja yang telah dilakukan PKT sepanjang sejarah. Anda tidak bisa begitu saja percaya pada apa yang dikatakan PKT.”

Li merujuk pada penghalangan yang dilakukan PKT ketika Perdana Menteri Scott Morrison menyerukan penyelidikan independen terhadap asal-usul COVID-19 pada tahun 2020.

Sebagai respons atas seruan tersebut, PKT memberlakukan pembatasan perdagangan dan tarif pada ekspor Australia seperti daging sapi, barley, dan batu bara—yang secara luas dianggap sebagai bentuk balas dendam ekonomi.

“Partai komunis, pada kenyataannya, tidak melakukan dialog normal dengan Anda. Ia hanya tahu bagaimana memaksa Anda tunduk, membully Anda, dan ingin Anda berlutut… Tidak ada konsep kesetaraan sama sekali,” ujar Li.

Mantan profesor ini juga menyinggung penolakan PKT terhadap status otonomi Hong Kong, dengan menyebut Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris sebagai “dokumen sejarah” yang “sudah tidak memiliki arti praktis.”

Deklarasi tersebut, yang ditandatangani pada 1984 oleh Inggris dan PKT, menetapkan syarat-syarat pengakhiran kekuasaan Inggris atas Hong Kong setelah lebih dari 150 tahun, dan menjamin hak serta kebebasan kota tersebut di bawah kerangka “satu negara, dua sistem.”

“Saya rasa dari sudut pandang Australia, jika Anda hanya melihatnya dari sisi ekonomi—sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan mitra dagang terbesar kita—Anda tidak akan pernah benar-benar memahaminya,” ujar Li.

“Kita juga harus melihatnya dari perspektif kemanusiaan, dan tidak menganggapnya sebagai pemerintah biasa atau partai politik biasa. Karena bukan itu kenyataannya; itu adalah iblis yang menyamar sebagai entitas normal.” (asr)

Sumber : Theepochtimes.com

“Peristiwa Pearl Harbor Versi Rusia”: Apakah Diamnya Putin dan Trump Sinyal Badai yang Akan Datang?

EtIndonesia. Konflik antara Rusia dan Ukraina baru-baru ini meningkat tajam. Ukraina bukan hanya melancarkan upaya pembunuhan terhadap Presiden Vladimir Putin, tetapi juga pada 1 Juni menyerang beberapa pangkalan udara strategis di wilayah Rusia melalui serangan drone terkoordinasi yang dikenal dengan sandi Operasi Jaring Laba-laba. Meskipun kedua negara sempat menggelar putaran kedua perundingan damai di Turki pada 1 Juni, baik Putin maupun Presiden AS, Donald Trump belum memberikan pernyataan apa pun terkait serangan yang oleh banyak pihak disebut sebagai “Peristiwa Pearl Harbor versi Rusia.” Keheningan ini justru menimbulkan kekhawatiran global: mungkinkah langkah menuju Perang Dunia III kian mendekat?

Konflik Rusia-Ukraina Masuki Fase Baru

Memasuki bulan Juni, wilayah Rusia mengalami serangkaian serangan serentak—mulai dari wilayah Arktik di Oblast Murmansk, wilayah Siberia Irkutsk, hingga ke ujung timur di Amur. Dalam serangan besar ini, setidaknya lima wilayah dan sejumlah pangkalan militer diserang secara bersamaan, dan dikabarkan sekitar 34% pesawat pembom strategis nuklir Rusia hancur. Ini merupakan pukulan telak terhadap kemampuan serangan nuklir jarak jauh Rusia.

Sebagai respons, pada 2 Juni, Rusia melancarkan aksi balasan pertamanya. Militer Rusia menjatuhkan bom udara berat FAB-3000 ke sebuah pos komando militer Ukraina di Oblast Sumy, Ukraina Timur Laut. Seluruh fasilitas tersebut rata dengan tanah dalam hitungan detik, menyebabkan korban besar di jajaran komando Ukraina. Serangan ini disebut-sebut sebagai pukulan pembuka dalam balasan militer Rusia.

Namun, balasan lebih besar tampaknya belum dimulai.

Mengapa Ukraina Memilih Waktu Ini untuk Menyerang?

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy menyebut serangan ini sebagai serangan jarak jauh paling signifikan sejak pecahnya perang. Dia bahkan memuji keberhasilannya sebagai sebuah “prestasi gemilang.” 

