EtIndonesia. Awal Juni 2025 menjadi saksi peristiwa luar biasa di Beijing, ketika dunia elit politik Tiongkok diguncang kabar dramatis dari balik “meja makan malam ibu kota.” Sebuah malam yang seharusnya tenang, berubah menjadi ajang demonstrasi kekuatan militer secara terbuka dan tanpa kompromi. Di pusatnya berdiri satu nama: Jenderal Zhang Youxia, Wakil Ketua Komisi Militer Tiongkok, sosok veteran partai yang kini secara de facto memegang tongkat kekuasaan di negeri Tirai Bambu.
Pada malam 6 Juni 2025, tepat pukul 19: 00, seluruh kawasan “lingkar enam” Beijing—jantung politik dan administratif negara—mendadak berubah. Selama dua belas jam penuh, ribuan tentara berpatroli tanpa jeda, memadati setiap sudut strategis mulai dari Jalan Chang’an, sekitar Diaoyutai, hingga perimeter ketat Zhongnanhai—kompleks pemerintahan tertinggi Partai Komunis Tiongkok.
Setiap pos penjagaan sudah siaga, senjata dalam posisi siap tembak. Setiap persimpangan, dijaga rapat oleh aparat bersenjata tanpa memberi peluang sedikit pun. Di tengah ketegangan ini, Jenderal Zhang Youxia sendiri turun langsung ke jalan: berseragam penuh, pistol di pinggang, dan dikawal ketat. Video dirinya berpatroli menyebar diam-diam ke lingkaran elit, hingga akhirnya sampai ke puncak kekuasaan.
Tanda Kekuasaan Bergeser: Zhang vs Xi
Tak lama setelah video itu beredar, salah satu petinggi negara berkomentar lirih—dan pesimis—“Dia (Zhang) tiga tahun lebih tua dari saya, tapi tubuhnya tiga puluh tahun lebih bugar. Saya habis sudah…”
Komentar ini langsung mengarah ke Xi Jinping, yang selama bertahun-tahun membanggakan stamina fisiknya, kini justru harus berhadapan dengan kenyataan pahit: kekuatan militer lebih menentukan daripada sekadar citra fisik atau sejarah kepemimpinan.
Tidak hanya sekadar perbandingan kemampuan fisik, tetapi juga simbolisasi: “Siapa yang memegang senjata, dia yang menang.”
Zhang Youxia, di usia 75 tahun, masih tampil bugar, sementara Xi, tiga tahun lebih muda, dikabarkan mengalami penurunan drastis: stroke, tidak bisa berdiri atau duduk lama, bahkan tampil di publik harus didukung tata rias tebal dan skenario pengamanan super ketat.
Malam 6 Juni 2025, patroli militer itu bukan sekadar pengamanan rutin, melainkan sinyal keras ke seluruh negeri: “Kami akan mengantarmu pergi dengan terhormat—jangan pernah bermimpi kembali berkuasa.”
Dan benar, sejak pemakaman Xu Qiliang (Wakil Ketua Komisi Militer yang wafat 2 Juni), kekuatan militer Xi Jinping resmi dinyatakan “berakhir”.
Misteri Pemakaman dan Hilangnya Tokoh Kunci
Upacara perpisahan Xu Qiliang pada 8 Juni berlangsung megah di Babaoshan, dihadiri semua tokoh kunci partai dan mendapat pemberitaan luar biasa. Namun, fokus utama justru pada ketidakhadiran He Weidong, anggota politbiro, Wakil Ketua Komisi Militer, dan perwira aktif paling berpengaruh setelah Xu. Tidak hanya absen, bahkan karangan bunga pun tidak dikirimkan, sesuatu yang sangat tidak lazim dalam tradisi partai.
Sejak April 2025, He Weidong benar-benar menghilang: tidak pernah muncul di media, tidak bicara, tidak kunjungan, seolah-olah dilenyapkan dari sistem.
Sumber internal militer menyebutkan: “Jika bahkan mengirim bunga pun tak bisa, hanya dua kemungkinan: sudah ditahan, atau sudah tiada.”
Struktur Komisi Militer Xi Jinping kini kosong—yang satu wafat, yang satu hilang.
Sinyal Kudeta Sunyi dari Media Resmi
Biasanya, kudeta militer atau transisi kekuasaan di Tiongkok selalu ditutupi, namun kali ini sinyal disampaikan dengan cara halus namun mematikan: melalui editorial Xinhua.
Pada 6 Juni, Xinhua menerbitkan artikel “Penelitian Palsu Tak Bisa Selesaikan Masalah Nyata” yang sepintas mengkritik birokrasi, namun sebenarnya berisi sindiran keras terhadap kepemimpinan Xi: “Pejabat keluar rumah selalu dikawal, pidato hanya baca naskah, kunjungan hanya formalitas, rela jadi murid SD, baru membumi.”
Ini jelas sindiran pada Xi Jinping, yang dikenal paranoid, selalu dikawal ketat, dan tidak pernah tampil spontan di depan publik. Editorial semacam ini—yang menertawakan istilah “murid SD” (olok-olok publik untuk Xi)—baru pertama kali diucapkan Xinhua secara terbuka. Bagi pengamat politik, ini adalah pengumuman de facto bahwa sistem propaganda siap “membersihkan” sisa-sisa narasi Xi dari panggung kekuasaan.
