EtIndonesia. Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memberikan tekanan keras kepada Tiongkok, menuntut agar negara tersebut menghentikan pengiriman bahan kimia prekursor fentanyl ke Meksiko, yang dituding sebagai upaya melancarkan “Perang Candu Baru” terhadap Amerika Serikat. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum menemukan bahwa sindikat underground banking (bank gelap) Tiongkok memiliki skala operasi yang sangat besar, sangat tertutup, memiliki metode yang bervariasi, dan mengenakan biaya layanan yang sangat rendah—hingga tampak seperti mereka telah mengambil alih seluruh kegiatan pencucian uang milik kartel narkoba Meksiko.
Pada 15 Mei, The Wall Street Journal merilis laporan investigasi yang menyebutkan bahwa aparat penegak hukum AS telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelidiki jaringan pencucian uang yang dioperasikan oleh bank gelap Tiongkok bagi kartel narkoba Meksiko, dan kini telah memiliki bukti konkret yang siap diajukan ke pengadilan.
Dalam proses penyelidikan tersebut, aparat AS menggunakan aliran uang sebagai benang merah untuk melacak ke mana perginya uang tunai hasil penjualan narkoba—mulai dari kartel, kemudian mengalir ke bank gelap Tiongkok, dan akhirnya masuk ke rekening perbankan. Jalur uang ini mencakup berbagai skema seperti penukaran mata uang lintas negara, transfer antar rekening, hingga penjualan dolar murah kepada para pembeli.
Seorang pejabat dari Badan Penegakan Narkotika AS (DEA) yang bertugas menangani jaringan peredaran narkoba global mengungkapkan bahwa bank gelap Tiongkok mengenakan tarif layanan lebih rendah daripada kompetitornya, sehingga kini menjadi mitra utama kartel narkoba Meksiko dalam urusan pencucian uang.
Dalam salah satu kelompok sindikat yang terungkap dalam laporan tersebut, seluruh operator utama berasal dari kalangan warga Tiongkok yang tinggal di Tiongkok, AS, dan Meksiko. Mereka membeli dolar hasil penjualan narkoba dari kartel Sinaloa di Meksiko dengan harga diskon, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi—terutama kepada warga Tiongkok yang tinggal di Amerika Serikat.
Menurut tim penyelidik, seorang pria bermarga Zhang mempromosikan jasa penukaran mata uang, transfer dana lintas negara, serta penjualan dolar murah melalui aplikasi WeChat. Para pembeli kemudian diarahkan ke lokasi tertentu untuk mengambil uang tunai.
Sebagai contoh: Pada Januari 2021, seorang agen DEA menyaksikan seorang pria memberikan tas putih bertuliskan “Selamat Ulang Tahun” kepada seorang pria Tionghoa di sebuah gedung perkantoran di Downey, California. Di dalam tas tersebut terdapat uang tunai sebesar 226.000 dolar AS.
Selain itu, bank gelap Tiongkok juga melayani kalangan elit dan pengusaha kaya Tiongkok, yang ingin memindahkan dana besar keluar dari negeri, sehingga secara tidak langsung mempercepat proses pencucian uang.
Frank Tarentino, kepala DEA wilayah New York, menjelaskan bahwa bank-bank Amerika juga sering dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Selama bertahun-tahun, sindikat Tiongkok berhasil mengeksploitasi celah sistem keuangan AS. Mereka memalsukan paspor atau merekrut pelaku lokal seperti pebisnis dan mahasiswa untuk membuka puluhan rekening di berbagai bank. Dana hasil narkoba kemudian disimpan dalam jumlah kecil secara bertahap—metode ini dikenal dengan istilah “semut mengangkut makanan”—dan langsung ditransfer keesokan harinya guna menghindari deteksi dan penyitaan.
Bank-bank AS dilaporkan memproses puluhan juta transaksi mencurigakan setiap tahun, termasuk setoran tunai dalam jumlah besar. Namun, hanya sebagian kecil saja dari transaksi tersebut yang ditindaklanjuti untuk investigasi. Kini, sistem perbankan AS mulai memperketat pengawasan terhadap praktik tersebut.
Selain memanfaatkan sistem perbankan, sindikat Tiongkok juga memiliki berbagai metode lain untuk mengembalikan dana kepada kartel narkoba, misalnya mengimpor barang dari Tiongkok ke Meksiko, menjual barang dengan harga rendah lalu membayarnya, atau menukarkan yuan ke peso Meksiko dan mentransfernya sebagai pembayaran.