Yang mengejutkan adalah metode penyerangan yang tidak lazim: drone-drone tersebut bukan diluncurkan dari wilayah Ukraina, melainkan diselundupkan ke wilayah Rusia dengan cara dibungkus dalam kotak kayu, diangkut menggunakan truk, lalu diluncurkan dari dalam wilayah Rusia sendiri—sebuah pendekatan yang menyerupai taktik kuda Troya.

Menurut laporan media AS, Axios, serangan ini adalah bagian dari rencana Operasi Jaring Laba-laba yang telah disusun selama satu setengah tahun dan dikoordinasikan oleh Badan Keamanan Ukraina (SBU). Drone diluncurkan dari titik-titik rahasia di dalam Rusia untuk menyerang hanggar pesawat pembom dan fasilitas bahan bakar yang telah ditentukan dengan presisi tinggi.

Menariknya, menurut perjanjian New START (Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru), Rusia diwajibkan menempatkan pesawat pembom strategis seperti Tu-95 dan Tu-160 di lokasi terbuka yang dapat dimonitor satelit guna mendukung transparansi nuklir antara Rusia dan Amerika Serikat. Ironisnya, mekanisme transparansi ini justru dimanfaatkan Ukraina sebagai celah untuk menyerang—mengguncang kestabilan sistem kontrol senjata nuklir dunia.

Serangan Beruntun Ukraina: “Pemenggalan Kepala Putin” dan Serangan ke Fasilitas Nuklir

Sebelum Operasi Jaring Laba-laba, Ukraina juga telah berusaha membunuh Putin dengan drone saat ia melakukan kunjungan ke wilayah Kursk. Meskipun upaya ini gagal, hal tersebut memicu serangan udara besar-besaran Rusia terhadap Kyiv sebagai bentuk pembalasan.

Putin sendiri sebelumnya pernah menyatakan bahwa dia tidak akan mencoba membunuh Zelenskyy dan akan menghindari serangan personal terhadap pemimpin lawan. Namun, tindakan Ukraina justru menunjukkan arah sebaliknya—menargetkan langsung tokoh utama dan fasilitas nuklir Rusia.

Eskalasi seperti ini secara langsung meningkatkan risiko konflik global, bahkan memperbesar kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga, yang kini mulai menghantui NATO, Eropa, dan komunitas internasional.

Meledak atau Menahan Diri? Diamnya Putin dan Trump Justru Menakutkan

Penggunaan bom udara FAB-3000 oleh Rusia pada 2 Juni adalah sinyal dimulainya pembalasan. Namun yang paling menyita perhatian adalah sikap diam Vladimir Putin hingga saat ini. Diam ini justru lebih menakutkan: apakah ini pertanda bahwa Putin sedang merencanakan pembalasan skala besar, atau justru menunjukkan kebingungan strategi?

Rusia kini berada di persimpangan yang genting:

1. Jika pembalasan terlalu lemah: Rusia akan dianggap lemah, dan Ukraina bisa semakin berani menyerang lebih dalam ke wilayah Rusia.

2. Jika pembalasan terlalu keras: Maka proses perundingan damai akan langsung runtuh, dan AS serta NATO bisa meningkatkan bantuan militer ke Ukraina. Satu-satunya peluang perdamaian yang tersisa bisa lenyap sepenuhnya.

Seorang blogger militer Rusia di Telegram menggambarkan kondisi ini dengan tajam: “Ini adalah Pearl Harbor-nya Rusia. Tapi apakah kita bisa merespons seperti yang dilakukan Amerika?”

Sementara itu, pihak Donald Trump belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait serangan drone Ukraina ini.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya Putin yang memilih diam, tetapi Trump juga mengambil langkah serupa. Sebelumnya, Trump pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi mediator perdamaian. Namun, dengan eskalasi serangan dari pihak Ukraina, peluang perdamaian yang dia gadang-gadang kini berada di ujung tanduk. Muncul pula pertanyaan serius: apakah ada kekuatan di belakang Zelenskyy yang sengaja mendorong perang agar semakin membesar dan merusak peluang diplomasi?

Dunia di Persimpangan: Apa Langkah Berikutnya Para Negara Adidaya?

Uni Eropa menyatakan “keprihatinan serius” atas peningkatan strategi militer Ukraina. Namun, masih belum jelas apakah negara-negara besar akan tetap bersatu, ataukah justru akan terpecah ketika risiko nuklir dan skala pembalasan semakin meningkat.

