Home Blog Page 1784

Media Pemerintahan Komunis Tiongkok Menyarankan Orang-orang Merusak Gedung Putih

0

Eva Pu – The Epochtimes

Dua outlet media pemerintahan Komunis Tiongkok menyerukan kepada netizen untuk “merenovasi” Gedung Putih. 

Seruan tersebut sebagai tanggapan terhadap Amerika Serikat yang meloloskan undang-undang yang mendukung gerakan pro-demokrasi Hong Kong. Walaupun postingan itu salah mengira Gedung Capitol AS sebagai Gedung Putih.

Pada tanggal 4 Desember, saluran TV komunis Tiongkok CCTV dan juru bicara Komunis Tiongkok, People’s Daily Overseas, keduanya memposting gambar di Facebook dengan kata-kata berikut: 

“Amerika Serikat mengesahkan UU Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Anda dipersilakan untuk datang ‘merenovasi’ Gedung Putih.”

Poster itu memperlihatkan gedung Capitol Amerika Serikat dilalap api, dan dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan kemeja hitam dan helm kuning — pakaian khas demonstran Hong Kong. Mereka menghancurkan dan melempar batu ke gedung.

Postingan itu dengan cepat dihapus, tetapi netizen sudah melihatnya. 

Joshua Wong, pemimpin kelompok pro-demokrasi Hong Kong Demosisto, memposting screenshoot yang diunggah CCTV, bersama dengan perbandingan berdampingan antara Gedung Putih dan Gedung Kongres Amerika Serikat. 

Solomon Yue, komisaris nasional untuk Partai Republik Oregon, dalam cuitannya di Twitter  mengkritik media pemerintahan Komunis Tiongkok karena mendorong kekerasan.

“Batalkan visa reporter CCTV dan Pepole Daily untuk hasutan vandalisme terhadap Gedung Putih,” demikian cuitannya.

Selama hampir enam bulan, warga Hongkong telah turun ke jalan-jalan. Aksi tersebut digelar sebagai  upaya untuk menentang meluasnya pengaruh rezim Komunis Tiongkok di Hong Kong.

Beijing dengan keras mengkritik Washington. Dikarenakan,  mengesahkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, yang dapat menyebabkan sanksi terhadap pejabat Komunis Tiongkok dan Hong Kong yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Hong Kong.

Tindakan tersebut, yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada tanggal 27 November, mengharuskan pemerintah AS untuk mereview setiap tahun. Hal demikian jika Hong Kong harus terus diberikan hak istimewa perdagangan khusus dari Amerika Serikat.

Pada 2 Desember 2019, Kementerian Luar Negeri Komunis Tiongkok mengumumkan akan menolak masuknya Angkatan Laut AS ke pelabuhan Hong Kong. 

Rezim juga memberlakukan sanksi yang tidak ditentukan terhadap beberapa organisasi pro-demokrasi AS, termasuk Freedom House dan Human Rights Watch. 

Pihak Komunis Tiongkok mengatakan mereka telah “memainkan peran yang mengerikan dalam gangguan amandemen amandemen Hong Kong.”

Kampanye Pengaruh

Rezim komunis Tiongkok secara rutin menggiring opini ke media sosial Barat sebagai bagian dari kampanye di luar negeri. Tujuannya untuk membentuk narasi tentang protes Hong Kong yang sedang berlangsung, yang telah dibingkai sebagai “kerusuhan” dan karya “teroris.”

Pada bulan Agustus lalu, Twitter, Facebook, dan YouTube — yang semuanya tidak dapat diakses di Tiongkok — menangguhkan ratusan akun yang dikaitkan dengan kampanye disinformasi yang didukung otoritas Komunis Tiongkok terhadap para demonstran.

Dalam sebuah postingan blog pada 19 Agustus, Twitter mengumumkan penutupan 936 akun yang dikaitkan dengan rezim Komunis Tiongkok. 

Akun-akun tersebut  “secara sengaja dan spesifik mencoba menabur perselisihan politik di Hong Kong, termasuk merusak legitimasi dan posisi politik gerakan protes di lapangan.”

Dokumen tender baru-baru ini dari China News Service yang dikontrol Komunis Tiongko menunjukkan, bahwa outlet berita itu menawarkan ratusan ribu dolar untuk memperluas jangkauannya di Twitter dan Facebook. 

Komisi Urusan Cyberspace Pusat, badan sensor internet teratas, juga mengajukan tawaran serupa pada Agustus karena melakukan “promosi online topik-topik penting.”

Outlet media yang dikelola pemerintahan komunis Tiongkok seperti CCTV, Global Times, dan China Daily juga aktif memposting di media sosial. Langkah mereka sebagai bagian dari upaya untuk melemahkan gerakan aksi protes.

Pada 4 Desember, kantor berita milik komunis Tiongkok, Xinhua yang dikelola pemerintah memposting video Twitter yang memperlihatkan belasan demonstran pro-Beijing di Hong Kong mengibarkan bendera merah komunis Tiongkok dalam pawai ke konsulat AS. 

Mereka menginjak-injak bendera AS untuk mengekspresikan kemarahan mereka pada berlalunya RUU Hong Kong. Pada saat itu, mereka meninju dan membakar patung Trump.

Sama halnya, pada 28 November lalu, sehari setelah Trump menandatangani Undang-Undang Hong Kong, akun Twitter outlet tersebut memposting foto-foto yang menunjukkan sejumlah kecil aktivis pro-Komunis Tiongkok melakukan aksi protes di Hong Kong. 

Salah satu unggahan menyatakan RUU itu “sangat dikutuk dan ditentang di Hong Kong.” 

Aksi tersebut tak menyebutkan demonstrasi yang diadakan pada hari yang sama di kawasan Edinburgh Place, di mana ribuan warga Hong Kong menyatakan penghargaan untuk diberlakukannya undang-undang AS. (asr)

Tujuan Terakhir Komunisme : Bagian Tiongkok – Negara yang Menjadi Pusat Kebudayaan Warisan Dewata (2)

Buku ini terbagi menjadi dua bagian yaitu awal dan akhir, yakni bagian awal: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentang Tiongkok); bagian akhir: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentangDunia)

Dajiyuan (Epoch Times) pertama-tama akan menerbitkan bagian awal yakni Bab tentangTiongkok, bagian akhir tidak lama setelahnya akan dipublikasikan, tetaplah bersama kami.

Dengan hormat mempersembahkan buku ini kepada seluruh manusia yang dengan tulus mengharapkan peradaban bangsa Tionghoa berhati bajik, makmur dan kuat!

IV. Kelapangan dada, Toleransi dan Pengampunan

Mayoritas kebudayaan bangsa di dunia semuanya didirikan dengan landasan kepercayaan agama utama dari bangsa tersebut. Namun kebanyakan pengikut agama menganggap kepercayaannya sendiri sebagai “satu-satunya Tuhan sejati”, dan memandang kepercayaan lain sebagai sesat.

Perang agama dalam sejarah pihak Barat seolah terus berlangsung tanpa henti. Ada intelektual bahkan beranggapan, perang antarnegara berbeda di dunia, penyebab mendasarnya adalah konflik yang ditimbulkan oleh antarkepercayaan yang berbeda.

Sedangkan di Tiongkok, gereja dan kuil dari kepercayaan yang berbeda, saling bertoleransi dan saling menjaga tanpa masalah. Di dalam sejarah Tiongkok belum pernah terjadi perang agama yang parah.

Bahkan di dalam sejarah, yang masuk ke Zhong Yuan, seperti Mongol dan Manchu, malah mendapat pencerahan dari kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa, tapi sebaliknya juga melarutkan esensi kebudayaan mereka ke dalam bangsa Tionghoa serta menjadi satu bagian dari kebudayaan Tionghoa. Inilah sifat toleransi yang maha besar dari kebudayaan Tiongkok.

Dewata alam semesta mencakupi Buddha dan mencakupi Tao, juga mencakupi Dewa dengan bentuk lainnya, itu sebabnya di dalam kebudayaan Tiongkok juga tanpa henti ditanamkan konsepsi “Buddha – Tao – Dewa”, dan juga tentang bagaimana xiulian (laku jiwa dan raga).

Pada saat yang sama juga menanamkan dasar-dasar etika moralitas dan berbagai macam nilai-nilai universal dari manusia, antara lain seperti “Dao, Kebajikan, Kasih, Kebenaran, etika, Kebijaksanaan, Keyakinan”dan lain-lain.

Di dalam kebudayaan berbagai bangsa juga tercatat, bahwa Sang Pencipta di saat akhir kalpa pasti akan datang untuk menyelamatkan semua manusia. Jika sungguh demikian, maka kebudayaan bangsa Tionghoa yang bersifat “kelapangan dada, toleransi dan pengampunan” ini, telah dipilih oleh Sang Pencipta, hal yang juga mudah untuk dipahami mengingat dari situlah akan disebarkan Fa terakhir yang menyelamatkan manusia, menyelamatkan semua bangsa dan semua pemeluk kepercayaan.

Di satu sisi, di dalam kebudayaan semacam ini telah ditanamkan elemen dari Hukum Langit terakhir yang menyelamatkan manusia dari berbagai macam kebudayaan dan kepercayaan serta sumber kehidupan; di sisi lain, di dalam kebudayaan semacam ini, disebarkan Fa Langit yang terakhir yang mudah diterima oleh orang-orang dengan latar belakang agama yang berbeda.

Tentu saja, dari sudut pandang lain, kebudayaan dengan sifat toleransi maha luas dan kekayaan maha besar semacam ini, juga pastinya telah diatur dengan baik secara sistematis oleh Sang Pencipta sendiri sejak masa paling awal, selangkah demi selangkah diendapkan dan dikembangkan sekaligus diwariskan sampai hari ini, tujuannya adalah untuk menyelamatkan semua manusia di dunia di saat akhir kalpa.

V. Mengalami Bencana Kalpa Namun Tidak musnah

Kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa berkat perlindungan Tuhan, telah melewati masa ribuan tahun tidak surut, terus diwariskan hingga pertengahan abad ke-19. Peradaban Barat dengan Revolusi Industri-nya menimbulkan keunggulan teknologi, memaksa masuk dengan kekuatan militer, yang menimbulkan “situasi perubahan yang belum pernah ada selama beberapa ribu tahun”.

Setelah itu, bumi pertiwi bangsa Tionghoa, terjadi kekacauan berkali-kali lipat, pada kesempatan itu roh gentayangan dari Barat, menyusup. Kebudayaan Tionghoa mengalami kerusakan parah seolah bunga dan buah yang berguguran habis, dan nyawanya sudah berada di ujung tanduk.

Melalui pengelolaan penuh derita oleh partai komunis dan berbagai macam gerakan politiknya serta bencana besar sepuluh tahun Revolusi Kebudayaan; berbagai macam represi dengan kekerasan, perusakan agama dan penghapusan kepercayaan kepada Tuhan, ditambah lagi dengan kebudayaan partai, pendidikan pencekokan ateisme. Sehingga kaum generasi muda sejak lama sudah tidak memiliki kepercayaan kepada Buddha – Tao – Dewa, kaum generasi tua terbungkam, ketakutan akan pembantaian dan penindasan telah menghancurkan keberanian; bangunan tradisional,  situs kuno, kuil, perkakas, artefak dan lain-lain dihancurkan, selanjutnya hubungan antara Tuhan dan manusia telah diputus.

Namun dengan hancurnya Konfusianisme, Buddhisme, Taoisme, dan berbagai aliran perguruan agama lainnya, tidak berarti manusia di dunia tidak bisa dibangunkan oleh Tuhan. Isi detail dan daya hidup yang sulit dikalahkan dari kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa – yang ditanamkan oleh Tuhan untuk umat manusia pada saat ini tampil keluar secara maksimal.

Setelah Revolusi Kebudayaan, orang Tiongkok hampir sepenuhnya tanpa kepercayaan kepada Tuhan, kesadaran menjadi kosong melompong, aktivitas kebudayaan secara ekstrem hampir tidak ada.

Namun ketika manusia di dunia mendengar Kisah Keluarga Jenderal YangBiografi YuefeiTiga Negara [Samkok]–Kisah Batas Air [108 Pendekar Liang Shan] dan karya terkenal lainnya, sebenarnya dalam waktu singkat merasa kesepian seperti di tengah jalan, setiap keluarga menjadi tersadarkan kembali, ketakutan hidup hilang berjatuhan, bahkan polisi juga tidak perlu menjalankan tugas.

Tepatnya adalah akumulasi kebijaksanaan dari kebudayaan hasil warisan Dewa selama beberapa ribu tahun, sekali lagi membangunkan kembali pikiran lurus dan ingatan lama dari lubuk hati manusia di dunia.

Orang-orang mengapa begitu mengagumi Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh cerita Tiga  Negara (Samkok)?

Manusia dunia setiap kali menyinggung huruf Yi (kebenaran), segera teringat Yi (kebenaran) yang ditampilkan pada zaman Tiga Negara (Samkok). Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh tiga pahlawan Liu Bei – Guan Yu – Zhang Fei yang bersumpah mengikat persaudaraan, sehingga membuat generasi berikutnya terkagum-kagum – ditiru, sifat menjunjung tinggi kebenaran dibanding materi – tindakan serta perbuatan yang mengabaikan hidup dan memprioritaskan kebenaran – membuat kagum semua orang.

Zhuge Liang membantu Liu Bei, “berjuang hingga titik penghabisan, sampai hari kematian tiba” telah menjadi teladan pejabat generasi selanjutnya, mendapat gelar sebagai perdana menteri nomor satu dalam ribuan tahun.

Kaisar Agung Wei Wu Caocao –siang bicara strategi militer, malam membahas kisah klasik, merencanakan logistik menentukan kemenangan, berhasil menyatukan wilayah utara; pada pertemuan plum muda memasak arak menyanjung Liu Bei sebagai pahlawan, dan sama sekali tidak mengambil keuntungan dari posisi gentingnya; Perkataan harus dapat dipercaya, dia membebaskan Guanyu; menggunakan Yi (kebenaran) para menteri dan pejabatnya untuk memenangkan hati rakyat di empat samudera. Yi (kebenaran) yang ditampilkan oleh Tiga Negara selama ratusan tahun telah menjadi standar kebudayaan tradisional selama lima ribu tahun di seluruh Huaxia serta menjadi moralitas – perilaku moral manusia di dunia yang ditulis dengan pena tebal.

Orang-orang mengapa demikian tersentuh oleh loyalitas Yang Liu Lang (Yang Yanzhao) – Yuefei?

Liu Lang dari Dinasti Song Utara,“kehebatannya mengguncang tiga gerbang, jenderal wanita Keluarga Yang” dalam membasmi musuh dan melindungi negara sangat menyentuh perasaan. Yuefei dari Dinasti Song Selatan telah menjalani ratusan perperangan, sama sekali tidak pernah terkalahkan.

Sayangnya saat ingin menyerang langsung ke sarang musuh dan merebut kembali dinasti, telah dicelakai oleh pejabat korup Qin Hui, meninggal secara tragis di Fengboting. Cerita Liu Lang – Yuefei tersebar selama ribuan tahun. Bahkan rakyat jelata yang buta huruf dan tidak dapat membaca buku sejarah, dapat mengetahui peristiwa tersebut lewat cerita yang didengar. Mereka mengenali baik dan jahat, mengagumi pejabat loyal, terus diwariskan lewat mulut dan telinga yang mengajari generasi-generasi selanjutnya.

Dalam perjalanan naik turunnya bangsa Tionghoa selama lima ribu tahun, satu per satu pertunjukan besar – mengguncang hati, satu per satu alur cerita – menyentuh hati sanubari manusia, tidak saja membuat manusia di dunia dapat mengenali baik dan jahat – antara benar dan salah – membedakan asli atau palsu – kenal dengan loyal dan korup. Tapi juga dapat mempertahankan bangsa Tionghoa sejak lampau terisi penuh dengan energi lurus, dalam ideologi – pemikiran – kesadaran – pembuluh darah manusia di dunia juga telah ditinggalkan tanda yang tidak bisa dihapus, tidak peduli rezim Partai Komunis Tiongkok (PKT) bagaimana menekan – mengelabui, juga tidak dapat mencekik keinginan hidup dari lubuk hati orang.

Orang-orang mengapa demikian tersentuh oleh loyalitas Yang Liu Lang (Yang Yanzhao, 958-1014) dan Yuefei (1103-1142)?

Liu Lang dari Dinasti Song Utara, kehebatannya mengguncang tiga gerbang lintasan, beserta jenderal wanita Keluarga Yang dalam membasmi musuh dan membela negara sangat menyentuh perasaan.

Yue Fei dari Dinasti Song Selatan telah tertempa melalui ratusan pertempuran dan tidak pernah sekalipun kalah. Sayangnya di saat hendak menghancurkan sarang musuh dan merebut kembali wilayah dinasti, telah dicelakai oleh pejabat bermental sengkuni Qin Hui dan dieksekusi mati secara tragis di Fengboting.

Cerita Liu Lang dan  Yue Fei tersebar selama ribuan tahun, bahkan rakyat jelata yang buta huruf, yang tidak dapat membaca buku sejarah, juga dapat mengetahui peristiwa tersebut lewat cerita yang didengar, dalam mengenali manusia licik dan jahat serta mengagumi pejabat loyal, terus diwariskan dari mulut ke mulut, demi mendidik generasi penerus.

Dalam pengambilan kesimpulan tentang kejayaan dan kemerosotan bangsa Tionghoa selama lima ribu tahun, satu per satu pertunjukan besar yang mengguncang hati, satu per satu alur cerita menyentuh hati. Tidak saja membuat manusia di dunia dapat mengenali baik dan jahat, mengerti antara benar dan salah, membedakan asli atau palsu serta dapat membandingkan antara loyal dan licik serta mempertahankan bangsa Tionghoa yang sudah sejak masa lampau terisi penuh dengan energi lurus dalam ideologi, spiritual, pemikiran dan kesadaran. Sejatinya, telah meninggalkan tanda yang tidak bisa dihapus dalam pembuluh darah manusia di dunia, juga bagaimanapun rezim komunis Tiongkok menekan dan mengelabui, juga tidak mampu membinasakan daya hidup yang bagaikan menyambut datangnya musim semi dari lubuk hati.

KESIMPULAN

Dari 7 miliar jiwa di atas dunia, tidak setiap orang memercayai agama dan juga tidak setiap orang memercayai Tuhan. Sang Pencipta tidak ingin meninggalkan seorang pun, namun manusia di dunia perlu ada batas minimum moralitas, barulah layak menjadi manusia. Itulah mengapa Tuhan dalam banyak agama di dunia berulang kali memperingatkan manusia, bahwa harus menjaga batas minimum moralitas demi menunggu kembalinya sang Pencipta.

Hari di mana moralitas manusia terperosok turun sampai ujung kehancuran, itulah saat bencana yang menenggelamkan datang mendekat. Namun di saat ini, hanya Tuhan saja yang mampu mengulurkan tangan maha besar untuk mengendalikan Langit dan Bumi, memutar balik Qiankun (alam semesta), dan menyelamatkan orang baik agar terhindar dari maha bencana paling akhir.