Tiga Tembakan Awal: Roadmap Pembersihan Xi
Dalam waktu kurang dari tiga hari, tiga “tembakan politik” dilancarkan:
- Penangkapan Gao Yichen: Eks Wakil Menteri Keamanan Nasional, pengendali kelompok penindasan dan oposisi, ditangkap dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Bukan sekadar pembersihan, tapi “pemutusan darah politik” terhadap jaringan loyalis Xi.
- Kembalinya Agenda Li Keqiang: Xinhua Jiangsu menyorot kembali “reformasi sisi penawaran”—istilah yang pernah dihapus era Xi—sebagai headline besar. Ini menandai rehabilitasi jalur ekonomi pra-Xi.
- Pencabutan Larangan Ekspor Rare Earth ke AS: Setelah tekanan diplomatik Amerika (termasuk “kartu visa Harvard” yang membuat panik anak pejabat), Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengalah, menghapus kebijakan konfrontatif era Xi.
Ketiganya—penangkapan, reformasi ekonomi, dan perubahan kebijakan luar negeri—adalah peta jalan sistematis untuk menghapus Xi dari sejarah. Agenda ini tidak lagi sekadar isu rumor, melainkan operasi nyata yang dijalankan terstruktur dari elite ke bawah.
Bocoran Intelijen, Surat Wasiat, dan Realitas Kesehatan Xi Jinping
Informasi eksklusif dari dinas intelijen Rusia yang bocor ke Kremlin menyebut, Xi Jinping mengalami serangan jantung pada malam 25-26 Mei, lalu kambuh dua kali di awal Juni. Fakta ini akhirnya digunakan sebagai justifikasi oleh kelompok anti-Xi: “Jika kamu sendiri sudah tak sanggup berdiri, harus menunggu negara kacau dulu baru kami mengambil alih?”
Tanda-tanda fisik Xi memang memburuk. Sejak akhir Mei, Xi hampir tak pernah tampil di publik. Video pendek dan kunjungan Lukashenko adalah upaya terakhir menjaga “citra stabilitas”. Dokter kepresidenan menyarankan Xi menghindari aktivitas berat, bahkan menyebut “dua kali rapat saja bisa berakibat fatal.”
Sumber menyebut, Xi sudah menyiapkan surat wasiat kepada politbiro—intinya:
- Mohon keluarganya diperlakukan baik oleh partai dan militer,
- Mohon tidak menyakiti keluarga setelah masa pembersihan.
Xi jelas paham risiko, mengingat sejarah pasca-Mao, di mana keluarga pemimpin lama tidak luput dari “balas dendam politik.” Kini, Xi tinggal menanti nasib, sembari berharap transisi berlangsung damai.
Zhang Youxia: “Kaisar Militer” dan Krisis Legitimasi
Dengan absennya Xi dan pembersihan lawan politik, Tiongkok kini berada di bawah kendali Zhang Youxia. Di balik layar sudah beredar draft “Triumvirat”: Wang Yang sebagai Sekretaris Jenderal (karakter kompromis, disukai para sesepuh), Hu Chunhua sebagai Perdana Menteri (teknokrat transisi, mengurusi ekonomi), dan Zhang Youxia sebagai Ketua Komisi Militer sekaligus pengendali keamanan.
Namun, kenyataannya, hanya satu sosok yang benar-benar berkuasa—Zhang Youxia. Julukan “Deng Xiaoping Baru” sudah mulai beredar di kalangan elit, tapi perbedaannya jelas: Zhang hanya menguasai militer, bukan birokrasi dan bukan rakyat.
Persoalannya, meski Zhang mampu menjaga stabilitas Zhongnanhai dan pusat kekuasaan, dia tidak memiliki legitimasi penuh untuk menyatukan negeri. Tidak seperti Deng, yang didukung kekuatan birokrasi sipil dan jaringan partai nasional, pemerintahan Zhang dikhawatirkan hanya mampu menunda krisis, bukan menyelamatkan negara. Jika pusat dianggap lemah, daerah-daerah kuat seperti Shanghai, Guangdong, Jiangsu, dan Sichuan bisa mulai bergerak sendiri, membentuk pusat kekuatan baru.
Menuju Perpecahan atau Kebangkitan Baru?
Mundurnya Xi Jinping bukan penutup, melainkan pembuka babak baru yang penuh ketidakpastian. Dengan sentralisasi kekuatan militer di tangan Zhang Youxia, namun tanpa legitimasi sipil dan dukungan partai yang solid, Tiongkok terancam masuk era “negara pusat lemah.” Ini adalah awal keretakan, bukan stabilitas. Para gubernur daerah mulai bertanya, “Kenapa harus patuh pada pusat, jika pusat sudah tak punya arti?”
Penutup: Sejarah Ditulis di Musim Semi Beijing
Musim semi 2025 akan tercatat sebagai awal keruntuhan tatanan Partai Komunis Tiongkok. Sejarah tidak lagi hanya tulisan, melainkan tragedi besar yang kini terjadi di depan mata dunia. Entah Tiongkok akan terjerumus dalam perpecahan internal atau mampu bangkit melalui reformasi, satu hal pasti: era Xi Jinping telah berakhir, dan kekuasaan sekarang berpindah ke tangan militer yang dingin dan tanpa kompromi.