Sementara itu, evolusi perang drone juga tengah mengubah wajah peperangan modern. Washington Post menulis bahwa aksi ini membuat para jenderal militer di seluruh dunia “tak bisa tidur nyenyak.” Jika Ukraina bisa menyusupkan drone ke jantung wilayah Rusia, mungkinkah Tiongkok melakukan hal serupa ke pangkalan militer AS atau Jepang? Apakah Korea Utara akan mencoba strategi yang sama terhadap Korea Selatan?

Max Boot, peneliti senior di Council on Foreign Relations, menyatakan bahwa serangan ini mungkin belum mengubah peta pertempuran secara keseluruhan, namun dapat menjadi titik balik sejarah:  “Seperti Pearl Harbor menandai berakhirnya era kapal perang dan lahirnya era kapal induk, mungkin ini adalah awal era peperangan drone.”

Badai Akan Datang? Siapa yang Akan Menentukan Arah Damai atau Perang

Dalam hitungan hari saja, Ukraina telah melancarkan dua serangan mengejutkan—upaya pembunuhan terhadap Putin dan serangan besar ke basis nuklir Rusia. Ini membuat risiko perang meningkat secara drastis.

Yang paling mencemaskan, baik Vladimir Putin maupun Donald Trump tetap memilih diam.

Ini bukanlah ledakan perang yang tiba-tiba, ini adalah keheningan sebelum badai.

Apakah badai besar benar-benar akan datang? (jhn/yn)

Mengapa Efek Menyegarkan Kopi Bisa Berbeda? Inilah 5 Mitos dan Fakta yang Perlu Anda Ketahui

EtIndonesia. Banyak orang gemar minum kopi, tetapi tidak sedikit pula yang menyimpan berbagai pertanyaan tentangnya:

 Kenapa saya malah mengantuk setelah minum kopi?

 Kenapa jantung saya berdebar setelahnya?

 Apakah kopi instan itu sehat?

Apa yang harus dilakukan jika sudah kecanduan kopi?

Agar bisa menikmati kopi tanpa takut salah paham, simak lima fakta berikut yang akan membantu Anda keluar dari mitos dan kesalahkaprahan seputar kopi.

1. Efek Menyegarkan Kopi Berbeda-beda? Itu Tergantung Genetik

Kafein memang dikenal sebagai zat stimulan yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan membantu kita tetap terjaga. Namun, efeknya bisa sangat berbeda pada tiap orang. Hal ini disebabkan oleh perbedaan genetik—terutama gen seperti CYP1A2 dan PDSS2 yang berperan dalam metabolisme kafein.

Bagi mereka yang memiliki versi aktif dari gen ini, kafein akan lebih cepat dimetabolisme dan dibuang dari tubuh. Akibatnya, meskipun sudah minum kopi, mereka tetap merasa mengantuk karena efeknya tidak bertahan lama.

Sebaliknya, bagi mereka yang gen metabolisme kafeinnya kurang aktif, bahkan sedikit kafein pun bisa bertahan lama dalam tubuh. Orang-orang ini bisa saja minum kopi di pagi hari dan masih merasakan efeknya hingga malam hari.

Hal yang sama juga berlaku untuk minuman lain yang mengandung kafein seperti teh, teh susu, dan minuman energi—efeknya tetap sangat individual.

2. Jantung Berdebar Setelah Minum Kopi? Itu Wajar

Sebagian orang mengalami jantung berdebar, mual, atau pusing setelah minum kopi. Ini dikenal sebagai intoleransi terhadap kafein, dan sebenarnya merupakan reaksi yang normal.

Biasanya, ini terjadi pada individu yang sensitif terhadap kafein atau yang metabolisme kafeinnya lebih lambat. Tapi ini bukan berarti Anda harus benar-benar berhenti minum kopi. Yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan frekuensi dan jumlah kopi yang dikonsumsi agar sesuai dengan toleransi tubuh Anda.

3. Sering Buang Air Setelah Minum Kopi? Karena Kafein Bersifat Diuretik

Banyak orang mengalami peningkatan frekuensi buang air kecil setelah minum kopi. Ini karena kafein adalah diuretik alami, yang mendorong tubuh membuang cairan lebih cepat.

Jadi, jika Anda ingin minum kopi sebelum ujian atau acara penting untuk tetap fokus, pastikan Anda tidak minum terlalu banyak air bersamaan agar tidak bolak-balik ke toilet.