Demi manusia, Tuhan telah menanamkan landasan kebudayaan yang berisikan fondasi moralitas, hal itu merupakan landasan bagi manusia untuk terlahir kembali, yakni manusia saat berada pada momentum paling berbahaya, dapat memahami rahasia Langit yang diungkap oleh Tuhan, sehingga ini juga merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh penyelamatan. Sebaliknya yang merusak jalan penyelamatan manusia ini, dia justru sedang memusnahkan umat manusia.

Di tengah gerakan politik tanpa henti dari PKT yang berniat buruk hendak memusnahkan kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa yang membuat manusia dalam saat-saat bencana keruntuhan moral, terhalang segala jalan keluarnya.

Ketika manusia dunia telah kehilangan kebudayaan semacam itu, serta perilaku moral di bawah pengaruh dan pendidikan kebudayaan seperti ini, maka ketika manusia tidak mampu lagi memahami Tuhan yang menyelamatkan manusia dan Fa yang diajarkan Tuhan, juga berarti akan kehilangan peluang takdir untuk memperoleh penyelamatan terakhir.

Kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa tepatnya adalah kebudayaan yang dikokohkan sendiri oleh Sang Pencipta di Tiongkok, demi menyelamatkan semua makhluk di saat terakhir. Inilah pengaturan khusus dan tujuan dari kebudayaan tradisional Tionghoa.

FOTO : Siluet Mao Zedong di bawah bulan mendung di Wuhan, provinsi Hubei, pada 22 Juli 2009. (AFP / AFP / Getty Images)

Tujuan Terakhir Komunisme : Bagian Tiongkok – Negara yang Menjadi Pusat Kebudayaan Warisan Dewata (1)

Buku ini terbagi menjadi dua bagian yaitu awal dan akhir, yakni bagian awal: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentang Tiongkok); bagian akhir: Tujuan Terakhir Komunisme (Bab tentang Dunia)

Epoch Times pertama-tama akan menerbitkan bagian awal yakni Bab tentangTiongkok, bagian akhir tidak lama setelahnya akan dipublikasikan, tetaplah bersama kami.

Dengan hormat mempersembahkan buku ini kepada seluruh manusia yang dengan tulus mengharapkan peradaban bangsa Tionghoa berhati bajik, makmur dan kuat!

Bab 1. Negara yang Menjadi Pusat  Kebudayaan Warisan Dewata

Daftar Isi:

  1. Negara yang Menjadi Pusat
  2. Kebudayaan Warisan Dewata
  3. Struktur Tatanan Ribuan Tahun
  4. Kelapangan dada, Toleransi dan Pengampunan
  5. Sejarah Kalpa Tidak Musnah

Kesimpulan

*****

Sejarah lima ribu tahun bagai arus pasang dan surut di sungai Yangtze [Chang Jiang], peradaban besar yang dulunya sangat megah semuanya telah buyar bagaikan debu dan asap, namun hanya peradaban bangsa Tionghoa saja yang terwariskan tanpa henti.

Tiongkok dulunya pernah mencapai puncak kejayaan maha megah dengan berbagai dinasti dari berbagai bangsa, dihormati sebagai “Negara Besar Dinasti Langit”, dengan kebudayaan yang secara mendalam mempengaruhi seluruh Asia Timur, dan telah terbentuk lingkaran besar kebudayaan Tionghoa. Dengan dibukanya Jalur Sutra dan Empat Penemuan Besar [Kertas, Percetakan, Kompas, Mesiu] yang menyebar ke Barat — telah mendorong maju peradaban dunia, dan telah memberi konstribusi terhadap Abad Renaisans Eropa dan penemuan daratan [benua] baru.

Bangsa Tionghoa juga telah mengalami banyak sekali kesulitan. Terutama di zaman modern, persoalan internal dan agresi dari eksternal terus berlangsung tanpa akhir.

Pertengahan abad ke 20, setelah hantu dari Barat partai komunis merebut kekuasaan, terjadi pembantaian rakyat – keruntuhan kebudayaan – perusakan lingkungan, sehingga membuat gunung dan sungai berubah warna, para makhluk hidup menderita, peradaban yang dulunya maha megah tertutup bayangan hitam, hampir hancur tanpa sisa.

Mengapa setelah partai komunis memperoleh kekuasaan, masih tanpa henti meluncurkan berbagai macam kampanye, dan bahkan meluncurkan Revolusi Kebudayaan “yang tidak pernah ada dalam sejarah”?

Mengapa partai komunis Tiongkok harus memperlakukan orang Tiongkok dan kebudayaan Tiongkok sebagai musuh, bahkan penuh nafsu setelah menghabisi barulah puas?

Mengapa dalam satu abad terakhir, Tiongkok menjadi negara yang dikendalikan paling ketat – yang dianiaya paling berat oleh roh jahat komunis?

Buku ini untuk pertama kalinya mengungkap, bahwa paham komunis benar-benar bukan sebuah arus pemikiran – teori, atau pun sebuah percobaan gagal saat umat manusia mencari jalan keluar. Ia adalah iblis, juga dikenal sebagai roh jahat komunis, yang terbentuk dari Kebencian dan berbagai macam materi sampah ruang dimensi tingkat rendah alam semesta.  Tujuan terakhirnya adalah memusnahkan umat manusia.

Sebuah jurus paling jahat dari roh jahat komunis untuk memusnahkan umat manusia, tepatnya adalah dengan merusak Kebudayaan Hasil Warisan Dewa, atau yang disebut dengan Kebudayaan Tradisional Tiongkok yang diciptakan oleh Sang Pencipta demi menyelamatkan semua makhluk.

I. Negara yang Menjadi Pusat

Banjir besar yang menutupi seluruh dunia 4.000 tahun yang lalu, membuat umat manusia periode sebelumnya hampir seluruhnya berada dalam kondisi musnah. Dalam ingatan berbagai bangsa mengenai kejadian banjir besar ini, rata-rata hanya ekstrem sedikit manusia yang tersisa, sebagai ras manusia yang berkembang lagi dari awal.

Di dalam sejarah Tiongkok, saat itu bertepatan dengan masa Kaisar Yao. Di tengah banjir besar yang juga menenggelamkan banyak gunung tinggi, bangsa Tionghoa sebaliknya secara utuh berhasil bertahan hidup, pada saat yang sama telah berhasil mempertahankan peradaban maha megah masa lalu, termasuk hal-hal yang masih sulit dimengerti oleh manusia modern sampai hari ini antara lain Taiji – Hetu – Luoshu – Zhouyi – Bagua dan lain-lain.

Menurut catatan, pada saat Kaisar Yao memberikan persembahan kepada Langit, Tuhan menampilkan mukjizat sekaligus memberi instruksi kepada Kaisar Yao: “Air Terhimpun Hingga Menjadi Bahaya, Hidup Anak Selamatkanlah Dia” (Banjir besar membahayakan ruang manusia, anda harus menyelamatkan rakyat. Lihat <<Catatan Musik Dulu dan Sekarang>>), dengan ini dimulailah keajaiban Da Yu [Yu Agung] menguras air.

Era Yao – Shun – Yu, merupakan awal pulihnya bangsa Tionghoa dari kemusnahan akibat banjir besar. Da Yu [Yu Agung] mengendalikan gunung dan sungai, memulai lingkungan baru untuk bangsa Tionghoa, yang digunakan sampai sekarang.

Ini adalah perhatian khusus dari Tuhan kepada bangsa Tionghoa. Tanpa perlindungan dari Tuhan, bangsa Tionghoa sama seperti bangsa lain di atas dunia, juga tidak bisa kabur dari bencana tenggelamnya lingkup dunia ini. Tuhan secara khusus — dari banyaknya bangsa telah memilih bangsa Tionghoa, untuk diajarkan Kebudayaan Hasil Warisan Dewa, juga dikenal sebagai kebudayaan semi Dewa, ini tentu saja juga merupakan persiapan yang dibuat demi pengaturan yang lebih besar di kemudian hari.

Tiongkok dari dinasti berbeda mempunyai wilayah yang berbeda. Pada dasarnya, “Tiongkok [Negara Pusat]” bukanlah dalam konsep lokasi geografis, melainkan berarti “Negara yang Menjadi Pusat”, ini berasal dari pengaturan Dewa terhadap kebudayaan Tionghoa dengan status – karakteristik – struktur dan unsur pembentuk yang penuh karunia Langit.

Bumi pertiwi bangsa Tionghoa unik tiada duanya, merupakan Negara yang Menjadi Pusat pilihan Tuhan, Fa terakhir untuk menyelamatkan manusia di dunia adalah disebarkan di sini. Oleh karenanya Tiongkok secara keseluruhan, dari lingkungan hidup – penyebaran populasi secara permukaan, hingga proses perkembangan sejarah – penetapan kebudayaan di tingkat mendalam, dan juga pemahaman dari berbagai macam agama dan aliran Fa Xiulian beserta hal lainnya, semuanya berasal dari pengaturan Tuhan yang teratur dan sistematis.

Di dalam sejarah panjang bangsa Tionghoa, Sang Pencipta bereinkarnasi menjadi kaisar agung – sastrawan – biksu – pendeta Tao – ketua perguruan silat – penasihat strategi – jenderal besar, memimpin kehidupan yang asalnya dari luar duniawi, membangun tempat hidup untuk rakyat Shenzhou [benua Dewa; sebutan Tiongkok zaman dulu], menetapkan kriteria moral, memperkaya kandungan makna ideologis, menanamkan kebudayaan Ortodoks, dan membangun sistem hukum. Anak Langit dari setiap dinasti – rakyat dari setiap dinasti – kebudayaan dari setiap dinasti – bentuk pakaian dari setiap dinasti – kebiasaan dan kondisi dari setiap dinasti – karakteristik kandungan makna dari setiap dinasti yang muncul di Tiongkok, datang silih berganti, gemerlap bagai lautan bintang, tersebar jauh di empat samudra, kuat mengguncang delapan penjuru, dan pada akhirnya menjadi kondisi megah secara keseluruhan Kebudayaan Hasil Warisan Dewa selama lima ribu tahun.

Karakter heroik, yang termasyhur dan mengagumkan sepanjang zaman. Qin Huang [Qin Shi Huang] – Wu Han [Kaisar Wu dari Dinasti Han] – Wei Wu [Caocao dari Kerajaan Wei] – Zhuge Wuhou [Zhuge Liang] – Tang Taizong [Kaisar Dinasti Tang] – Jenghis Khan – Kubilai Khan – Ming Chengzu [Kaisar Yongle dari Dinasti Ming] – Kangxi Dadi [Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing] dan kaisar-kaisar agung serta pejabat penting lainnya, memperluas wilayah, dengan negara-negara – bangsa di sekitarnya mengikat tali takdir, membawa Kebudayaan Tradisional bangsa Tionghoa tersebar jauh ke luar negeri.

Pada masa Dinasti Qin dan Han, terjadi Penggabungan Enam Negara – Perluasan ke Wilayah Barat [istilah di zaman Dinasti Han untuk wilayah di luar Lintasan Yumen] – Ekspedisi Utara ke Wuhuan [yang dipimpin oleh Caocao] – peristiwa Menuju Nanman dengan Pakaian Berkabung [Liu Bei baru saja meninggal, Nanman Barbar Selatan memberontak, Zhuge Liang melakukan kampanye militer ke Selatan].

Lalu pada era dua Dinasti Jin [Barat dan Timur] dan Dinasti Selatan Utara, terjadi peristiwa Pakaian dan Topi Menyeberang ke Selatan [Pusat pemerintahan Dinasti Jin pindah dari Sungai Kuning ke Sungai Yangtze], Lima Hu Masuk Menempati ZhongYuan [Lima suku non-Han: Xiongnu, Xianbei, Jie, Di, Qiang masuk ke Daratan Tengah].

Selama era Dinasti Sui dan Dinasti Tang hingga Lima Dinasti, bangsa-bangsa di sekitarnya melakukan hubungan dengan ZhongYuan dalam bentuk bergabung di bawah kekuasaannya – membayar upeti, atau berperang – pernikahan politik, atau pertukaran pelajar – lalu lintas perdagangan, atau berbagai bentuk lainnya.

Pada era dua Dinasti Song [Utara dan Selatan], Qidan [Khitan] – Jurchen [Tungus, leluhur Manchu pendiri Dinasti Jin dan Qing] secara tiba-tiba meningkat kekuasaannya, terjadi perang antara Dinasti Song dan Liao – Dinasti Song dan Jin.

Jenghis Khan menyatukan gurun, ekspedisi jauh ke Eropa; Ming Chengzu [Kaisar Yongle dari Dinasti Ming] mengutus orang berlayar menyeberangi lautan. Berbagai jenis aksi heroik, mengguncang Langit Bumi, mengharukan Hantu dan Dewa; kelihatannya tidak teratur, namun faktanya teratur; terlihat kebetulan, namun faktanya keniscayaan.

Tuhan tidak meninggalkan kehidupan mana pun di dunia, secara teratur telah mengatur Kebudayaan Tradisional bangsa Tionghoa agar memberi radiasi ke dunia, demi meletakkan fondasi nilai-nilai universal yang seharusnya ke seluruh dunia.

Di atas panggung megah Shenzhou [benua Dewa; sebutan Tiongkok zaman dulu], anda dan saya bermain di panggung silih berganti, orang yang mengadakan pertunjukan tampil tanpa sadar diri, orang yang menonton pertunjukan nonton sampai mabuk terbius. Alur cerita dari pertunjukan besar ribuan tahun ini hingga kandungan makna mendalam yang tersembunyi di belakangnya, diam-diam telah secara mendalam menyusup dalam pembuluh darah rakyat Shenzhou, ditambah melalui catatan sejarah tanpa henti selama lima ribu tahun, yang ditinggalkan untuk generasi selanjutnya, sehingga membuat moralitas terjaga pada standar yang relatif tidak rusak.

II. Kebudayaan Warisan Dewata

Kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa adalah terhubung dengan Langit. Dalam tradisi bangsa Tionghoa, Langit tidak sekadar “alam raya” seperti yang dipahami oleh manusia modern saja. Langit adalah benar memiliki jiwa, seluruh makhluk yang berada di antara Langit dan Bumi disebut dengan “hasil ciptaan”, yang berarti diciptakan dan ditumbuh-besarkan.

Sedangkan yang menciptakan dan membesarkan adalah penguasa dari Langit Bumi Alam Semesta, yang disebut “Kaisar Langit” dan “Maha Kaisar Langit Raya”, di kalangan rakyat disebut “Tuan Langit” yakni: Tuhan tertinggi tanpa banding.

Orang Tiongkok menyebut negara sendiri sebagai Shenzhou (Negeri Dewata), orang Tiongkok menyebut kaisar sebagai “Putra Langit”. Tempat tujuan akhir manusia, adalah kembali ke Kerajaan Langit Tuhan yang dicapai setelah meningkatnya moralitas.

Kehendak dari Tuhan disebut “kehendak Langit”, seluruh makhluk di antara Langit dan Bumi bertindak mengikuti kehendak Langit, yang dianggap sebagai Tao Langit  (Jalan Langit).

Kehendak Langit muncul melalui fenomena Langit. Dalam kebudayaan bangsa Tionghoa, Kaisar Langit melalui berbagai bencana alam, memberi peringatan kepada orang-orang yang berseberangan dengan kehendak Langit, dan melalui berbagai pertanda baik, merestui orang-orang yang memiliki De[1] yang selaras dengan Langit serta patuh terhadap kehendak Langit.

Tuhan juga mengatur para kaisar agung dan arif bijaksana turun ke dunia sebagai orang penting di masa lalu, untuk memberi pencerahan kepada masyarakat, agar manusia dapat membaca fenomena Langit dan memahami kehendak Langit.

Di dalam kitab Xi Ci bagian ke satu dari Yi Jing (kitab Zhouyi) disebutkan: “Langit menurunkan fenomena, menampakkan baik buruk, Orang Suci menafsirkannya. Sungai (Kuning) menghasilkan peta – (sungai) Luo menghasilkan kitab[2], Orang Suci mengikutinya.”

Secara umum artinya, orang suci mendapat Mandat Langit lalu memperlihatkan fenomena Langit (ilmu Langit atau astronomi) semacam ini kepada manusia, agar menjadi ideologi, kepercayaan dan perilaku dari manusia, hingga yang paling mendasar di permukaan berupa tatanan hidup manusia, norma perilaku, sistem institusi dan lain-lain, dengan demikian, “ilmu langit” (astronomi) diubah menjadi “ilmu manusia” (humaniora), itulah sumber dari peradaban bangsa Tionghoa.

“Orang suci” yang menginterpretasikan peradaban bangsa Tionghoa dan yang mencerahkan masyarakat, adalah Dewa, maupun Semi Dewa. Mirip seperti yang ditampilkan dalam huruf “Suci (聖) [3]”, Mereka adalah raja yang secara vertikal memahami Mandat Langit dan secara horizontal mencipta ilmu (kebudayaan) manusia, seperti Pangu[4]– Nuwa[5]– Fuxi[6]– Shennong[7] dan Dewa-Dewa lainnya; dan juga raja-raja suci seperti Huangdi (Kaisar Kuning), Yao (Tang Yao), Shun, Yu (Dayu) dan lainnya yang dengan tubuh manusia melaksanakan pekerjaan Dewa.

Menurut catatan kitab kuno, orang Tiongkok percaya bahwa Kaisar Kuning Xuan Yuan “leluhur pertama ilmu manusia” setelah menyelesaikan misi mencerahkan masyarakat, telah mencapai kesempurnaan (Tao) dan terbang membubung kembali ke singgasana Langit, sejak itu telah mewariskan kepada umat manusia: kebudayaan xiulian yakni (jalan) manusia kembali ke status Dewa.

Orang-orang yang kala itu ditinggalkan telah mengubur pakaian Kaisar Kuning yang dikenakannya sebelum terbang membubung untuk dikubur di Gunung Qiao (Provinsi Shaanxi), lalu mendirikan gundukan tanah sebagai makam dan menganggapnya sebagai makam Kaisar Kuning, yang disembah hingga kini.

Sejak itu di dalam setiap dinasti dalam sejarah, Dewa tanpa henti bereinkarnasi ke dunia sebagai raja kuno atau kaisar agung dari bangsa Huaxia[8], di dalam rantang waktu yang sangat panjang itu, selangkah demi selangkah membangun dan memperkaya sistem peradaban dari kebudayaan warisan Dewata bangsa Tionghoa. Kebudayaan bangsa Tionghoa bersumber dari kebijaksanaan Dewata, kandungan maknanya sangat luas mendalam, sarat akan rahasia Langit dan mukjizat Tuhan.