Tiongkok Jadi Pemimpin Global dalam Pencucian Uang — Melindungi Jaringan Kriminal Transnasional
Dalam sidang dengar pendapat pada 30 April 2024 yang diadakan oleh Komite Khusus Senat AS untuk Pengendalian Narkotika Internasional, pejabat Investigasi Keamanan Dalam Negeri (HSI) AS, Mayorkas, menyatakan bahwa kelompok pencucian uang asal Tiongkok kini mendominasi operasi pencucian uang di seluruh dunia.
Organisasi ini bukan hanya membantu kartel narkoba Meksiko mendapatkan keuntungan ilegal, tetapi juga menyediakan layanan penukaran valuta asing di AS, memungkinkan jaringan kriminal mengubah uang hasil kejahatan menjadi mata uang sah.
Mayorkas menegaskan bahwa prioritas utama HSI adalah menyelidiki organisasi pencucian uang yang terlibat dalam perdagangan narkoba dan kejahatan lintas batas untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.
Wakil Menteri Keuangan AS, Brian Nelson, menyatakan bahwa sejak 2018, pihaknya sudah mulai memperhatikan kemunculan sindikat pencucian uang asal Tiongkok. Namun, struktur jaringan ini sangat terdesentralisasi, tanpa pemimpin tunggal, dan seringkali beroperasi lewat komunitas diaspora Tionghoa di luar negeri, sehingga menjadi sangat sulit untuk dibongkar oleh lembaga penegak hukum AS.
Pejabat DEA lainnya, Kimberl, menjelaskan bahwa organisasi pencucian uang ini juga memanfaatkan mata uang kripto, sistem perbankan bawah tanah, transportasi fisik skala besar, dan pembelian properti untuk menyamarkan aktivitas ilegal mereka.
Sementara itu, Tiongkok sendiri menerapkan kontrol ketat terhadap arus mata uang asing. Undang-undang Tiongkok membatasi transfer dana ke luar negeri oleh warganya hingga maksimal 50.000 dolar AS per tahun, yang membuat banyak warga mencari cara menghindari regulasi tersebut dan menjadi semakin bergantung pada layanan pencucian uang dari jaringan bawah tanah.
Dalam penutupan sidang, para pejabat AS menegaskan bahwa upaya pemberantasan sindikat pencucian uang Tiongkok harus dilakukan secara global melalui kerja sama intelijen, pertukaran informasi, serta pembentukan regulasi internasional yang lebih ketat untuk melindungi stabilitas dan keamanan sistem keuangan dunia.
Italia Bongkar Jaringan Bayangan Pencucian Uang Tiongkok untuk Mafia
Pada 4 Oktober 2023, kepolisian Italia melancarkan operasi besar-besaran terhadap jaringan pencucian uang asal Tiongkok dan menangkap 33 orang, yang diduga telah mencuci uang lebih dari 50 juta euro (sekitar 5,25 juta dolar AS) untuk kelompok mafia, termasuk kelompok mafia terkenal asal Calabria, ‘Ndrangheta (disebut “Guangronghui” dalam bahasa Tionghoa).
Menurut Kolonel Polisi Keuangan Italia, Francesco Ruiz, kepada Reuters, kasus ini mengungkap hubungan unik antara kelompok mafia dan penyedia layanan keuangan dari Tiongkok.
Laporan menyebutkan bahwa para tersangka—termasuk 7 warga Tiongkok—dituduh melakukan kejahatan terorganisir, konspirasi perdagangan narkoba, dan pencucian uang. Pihak berwenang juga menyita sekitar 10 juta euro dalam bentuk tunai dari para kurir uang (money mule) yang bertugas mentransfer dana ke luar negeri.
Hasil penyelidikan terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak kelompok kriminal Italia yang menggunakan jaringan bayangan broker mata uang ilegal Tiongkok, metode yang dikenal dengan sebutan “fei qian” atau “uang terbang.” Dalam skema ini, dana disetor ke broker di Italia, dan mitra mereka di negara lain akan membayarkan uang dalam jumlah yang setara kepada penerima yang ditunjuk.
Laporan media Italia tahun 2023 juga mengungkap bahwa jaringan kepentingan Tiongkok menggunakan mata uang kripto ilegal untuk mendanai organisasi kejahatan Italia. Disebutkan bahwa Partai Komunis Tiongkok bekerja sama dengan kelompok mafia Italia dan kartel kriminal Albania yang mengendalikan pelabuhan-pelabuhan penting di Eropa, untuk menyebarkan kokain dalam jumlah rekor secara global.
Sebuah lembaga riset di Italia memperkirakan bahwa penghasilan tahunan ‘Ndrangheta mencapai sekitar 47 miliar dolar AS.(jhn/yn)