Selain itu, sekitar 29% orang juga merasakan dorongan buang air besar setelah minum kopi, bahkan sampai diare ringan. Meski penyebab pastinya belum sepenuhnya dipahami—karena kopi tanpa kafein (decaf) juga bisa menyebabkan efek serupa—beberapa studi menunjukkan kopi bisa membantu memperlancar pencernaan. Jadi, jika Anda sering susah buang air besar, bisa jadi Anda termasuk yang mendapat “bonus efek” dari kopi.

4. Kopi Tidak Menyebabkan Kanker, Justru Bisa Menurunkan Risikonya

Anggapan bahwa kopi bisa menyebabkan kanker adalah mitos yang sangat luas beredar, namun tidak berdasar.

Pada tahun 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas menyatakan bahwa kopi tidak termasuk bahan yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Setahun kemudian, laporan dari World Cancer Research Fund International juga menegaskan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa konsumsi kopi meningkatkan risiko kanker.

Sebaliknya, sejumlah penelitian justru menunjukkan bahwa kopi dapat menurunkan risiko beberapa jenis kanker, seperti kanker hati, kanker payudara, dan kanker endometrium (lapisan dalam rahim). Namun, penting untuk dicatat: jangan minum kopi yang terlalu panas, karena suhu ekstremlah yang bisa merusak jaringan dan memicu risiko kanker esofagus.

5. Minum Kopi Bisa Menimbulkan Ketergantungan Ringan, Tapi Tidak Berbahaya

Jika Anda terbiasa mengonsumsi kopi setiap hari, tubuh bisa mengalami ketergantungan ringan terhadap kafein. Bila tiba-tiba berhenti, Anda mungkin akan merasakan gejala putus kafein seperti sakit kepala, kelelahan, rasa cemas, atau sulit berkonsentrasi.

Namun tenang saja—gejala ini hanya bersifat sementara dan biasanya akan hilang dalam beberapa hari. Tidak seperti zat adiktif berbahaya lainnya, kafein tidak menimbulkan efek kecanduan jangka panjang yang merusak tubuh atau mental.

Kesimpulan: Kopi Tidak Perlu Ditakuti, Asal Tahu Batasnya

Kopi, seperti banyak hal lain dalam hidup, bisa menjadi sahabat yang bermanfaat jika kita tahu cara menyikapinya dengan bijak. Jangan langsung percaya pada kabar miring, dan kenali bagaimana tubuh Anda bereaksi terhadapnya. Dengan begitu, Anda bisa tetap menikmati secangkir kopi tanpa rasa waswas—bahkan mungkin menemukan manfaat kesehatannya!(jhn/yn)

Tornado Raksasa di Jilin, Tiongkok Menghancurkan – Saksi Mata: Baru Pertama Kali Melihat 

Pada 2 Juni 2025, sebuah tornado raksasa muncul di Kota Changshan, Provinsi Jilin. Tornado ini memiliki daya rusak yang luar biasa. Seorang saksi mata yang mengemudi melewati lokasi kejadian dari jarak dekat berseru ketakutan: “Terlalu mengerikan, ini pertama kalinya saya melihat hal seperti ini!”

EtIndonesia. Seorang warganet membagikan video yang merekam saat dirinya sedang mengemudi di jalan Kota Changshan. Saat itu hujan turun dari langit yang mendung, dan tiba-tiba terlihat tornado raksasa tak jauh dari jalan.

Langit tampak gelap gulita. Sebuah kolom besar membentang dari tanah hingga ke awan hitam. Tornado berputar sangat cepat di permukaan tanah, membentuk pusaran besar, dengan banyak ranting dan benda-benda beterbangan di dalamnya—pemandangan yang sangat menyeramkan.

Seorang perempuan di dalam mobil berkata: “Ya ampun, kita seharusnya tidak terus maju.”
Dia terus berkata dengan panik: “Astaga, mengerikan sekali! Ini tornado, jangan terus maju, berhenti saja!”

Namun, si pengemudi pria terus melaju ke arah tornado, meski perempuan tersebut berkali-kali memintanya untuk berhenti.

Dalam video terlihat tornado berputar sangat dekat dengan mobil. Sang perempuan menjerit: “Mengerikan sekali!”

Kemudian tornado bergerak ke area ladang, dan perempuan itu berkata: “Lihat, seperti pusaran air… Seram banget, baru kali ini aku melihatnya.”