III. Struktur Tatanan Ribuan Tahun

Setelah banjir besar, tiga raja suci Yao, Shun dan Yu datang ke dunia silih berganti, meluruskan kembali tatanan pergantian empat musim Langit dan Bumi, mengendalikan air dan tanah, mengharmoniskan Yin dan Yang, membasmi iblis dan siluman, serta membangun lingkungan hidup untuk umat manusia. Dengan kebajikan besar memimpin seluruh negeri, dengan moralitas sebagai inti, membangun sistem kebudayaan yang menyatukan manusia dengan alam, secara bersama telah menyelesaikan proses pendirian panggung besar Shenzhou.

Dua Dinasti Xia dan Shang, di tengah periode Manusia Eksis Bersama Dewa, ada banyak Dewa-Dewi dan Manusia Sejati hidup berdampingan dengan manusia, mewariskan berbagai macam kebudayaan dan seni ketrampilan kepada manusia, membangun dan menetapkan moralitas umat manusia serta kandungan makna ideologis.

Dari Dinasti Zhou Barat sampai Qin Agung (Dinasti Qin), terjadi perubahan besar dan munculnya Lima Pimpinan Feodal susul menyusul serta Tujuh Penguasa saling bersaing sengit[9] selama delapan ratus tahun. Qin Agung (Qin Shi Huang), mengikuti timing Langit, memperoleh keuntungan geografis dan mencapai keharmonisan manusia serta menyatukan seantero negeri, mendirikan dinasti kekaisaran tradisional bangsa Tionghoa yang pertama.

Han Wudi2 membuka perbatasan memperlebar wilayah, ekspedisi ke selatan dan berperang di utara, keperkasaan Han Agung menggulung wilayah Barat. Terhadap internal merencanakan sistem pemerintahan dan menanamkan fondasi kebudayaan ribuan tahun Han: terhadap eksternal membuka akses ke wilayah Barat, untuk membawa kebudayaan bangsa Tionghoa ke seluruh daratan Eurasia. Tiongkok, sejak itu dan seterusnya sampai Dinasti Qing, selama dua ribu tahun periode itu, senantiasa mewarisi sistem dan paradigma dinasti kekaisaran yang diformula oleh Dinasti Qin dan Han.

Kaisar Taizong dari Dinasti Tang Agung, Li Shimin, menggunakan kebijaksanaan yang tidak pernah ada sebelumnya dan kecanggihan taktik militernya dalam menumpas kelompok bandit, menentramkan Zhong Yuan (Dataran Tengah) dan menyatukan seluruh negeri, sehingga berhasil mendorong peradaban lima ribu tahun bangsa Tionghoa ke puncaknya.

Dinasti Kerajaan Tang Agung, memimpin seluruh negeri, kewibawaannya mengguncang delapan penjuru, kelapangan dada yang maha luas, bersikap percaya diri, cemerlang tiada banding dan adidaya tiada lawan, cahaya gemerlap menerangi dari zaman kuno hingga zaman kini!

Pada awal abad ke-13, Maha Raja Meng Yuan (Mongolia) Jenghis Khan beserta klan Huangjin[10] membuka akses ke wilayah Barat dan menyapu bersih daratan Eurasia, menetapkan struktur tatanan Eropa, membawa peradaban Huaxia ke mana pun perginya.

Ratusan tahun kemudian, dimulai dari abad Renaisans Eropa dan lain-lain, membuat peradaban Barat mengalami kemajuan pesat. Pendiri Dinasti Yuan Agung Kubilai Khan memimpin Dinasti Langit Yuan Agung hijrah ke Zhong Yuan memainkan peran besar sejarah selama ratusan tahun, luas wilayah kekuasaan Dinasti Yuan Agung jauh melampaui Dinasti Han dan Tang, bahkan tersambung ke panggung pertunjukan besar dunia, menjadi landasan bagi tatanan seluruh dunia.

Ming Chengzu (Kaisar Yongle dari Dinasti Ming Agung), Kangxi dari Dinasti Qing Agung dan pemimpin suci monarki lainnya, terkenal dengan hati bajik toleransi tinggi serta memimpin dengan peradaban dan kemiliteran, sehingga para suku bangsa di sekitar Tiongkok takluk.

Berlayar menyeberangi lautan, menaklukkan Mongol dan Rusia, menyatukan seluruh semesta, kebudayaan bangsa Tionghoa agung maha megah kala itu, pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia.

Para pemimpin suci monarki brilliant dari dinasti kekaisaran bangsa Tionghoa ini, telah menciptakan sejarah, meletakkan fondasi jalan, mengubah situasi secara mendasar, sehingga membuat Kebudayaan Tradisional bangsa Tionghoa terus berlangsung tanpa henti, membawakan kemegahan untuk Tiongkok bahkan bagi peradaban dunia.

Setiap dinasti dan setiap generasi Tiongkok selalu dalam karunia Tuhan, secara teratur meletakkan fondasi sekaligus menyempurnakan detail konkret kebudayaan dan konten pemikiran yang seharusnya dimiliki oleh manusia di dunia.

[1]De = pahala, sejenis substansi putih yang dihasilkan dari perbuatan baik, ikhlas menanggung penderitaan dan sebagainya.

[2]Yang terkenal dengan sebutan He Tu – Luo Shu.

[3]Sheng

[4]Pencipta alam semesta dalam mitologi Tiongkok.

[5]Pencipta manusia dalam mitologi Tiongkok.

[6]Pencipta perikanan, perangkap dan tulis menulis dalam mitologi Tiongkok.

[7]Pencipta agrikultural dalam mitologi Tiongkok.

[8]Nama kuno Tiongkok.

[9]Zaman Musim Semi dan Gugur (770SM-221SM), sebuah zaman dalam penghujung Dinasti Zhou

2Kaisar Wu dari Dinasti Han.

3Klan yang terdiri dari elit Mongol dan bangsa utara lainnya

Bersambung

FOTO : Revolusi kebudayaan Partai Komunis yang memusnahkan budaya Tradisional (Epoch Times with AP Photo, NTDTV screenshot and Jean Vincent/AFP/Getty Images)


Peringati Hari HAM Internasional, Lautan Manusia 800.000 Warga Hong Kong Turun ke Jalan

0

Annie Wu – Frank Fang – The Epochtimes

 Lautan manusia berbaris melalui pusat kota Hong Kong pada Minggu (8/12/2019). Ratusan ribu orang tersebut untuk mengukuhkan tekad mereka membentengi identitas Hong Kong dari meluasnya pengaruh Komunis Tiongkok. 

Mereka juga mendorong demokrasi yang lebih besar di Hong Kong. Aksi tersebut bersamaan dengan perayaan hak asasi manusia Internasional pada 10 Desember 2019. 

Tema pawai akbar pada hari itu adalah “Stand With Hong Kong, Walk With You All.” Pawai tersebut diselenggarakan oleh kelompok aktivis pro-demokrasi lokal, Front Hak Asasi Manusia Sipil atau Civil Human Rights Front -CHRF. 

Kali ini Civil Human Rights Front memperoleh persetujuan polisi untuk mengorganisir acara tersebut. Persetujuan tersebut menandai kemenangan langka dalam upaya berkelanjutan Civil Human Rights Front  untuk mendorong gerakan demokrasi lokal.

 Civil Human Rights Front memperkirakan sebanyak 800.000 warga berpartisipasi dalam pawai hari Minggu itu. Sedangkan, polisi setempat mengklaim perkiraan yang jauh lebih rendah. Polisi  mengatakan hanya ada 183.000 orang pada puncak kegiatan.

Awalnya rapat umum singkat diadakan di kawasan Victoria Park sebelum pemrotes berbaris sekitar pukul 3 sore hari waktu setempat ke kawasan Charter Road.

Pengunjuk rasa  terlihat mengibarkan bendera dengan tulisan yang berarti “Bebaskan Hong Kong,” serta bendera dari berbagai negara dan wilayah yang telah menyuarakan dukungan bagi gerakan pro Demokrasi Hong Kong, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Taiwan.

Para pengunjuk rasa juga terdengar meneriakkan slogan-slogan dengan artinya “lima tuntutan, bukan kurang satu,” “Bela kebebasan Berbicara,” “Selidiki kekerasan polisi dan Hentikan kebohongan polisi.” 

Massa juga meneriakkan “Bubarkan Pasukan Polisi, Jangan Tunda lagi.” Lainnya meneriakkan “721” yang berarti insiden 21 Juli 2019. 

Slogan lainnya berbunyi di manapun polisi tak terlihat. Tak hanya itu, Slogan  831 juga diteriakkan. Istilah ini terkait insiden 31 Agustus 2019. Massa juga meneriakkan slogan berbunyi : orang-orang dipukuli sampai mati. 

Insiden  21 Juli 2019 adalah ketika orang-orang dengan kaos putih-putih dengan latar belakang gangster, menyerbu stasiun metro Yuen Long. Mereka menyerang penumpang dengan tongkat, pentungan, dan besi. Anehnya, Polisi tidak tiba di tempat kejadian hingga 45 menit kemudian.

Sedangkan insiden pada 31 Agustus 2019, polisi anti huru hara menyerbu stasiun metro Prince Edward. Polisi menyerang penumpang tanpa pandang bulu. Sejak itu, ada sejumlah klaim yang beredar seputar dugaan bahwa kekerasan polisi telah mengakibatkan kematian para pemrotes.

Dalam sebuah deklarasi online, Civil Human Rights Front menyatakan, “Pelanggaran hak asasi manusia dan krisis kemanusiaan di Hong Kong dan Komunis TIongkok sedang mencapai titik kritis sekarang.”

“Pemerintah Hong Kong harus mewujudkan lima tuntutan kami untuk memenuhi tugas perlindungan hak asasi manusia internasional, dan membela kemanusiaan dan martabat manusia,” tambah deklarasi itu.

Protes yang sedang berlangsung di Hong Kong, sekarang memasuki 6 bulan, dipicu oleh kekhawatiran publik tentang RUU ekstradisi yang sekarang sudah sepenuhnya ditarik. Sebelumnya memicu kekhawatiran banyak orang akan mengikis independensi peradilan Hong Kong. 

Sekarang, pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah hong Kong menjawab lima tuntutan mereka, termasuk untuk hak pilih universal dan penyelidikan independen terhadap kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian.

Pengaruh Komunis Tiongkok

Seorang pemrotes yang bermarga Mak, berusia 73 tahun kepada The Epoch Times mengatakan bahwa ia tidak puas dengan pemerintah Hong Kong dan kepolisian setempat.

Ia mengatakan “Penggunaan kekuatan telah melampaui batas.” Ia  menambahkan bahwa dirinya telah melihat banyak video polisi memukuli demonstran muda setelah mereka dibekuk, dengan tangan dipelintir di belakang mereka.  Dirinya sudah beberapa dekade di Hong Kong. Ia membandingkan dengan polisi yang dulunya tak bertindak seperti itu. Kehidupan di Hong Kong juga menjadi semakin “seperti daratan Tiongkok.” Yang mana sangat berbeda dengan kehidupan Hong Kong sebelumnya.

Pemrotes lain yang bermarga Cheung, mengatakan: “Kami menentang  Komunis Tiongkok karena menghapus kebebasan kami.” Misalnya, bahwa kandidat pro demokrasi termasuk Agnes Chow telah didiskualifikasi dari pemilu 2014. Ia menuturkan, warga harus memberikan dukungan karena  berkurangnya penghargaan hak asasi manusia di Hong Kong. 

Cheung mengatakan bahwa ia menaruh harapan pada gerakan demokrasi, meskipun Komunis Tiongkok  sudah sangat jelas menyatakan, bahwa mereka tidak akan memberikan pemilihan yang benar-benar bebas. Walaupun jika Komunis Tiongkok tidak menyerah, warga akan terus turun ke jalan. Para pemuda sudah banyak berkorban. Oleh karena itu, dirinya harus turun ke jalan.

Cheng, seorang ibu dari putra berusia 2 dan 10 tahun berkata, dirinya menghadiri pawai karena dia ingin anak-anaknya memiliki “kebebasan berbicara.” 

Ibu  itu mengatakan optimis tentang gerakan demokrasi, walaupun setelah pengepungan polisi baru-baru ini terhadap Chinese University of Hong Kong dan Universitas Politeknik.

Dia menambahkan bahwa dirinya tidak akan hidup dalam ketakutan terhadap polisi, meskipun mereka menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Menurut dia : “Yang terutama adalah jangan takut, Ada banyak orang dari kita, sedangkan polisi hanya sekitar 30.000 orang. Apa yang harus kita takuti? 

Pemrotes lain yang bermarga Kei menuturkan bahwa dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memerangi ancaman komunis Tiongkok. 

Menurut dia, Hong Kong pada hari ini akan menjadi  dunia esoknya.Ia memperingatkan tanah air Anda akan menjadi korban selanjutnya dari Komunis Tiongkok. 

Dia menunjukkan tentang infiltrasi Komunis Tiongkok yang telah merusak bisnis dan menyebarkan propaganda media kee negara-negara lainnya. Pemerintah AS diserukan untuk menegakkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, yang mana bakal diberlakukan  terhadap para pejabat Komunis Tiongkok daratan. PBB juga diserukan untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Hong Kong untuk membantu krisis di Hong Kong.

Penangkapan Sebelum Pawai Digelar

Hanya beberapa jam sebelum rapat umum, media Hong Kong melaporkan bahwa polisi setempat telah menangkap sebelas yang disebut “tersangka” berusia antara 20 dan 63 tahun. Polisi mengklaim telah menyita pistol semi-otomatis dengan 105 peluru dalam operasi di Pulau Hong Kong.

Polisi mengklaim bahwa para tersangka ingin menggunakan senjata kepada polisi selama pawai. Apa benar yang diklaim oleh aparat kepolisian Hong Kong tersebut? 

Civil Human Rights Front di halaman Facebook-nya  mempertanyakan pengumuman kepolisian Hong Kong. Civil Human Rights Front mengatakan, apakah polisi sengaja membuat kepanikan tepat sebelum pawai berlangsung.

Joshua Wong, aktivis dan tokoh ikon dari Gerakan Payung 2014, termasuk di antara mereka yang ikut serta dalam pawai tersebut. 

Menurut media lokal RTHK, Wong juga mempertanyakan waktu operasi polisi yang mana berspekulasi bisa saja menjadi “manuver politik.”

Pada 6 Desember 2019, Lembaga Penelitian Opini Publik Hong Kong merilis jajak pendapat terbaru. Dari 1.062 orang yang disurvei antara 21 November dan 26 November 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa 65,1 persen tidak puas dengan kinerja polisi. Angka tersebut mengalami peningkatan dari 28,1 persen dalam jajak pendapat pada bulan Juni sebelumnya.

Menjelang malam, polisi setempat membuat garis pertahanan di Paterson dan Kingston Streets. Kawasan tersebut terletak sekitar satu blok dari Victoria Park setelah pemrotes mendirikan barikade payung. Pada satu titik, polisi memasang bendera hitam memperingatkan pengunjuk rasa bahwa gas air mata telah dikerahkan. (asr)

Epoch Times Menampilkan Fakta Zaman : Menyuarakan Aspirasi Warga Hong Kong

0

Cheng Xiaorong

Pada 27 November lalu, Presiden Trump telah menandatangani “Resolusi HAM & Demokrasi Warga Hong Kong”, mensahkannya menjadi undang-undang.

 Pada malam hari itu juga, puluhan ribu warga kota Hong Kong menggelar pertemuan. Mereka menyampaikan rasa terima kasih pada pemerintah AS.

 Tiga hari sebelumnya, yakni pada 24 November, kubu Pan-Demokrasi Hong Kong meraih kemenangan mutlak dalam pemilihan legislatif. Peristiwa ini telah mengubah peta politik Hong Kong. Kedua berita yang menggemparkan dunia itu, telah membuat nyali Komunis Tiongkok menciut.

 Selama lima bulan lebih, media massa corong Komunis Tiongkok dan media Hong Kong yang pro-Komunis Tiongkok telah memfitnah dan menipu masyarakat, mendoktrin etnis Tionghoa di dalam maupun luar negeri, menutupi fakta di Hong Kong. Membuat petinggi Komunis Tiongkok “salah tafsir” terhadap situasi di Hong Kong, mengira konsep “Hong Kong merdeka”, “kerusuhan”, dan “tangan hitam” dari luar negeri telah merasuki hati masyarakat. Mengira “mayoritas bungkam” adalah “warga patuh” yang dibutuhkan pemerintah. Mengira AS akan terkekang dengan kepentingan ekonomi dan mengkhawatirkan resolusi HAM warga Hong Kong dan lain-lain.

 Ketika situasi berkembang di luar dugaan Komunis Tiongkok, ketika sorak sorai yang dipersiapkan corong media bagi kubu pro-Beijing tidak lagi efektif. Media massa yang berhati nurani menjadi semakin menonjol — berpihak pada kebenaran, melindungi nilai universal, yakni mengikuti fenomena Langit dan kebutuhan zaman.

 The Epoch Times Beritakan Fakta Anti UU Ekstradisi, Sebarkan Aspirasi Warga

Di garis depan konflik, The Epoch Times berdiri bersama warga Hong Kong yang memprotes, menjadi perbedaan yang kontras dengan media massa Komunis Tiongkok.

Sejak 9 Juni sampai sekarang, kantor wartawan Epoch Times Hong Kong tidak hanya meliput berita harian, bahkan setiap minggu terjun ke lokasi pawai dan pertemuan untuk secara langsung menyiarkan situasi yang terjadi. Terkadang bahkan sampai mencapai durasi 15 jam lamanya.

Selain itu, The Epoch Times juga membuka banyak saluran media sosial. Divisi Video setiap hari membuat rekaman pendek untuk ditayangkan.

 Dalam beberapa bulan, oplah pemesanan saluran berita gabungan The Epoch Times dan NTDTV meroket pesat. Saat ini telah mencapai 193.000 pelanggan.

Divisi Liputan telah mewawancarai puluhan tokoh arus utama Hong Kong terkait topik gerakan anti UU ekstradisi, termasuk komentator senior, mantan pejabat pemerintahan, anggota legislatif, pengacara, uskup yang pensiun, analis saham, bintang film dan lain-lain. Topik wawancaranya sangat diminati pembaca.

Guo Jun, presiden surat kabar “The Epoch Times” Hong Kong menjelaskan, “Koran tematik gratis kami yang terbit setiap minggu, langsung memaparkan kondisi sebenarnya perlawanan warga Hong Kong kepada warga dari daratan Tiongkok (yang banyak berkunjung ke Hong Kong), Komunis Tiongkok menuding warga Hong Kong sebagai perusuh dan teroris, sebaliknya kami terus memberitakan isi hati warga Hong Kong: ‘Tidak ada perusuh, yang ada hanya tirani’.”

 Para reporter memasuki komunitas, berbincang secara mendalam dengan para akademisi muda, tokoh gerakan masyarakat, pegawai negeri, kaum manula, mantan polwan, imigran dari Tiongkok dan juga berbagai kalangan warga lainnya. 

Pemberitaan The Epoch Times yang objektif telah memenangkan kepercayaan dan pujian dari warga Hong Kong, menurut penjelasan wartawan. Di lokasi konflik, banyak warga memegang tangan mereka sembari berlinang air mata karena haru, berterima kasih pada The Epoch Times yang di tengah kondisi bahaya selalu mendampingi mereka terus melangkah ke depan.

 Di Washington DC, reporter The Epoch Times secara berkesinambungan mewawancarai banyak anggota kongres senior termasuk para anggota kongres yang memprakarsai “Resolusi HAM & Demokrasi Hong Kong.” Meminta agar mereka menjelaskan makna dan karakter resolusi itu, memecahkan segala kebohongan dan doktrin yang diciptakan oleh Komunis tiongkok.

 Sejumlah media massa yang pro-Komunis Tiongkok menyebutkan resolusi tersebut sempat ditentang oleh banyak anggota senat. Sementara surat kabar The Epoch Times tetap percaya, resolusi tersebut akan diloloskan. Dikarenakan resolusi ini menyangkut dasar pendirian bangsa.

 Di Kanada, warga bermarga Chen yang menjadi imigran dari Hong Kong hijrah ke Vancouver sebelum 1997 mengatakan pada The Epoch Times bahwa, propaganda besar Komunis Tiongkok di luar negeri telah menipu banyak etnis Tionghoa.

 Ia dulunya selalu membaca surat kabar “Sing Tao Daily” dan “Shang Bao” untuk jangka waktu lama. Setelah aksi anti UU ekstradisi  Hong Kong dimulai, semua surat kabar tersebut menyebut demonstran Hong Kong sebagai “perusuh”.

 Sanak saudara Mr. Chen memberitahunya, kejadiannya bukan seperti itu. Akan tapi Mr. Chen tetap tidak percaya.

 “Karena sama sekali berbeda dengan yang diberitakan di surat-surat kabar itu, saya sangat bingung, sampai akhirnya saya membaca surat kabar The Epoch Times setempat, saya baru tahu yang dikatakan keluarga saya adalah benar. Kemudian saya pun memberitahu mereka, seluruh keluarga harus turun ke jalan, untuk menyampaikan tuntutan mereka, jika tidak maka akan menyesal di kemudian hari.” Demikian yang disampaikan Chen.

 The Epoch Times Melindungi Nilai Universal, Melihat Tembus Yang Akan Terjadi

 Surat kabar The Epoch Times didirikan oleh beberapa etnis Tionghoa di luar negeri. Misi awalnya adalah memecahkan monopoli media massa satu kata Komunis Tiongkok. Mengungkap kejahatan Komunis Tiongkok merusak kebudayaan tradisional Tiongkok dan kejahatan komunis Tiongkok menindas HAM. Serta menyebarkan nilai universal.

 Selama 19 tahun, surat kabar “The Epoch Times” mempertahankan prinsip, tidak menghindari topik sensitif, independen dan berani, memberikan panduan yang benar bagi pembaca.

Oleh karena itu pula, surat kabar ini dapat menilik langsung karakter perlawanan anti komunis warga Hong Kong, menyuarakan aspirasi warga yang mengejar kebebasan.

Komentator Hong Kong bernama Chip Tsao pernah mengutip berita The Epoch Times saat hadir dalam acara televisi, ia mengatakan, “Saya sering kali mencari berita dari Anda (Epoch Times), surat kabar Anda sangat rinci dan mendalam.”

Di Amerika Serikat, The Epoch Times berbahasa Inggris sedang mendapat pengakuan dan disukai oleh semakin banyak tokoh arus utama.

Menurut berita, Presiden Trump acapkali membaca surat kabar “The Epoch Times” berbahasa Inggris. Ia memujinya dengan mengatakan “ini bukan berita palsu.” 

Ia bahkan berkali-kali memposting ulang berita The Epoch Times di akun Facebook-nya. Ada pembaca meninggalkan pesan: “Pemberitaannya yang sangat berpengaruh terhadap petinggi pemerintahan negara yang paling maju, ini sungguh hebat.”

Motto dari surat kabar “The Epoch Times” berbahasa Inggris adalah: “Truth and Tradition”. Kedua kata ini sepenuhnya menjelaskan pondasi, orientasi serta penyebab surat kabar ini dapat bertahan begitu lama. Karena untuk memberitakan fakta dan mempertahankan tradisi, butuh hati nurani yang teguh, mampu membedakan kejahatan dengan kebenaran, dan berani.

Baik pribadi maupun media massa, hanya dengan memilih kebenaran, fakta dan kejujuran, baru dapat membuka sumber kearifan serta menahan tantangan, dan barulah bisa melangkah dengan jauh. (SUD/WHS)

‘Perang Dingin’ yang Tak Pernah Berakhir : Komunis Tiongkok Bertempur Secara Terselubung Hampir Selama Tiga Dekade

0

oleh Hong Wei

Orang-orang di dunia Barat telah bersorak sorai dan merayakannya, ketika negara komunis runtuh di Eropa Timur antara tahun 1989 dan 1990, dan kemudian Uni Soviet pada tahun 1991.

Perang Dingin kemudian berakhir dan ancaman perang yang sesungguhnya lenyap. Saat itu, tampaknya telah tiba kedamaian dan kemakmuran yang pernah dicita-citakan semua orang.

Tetapi, eskalasi perang dagang AS-Tiongkok pada Tahun 2018 dan semakin meningkat pada Tahun 2019, banyak orang percaya bahwa kita mulai menyaksikan Perang Dingin gaya baru. Sesungguhnya, Amerika Serikat tak ingin memulai babak baru Perang Dingin.

Sebenarnya, Washington akhirnya baru menyadari bahwa Perang Dingin sejatinya tak pernah berakhir. Dikarenakan, Komunis Tiongkok telah melancarkan pertempuran selama bertahun-tahun.

Sederhananya, orang Barat berpikir hanya sebatas memenangkan kemenangan nyata atas lawan-lawannya pada 28 tahun silam. Akan tetapi bukan sebuah kemenangan yang sempurna.

Komunis Tiongkok sejak itu melanjutkan Perang Dingin secara diam-diam, dengan cara yang sangat berbeda dari bekas Uni Soviet. Hingga pada Tahun 2018 ketika Amerika Serikat sadar dan menerima tantangan, yang akan kita sebut sebagai Perang Dingin gaya baru.

Penilaian yang Meleset

Konfrontasi Perang Dingin telah berlangsung hampir setengah abad antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan sekutu mereka, setelah Perang Dunia kedua.

Secara umum, dianggap bahwa Perang Dingin dimulai pada tahun 1947 dan berakhir pada tahun 1991.

Selama Perang Dingin, Presiden Amerika Serikat semuanya mengadopsi strategi penting yakni memecah kubu sosialis. Biasanya, mereka akan memisahkan rezim komunis Tiongkok dari sisa-sisa kubu komunis.

Setelah rezim komunis Tiongkok mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949, kebijakan luar negerinya hanya menguntungkan Uni Soviet. Selain itu, dihasut oleh Stalin, Komunis Tiongkok turut berpartisipasi dalam Perang Korea untuk memerangi Amerika.

Namun, persekutuan Komunis Tiongkok dan Uni Soviet tidak berlangsung lama. Mantan pemimpin Komunis Tiongkok Mao Zedong berusaha bersaing dengan Uni Soviet, tak lain untuk mendominasi kubu sosialis.

Akibatnya, kedua negara menjadi bermusuhan satu sama lain di akhir 1950-an. Pada tahun 1964, konflik meningkat ketika Komunis Tiongkok dan Uni Soviet pecah kongsi ketika mencoba menyelesaikan perselisihan perbatasan, diikuti oleh banyak konfrontasi militer di sepanjang perbatasan pada tahun 1969.

Kala itu, Komunis Tiongkok mengerahkan 810.000 tentara, dan Uni Soviet mengerahkan 1.180.000 tentara dalam persiapan perang. Para pemimpin Komunis Tiongkok dievakuasi dari Beijing karena mereka khawatir Uni Soviet akan memulai perang nuklir melawan Komunis Tiongkok kapan saja.

Amerika Serikat turun tangan untuk membantu Komunis Tiongkok ketika percaya bahwa “komunisme monolitik” bukanlah sebuah ancaman. Pemerintahan Nixon mengancam akan memerangi perang nuklir melawan Uni Soviet dan dengan demikian membantu Komunis tiongkok mencegah krisis besar.

Pada tahun 1972, ketika mantan Presiden Nixon mengunjungi Tiongkok, Komunis tiongkok menganggapnya sebagai kesempatan berharga untuk menjalin hubungan dengan Barat untuk melawan Uni Soviet. Dengan kata lain, Komunis tiongkok mengambil inisiatif untuk memisahkan diri dari kubu sosialis.

Pada tahun-tahun berikutnya, Komunis Tiongkok tampaknya memainkan peran netral di tengah-tengah Perang Dingin, sehingga memberi kesan sangat berbeda dari negara-negara sosialis lainnya.

Setelah hancurnya Uni Soviet pada tahun 1991, Barat percaya bahwa Perang Dingin telah berakhir.

Meskipun beberapa orang menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok masih merupakan negara yang menganut ideologi sosialis. Karena, masih terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara serius. Komunis Tiongkok masih belum berupaya memperbaiki kesalahannya selama Pembantaian terhadap Mahasiswa Pro Demokrasi di Lapangan Tiananmen.

Kala itu, kebanyakan orang barat gagal melihat ancaman terbesar yang mengancam dari Komunis Tiongkok. Orang barat juga tidak menyadarinya pada tahun-tahun selanjutnya, bahwa Komunis Tiongkok selama ini telah meluncurkan Perang Dingin gaya baru.

Rahasia ‘Perang Dingin’ Komunis Tiongkok

Amerika Serikat dan sekutu Baratnya tidak lagi waspada terhadap ancaman komunis setelah runtuhnya Uni Soviet. Selain itu, mereka membantu komunis Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Mereka menawarkan sejumlah besar dana dan menyediakan teknologi canggih. Mereka juga percaya bahwa Komunis Tiongkok pada suatu hari akan mereformasi sistem politiknya dan meningkatkan perlakuan terhadap hak asasi manusia. Komunis Tiongkok sepenuhnya mengambil keuntungan dari semua upaya niat baik ini.

Banyak pejabat komunis Tiongkok dengan cepat menjadi jutawan melalui korupsi. Mereka belajar mengenakan pakaian mahal, mengirim anak-anak mereka ke sekolah swasta di luar negeri, dan mentransfer aset mereka ke luar negeri.

Dengan sejumlah besar perusahaan yang didanai asing datang ke Tiongkok, jutaan pekerja murah Tiongkok tidak hanya bekerja untuk pengusaha asing, tetapi juga terus menerus mengumpulkan cadangan devisa untuk Komunis Tiongkok.

Komunis Tiongkok menemukan bahwa menarik investasi asing adalah metode yang lebih baik untuk mengeksploitasi rakyat Tiongkok. Karena, mereka kini dapat mengeksploitasi pekerja Tiongkok secara lebih efisien dan skala yang lebih besar.

Awalnya, para puncak pimpinan Komunis Tiongkok takut dengan runtuhnya Uni Soviet. Ketika satu-satu dari sedikit negara komunis beranjak pergi, mereka mengira Komunis Tiongkok akan menjadi sasaran seluruh dunia Barat. Tetapi, ketika negara-negara Barat lengah dan memberikan Komunis Tiongkok hadiah “modernisasi,” para pemimpin komunis Tiongkok sangat gembira bukan kepalang.

Mantan ketua Partai Komunis Tiongkok Deng Xiaoping kemudian mengusulkan strategi untuk “menjaga kerendahan hati dan menumbuhkan kekuatan kita secara diam-diam,” yang selalu dipuja sebagai pedoman paling penting oleh penerus Deng Xiaoping.

Berarti, ketika Komunis Tiongkok terus berperang dengan Perang Dingin, maka Komunis Tiongkok akan menjaga motivasi sebenarnya tetap terselubung, sehingga memberikan dirinya cukup waktu untuk mengumpulkan lebih banyak cadangan devisa, mencuri lebih banyak teknologi, dan menyusup ke Barat. Rencananya adalah akan menantang hegemoni Amerika Serikat.

Amerika Serikat juga memungkinkan Komunis Tiongkok untuk menguasai teknologi internet. Di dalam negeri, Komunis Tiongkok mendirikan firewall internet “Perisai Emas” untuk memblokir aliran informasi ke masyarakat Tiongkok.

Secara internasional, Komunis Tiongkok tidak hanya mempekerjakan sejumlah besar pakar internet sebagai bagian dari tim propaganda asingnya, tetapi juga melatih banyak hacker untuk mencuri informasi atau merusak situs-situs rahasia di negara-negara Barat.

Ini adalah wujud baru Perang Dingin, sangat berbeda dari yang sebelumnya karena perang sepihak dan bertempur secara rahasia. Dikarenakan tidak ada konfrontasi politik secara langsung. Sepenuhnya mengambil keuntungan dari globalisasi ekonomi. Amerika Serikat dan sekutu Baratnya telah ditipu sejak lama.

Komunis Tiongkok Menyeret “Perang Dingin” ke Medan Terbuka

Gempuran peperangan Komunis Tiongkok dalam perang dingin, secara diam-diam untuk menghancurkan negara-negara demokrasi Barat yang bebas. Namun demikian membingkainya bahwa hubungannya dengan Barat hanyalah sebatas kerja sama yang bersahabat. Itu terjadi sampai beberapa tahun terakhir, Komunis Tiongkok secara bertahap mulai menyeret Perang Dinginnya ke medan terbuka.

Secara diplomatis, Komunis Tiongkok telah menjadi semakin bermusuhan terhadap Barat, bersaing untuk mendapatkan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bahkan menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia. Lebih jauh lagi, memperjuangkan peran kepemimpinan dalam organisasi internasional lainnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Komunis Tiongkok kini berbicara dengan nada yang jauh lebih arogan dan keras. Selain itu, Komunis Tiongkok mengendalikan dan memanipulasi negara-negara jahat seperti Korea Utara, Iran, dan Kuba – negara-negara yang melakukan kejahatan secara terbuka, dengan Komunis Tiongkok yang mendukung dan menginstruksikan mereka secara diam-diam.

Komunis Tiongkok juga telah merayu negara-negara di dunia ketiga dan negara-negara yang kurang berpengaruh dengan inisiatif “One Belt, One Road” atau OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road. Yang mana, OBOR ini hampir sama dengan membangun sebuah kubu multi-nasional gaya baru yang dipimpin oleh rezim Komunis Tiongkok. Tak lain, sebuah persiapan strategis bagi Komunis Tiongkok untuk mengerahkan kekuatan militernya secara global.

Untuk membangun militernya, Komunis Tiongkok mengambil setiap kesempatan untuk mencuri teknologi militer kelas atas dari negara-negara maju, menginvestasikan jumlah besar dalam modernisasi militer, melakukan latihan militer profil tinggi sejak sekarang. Kemudian membangun pulau-pulau buatan di Laut China Selatan sebagai pangkalan militernya. Walhasil, memicu kemarahan dari negara-negara tetangga. Yang terburuk dari semuanya, rudal jarak menengah dan jarak jauh Komunis Tiongkok terutama mengarah ke wilayah Amerika Serikat.

Pada saat yang sama, ada baiknya menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok sangat membanggakan kekuatan nasionalnya dengan membuat data ekonomi. Misalnya, Beijing mengklaim bahwa, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, Komunis Tiongkok telah mempertahankan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang tinggi.

Meskipun, data ekonomi komunis Tiongkok sangat meningkat, dan sebagian besar populasinya masih hidup dalam kemiskinan. Sama juga, ketika Komunis Tiongkok menyatakan bahwa telah mengembangkan teknologi terkemuka, biasanya berarti masih dalam tahap penjarahan dan replikasi. Tentunya, para peneliti komunis Tiongkok memiliki banyak hal untuk dipelajari dan bereksperimen untuk memahami sepenuhnya.

Dengan perkembangan pesat ekonomi ekspor Tiongkok, ambisi besar Komunis Tiongkok telah tumbuh secara eksponensial. Caranya dengan mencoba untuk mendapatkan kendali atas ekonomi global, memonitor data jaringan global, dan memainkan peran kepemimpinan dalam komunitas internasional.

Tak lain, memanfaatkan kekuatan keuangannya yang meningkat untuk memaksakan kontrol yang keras di dalam negeri — menganiaya para oposisi politik, praktisi spiritual Falun Gong, Tibet, Muslim Xinjiang dan umat Kristen dalam skala besar — sementara itu mempreteli kebebasan Hong Kong dan menyusup ke Taiwan untuk melemahkan sistem demokrasi mereka.

Dengan kata lain, Komunis Tiongkok secara bertahap telah berubah dari strategi lama “low profile” menjadi perang dengan Barat secara terbuka.

Namun demikian, kemenangan presiden Donald Trump pada Pemilu Tahun 2016 telah membawa perubahan besar di Amerika Serikat.

Selama kampanye, Trump menekankan bahwa defisit perdagangan yang sangat besar dengan Komunis Tiongkok dan pencurian kekayaan intelektual harus diselesaikan, yang mana membantunya mendapatkan dukungan kuat dari banyak pemilih Amerika.

Setelah inaugurasi, Trump mulai mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dengan Tiongkok dan mengenakan tarif. Langkah tersebut telah membantu orang-orang Amerika dan negara-negara Barat lainnya untuk menyadari faktanya bahwa selama ini Komunis Tiongkok ternyata telah berperang.

Orang-orang di Barat telah memberikan harapan bahwa Komunis Tiongkok akan meningkat dengan sendirinya. Lebih penting lagi, negara-negara Barat mulai merestrukturisasi strategi mereka sendiri dalam menghadapi Perang Dingin Komunis Tiongkok.

AS Menanggapi Tantangan ‘Perang Dingin’ Komunis Tiongkok

Presiden Trump telah mencapai tujuan perang dagang tahap pertamanya, dengan memberlakukan tarif pada produk-produk Tiongkok. Yaitu, Komunis Tiongkok telah kehilangan elemen kunci untuk pertumbuhan ekonominya. Dengan kekurangan valuta asing dan ekonomi yang memburuk, situasi nyata kekuatan nasional di Tiongkok telah terungkap.

Komunis Tiongkok harus mengekang ekspansi globalnya yang jahat dan dipaksa untuk menyerah. Saat ini, perang teknologi AS-Tiongkok juga sedang berlangsung.

Washington telah menargetkan dan menjatuhkan sanksi kepada Huawei, ZTE dan beberapa perusahaan teknologi tinggi BUMN lainnya yang telah melanggar aturan dan norma internasional.

Selain itu, FBI sedang menyelidiki para peserta dari “Thousand Talents Program” Komunis Tiongkok atau seribu talenta, sebuah program yang dirancang khusus untuk memfasilitasi pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi terlarang.

Pada saat yang sama, para ahli keuangan di Amerika Serikat sudah mendiskusikan pertempuran berikutnya: “perang finansial.”