Tornado berlangsung cukup lama dan daya rusaknya sangat kuat. Seorang pria yang merekam video sambil mengemudi mengatakan: “Masih berputar juga… jarang banget lihat yang kayak begini. Cuacanya benar-benar menyeramkan, aku harus cepat pergi sebelum tersapu angin.”

Dalam video lain, terlihat lokasi yang dilalui tornado porak-poranda: atap-atap rumah warga beterbangan, pepohonan tumbang dan menghalangi jalan, serta banyak ladang rusak parah.

“Wah, ini parah banget,” keluh seorang warganet yang merekam video.

Saat ini, belum ada informasi pasti mengenai korban jiwa akibat tornado ini. Setelah kejadian, seorang petugas dari pemerintahan Kota Changshan mengatakan bahwa tornado berlangsung kurang dari satu jam, dan kerugian yang ditimbulkan tidak besar. Situasi kerusakan masih dalam tahap pendataan, dan informasi lebih lanjut akan disampaikan oleh otoritas resmi.

Namun, pernyataan ini memicu keraguan dari banyak warganet.

Ada yang berkomentar: “Katanya nggak parah? Coba dia sendiri yang tanam tanaman di situ, pasti tahu rasanya.”

Yang lain berkata: “Kemarin waktu pulang ke rumah, aku juga kena. Di jalan tol, mobilku sampai ikut melayang.”

Ada juga yang berbagi pengalaman pribadi: “Rumahku pernah kena juga. Atapnya hilang semua. Waktu itu kakek dan nenekku masih hidup.” (Hui)

Laporan oleh Luo Tingting / Editor: Fan Ming

Terbukanya Mata Ketiga Membawa Malapetaka: Kisah Pilu Seorang Gadis Jepang

EtIndonesia. Konon, saat menciptakan manusia, para dewa memberikan setiap makhluk hidup sepasang mata biasa, serta satu “mata ketiga” yang tersembunyi di antara kedua alis—tepat di dalam batok kepala. Dua mata biasa melihat dunia nyata, sementara mata ketiga—dikenal sebagai Tianmu—bisa melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata manusia.

Mata ketiga ini diberikan agar manusia tak tersesat mengejar ketenaran dan kekayaan, karena dia memungkinkan pemiliknya melihat kebenaran yang melampaui dunia fisik dan memberikan peringatan saat manusia akan berbuat salah demi kepentingan pribadi. Dengan kata lain, setiap orang sejatinya lahir dengan kemampuan spiritual ini.

Namun, seiring berjalannya waktu dan berulang kali terlahir kembali, manusia menumpuk “materi hitam” atau karma buruk akibat perbuatan salah mereka. Lama-kelamaan, kemampuan spiritual ini pun memudar. Hanya mereka yang tidak banyak melakukan kesalahan atau memiliki jiwa yang bersih sejak lahir, yang masih memiliki mata ketiga yang terbuka sebagian atau sepenuhnya—sehingga mereka dapat melihat hal-hal yang tak kasat mata.

Kisah seperti ini tak hanya terdengar di satu wilayah—fenomena mata ketiga atau penglihatan batin telah dilaporkan di banyak tempat di dunia.

Tragedi Seorang Gadis Bermata Ketiga di Zaman Meiji, Jepang

Pada era Meiji di Jepang, kisah nyata tentang seorang gadis bernama Mifune Chizuko menjadi sorotan publik. Gadis ini akhirnya harus menanggung takdir yang tragis karena memiliki kemampuan melihat dunia yang tak terlihat.

Mifune Chizuko lahir pada 17 Juli 1886 di Prefektur Kumamoto, Jepang, dalam keluarga seorang tabib. Di usia muda, dia menikah dengan seorang perwira muda Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Namun tak lama setelah menikah, sang suami dikirim ke medan perang. Chizuko pun tinggal bersama mertua.

Suatu hari, sang ayah mertua kehilangan 50 yen dari dompetnya. Setelah merenung sejenak, Chizuko memberitahu bahwa uang itu tersimpan di salah satu laci. Mereka pun mencari di tempat yang dia sebut, dan benar—uang itu ditemukan.

Akan tetapi, bukannya berterima kasih, ibu mertuanya justru curiga bahwa Chizuko adalah pencurinya, karena seolah terlalu tahu tempat persembunyian uang. Dia lalu menghubungi putranya yang berada di medan perang, dan hasilnya: Chizuko diceraikan.