Setelah Manajer Umum Rockets Houston Daryl Morey memposting sebuah cuitan untuk mendukung para demonstran pro-demokrasi Hong Kong, Asosiasi Bola Basket Tiongkok menangguhkan hubungannya dengan Rockets. Sementara itu, Konsulat Tiongkok mengeluarkan pernyataan publik tentang ketidakpuasannya.

Peristiwa ini menunjukkan kepada Amerika Serikat bahwa Komunis Tiongkok tidak hanya dengan keras kepala berpegang pada ideologinya, tetapi juga mencoba untuk mempengaruhi rakyat Amerika melalui perang ideologinya.

Ketika kekerasan polisi meningkat di Hong Kong, Senat AS mempercepat suaranya untuk Rancangan Undang-Undang HAM Hong Kong dan mengesahkan RUU itu dengan suara bulat pada 19 November.

Selanjutnya, Trump tidak membuang-buang waktu dengan menandatanganinya menjadi undang-undang. Semua ini adalah manifestasi nyata dari sikap rakyat Amerika dalam melawan Perang Dingin gaya baru.

Rencana Trump untuk membangun kembali militer Amerika Serikat dan strategi Indo-Pasifiknya secara langsung menunjuk pada pengekangan Komunis Tiongkok.

Dalam banyak pidatonya di depan publik, Trump telah berbicara tentang reorganisasi militer, yang menunjukkan tekadnya untuk mendorong kembali ekspansi militer Komunis Tiongkok dengan memperkuat militer AS.

Baru-baru ini, CIA dan “Aliansi Five Eyes” telah mengambil tindakan untuk menargetkan agen khusus Komunis Tiongkok. Five Eyes atau Lima Mata adalah aliansi lima negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.

Pembelotan mata-mata Komunis Tiongkok Wang Liqiang ke Australia, dan pengungkapan sejumlah besar rahasia Komunis Tiongkok, pastinya akan menyebabkan lebih banyak pembelotan. Kemudian banyak cerita yang terungkap, dengan masing-masing mengungkapkan episode yang menarik tentang kegiatan mata-mata Komunis Tiongkok dan infiltrasinya di Barat.

Saat berjuang di tengah-tengah perang dagang, Komunis Tiongkok mungkin menyadari bahwa mereka melakukan kesalahan dengan melepaskan strategi “low-profile”.

Sekarang khawatir bahwa ekonomi Tiongkok akan dipisahkan dari Amerika Serikat, dan kekhawatiran terhadap Barat akan kembali melakukan Perang Dingin melawan Komunis Tiongkok.

Kini, Komunis Tiongkok tidak dapat lagi menyembunyikannya, karena kebanyakan orang-orang telah melihat melalui Perang Dingin bahwa Komunis Tiongkok telah menggempur secara diam-diam.

Sifat sejati Komunis Tiongkok telah terungkap sepenuhnya melalui penanganan Beijing terhadap protes Hong Kong dan kebohongan besarnya dalam menghormati kebijakan “satu negara, dua sistem”.

Perang Dingin wujud baru telah dimulai secara menyeluruh. Ini bukan lagi monolog yang dimainkan oleh Komunis Tiongkok. Kini, Amerika Serikat dan sekutunya menganggapnya lebih serius.

Perang Dingin ini tidak akan berlangsung selama beberapa dekade seperti sebelumnya, karena kubu demokrasi bebas melampaui Komunis Tiongkok secara substansial dalam semua aspek.

Partai Komunis Tiongkok mungkin segera runtuh, seperti bekas Uni Soviet, mantan “kakak lelakinya.” Ini juga nasib buruk Partai Komunis Tiongkok, sebuah rezim jahat yang mana dengan keras kepala memilih untuk terus bertempur. (asr)

FOTO : Ilustrasi (AFP/Getty Images)

Tiongkok dan Disinformasi Lainnya yang Sengaja Disampaikan

0

Ronald J. Rychlak

Ada banyak pembicaraan menarik hari ini mengenai “berita palsu” dan disinformasi atau informasi salah yang sengaja disampaikan. 

Hampir selalu, objek disinformasi adalah seseorang atau sesuatu yang menerima kritik yang dianggap tidak patut. Namun, itu bukanlah satu-satunya cara disinformasi bekerja. Terkadang, disinformasi dapat “membingkai” suatu objek secara positif. 

Saat badan intelijen Rusia/Soviet mengembangkan seni disinformasi terkait apa yang mereka sebut sains. Hal demikian sama pentingnya untuk dapat memberikan cahaya positif pada suatu entitas atau individu biasanya pemimpin yang berkuasa, seperti halnya untuk dapat  menempatkan seseorang dalam cahaya yang buruk. 

Tampaknya Komunis Tiongkok terlibat dalam upaya disinformasi yang serupa, terutama saat menyangkut emisi karbon dan perubahan iklim. Bahkan, upaya itu telah berlangsung selama beberapa waktu. 

Pada tahun 2007, menanggapi pengumuman oleh Tiongkok yang menyalahkan Amerika Serikat atas pemanasan global, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore mengatakan, “Tiongkok adalah benar mengatakan hal itu.”

Faktanya, Al Gore berkata, “ekonomi-ekonomi yang baru muncul seperti Tiongkok dibenarkan untuk menahan diri melawan emisi gas rumah kaca sampai para pencemar yang lebih kaya seperti Amerika Serikat berbuat lebih banyak untuk menyelesaikan masalah tersebut,”  demikian pernyataan yang dilaporkan The Associated Press pada 8 Februari 2007 silam. 

Al Gore berada di Tiongkok pada tahun 2011 untuk berpidato di Forum Pengembangan Urban Global. Ia memuji rezim komunis Tiongkok karena “keberhasilan rezim komunis Tiongkok  yang tidak biasa” dalam tindakan pengurangan karbon. 

Pada bulan Desember 2017, Al Gore memuji “pasar karbon” baru Tiongkok  sebagai “tanda kuat lain bahwa revolusi keberlanjutan global sedang berlangsung. …Adalah jelas bahwa kita berada pada titik kritis dalam krisis iklim.” 

Satu tahun kemudian di Polandia, Al Gore memuji kepemimpinan Tiongkok karena mengatasi perubahan iklim, dengan mengatakan bahwa Komunis Tiongkok adalah “salah satu dari sedikit negara yang memenuhi komitmennya dalam Perjanjian Paris,” menurut kantor berita pemerintah Tiongkok Xinhua. 

Al Gore kemudian menjelaskan bahwa Tiongkok telah melampaui beberapa targetnya sendiri mengenai energi terbarukan. 

Pada tahun 2011, James Hansen, pensiunan ilmuwan NASA yang disebut sebagai “bapak kesadaran perubahan iklim,” menyebut rezim Komunis Tiongkok sebagai  “harapan terbaik” untuk menyelamatkan dunia dari pemanasan global. Ia bahkan menyerukan boikot ekonomi untuk memaksa Amerika Serikat agar sesuai dengan upaya Tiongkok. 

Pada tahun 2015, James Hansen sekali lagi mengatakan, bahwa ia mengharapkan Tiongkok untuk memberikan kepemimpinan pengurangan emisi karbon yang tidak mau diberikan oleh Amerika Serikat.

Al Gore dan James Hansen bukanlah aktivis lingkungan hidup satu-satunya yang mengatakan hal yang baik mengenai Tiongkok, ataupun bukanlah hanya pada saat-saat itu mereka membicarakan hal tersebut.  Hal ini merupakan contoh-contoh untuk memberikan jalan bagi aktivis pemanasan global berbicara mengenai kediktatoran komunis di Tiongkok.

Yang menakjubkan di sini adalah bahwa Komunis Tiongkok memiliki jejak karbon terbesar di dunia sejak tahun 2006. 

Pada tahun 2017, Komunis Tiongkok bertanggung jawab atas 27,2 persen emisi karbon dioksida global, menurut Global Carbon Atlas. Tiongkok juga merupakan salah satu penghasil metana terbesar di dunia, gas rumah kaca lainnya. Faktanya, metana 34 kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.

Ronald J. Rychlak mengungkapkan, masalah Tiongkok adalah batu bara. Tiongkok mungkin merupakan produsen panel surya terbesar di dunia. Akan tetapi banyak di antara panel surya tersebut dibuat untuk diekspor. Tiongkok  menggunakan batu bara. Tiongkok adalah produsen batubara terkemuka dunia maupun konsumen batubara terkemuka dunia, dan kapasitas Tiongkok yang sedang berkembang. Dari tahun 1985 hingga 2016, batubara menyediakan sekitar 70 persen energi Tiongkok. Tentu saja, hal tersebut sangat berdampak buruk bagi lingkungan hidup.

Batubara menghasilkan karbon dioksida sebanyak dua kali lipat dari bahan bakar fosil lainnya. Sementara Tiongkok melaporkan bahwa penggunaan batu baranya telah menurun sejak tahun 2014, Tiongkok masih mengonsumsi lebih banyak batu bara daripada gabungan seluruh negara pengguna batu bara di dunia. 

Pada tahun 2017, batu bara menyediakan lebih dari 60 persen total penggunaan energi nasional, menurut laporan ChinaPower.

Baru tahun lalu, rezim Komunis Tiongkok menyetujui pengembangan tujuh tambang batu bara baru. Itu berarti bahwa antara tahun 2017 hingga 2018, Tiongkok  menambahkan hampir 200 juta ton kapasitas penambangan batu bara baru. 

Kemudian, tahun ini, Tiongkok mengalokasikan dana untuk 17 tambang batu bara baru di seluruh Tiongkok. Emisi karbon dioksida Tiongkok tumbuh sekitar 4 persen pada paruh pertama tahun 2019. 

Selama periode yang sama, permintaan batu bara nasional meningkat sebesar 3 persen, permintaan minyak nasional meningkat sebesar 6 persen, dan permintaan gas meningkat sebesar 12 persen.

Tentu saja, batu bara yang ditambang di satu daerah perlu dikirim melalui kapal jika akan digunakan di daerah lain. Tiongkok baru saja membuka Menghua Railway, jalur kereta api pengangkut batu bara terpanjang di negara itu. Kereta api ini, yang panjangnya lebih dari 1.600 KM.  Diperkirakan akan mengangkut sekitar 200 juta ton batubara setiap tahun dari area pertambangan di utara Tiongkok ke pusat industri di selatan Tiongkok.

Tidak satu pun dari ekspansi dalam penambangan atau pengiriman melalui kapal ini menjadi pertanda baik untuk kualitas udara di Tiongkok, yang sudah merupakan masalah yang bermakna. 

Dalam jajak pendapat baru-baru ini yang disponsori oleh China Daily, surat kabar pemerintahan komunis Tiongkok, lebih banyak responden yang menyatakan polusi sebagai masalah nomor 1 bagi mereka daripada masalah lainnya. 

Perluasan ini juga menunjukkan bahwa mungkin Tiongkok bukanlah model pencerahan saat Tiongkok datang untuk memerangi perubahan iklim buatan manusia. 

Tentu saja, agar kampanye disinformasi tersebut berhasil, maka kritik harus ditekan. Baru-baru ini, Administrasi Meteorologi Tiongkok mengeluarkan peraturan yang melarang ramalan cuaca oleh siapa pun selain badan meteorologi resmi negara. Pelanggar dikenakan denda hampir  8.000 dolar AS. 

Mungkin, bahkan yang lebih membingungkan, pada tahun 2015, seorang mantan jurnalis TV di Beijing merilis film dokumenter berdurasi-panjang berjudul “Di Bawah Kubah.” Film tersebut disebut sebagai versi Tiongkok dari film dokumenter perubahan iklim Al Gore yang berjudul, “An Inconvenient Truth.” 

Jutaan rakyat Tiongkok menonton “Di Bawah Kubah” online dan melihat kritik film tersebut terhadap rezim Tiongkok karena mentoleransi kualitas udara yang buruk.

Namun, dalam waktu seminggu setelah diposting, situs-situs web besar Tiongkok menariknya di bawah perintah dari departemen propaganda pusat Partai Komunis Tiongkok. 

Debat terbuka – terutama kritik terhadap pemerintah – tidak dapat ditoleransi. Bahkan “kemajuan” yang dikutip oleh para pembela Tiongkok saat memuji catatan lingkungan hidup Tiongkok adalah menyesatkan. 

Mengenai “target” Tiongkok, Komunis Tiongkok  telah berjanji untuk mengurangi “intensitas emisi karbon,” tetapi Tiongkok belum berjanji untuk memberlakukan plafon emisi. 

“Intensitas emisi karbon” mengukur jumlah karbon yang dilepaskan per dolar akibat kegiatan ekonomi. Dengan demikian, semakin banyak kegiatan ekonomi, maka semakin banyak emisi dapat dibenarkan. 

Jadi, total tingkat emisi mungkin terus naik, dan Tiongkok masih akan memenuhi targetnya selama pertumbuhan ekonomi melampaui emisi tersebut. 

Itu bukanlah janji yang dibuat atau diminta oleh negara-negara Barat. Pada akhirnya, ini adalah disinformasi yang indah. 

Komunis Tiongkok secara agresif mengejar agenda ekonominya dengan menggunakan energi paling murah yang tersedia untuknya. Komunis Tiongkok dapat mengklaim telah memenuhi tujuan lingkungan hidupnya, dan “pakar” Barat menunjuk Tiongkok sebagai contoh yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Moskow juga akan bangga.  (Vivi/asr)

Ronald J. Rychlak adalah ketua Jamie L. Whitten dalam bidang hukum dan pemerintahan di Universitas Mississippi. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk Hitler, the War, and the Pope,” “Disinformation” (ikut menulis bersama Ion Mihai Pacepa), dan ““The Persecution and Genocide of Christians in the Middle East” (disunting bersama dengan Jane Adolphe).

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis

FOTO : Asap mengepul dari tumpukan ketika orang-orang Cina menarik sepeda roda tiga di lingkungan di samping pembangkit listrik tenaga batu bara di Shanxi, Tiongkok, pada 26 November 2015. (Kevin Frayer / Getty Images)


Analisis: Krisis Hong Kong Belum Beres, Komunis Tiongkok Kembali Dihimpit Masalah Lebih Besar

0

Wu Xin – Epochtimes.com

Dari dua faksi kongres Amerika Serikat hanya satu yang memberikan suara menentang terkait pengesahan “Rancangan Undang Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong” dan dengan cepat dikirim ke Gedung Putih untuk ditandatangani Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Ada ahli yang mengatakan bahwa begitu terjadi perubahan hubungan antara Hong Kong dan Amerika Serikat, Komunis Tiongkok tidak akan mampu menanggung akibat dari memburuknya ekonomi Tiongkok. Selain itu, Komunis Tiongkok juga akan menghadapi serentetan masalah yang lebih besar.

Pada 19 November 2019, Senat Amerika Serikat secara bulat meloloskan Rancangan Undang Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Pada 20 November 2019 keesokannya, Dewan Perwakilan Amerika Serikat memberikan suara pada versi Rancangan Undang Undang Senat, dengan hanya satu suara yang menolak untuk meneruskan Rancangan Undang Undang tersebut. 

Kemudian pada 21 November, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat secara terbuka menandatangani Rancangan Undang Undang tersebut dan menyerahkannya kepada Presiden Amerika Serikat untuk ditandatangani. Jika Rancangan Undang Undang tersebut menjadi hukum, maka para pejabat Tiongkok dan Hong Kong yang melanggar hak asasi manusia akan dikenakan sanksi.

Keputusan secara bulat Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat terkait masalah Hong Kong itu,  memicu prediksi dari berbagai lapisan masyarakat. Dov S. Zakheim adalah penasihat senior di Centre for Strategic and International Studies-CSIS atau Pusat Studi Strategis dan Internasional, sekaligus wakil ketua dewan direktur Lembaga Penelitian Kebijakan Luar Negeri.

Baru-baru ini, The Hill – Situs web Amerika, yang berbasis di Washington, D.C, menerbitkan sebuah artikel yang ditulis Dov S. Zakheim, mengatakan bahwa krisis Hong Kong telah menimbulkan masalah baru pada Komunis Tiongkok. 

Dampak dari “Rancangan Undang Undang  Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong” yang diloloskan Senat Amerika Serikat, mungkin akan membuat Komunis Tiongkok tidak mampu menanggung konsekuensinya, selain itu, Komunis Tiongkok juga akan menghadapi serentetan masalah yang lebih besar.

Sanksi HAM yang kemungkinan akan diterapkan Amerika Serikat pada Tiongkok

Melansir laman Reuters, Kamis, 21 November 2019, Kongres Amerika Serikat meloloskan undang-undang untuk mendukung para pemrotes di Hong Kong dan menjatuhkan sanksi hak asasi manusia yang kemungkinan akan diterapkan Amerika Serikat pada Komunis Tiongkok. 

Laporan itu menekankan bahwa protes berskala besar demi memperkuat demokrasi dan otonomi telah menyebabkan kekacauan di Hong Kong selama lebih dari lima bulan. Selain itu meningkatnya kekerasan telah membuat dunia luar khawatir komunis Tiongkok akan meningkatkan tekanan.

Ketika kendali Beijing atas Hong Kong semakin ketat, Hong Kong yang menikmati status istimewa berdasarkan hukum Amerika Serikat kini sedang dikaji kembali. Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong akan memeriksa status khusus Hong Kong dengan lebih cermat.

Dalam “Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris” yang ditandatangani oleh Komunis Tiongkok pada tahun 1984, Komunis Tiongkok berjanji bahwa Hong Kong akan tetap menikmati “otonomi tingkat tinggi” dalam 50 tahun setelah kedaulatan atas Hong Kong diserahkan pada tahun 1997. 

Itu merupakan dasar atas status istimewa Hong Kong berdasarkan hukum Amerika Serikat. Namun pengunjuk rasa mengatakan bahwa kebebasan Hong Kong perlahan-lahan telah terkikis.

Jika Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong menjadi dasar hukum, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat akan membuktikan setidaknya setahun sekali bahwa Hong Kong memiliki otonomi yang memadai untuk menikmati prasyarat preferensi perdagangan dengan Amerika Serikat, yang memungkinkan Hong Kong mempertahankan statusnya sebagai pusat keuangan dunia.

Namun menurut Dov S. Zakheim, bahwa kontrol Beijing yang semakin ketat terhadap Hong Kong membuat sertifikasi seperti itu semakin mustahil. Laporan Reuters juga menyebutkan bahwa meskipun banyak orang menganggap Rancangan Undang Undang itu hanya simbolis. Akan tetapi jika Rancangan Undang Undang itu diterapkan, akan sepenuhnya menumbangkan hubungan antara Amerika Serikat dan Hong Kong.

Dua faksi Kongres Amerika Serikat meloloskan Rancangan Undang Undang dengan cepat, memberikan tamparan keras pada komunis Tiongkok

Dalam artikelnya yang berjudul “Hong Kong’s crisis is not over” atau “Krisis Hong Kong Belum Berakhir”, Dov S. Zakheim mengatakan bahwa meskipun operasi pembersihan universitas di Hong Kong mungkin telah berakhir, namun, masalah Komunis Tiongkok di Hong Kong masih jauh dari kata selesai. 

Pertama, Komunis Tiongkok tidak dapat memastikan bahwa protes tidak akan terjadi lagi dan insiden yang lebih dahsyat tidak akan terjadi juga.

Kedua, Komunis Tiongkok akan menghadapi kecaman internasional karena polisi Hong menembaki demonstran, dan meski pun Komunis Tiongkok tidak memberi perintah seperti itu, tetapi itu sama dengan mengizinkan polisi Hong Kong mengambil tindakan seperti itu.

 Selain itu, Komunis Tiongkok juga harus menghadapi rakyat Hong Kong yang terus melakukan perlawanan dengan cara yang lebih halus. Misalnya, keputusan Pengadilan Tinggi Hong Kong atas undang-undang darurat yang yang dicetuskan pemerintah Hong Kong yang melarang demonstran menggunakan topeng itu adalah satu bukti nyata.

Selain itu, Dov S. Zakheim juga mengatakan bahwa, sikap Komunis Tiongkok dalam menghadapi Kongres Amerika Serikat kemungkinan dapat membahayakan negosiasi perjanjian perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat. Baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Senat Amerika Serikat mengutuk keras penggunaan kekerasan brutal oleh polisi Hong Kong, dan dengan cepat mengesahkan Rancangan Undang Undang versi Senat tentang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong dengan hanya satu suara menentang. Rancangan Undang Undang itu telah diserahkan kepada Presiden Trump untuk ditandatangani.

Menurut Dov S. Zakheim, pengesahan Rancangan Undang Undang tersebut memberi tamparan keras pada komunis Tiongkok dan pukulan besar terhadap kemampuan komunis Tiongkok untuk mempromosikan sistem politik dan ekonomi kediktatorannya. 

Tidak peduli apakah ditandatangani pada awal, akhir, tanpa tanda tangan, atau ditolak presiden Trump, semua itu tidak dapat lagi mengubah fakta bahwa Rancangan Undang Undang itu akan berlaku cepat atau lambat.

Menurut laporan Reuters, bahwa sumber memperkirakan Presiden Trump akan menandatangani undang-undang tersebut dalam beberapa hari mendatang. Begitu rancangan undang-undang tersebut berlaku efektif, mereka yang terlibat dapat dikenai sanksi Amerika Serikat, seperti sanksi terhadap pejabat yang melanggar hak asasi manusia, termasuk penolakan masuk ke negara Amerika Serikat dan pembekuan aset di Amerika.

Krisis Hong Kong, menambah masalah yang lebih besar pada komunis Tiongkok

Melansir laman Reuters, bahwa dari sudut pandang bisnis, salah satu poin terpenting dari status istimnewa Hong Kong adalah Hong Kong dianggap sebagai zona pabean dan perdagangan yang terpisah dari daratan Tiongkok. Itu berarti bahwa tarif perang perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat tidak berlaku untuk barang ekspor dari Hong Kong.

Menurut data dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat,  ada sekitar 85.000 warga Amerika Serikat tinggal di Hong Kong pada tahun 2018, dan lebih dari 1.300 perusahaan Amerika Serikat beroperasi di Hong Kong, termasuk hampir semua perusahaan keuangan Amerika Serikat.

 Hong Kong adalah tujuan utama layanan hukum dan akuntansi Amerika Serikat. Kamar Dagang Amerika di Hong Kong mengatakan bahwa setiap perubahan dalam status Hong Kong akan memiliki efek mengerikan pada perdagangan dan investasi Amerika Serikat di Hong Kong, dan akan mengirimkan sinyal negatif secara internasional terhadap posisi Hong Kong yang dapat dipercaya dalam ekonomi global.

Dov S. Zakheim mengatakan bahwa Hong Kong sangat penting untuk perkembangan ekonomi Tiongkok yang sehat. Perusahaan asing telah menjadikan Hong Kong sebagai pangkalan untuk pengembangan bisnis di Tiongkok. Pasar saham, utang, dan uang Hong Kong, ditambah dengan reputasinya dalam menegakkan aturan hukum, menjadikannya jauh lebih menarik daripada Shanghai dan pusat keuangan alternatif Tiongkok lainnya yang dapat dimanipulasi oleh otoritas Beijing.

Menurut Dov S. Zakheim, jika masalah Hong Kong tidak ditangani dengan benar, itu akan memperburuk ekonomi Tiongkok, yang akan menghancurkan kontrak sosial antara rakyat Tiongkok dan Komunis Tiongkok.

Kontrak itu sangat tergantung pada kemakmuran ekonomi Tiongkok dan pertumbuhan kelas menengah. Oleh karena itu, konsekuensi sosial dari kemunduran ekonomi itu tidak akan mampu ditanggung komunis Tiongkok.

Dov S. Zakheim mengatakan bahwa berbagai faktor menunjukkan komunis Tiongkok telah terperangkap dalam kesulitan. Ekonomi Tiongkok saat ini tidak sekuat lima tahun yang lalu, masyarakat Tiongkok masih menderita akibat dari kebijakan satu anak yang kini ditinggalkan. Kerusuhan kerap terjadi di seluruh negeri, semakin banyak Muslim yang ditangkap di kamp konsentrasi dan menjadi kelompok yang bergejolak di Tiongkok. 

Semua tanda-tanda itu menunjukkan komunis Tiongkok akan menghadapi masalah demi masalah. (jon)





PNS Hong Kong Ditangkap Gegara Dokumentasikan Polisi yang Ketahuan Menyerbu Mahasiswa dengan Senapan Serbu AR-15

0

NTDTV.com

Polisi Hong Kong mengepung Universitas Politeknik selama beberapa hari dan menyerbu masuk ke kampus. Selama kekacauan ini, sebuah foto sempat diposting di Internet. Foto itu menunjukkan seorang perwira anti huru hara yang dipersenjatai dengan senapan serbu semi otomatis AR-15. Kala itu, polisi bersenjata itu sedang membidik kampus dari kejauhan. 

Foto  diambil oleh seorang staf dari Departemen Layanan Budaya dan Hiburan Hong Kong. Orang yang mengambil foto itu telah ditangkap karena dituduh menghalangi polisi untuk melakukan tugasnya.

Pada malam tanggal 17 November lalu, beberapa ribu polisi Hong Kong menutup jalan-jalan utama dan jalan setapak ke kampus Universitas Politeknik, termasuk rute pelarian. 

Polisi menggunakan kenderaan lapis baja, meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk menerobos penghalang yang dipasang oleh para pemrotes. 

Polisi bertopeng, dipersenjatai dengan amunisi tajam, dan terdengar sempat berteriak: “Saya ingin mengulangi 4 Juni.” Istilah itu mengacu pada pembantaian di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.

Sekitar pukul 2 pagi pada tanggal 18 November, sejumlah besar orang mendatangi ke Universitas Politeknik untuk mendukung para mahasiswa yang bersembunyi di dalam kampus. 

Namun, mereka dicegat oleh polisi dan beberapa wartawan ditangkap. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan bahkan menggunakan perangkat suara anti huru hara. Sekitar pukul 3 pagi pada hari itu, seorang polisi terlihat menembakkan peluru tajam dari dalam ambulans.

Pada pukul 5 pagi pada 18 November, polisi berlari ke kampus memukuli orang-orang dengan tongkat saat mereka menahan mereka di jalanan dan menangkap mereka yang menolak pergi. Orang-orang mengalami cedera dan petugas medis juga ditangkap. 

Video live menunjukkan banyak dari yang terluka dipukuli dan berakhir dengan cedera di kepala. Polisi juga terlihat menyeret pengunjuk rasa yang terluka sambil menendang mereka dan menginjak kepala mereka.

Selama beberapa hari terakhir, para pengunjuk rasa telah mencoba melarikan diri beberapa kali. Akan tetapi dipaksa untuk mundur kembali ke kampus dan ditangkap oleh polisi dengan tembakan intensitas tinggi.

Dalam prosesnya, polisi juga mengirim berbagai senjata yang sangat mematikan, seperti senjata sonik, meriam air, granat kejut, dan bahkan senapan serbu AR-15 yang mengubah kampus menjadi medan perang.

Selain itu, selama operasi pengepungan, polisi tidak hanya tidak meninggalkan rute pelarian bagi para mahasiswa. Mereka bahkan mengancam para mahasiswa untuk “menyerah dan ditangkap” atau “ditekan dan ditangkap.”

Menurut kepolisian Hong Kong, mereka menembakkan 1.458 tabung gas air mata, 1.391 peluru karet, 325 butir round beanbag, dan 265  granat spons hanya dalam satu hari pada tanggal 18 November 2019. 

Dari tanggal 17 hingga 18 November 2019, lebih dari 400 orang ditangkap di kampus dan lebih dari 70 orang yang terluka “menyerah” untuk mendapatkan bantuan. 

Pada sore hari tanggal 19 November, polisi mengumumkan bahwa 1.100 orang ditangkap selama operasi.

Selanjutnya, sebuah foto diposting di Internet yang memperlihatkan seorang perwira Unit Taktis Polisi memegang senapan serbu AR-15 yang bersembunyi di Museum Sejarah.

Polisi Hong Kong mengklaim bahwa mereka melakukan operasi penyergapan. Polisi juga menuduh foto tersebut memengaruhi misi mereka hingga memaksa mereka untuk mengubah posisi mereka. 

Polisi mengklaim mereka tidak beroperasi di jalan pada waktu itu, ada kebutuhan yang lebih besar untuk kerahasiaan. Oleh karena itu,  mereka menangkap pria berusia 43 tahun yang mengambil foto tersebut. Dikarenakan dituduh “menghalangi polisi untuk melakukan tugas mereka.

Dilaporkan bahwa orang yang mengambil foto itu telah diidentifikasi sebagai anggota staf Departemen Urusan Hiburan dan Kebudayaan. Foto diambil ketika dia sedang bertugas di museum setempat. (asr)

Pidato Lengkap Senator AS Ted Cruz: ‘Rakyat Amerika Mendukung Hong Kong, Menentang Penindasan Komunis Tiongkok

0

Senator Amerika Serikat Ted Cruz selaku anggota Senat Komite Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat, Selasa 19 November menyampaikan pidatonya di Senat AS. 

Saat itu, ia mendesak rekan-rekannya untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, sebagai undang-undang yang disponsori bersama untuk mendukung para demonstran pro-demokrasi di Hong Kong. 

RUU itu, yang disahkan oleh Senat dengan suara bulat, termasuk ketentuan undang-undang bipartisan yang diperkenalkan oleh Senator Ted Cruz untuk mengubah Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992. 

Yang mana  mewajibkan pemerintah mengevaluasi dan melaporkan bagaimana rezim Tiongkok mengeksploitasi Hong Kong untuk menghindari hukum Amerika Serikat. 

Di senat, Senator Ted Cruz mengatakan : 

“Hari ini kita memiliki kesempatan untuk memberitahu dunia mengenai serangan hak asasi manusia secara  terang-terangan ini dan kampanye untuk menggertak Hong Kong supaya tunduk adalah tidak baik, dan Amerika Serikat tidak akan mendukung hal tersebut

Pada kesempatan tersebut ia juga menceritakan perjalanannya ke Hong Kong : 

“Bulan lalu, saya melakukan perjalanan ke Hong Kong. Saya bertemu dengan banyak pria dan wanita pemberani yang berjuang. Saya bertemu dengan para pembangkang, para pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menyuarakan otonomi Hong Kong serta kebebasan berbicara dan hak asasi manusia. Bersama mereka, saya mengenakan pakaian serba hitam untuk mengekspresikan solidaritas saya dengan para pengunjuk rasa damai yang turun ke jalan.” 

Ia menyimpulkan:

Rakyat Hong Kong terlibat dalam pertempuran eksistensial untuk kebebasan dan mereka harus tahu […] bahwa rakyat Amerika Serikat mendukung Hong Kong.”

Senator Cruz telah lama menyerukan kepada Amerika Serikat untuk berdiri teguh dalam mendukung mereka yang menentang penindasan Komunis Tiongkok.

Melansir siaran pers Kantor Senator Cruz, Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong mencakup ketentuan Rancangan Undang-Undang bipartisan yang diperkenalkan Senator Ted Cruz pada bulan Juni lalu. RUU tersebut mengamandemen Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992. Undang-Undang tersebut untuk mewajibkan pemerintah mengevaluasi dan melaporkan bagaimana Tiongkok mengeksploitasi Hong Kong untuk menghindari hukum Amerika Serikat.

Pada bulan Juli lalu, Senator Ted Cruz memperkenalkan undang-undang, Jaringan Kediktatoran Invasif Penargetan & Undang-Undang Pemberitahuan Ekspor Wajib yang Diperlukan tahun 2019 atau Undang-Undang TIANANMEN tahun 2019. Undang-undang tersebut  mengharuskan pemerintah untuk memasukkan perusahaan Tiongkok yang memungkinkan pihak Komunis Tiongkok untuk melakukan pengawasan massal dan penindasan terhadap minoritas agama mayoritas Muslim di Xinjiang ke dalam daftar hitam. 

Pada bulan lalu, pemerintah menerapkan bagian-bagian undang-undang Senator Ted Cruz yang mensyaratkan daftar hitam.

Pada bulan Oktober lalu, sebagai salah satu senator Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Hong Kong sejak unjuk rasa  dimulai, Senator Ted Cruz bertemu dengan aktivis pro-demokrasi, pembangkang, dan pemimpin unjuk rasa. Ia menyatakan dukungannya bagi mereka yang berjuang untuk melindungi otonomi Hong Kong, kebebasan berbicara, dan hak asasi manusia dasar. 

Setelah kunjungannya ke Hong Kong, ia menulis sebuah editorial opini di USA Today yang mendesak rakyat Amerika Serikat dan perusahaan Amerika Serikat untuk menentang sensor, penindasan dan kekejaman hak asasi manusia oleh Partai Komunis Tiongkok.

Baru-baru ini, Senator Ted Cruz menulis editorial opini di The Dallas Morning News menghargai peringatan 30 tahun jatuhnya Tembok Berlin dan warisan Amerika yang kuat mendukung pejuang kemerdekaan dan memerangi kejahatan tirani di seluruh dunia, di mana ia berkata, “Hari ini, Hong Kong adalah Berlin baru.”

Berikut pidato lengkap lengkap Senator Ted Cruz :


“Nyonya, Presiden, hari ini pria dan wanita pemberani [serta] anak laki-laki dan perempuan berjuang dan menuntut agar Partai Komunis Tiongkok melindungi otonomi Hong Kong, melindungi kebebasan berbicara, dan membela hak asasi manusia. 

Terlepas dari unjuk rasa damai ini, Partai Komunis Tiongkok menyerang balik dengan kebrutalan dan kekerasan. Kebrutalan polisi yang telah kita lihat dan […] serangan Partai Komunis Tiongkok yang lebih besar pada rakyat Hong Kong adalah  memalukan. 

Akhir pekan lalu, polisi Hong Kong mulai menyerang anak muda, mahasiswa yang tidak bersalah yang dengan damai memprotes kebrutalan itu. 

“Mereka diserang dengan gas air mata dan peluru karet. Kampus mahasiswa ini diubah menjadi zona perang di mana tidak ada yang aman. 

Dan hari ini kita memiliki kesempatan untuk memberitahu dunia mengenai serangan hak asasi manusia yang mencolok ini dan kampanye untuk menggertak Hong Kong agar tunduk adalah tidak benar, dan Amerika Serikat tidak akan mendukung hal tersebut.

“Bulan lalu, saya melakukan perjalanan ke Hong Kong. Saya bertemu dengan banyak pria dan wanita pemberani yang berjuang. Saya bertemu dengan para pembangkang, para pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menyuarakan otonomi Hong Kong dan kebebasan berbicara serta hak asasi manusia. Bersama mereka, saya mengenakan pakaian serba hitam untuk mengekspresikan solidaritas saya dengan para demonstran yang damai yang turun ke jalan

“Saat ini sebagai tanggapan atas unjuk rasa itu, gas air mata, granat spons, peluru karet ditembakkan di kampus-kampus universitas di Hong Kong. Di provinsi Shin Jiang, jutaan orang Uighur yang ditahan dan minoritas agama lainnya mendekam di kamp-kamp konsentrasi. 

Dan di seluruh Tiongkok, praktisi Falun Gong ditangkap dan dibunuh, sehingga Partai Komunis dapat memanen organ mereka. 

“Kebebasan dari kebrutalan dan tirani Partai Komunis Tiongkok adalah seruan pertempuran para pembangkang di Hong Kong.

“Apa yang dilambaikan oleh pengunjuk rasa di Hong Kong? Bendera Amerika Serikat. Dan apa yang mereka nyanyikan? Lagu Kebangsaan Amerika Serikat. Mengutip kutipan dari Bapak Pendiri Amerika Serikat, yang mempertaruhkan segalanya untuk kebebasan di Amerika.

Nyonya, Presiden, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Senator Rubio dan Cardin. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Senator Risch dan Senator Menendez serta semua anggota Senat Komite Hubungan Luar Negeri, baik Partai Republik maupun Partai Demokrat yang telah bergabung bersama. Undang-undang ini sedang dipersiapkan Senat untuk meloloskan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Hong Kong sebagai undang-undang penting. 

Ini adalah undang-undang bipartisan. Saya mendesak DPR untuk mengambilnya dan mengesahkannya dan meneruskannya dengan segera.

“Rakyat Hong Kong terlibat dalam pertempuran eksistensial untuk kebebasan dan mereka harus mengetahui dan mereka akan mengetahui melalui tindakan kita hanya dalam beberapa saat bahwa rakyat Amerika Serikat mendukung Hong Kong.”

(Vivi/asr)

DPR AS Sahkan RUU Uighur yang Menuntut Sanksi Atas Pelanggaran HAM di Kamp-kamp Xinjiang

0

Isabel Van Brugen

Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada (3/12/2019) sangat menyetujui suatu RUU untuk melawan penindasan Komunis Tiongkok terhadap etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya di wilayah Xinjiang, barat laut Tiongkok, yang segera dikecaman oleh Beijing.

Undang-Undang Uyghur tahun 2019 adalah Undang-Undang Peraturan Hak Asasi Manusia Uyghur yang diamandemenkan, dan diterbitkan versi yang lebih kuat oleh bipartisan Amerika Serikat yaitu oleh Senator Marco Rubio (R-FL) dan Bob Menendez (D-NJ), yang membangkitkan kemarahan Beijing saat undang-undang tersebut diloloskan oleh Senat Amerika Serikat pada bulan September.

RUU Uyghur membutuhkan pemerintahan Donald Trump untuk memperkuat tanggapan RUU tersebut terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Tiongkok di wilayah tersebut.

RUU tersebut menyerukan kepada Presiden Donald Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat Tiongkok dan untuk menutup jaringan kamp-kamp tahanan massal di mana setidaknya satu juta warga Uyghur ditahan secara tidak sah.

RUU tersebut menyerukan untuk mengatasi “pelanggaran berat hak asasi manusia yang diakui secara universal, termasuk pemusnahan massal lebih dari 1.000.000 warga Uyghur.”