Ketenaran yang Berujung Duka

Setelah bercerai, Chizuko kembali ke rumah orangtuanya dan bekerja membantu ayahnya di toko obat tradisional. Berkat kemampuan batinnya—mata ketiga yang terbuka—Chizuko mampu mendiagnosis penyakit pasien dengan sangat akurat. Bisnis keluarga pun semakin berkembang pesat.

Kakak iparnya, Kiyohara Takeo, kemudian mengajarinya teknik hipnosis dan pernapasan dalam untuk lebih mengembangkan potensinya. Di bawah pengaruh hipnosis, kemampuan Chizuko semakin tajam—dia bahkan bisa melihat keberadaan dunia lain dengan jelas.

Suatu hari, seorang pengusaha tambang kaya meminta bantuan Chizuko untuk mencari lokasi batu bara. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam bersama tim penambang, Chizuko menunjukkan lokasi yang diprediksi. Hasilnya mencengangkan: area itu ternyata benar-benar kaya akan batu bara.Dia pun diberi imbalan dalam jumlah fantastis.

Berita ini mengejutkan Jepang. Media nasional memberitakannya secara luas, dan Chizuko pun mendadak terkenal. Namun, kejadian ini juga menimbulkan masalah dalam keluarganya. Kakak iparnya merasa dirinya layak mendapat bagian besar dari uang itu karena telah “melatih” Chizuko. Terjadilah konflik internal, pertengkaran yang membuat Chizuko semakin tertekan secara emosional.

Ketika Sains Menolak Kenyataan

Pada tahun 1910, dr. Yamakawa Kenjiro—mantan rektor Universitas Kekaisaran Tokyo—mengundang Chizuko ke ibu kota untuk mengadakan eksperimen ilmiah guna membuktikan kemampuan luar biasanya. Nama Chizuko saat itu sudah tersebar ke seluruh Jepang. Banyak orang datang padanya, meminta bantuan untuk menemukan barang hilang, memprediksi keberuntungan, dan sebagainya.

Uji coba dilakukan sebanyak dua kali. Dalam suasana yang hening, Chizuko menenangkan diri, lalu dengan tepat menuliskan isi dari kertas yang disegel rapat dalam tabung logam. Para ilmuwan Jepang menyaksikan sendiri keakuratannya.

Namun, meskipun mereka melihat dengan mata kepala sendiri kemampuan luar biasa Chizuko, sebagian besar ilmuwan yang berhaluan materialistik tetap menolak untuk mengakui kebenarannya. Karena takut kehilangan kredibilitas dan tak mampu menjelaskan fenomena itu secara ilmiah, mereka akhirnya menyatakan bahwa kemampuan Chizuko adalah kebohongan. Media nasional lalu menurunkan berita sesuai dengan pernyataan para ilmuwan: “kemampuan Chizuko palsu.”

Penderitaan yang Tak Terbendung

Setelah eksperimen itu, Chizuko kembali ke kampung halamannya. Tapi reputasinya telah hancur. Media telah menyebarkan stigma, dan masyarakat mulai mencemoohnya. Dia dicap sebagai penipu, dibicarakan ke sana ke mari, dicibir oleh orang-orang yang dulu mengaguminya.

Dalam tekanan sosial yang luar biasa berat, ditambah kekecewaan dari keluarga dan pengkhianatan dunia ilmiah yang tidak adil, Chizuko akhirnya tidak mampu menanggung beban itu lebih lama.

Pada 18 Januari 1911, di usia baru 24 tahun, Chizuko Mifune bunuh diri dengan menenggak racun, mengakhiri hidup yang penuh kesakitan dan ketidakadilan.

Refleksi: Ketika Dunia Menolak yang Tak Terlihat

Kisah Chizuko adalah potret nyata betapa dunia sering kali menolak hal-hal yang tak dapat dijelaskan secara logika. Padahal, mungkin yang dibutuhkan hanyalah hati yang terbuka dan keberanian untuk menerima kenyataan bahwa tak semua kebenaran bisa diukur dengan rumus dan angka.

Mata ketiga, atau kemampuan spiritual, bukanlah kutukan. Namun dalam dunia yang terlalu kaku dan skeptis, keistimewaan bisa berubah menjadi beban.

Dan dalam kasus Mifune Chizuko, beban itu terlalu berat untuk ditanggung seorang gadis muda.(jhn/yn)