RUU tersebut diloloskan sangat banyak oleh Partai Demokrat yang menguasai DPR dengan hasil suara 407-1 setelah negosiasi berbulan-bulan lamanya di antara anggota parlemen mengenai ketentuan undang-undang tersebut. Senator Partai Republik AS, Thomas Massie dari negara bagian Kentucky adalah satu-satunya yang menentang undang-undang tersebut.

Di antara pejabat senior Tiongkok yang menurut undang-undang tersebut bertanggung jawab dan harus diberi sanksi adalah Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo, yang, sebagai anggota politbiro, berada di eselon atas kepemimpinan Tiongkok.

RUU itu masih membutuhkan persetujuan dari Senat yang dikendalikan oleh Partai Republik, setelah itu RUU tersebut akan dikirim ke Presiden. Gedung Putih belum mengatakan apakah Donald Trump akan menandatangani atau memveto RUU tersebut, yang berisi ketentuan yang memungkinkan presiden untuk melepaskan sanksi jika ia menentukan bahwa sanksi itu untuk kepentingan nasional.

“Rezim Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok; “Sedang berupaya untuk secara sistematis menghapus identitas etnis dan budaya Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang,” kata Marco Rubio dalam sebuah pernyataan setelah pemungutan suara.

“Hari ini, Kongres mengambil langkah penting lainnya untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Tiongkok atas pelanggaran HAM yang mengerikan dan berkelanjutan yang dilakukan terhadap Uighur.”

“Saya memuji DPR karena mengambil tindakan cepat dan mengeluarkan versi amandemen RUU yang saya ajukan, dan saya berharap untuk bekerja sama dengan rekan-rekan Senat saya untuk meloloskannya dan dikirim ke Presiden untuk disahkan,” tambah Marco Rubio.

Peneliti senior Proyek Hak Asasi Manusia Uighur, Henryk Szadziewski, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa pengesahan RUU tersebut merupakan “tonggak sejarah.”

“Ini menunjukkan pengakuan penindasan yang dialami oleh Uighur, serta tindakan nyata atas nama mereka seharusnya sudah terjadi sejak dahulu,” kata Henryk Szadziewski.

“Tidak ada preseden untuk ukuran ini, dan Undang-Undang tersebut menawarkan harapan bagi Uyghur selama masa kelam dalam sejarahnya. Rakyat Uyghur tidak akan lagi menjadi ‘rakyat yang dilupakan.’”

Undang-Undang tersebut terbit hanya dalam waktu satu minggu setelah pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong untuk mendukung pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong.

Undang-undang tersebut mengharuskan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk meninjau setiap tahun apakah bekas koloni Inggris itu “mendapatkan otonomi yang memadai” dari Tiongkok Daratan untuk membenarkan hak-hak ekonomi khusus yang diberikan kepada Hong Kong berdasarkan Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut Undang-Undang Uyghur sebagai serangan jahat terhadap Tiongkok dan merupakan gangguan serius dalam urusan internal negara itu.

Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok , mendesak Amerika Serikat untuk “segera memperbaiki kesalahannya,” dan dengan demikian menghentikan RUU itu “menjadi suatu hukum.”

“Kami mendesak Amerika Serikat untuk berhenti menggunakan Xinjiang sebagai cara untuk mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok,” tambah Hua Chunying.

Para pejabat Partai Komunis Tiongkok mengatakan penahanan massal di antara populasi Uyghur, yang mayoritasnya beragama Islam, adalah bagian langkah-langkah untuk menindak terorisme, ekstremisme agama, dan separatisme di negara itu. Partai Komunis Tiongkok telah menggunakan alasan potensi “ancaman ekstremis” untuk membenarkan pengawasan ketat dan tindakan keras terhadap Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang.

Warga Uyghur di wilayah tersebut ditahan karena alasan seperti menghubungi teman atau kerabat di luar negeri, bepergian ke negara asing, menumbuhkan janggut, dan menghadiri pertemuan keagamaan, warga Uyghur yang memiliki anggota keluarga di kamp mengatakan kepada The Epoch Times.

Tangan pertama yang menggambarkannya kepada The Epoch Times juga telah mengungkapkan upaya oleh otoritas untuk melucuti para tahanan Uyghur dari budaya dan bahasa mereka, memaksa mereka untuk mencela keyakinannya dan berjanji loyalitas kepada Partai Komunis Tiongkok dan pemimpinnya. Jika gagal mengikuti perintah, maka tahanan dapat dikenakan beberapa bentuk penyiksaan sebagai hukuman.

Pemungutan suara bersejarah menyusul bocornya dua dokumen utama Partai Komunis Tiongkok yang bocor dalam beberapa minggu terakhir, yang merinci pekerjaan represif yang dilakukan Bejijng di wilayah tersebut.

Arslan Hidayet adalah menantu komedian Uyghur terkemuka bernama Adil Mijit, yang hilang selama 10 setengah bulan di wilayah tersebut. Arslan Hidayet khawatir Adil Mijit ditahan di salah satu kamp Xinjiang. Ia mengatakan kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara telepon bahwa ia yakin dokumen yang bocor itu berperan penting dalam pengesahan RUU tersebut.

“Suara yang demikian begitu bulat. Ini adalah pertama kalinya dalam 70 tahun, dan pertama kalinya sejak Lapangan Tiananmen [pembantaian pada tahun 1989], di mana Barat, bukannya menenangkan Tiongkok, Barat malahan mengambil tindakan nyata. Ini bukan hanya momen bersejarah untuk Uyghur, tetapi juga momen bersejarah antara Tiongkok dan kebijakan Amerika Serikat, terutama selama beberapa tahun terakhir.”

“Saya khawatir RUU tersebut tidak lolos, tetapi untuk mendapatkan suara bulat, itu adalah benar-benar luar biasa, dan hal itu juga mengirim pesan ke seluruh dunia juga,” tambah Arslan Hidayet.

Arslan Hidayet mengatakan kepada The Epoch Times, kini RUU tersebut harus digunakan dengan tepat untuk memastikan tindakan yang diambil.

“Kini sudah ada RUU tersebut dan menggunakannya sebagai tongkat baseball untuk memukul Tiongkok di bidang yang menyakitkan, yaitu bidang ekonomi.”

Terlepas dari kemunculan dokumen-dokumen rahasia dan tekanan intensif dari masyarakat internasional yang mengecam Beijing, pemerintah Tiongkok terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur atau yang lainnya di Xinjiang.

“Tiongkok akan dan mampu [terus menyangkal perlakuan buruk yang dilakukannya terhadap warga Uyghur]. Namun, satu hal yang belum dapat dijawab oleh Tiongkok adalah: Mengapa jurnalis tidak diberi akses tanpa batasan? Biarkan semua orang datang kepada kami dan buktikan bahwa kami adalah berita palsu,” tambah Arslan Hidayet.

“Saya sangat senang Undang-Undang ini telah lolos karena Undang-Undang ini akan datang pada waktu di mana kamp konsentrasi dapat atau mungkin masih tetap akan berubah menjadi kamp pemusnahan, hal yang kami coba hindari. Kami tidak ingin terjadi Holocaust kedua.”

Sarjana yang berbasis di Amerika Serikat, Tahir Imin, lahir di Kashgar, mengatakan kepada The Epoch Times, berita itu mengirimkan “pesan yang jelas bahwa Tiongkok tidak dapat membasmi rakyat Uyghur.”

“Semua warga Uyghur di seluruh dunia dengan sabar menunggu kabar baik dari dunia. Hari ini kami mendapatkannya,” kata Tahir Imin.

“Sudah waktunya bagi Tiongkok untuk mengubah kebijakan asimilasi yang tidak manusiawi sebelum Tiongkok diakui sebagai pelaku genosida dan penjahat kemanusiaan.” (Vv)

Pekerja Wanita Indonesia Dideportasi Karena Dukung Unjuk Rasa Hong Kong

0

Zhang Ting

Seorang pekerja wanita sekaligus penulis asal Indonesia, ditahan karena visa kerjanya telah melewati batas waktu, dan pada Senin 2 Desember 2019 dideportasi oleh pemerintah Hong Kong. Menurut International Domestic Worker Federation, penanganan oleh Hong Kong Immigration Department saat ini tidak normal. Selama kontrak kerja masih berlaku, maka visa kerja yang telah melewati batas waktu, umumnya tidak menjadi masalah di Departemen Imigrasi. Kali ini pekerja wanita ini tidak diperpanjang visanya, jelas merupakan tekanan politik terhadap pekerja bersangkutan gegara telah mendukung aksi unjuk rasa.

Merangkum pemberitaan dari “Hong Kong Free Press” dan berbagai media lainnya, pekerja yang bernama Yuli Riswati itu berasal dari Indonesia. Yuli adalah seorang pekerja rumah tangga di Hong Kong, sekaligus merupakan seorang penulis yang telah meraih penghargaan. Yuli telah bekerja di Hong Kong selama 10 tahun.  

Yuli juga aktif menulis novel. Novel karyanya yang berjudul “Luka Itu Masih Ada di Tubuhku” telah meraih penghargaan karya tulis pilihan dalam “Taiwan Literature Awards for Migrants” tahun lalu.

Yuli  juga menulis untuk surat kabar berbahasa Indonesia di Hong Kong yakni surat kabar “SUARA” dan juga “Migran Pos”. Seorang reporter surat kabar “SUARA” bernama Veby Mega Indah mengalami luka parah setelah mata kanannya tertembak peluru karet ketika sedang meliput aksi unjuk rasa pada 29 November 2019 lalu.

Setelah terjadinya gerakan anti Undang Undang ekstradisi pada 9 Juni 2019 lalu, Yuli  berkali-kali pergi ke lokasi unjuk rasa pada hari liburnya untuk meliput situasi saat itu. Hal itu memperoleh sorotan kalangan luar.

Deportasi Oleh Imigrasi Hong Kong TIdak Normal Termasuk Tekanan Politik

Menurut berita, pada 23 September 2019 lalu, Departemen Imigrasi Hong Kong dengan alasan visa kerja Yuli  telah tidak berlaku, mendadak mendatangi tempat tinggalnya dan menangkapnya. Pada 4 November 2019, imigrasi mencabut tuntutan melampaui batas waktu menetap terhadap dirinya dengan alasan “tidak ada cukup bukti untuk menggugat”. Akan tetapi dengan alasan dirinya “tidak memiliki tempat tinggal” di Hong Kong, Yuli  tetap ditahan di Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC). Tuduhan imigrasi itu diprotes oleh organisasi yang mendukung Yuli beserta majikannya.

Yuli  dan majikannya telah menandatangani kesepakatan kerja selama 2 tahun, mulai berlaku bulan Januari tahun ini. Majikannya telah mengajukan permohonan agar visa kerjanya diperpanjang, karena masih akan terus mempekerjakan dirinya.

Menurut Koordinator International Domestic Workers Federation di Hong Kong, Fish Ip, yang dihadapi oleh   Yuli  adalah perlakuan tidak normal dari imigrasi. Ada kemungkinan ilegal. Jelas, itu adalah tekanan politik terhadap artikel yang ditulis oleh Yuli. Artikel Yuli  menyuarakan aspirasi para pengunjuk rasa di Hong Kong.” International Domestic Workers Federation mengatakan, biasanya, setelah majikan menjelaskan kondisinya, maka imigrasi akan segera memperpanjang visa kerja.

Ketua dari Hong Kong Federation of Asia Domestic Workers Union (FADWU) bernama Phobsuk Gasing menyatakan, dirinya sangat terkejut atas perlakuan Departemen Imigrasi terhadap Yuli. Walaupun visa Yuli  telah jatuh tempo pada Juli 2019 lalu, tapi dia memiliki kontrak kesepakatan kerja selama 2 tahun.

“Biasanya kondisi seperti itu, jika visa pekerja telah jatuh tempo, selama masih memiliki kontrak yang berlaku, dan majikan memastikan masih membutuhkan tenaga pekerja tersebut, dan menulis surat ke Departemen Imigrasi untuk menjelaskan bahwa mereka lupa memperpanjang visa, maka pihak imigrasi akan mengijinkan si pekerja untuk mendapatkan perpanjangan visa dan tidak akan ada masalah,” tambah Gasing.

Menurut berita, staf wilayah Asia dari International Domestic Workers Federation bernama Ye Peiyu yang telah mengenal Yuli  selama 10 tahun mengatakan, paspor milik Yuli telah jatuh tempo pada Agustus 2019. Setelah memperpanjang paspor, dirinya lupa bahwa visa kerjanya telah jatuh tempo pada 27 Juli lalu.

Namun Ye Peiyu menekankan, dalam kondisi seperti itu, selama kontrak kerja dengan majikannya masih berlaku, memperpanjang visa “biasanya akan disetujui hanya dalam hitungan jam”. Ye Peiyu menyebutkan, sangat lumrah bagi pekerja migran lupa memperpanjang visa kerja mereka, dan sangat jarang dijumpai ada pekerja yang dituntut akibat menetap melebihi batas waktu, apalagi sampai ditahan.

Yuli Dituntut Menulis Pernyataan Palsu

Menurut sebuah organisasi yang mendukung Yuli, pada hari Senin 2 Desember 2019 sore, Yuli  dipaksa menumpang pesawat dengan kode penerbangan CX779 menuju Surabaya, Indonesia. Organisasi tersebut menyatakan, Yuli  dipaksa untuk membatalkan permohonan perpanjangan visanya.

Yuli  menyatakan, sebelum meninggalkan kantor CIC, dia diminta untuk menulis pernyataan bahwa dirinya merasa puas dengan pengaturan “deportasi kembali ke negara asal” yang dilakukan terhadap dirinya.

“Saya sangat terkejut, faktanya saya justru merasa sangat sedih dengan cara Departemen Imigrasi memperlakukan saya, dan dideportasinya saya kembali ke negara asal. Saya menolak menulis surat pernyataan tersebut”, kata Yuli.

Menurut Yuli, petugas imigrasi memberitahunya, jika dia tidak mau menulis surat pernyataan itu, maka dia tidak akan diijinkan untuk pulang ke Indonesia. Dia menyatakan dirinya hanya menulis: “Saya tahu, saya akan dideportasi ke Indonesia”.

Yuli menyatakan, di tempat dirinya ditahan setelah dipaksa menulis pernyataan mencabut permohonan perpanjangan visanya, dia sempat meminta sebuah fotokopi suratnya, tapi ditolak imigrasi, dengan mengatakan bahwa surat itu telah dikirim ke kantor imigrasi di Wan Chai.

Yuli  berterima kasih atas dukungan masyarakat terhadap dirinya.

“Tindakan dukungan mereka itu sangat mengharukan saya. Saya pikir saya akan mengungkapkan apa yang telah terjadi pada diri saya, apa yang terjadi di CIC,”  kata Yuli.

Menurut Yuli, banyak teman-teman yang masih ditahan di CIC tengah mengalami penderitaan. Di sana perlakuan mereka sangat tidak manusiawi dan tidak adil.

“Saya berharap warga Hong Kong juga dapat memperhatikan kondisi mereka. Saya berharap mereka tidak lagi menderita. Bantulah teman-teman yang masih berada di CIC,” kata Yuli.

Sebuah kelompok kecil yang mendukung Yuli beberapa hari lalu menggelar unjuk rasa, menyatakan perlakuan Departemen Imigrasi terhadap Yuli merupakan tekanan politik. Kelompok pendukung itu menyatakan, Departemen Imigrasi bahkan menolak tuntutan dari kelompok pendukungnya untuk sekedar mengucapkan perpisahan dengan Yuli. (SUD/WHS)

FOTO : Yuli Riswati (Channel Youtube Singtaiwan)

Laporan Australia Menyoroti Risiko Kemitraan Penelitian dengan Universitas Tiongkok

Frank Fang – The Epochtimes

Laporan Australia baru-baru ini memperingatkan pemerintah, perusahaan, dan sekolah bahwa kerja sama penelitian yang mereka lakukan dengan universitas-universitas Tiongkok dapat berkontribusi pada pengembangan militer rezim Tiongkok dan pelanggaran hak asasi manusia.

Laporan yang berjudul “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok: Menjelajahi Tautan Militer dan Keamanan Universitas-universitas Tiongkok,” diterbitkan oleh lembaga pemikir Australian Strategic Policy Institute pada tanggal 25 November 2019.

“Saat menganalisis kasus-kasus spionase dan ekspor ilegal yang melibatkan universitas-universitas Tiongkok, menjadi jelas bahwa lembaga yang berhubungan militer dan keamanan yang kuat secara tidak proporsional terlibat dalam pencurian dan spionase,” sebut laporan itu.

Laporan  meninjau sekitar 160 universitas, perusahaan, dan lembaga penelitian Tiongkok, berdasarkan informasi yang tersedia secara online, termasuk situs web agen Tiongkok.

Laporan  menempatkan 92 lembaga Tiongkok dalam kategori “sangat berisiko”, yang berarti bahwa lembaga itu dapat “dimanfaatkan untuk keperluan militer atau keamanan.”

Di antara 92 lembaga itu, 52 lembaga adalah milik Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, seperti Perguruan Komando Tenaga Roket, Akademi Logistik Angkatan Laut, dan Universitas Kedokteran Angkatan Darat. Selain itu, 20 universitas sipil juga ditandai sebagai lembaga yang “sangat berisiko tinggi.”

23 universitas sipil ditempatkan dalam kategori “berisiko tinggi”, sementara 44 universitas sipil lainnya ditandai sebagai “berisiko sedang” atau “berisiko rendah.”

Rincian universitas dan lembaga penelitian Tiongkok itu, termasuk penilaian risiko dan bidang penelitiannya, telah dikompilasi dalam database online yang disebut “Pelacak Universitas Pertahanan Tiongkok.”

Laporan mengidentifikasi setidaknya 15 universitas sipil yang dikaitkan dengan spionase, terlibat dalam pelanggaran kendali ekspor, atau diidentifikasi oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai kedok untuk program senjata nuklir Tiongkok.

Menurut laporan tersebut, empat dari “Tujuh Putra Pertahanan Nasional”, sebuah universitas terkemuka yang memiliki hubungan mendalam dengan industri pertahanan dan militer Tiongkok seperti Universitas Beihang, Institut Teknologi Harbin, dan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, telah terlibat dalam spionase atau pelanggaran kendali  ekspor. 

Satu kasus pengadilan Amerika Serikat baru-baru ini melibatkan Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing. Pada bulan Oktober 2018, Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendakwa mata-mata Tiongkok bernama Xu Yanjun, yang bekerja untuk badan intelijen top Tiongkok, Kementerian Keamanan Negara, karena berkonspirasi mencuri informasi mengenai desain bilah kipas GE Aviation untuk mesin jet.

Isi dakwaan itu menyebutkan, Xu Yanjun dan para konspiratornya mengatur agar insinyur GE Aviation memberikan presentasi di Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing, di mana Xu Yanjun membayar semua biaya perjalanan insinyur tersebut ke Tiongkok.

Setelah presentasi, Xu Yanjun terus menggali informasi penting dari karyawan GE. 

Menurut BBC, Universitas Aeronautika dan Astronautika Nanjing menegaskan bahwa Xu Yanjun juga adalah seorang mahasiswa pasca-sarjana paruh-waktu di kampusnya.

“Kementerian Keamanan Negara Tiongkok juga memanfaatkan universitas sipil untuk pelatihan, penelitian, saran teknis, dan kemungkinan partisipasi langsung dalam spionase dunia maya,” sebut laporan itu.

Misalnya, Su Yuting, seorang profesor di Fakultas Teknik Listrik dan Informasi di Universitas Tianjin, adalah penerima penghargaan kemajuan teknologi yang dikeluarkan oleh Kementerian Keamanan Negara Tiongkok.

Area penelitian Su Yuting meliputi pemrosesan informasi multimedia dan keamanan, serta teknologi Internet of Things (IoT).

Lembaga pemikir mencatat bahwa dengan perluasan kolaborasi antara universitas di seluruh dunia dan mitra Tiongkok, jelas bahwa banyak lembaga belum secara efektif mengelola risiko terhadap hak asasi manusia, keamanan, dan integritas penelitian.

Misalnya, antara tahun 2007 hingga  2017, Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok mengirim lebih dari 2.500 ilmuwannya untuk dilatih dan bekerja di universitas di luar negeri.


Lebih jauh, laporan itu menyebutkan, bahwa beberapa ilmuwan itu menggunakan perlindungan sipil atau bentuk penipuan lainnya untuk bepergian ke luar negeri.

Semua ilmuwan yang dikirim itu untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang bernilai bagi militer Tiongkok. Semua ilmuwan itu diyakini adalah anggota Partai Komunis Tiongkok yang kembali ke Tiongkok saat diperintahkan.

Perpaduan Militer – Sipil 

Beijing telah lama mengadopsi strategi negara untuk meningkatkan industri swasta dan universitas untuk memajukan militernya. Saat ini, Komisi Sentral Partai Komunis Tiongkok untuk Pengembangan Perpaduan Militer – Sipil mengawasi upaya perpaduan ini. 

Pada bulan Agustus 2018, Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional di Tiongkok bersama-sama mengeluarkan dokumen kebijakan, yang mendesak universitas untuk berintegrasi ke dalam “sistem perpaduan militer-sipil” dan “memajukan transfer dan transformasi dua-arah dari prestasi teknologi militer dan sipil.” 

“Setidaknya 68 universitas secara resmi digambarkan sebagai bagian sistem pertahanan atau diawasi oleh agen industri pertahanan Tiongkok, Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional,” sebut laporan itu. 

Administrasi Negara di bidang Sains, Teknologi dan Industri untuk Pertahanan Nasional, sebuah badan bawahan dari Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok, diawasi oleh Dewan Negara Tiongkok, sebuah badan yang menyerupai kabinet. “Tujuh Putra Pertahanan Nasional ” diawasi oleh Kementerian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok. 

Ada juga lebih dari 160 laboratorium yang berfokus pada pertahanan di universitas sipil. Banyak dari laboratorium pertahanan ini mengaburkan tautan pertahanan mereka dalam terjemahan resmi nama mereka. 

Misalnya, beberapa laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan nasional disebut “laboratorium penting nasional.” Pembentukan laboratorium pertahanan memupuk hubungan erat antara peneliti dengan militer yang dapat digunakan untuk memfasilitasi dan mendorong spionase.

Menurut laporan  The Washington Free Beacon, pada bulan Mei 2013, badan intelijen Amerika Serikat menemukan bahwa laboratorium ilmu komputer di Universitas Wuhan melakukan serangan dunia maya  di Barat, termasuk Amerika Serikat, atas nama Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Program ini dijalankan oleh Departemen Pendidikan Tiongkok.

Laporan Australia juga memperingatkan bahwa kemitraan dengan universitas dan perusahaan Tiongkok secara tidak sengaja dapat berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. 

Misalnya, perusahaan China Electronics Technology Group Corporation milik negara Tiongkok mendirikan laboratorium bersama di Eropa dan Australia sejak tahun 2014. Anak perusahaannya, Hikvision, sebuah perusahaan pengawasan video, dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang, di mana rezim Tiongkok telah mengerahkan jaringan pengawasan yang ketat untuk memantau dan mengendalikan lebih dari 10 juta Muslim Uyghur. 

Untuk menjaga terhadap risiko hak asasi manusia dan keamanan tersebut, laporan itu menganjurkan agar universitas yang berkolaborasi dengan mitra Tiongkok agar mendirikan kantor integritas penelitian independen dan memperkenalkan tinjauan tahunan integritas penelitian. (Vv)

FOTO : Tentara PLA (Getty Images)

‘Kita Adalah Sasaran Empuk’ : Politikus Australia Memperingatkan Ancaman dari Rezim Tiongkok

0

Mimi Nguyen Ly

Lebih dari belasan senator Australia memberikan suara pada hari Selasa 3 Desember lalu yang menyerukan penyelidikan atas hubungan Australia dengan Tiongkok.  Di mana seorang politisi mengatakan bahwa Australia adalah “sasaran empuk” terhadap pengaruh asing dari Komunis Tiongkok.

“Kita sebagai sasaran empuk di sini. Kita membiarkan diri kita terbuka dan membiarkan Partai Komunis Tiongkok datang ke sini dan merusak demokrasi kita,” demikian yang disampaikan oleh Jacqui Lambie, seorang senator independen Australia, mengatakan Selasa malam. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas mosi untuk memulai penyelidikan Senat mengenai hubungan Australia dengan Tiongkok.

 Mosi tersebut, yang dipimpin oleh crossbencher Rex Patrick, didukung oleh semua crossbencher lainnya: Senator Jacqui Lambie, Stirling Griff, Pauline Hanson, Malcolm Roberts, dan Cory Bernardi. Senator dari Partai Hijau juga mendukung mosi tersebut. 

Melansir dari ABC, Crossbencher artinya duduk diantara pemerintah dan oposisi. Mereka adalah anggota parlemen dan senator yang tidak termasuk dua partai mayoritas.

Mosi tersebut, yang membutuhkan 23 suara mayoritas untuk lolos, gagal di 15 suara. Tidak ada senator dari dua partai politik utama Australia – Partai Liberal dan Partai Buruh – yang menunjukkan dukungannya. Sebanyak 38 suara menentang mosi tersebut.

Melansir dari The Epochtimes, Rex Patrick mengatakan bahwa penyelidikan harus memeriksa semua aspek hubungan Australia dengan Tiongkok, termasuk hubungan perdagangan antara kedua negara, investasi Tiongkok dalam infrastruktur dan pertanian Australia. Bahkan, pengaruh serta dugaan campur tangan di Australia.  Yang mana mencakup kegiatan terkait Komunis Tiongkok di kampus universitas Australia, serta peran Komunis Tiongkok dalam serangan dunia maya.

‘Ancaman Eksistensial’

Sebelum pemungutan suara, Jacqui Lambie menuduh Partai Liberal dan Partai Buruh tidak memiliki keberanian untuk melindungi Australia dari pengaruh asing Tiongkok. Ia berbicara dengan mengatakan bahwa partai-partai semacam itu tidak hanya dipengaruhi oleh uang dari  Komunis Tiongkok, tetapi juga bertanggung jawab atas ketergantungan ekonomi Australia pada Tiongkok.

Baik Jacqui Lambie dan Rex Patrick mencatat bagaimana Duncan Lewis, mantan Direktur Jenderal Keamanan di Organisasi Intelijen Keamanan Australia, mengatakan kepada surat kabar Nine pada bulan November lalu bahwa  Komunis Tiongkok berusaha untuk mengambil alih sistem politik Australia melalui penyelidikan campur tangan asing yang “berbahaya.”

“Sudah waktunya rakyat di tempat ini sadar akan upaya Tiongkok untuk menyusup ke bidang ekonomi dan demokrasi kita,” kata Jacqui Lambie. 

Ia kemudian menambahkan, “Semua orang mengetahui bahwa pemerintah komunis Tiongkok menggunakan uang untuk mempengaruhi proses politik kita.”

Jacqui Lambie mengutip beberapa contoh dugaan upaya tersebut, termasuk kasus awal tahun ini di mana 100.000 dolar Australia  dalam bentuk tunai disumbangkan ke Partai Buruh New South Wales yang menjadi bagian penyelidikan oleh pengawas korupsi negara.

“Sekarang kita telah mendengar bahwa upaya Tiongkok untuk menyusup ke bidang politik Australia bahkan lebih jauh lagi. Tiongkok tidak hanya berusaha mempengaruhi para politisi dengan uang; Tiongkok berusaha untuk terpilih untuk duduk di dewan ini. Bila mana Tiongkok  dapat membeli atau mendapatkan kursi di parlemen Australia, Tiongkok akan datang,” kata Jacqui Lambie. 

Ia melanjutkan : “Tidak ada pemeriksaan keamanan, hanya sedikit usaha untuk menghentikan. Benar-benar sangat mengejutkan. “

Menurut dia, rakyat secara harafiah benar-benar mati. Seseorang yang dibudidayakan oleh pemerintah Tiongkok untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Partai Liberal di Parlemen Persemakmuran telah terbukti tewas. 

 “Tidak ada yang terbukti tetapi benar-benar memprihatinkan. Saya pikir kita semua tahu apa yang terjadi di sini,” demikian yang disampaikan Jacqui Lambie. 

Bo “Nick” Zhao, dealer mobil mewah Melbourne, ditemukan tewas di kamar motel Melbourne pada bulan Maret. Kematiannya sedang diselidiki. Bo “Nick”  Zhao sebelumnya mengatakan kepada Organisasi Intelijen Keamanan Australia bahwa ia ditawari “jumlah tujuh digit” untuk mencalonkan diri di parlemen federal Australia.

Jacqui Lambie dalam pidatonya mengatakan : “Yang jelas adalah bahwa Tiongkok secara aktif berusaha membentuk kembali demokrasi kita, dan sepertinya tidak ada seorang pun yang membicarakan hal itu dengan cukup serius. Jujur, di mana keberanianmu? Apa yang anda takutkan? Ini bukan teori konspirasi yang aneh. Ini sedang terjadi.”

Jacqui Lambie menambahkan, “Ini adalah ancaman eksistensial bagi masyarakat kita, dan orang Australia takut, Mereka takut bahwa negara kita sedang dibeli, sedang dibeli.”

Nex Patrick mencatat bagaimana Direktur Jenderal Keamanan Mike Burgess “tidak mampu menyebut” Tiongkok pekan lalu, saat ia mengumumkan penyelidikan Organisasi Intelijen Keamanan Australia terhadap tuduhan bahwa Partai Komunis Tiongkok berusaha mengusung Bo “Nick”  Zhao ke Canberra.

 Nex Patrick berkata : “Jelas, ada kepekaan diplomatik yang cukup besar yang terlibat dan kita telah membiarkan diri kita menjadi sangat tergantung secara ekonomi pada ekspor bahan mentah ke pasar Tiongkok.” 

Nex Patrick melanjutkan : “Tetapi yang mengkhawatirkan saat debat di parlemen ini secara politis dilancarkan karena takut akan reaksi dari Beijing.”

Pada bidang perdagangan, Jacqui Lambie menyatakan kekecewaannya dan mengatakan bahwa Partai Liberal dan Partai Buruh telah gagal mengelola ketergantungan ekonomi Australia pada Tiongkok.

Sedangkan Jacqui Lambie menegaskan, Partai-partai besar telah menutup mata, kita sedang menjual nilai-nilai Australia dengan cepat. Sepertiga ekspor Australia terikat ke Tiongkok. Kita mengekspor bijih besi dan batu bara yang bernilai lebih dari 120 miliar dolar AS ke Tiongkok dan universitas-universitas kita — Tiongkok sangat memalukan! —menghasilkan lebih dari 32 miliar dolar dari mahasiswa internasional.

Ia melanjutkan : “Secara keseluruhan, kita memperdagangkan barang dan jasa senilai hampir 194 miliar dolar AS antara Tiongkok  dengan Australia — lebih dari gabungan perdagangan Australia dengan Jepang dan Amerika Serikat. Siapa yang melakukan itu? Siapa yang meninggalkan kita dalam posisi seperti itu? Semua uang itu membuat kita terlena. Tidak ada alasan bagi kita untuk berfokus pada Tiongkok.”

Sebelum pemungutan suara, Senator Partai Hijau Nick McKim mengatakan bahwa Partai Liberal dan Partai Buruh “dipenuhi dengan pengaruh Partai Komunis Tiongkok karena mereka, dipenuhi dengan uang kotor Partai Komunis Tiongkok karena mereka — akan berkolusi, sekali lagi, untuk menolak  penyelidikan seperti itu.”

 Senator Nick McKim mengatakan : “Saya memberitahu anda sekarang, anda semua berdiri di sisi sejarah yang salah di sini. Sejarah akan ditulis suatu hari.”

Nick McKim mengatakan : “Sejarah akan merekam mereka yang berdiri dan mencoba mengatasi situasi ini, dan sejarah akan mencatat mereka yang berguling dan membiarkan Partai Komunis Tiongkok menggelitik perut konco-konconya. Dan sayangnya, tetap saja kedua partai besar di Austalia akan berada di sisi sejarah yang salah.” (Vivi/asr)

FOTO : Jacqui Lambie, seorang senator independen Australia (Facebook)

Amnesty International : Lebih dari 200 Orang Tewas di Iran Saat Penindasan Brutal terhadap Demonstran

0

Katabela Roberts

Setidaknya 208 orang telah tewas selama penumpasan yang dilakukan aparat keamanan selama aksi protes di Iran. Laporan tersebut dirilis oleh Amnesty International pada 2 Desember 2019.

Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan bahwa jumlah kematian yang “mengkhawatirkan” didasarkan pada “pada laporan yang kredibel.” Laporan yang dihimpun setelah mewawancarai berbagai sumber, termasuk keluarga para korban. 

Amnesty menambahkan bahwa jumlah sebenarnya angka kematian yang dikaitkan dengan protes itu “cenderung lebih tinggi.”

Menurut laporan itu, belasan kematian telah dicatat di kota Shahriar di Provinsi Tehran, menjadikannya salah satu kota dengan korban tewas tertinggi.

Philip Luther, Direktur Penelitian dan Advokasi untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International mengatakan, jumlah kematian yang mengkhawatirkan adalah bukti lebih lanjut bahwa pasukan keamanan Iran melakukan pembunuhan yang mengerikan. 

Insiden itu menewaskan sedikitnya 208 orang tewas dalam waktu kurang dari seminggu. Menurut Luther, Angka kematian yang mengejutkan ini menunjukkan pengabaian memalukan pemerintah Iran atas kehidupan manusia. 

Luther menegaskan, Mereka yang bertanggung jawab atas tindakan berdarah ini atas demonstrasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

Luther menjelaskan pihak berwenang Iran tidak ingin melakukan “investigasi independen, tidak memihak, dan efektif terhadap pembunuhan di luar hukum.” Termasuk, penggunaan kekuatan terhadap para pemrotes. 

Selain itu, menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu memastikan kepada mereka yang bertanggung jawab.

Di tempat lain dalam laporan itu, Amnesty mengklaim telah mengumpulkan informasi dari keluarga para korban yang mengatakan bahwa mereka telah diperingatkan untuk tidak berbicara kepada media dan bahkan telah dilarang mengadakan upacara pemakaman untuk orang yang mereka cintai.

Anggota keluarga lainnya dilaporkan dipaksa untuk membayar uang dalam jumlah berlebihan agar jenazah para korban dikembalikan kepada mereka.

Meluasnya aksi protes  di Iran meletus pada 15 November, setelah pihak berwenang mengumumkan skema penjatahan BBM  yang akan membuat harga BBM naik hingga 50 persen.

Keputusan tersebut berarti bahwa kendaraan pribadi sekarang dibatasi hingga 16 galon bahan bakar per bulan, sementara setiap pembelian bahan bakar yang melebihi batas akan dikenai biaya tambahan sekitar 0,98 dolar AS per galon.

Pihak berwenang mengklaim skema baru tersebut bertujuan untuk mendistribusikan kembali uang kepada warga negara yang paling membutuhkan. Namun demikian, dengan cepat menghadapi reaksi balik dari warga di seluruh negara yang turun ke jalan untuk menyerukan diakhirinya rezim Iran.

Pada saat protes dimulai, Amnesty International mengatakan bahwa meskipun aksi protes telah dipicu oleh kenaikan harga BBM. Aksi juga  dikarenakan orang-orang Iran “sakit dan lelah dengan semua korupsi dan ideologi fanatik” dan menginginkan “perubahan.” Di tengah kerusuhan, Iran menutup akses internet, mencegah orang-orang di dalam negeri  berbagi informasi dengan dunia luar. 

Namun demikian, internet telah dipulihkan di beberapa daerah. Membuat sejumlah  video dan foto bertebaran di internet yang merinci kekacauan di Iran.

Sementara itu, pihak berwenang di Iran telah menolak untuk menyebutkan secara pasti jumlah korban atau penangkapan yang dilakukan. Bahkan rezim Syiah Iran mengklaim angka-angka Amnesty tentang jumlah korban tewas secara nasional adalah spekulatif.

Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera, Misi Permanen Republik Islam Iran ke PBB di Jenewa mengklaim bahwa Teheran “memiliki alasan yang baik untuk mencurigai kredibilitas laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty International karena pola masa lalu yang berlebihan. Karena mengandalkan sumber-sumber yang didiskreditkan dan tidak dapat diandalkan dan karena bias  tertentu mengenai Iran. “

Pihak Iran mengklaim “sepenuhnya menghormati hak untuk majelis damai.” Laporan Iran juga mengklaim bahwa “ratusan penegak hukum dan polisi ditambah warga yang tidak bersalah termasuk di antara korban” terjebak dalam protes.

Pihak rezim Syiah Iran mengklaim pasukan keamanan telah menggunakan “pengekangan dan penanganan maksimum bahkan dalam berurusan dengan mereka yang menyalahgunakan protes. Tak lain, untuk merusak keselamatan publik dan merusak properti publik dan pribadi adalah kesaksian untuk ini.

Dr. Zuhdi Jasser, presiden dan pendiri Forum Islam Amerika untuk Demokrasi mengatakan Rezim Syiah Iran diluncurkan dengan kombinasi subversi gaya Soviet dan pengaruh penuli Sayyid Qutb, yang merupakan pendiri Ikhwanul Muslimin.

Qutb menggabungkan politik sosialis dengan Agama untuk menciptakan ideologi sebagai inti dari pemerintahan totaliter. 

Di bawah model ini, kritik terhadap pemerintah menjadi identik dengan serangan terhadap agama. Selain itu, memungkinkan penguasa sosialis untuk melakukan kejahatan. Bahkan pembunuhan, terhadap lawan politik, sementara mengklaim mempertahankan agama mereka. (asr)