EtIndonesia. Setelah berakhirnya perundingan perdagangan AS-Tiongkok di London, Inggris, pada 10 Juni, kedua delegasi menyatakan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan prinsipil atas kerangka perdagangan, sebagai upaya menciptakan titik balik dari konflik ekonomi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kesepakatan “kerangka struktural” ini sejatinya belum memuat rincian nyata, perbedaan besar masih belum terselesaikan, dan lebih menyerupai konsesi simbolik daripada terobosan substansial—terutama dalam isu pelepasan ekspor logam tanah jarang dan pelonggaran blokade teknologi, yang menunjukkan adanya pertarungan strategis antara kedua negara.
Kesepakatan Perdagangan Memasuki Tahap Akhir: Trump Menyatakan Hanya Tinggal Persetujuan Pemimpin
Presiden AS, Donald Trump, pada 11 Juni, menyatakan bahwa kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok sudah selesai, hanya tinggal menunggu persetujuan terakhir dari kedua pemimpin negara. Dia menegaskan bahwa Tiongkok akan menyediakan seluruh kebutuhan logam tanah jarang bagi AS. Trump juga mengklaim bahwa AS akan mempertahankan tarif sebesar 55%, sementara Tiongkok hanya mendapatkan tarif sebesar 10%.
Trump menyebutkan bahwa AS juga akan memenuhi poin-poin tertentu yang disepakati bersama, termasuk memperbolehkan pelajar Tiongkok untuk tetap menempuh pendidikan di universitas-universitas AS.
Pertemuan London: Pertukaran Permukaan, Pertarungan Nyata
Pertemuan maraton yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, He Lifeng, digelar di Lancaster House, London, pada 9–10 Juni. Fokus utama pertemuan ini adalah tiga hal: ekspor logam tanah jarang, pelonggaran kontrol ekspor teknologi AS ke Tiongkok, serta tindak lanjut implementasi Perjanjian Jenewa sebelumnya.
Kedua pihak mengklaim telah sepakat untuk melonggarkan ekspor logam tanah jarang dan mencabut sebagian pembatasan ekspor AS, namun rincian tentang produk yang dicakup, jangkauan, dan cara pelaksanaan masih belum jelas. Lutnick menyebutkan bahwa kesepakatan ini dimaksudkan untuk melengkapi isi Perjanjian Jenewa yang dibuat pada bulan Mei, dan laporan telah diajukan ke Trump untuk persetujuan. Pihak Tiongkok juga akan melaporkan hasilnya kepada Presiden Xi Jinping.
Namun, sejumlah pengamat mencatat bahwa meski pernyataan kedua pihak terdengar positif, tidak ada satu pun daftar produk atau langkah pencabutan larangan yang dirinci secara konkret. Kantor berita resmi Xinhua menyebut pertemuan ini “profesional, rasional, mendalam, dan jujur,” namun istilah “jujur” sendiri sering kali menjadi kode diplomatik dari pihak Beijing untuk menandai perbedaan tajam yang belum terselesaikan.
Kendati pejabat dari kedua negara menekankan telah terbentuknya “kerangka kesepakatan,” namun ketidakjelasan dan ketidakpastian tetap membayangi. Perwakilan Dagang AS, Greer, mengatakan bahwa isi kesepakatan saat ini berfokus pada logam tanah jarang dan tarif, namun keputusan memperpanjang penangguhan tarif 90 hari yang disepakati di Jenewa masih menunggu evaluasi Presiden Trump.
Langkah Taktis, Bukan Solusi Permanen
Banyak analis menilai bahwa pertemuan ini lebih ditujukan untuk menenangkan pasar secara sementara, bukan menyelesaikan konflik secara mendalam. Seperti disampaikan oleh penasihat geopolitik Triolo: “Tiongkok telah mencicipi keuntungan dari isu logam tanah jarang dan tidak akan menyerah begitu saja.”
Kecuali AS bersedia mencabut lebih banyak pembatasan ekspor teknologi tinggi, Tiongkok kemungkinan besar akan terus menggunakan logam tanah jarang sebagai alat tawar-menawar.
Strategi Tiongkok: Tukar Logam Tanah Jarang dengan Teknologi?
Beijing tampaknya mencoba menggunakan pembukaan ekspor logam tanah jarang sebagai alat untuk menukar kelonggaran AS di bidang teknologi seperti alat desain semikonduktor, komponen pesawat, hingga bahan nuklir. Menurut informasi yang beredar, AS sedang mempertimbangkan pencabutan sebagian pembatasan ekspor untuk chip AI kelas bawah dan beberapa bahan kimia, namun chip AI canggih seperti Nvidia H20 masih akan tetap diblokir.
Namun, apakah strategi “melonggarkan yang kecil untuk melobi yang besar” ini akan berhasil, masih belum bisa dipastikan. Di dalam negeri AS sendiri, kekhawatiran terhadap kemajuan teknologi Tiongkok masih tinggi. Ditambah lagi, perbedaan pandangan antara lembaga intelijen, parlemen konservatif, dan Departemen Perdagangan soal pencabutan kontrol ekspor berpotensi membuat Trump menghadapi tekanan politik internal jika ia membuat kompromi terlalu dini.
Logam Tanah Jarang: Simbol Kompromi Ekonomi Tiongkok
Dalam perundingan ini, pelonggaran ekspor logam tanah jarang oleh pihak Tiongkok dipandang sebagai bentuk kompromi ekonomi terhadap AS. Tiongkok sangat menyadari peran strategis logam tanah jarang dalam industri teknologi modern. Dengan melepas sebagian kendali ekspor, Beijing ingin menunjukkan niat bekerja sama dan sedikit meredakan kekhawatiran negara-negara Barat terhadap tekanan ekonominya—sekaligus menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk negosiasi lanjutan.
Blokade Teknologi: Arena Pertarungan yang Sesungguhnya
Berbanding terbalik dengan pelonggaran logam tanah jarang, sikap AS terhadap blokade teknologi tetap keras. Tidak ada indikasi bahwa pembatasan atas ekspor teknologi tinggi, larangan entitas, maupun daftar hitam teknologi akan dilonggarkan. Ini menunjukkan bahwa dominasi teknologi tetap dianggap sebagai bagian dari strategi keamanan nasional dan kekuatan ekonomi AS.
Meski mungkin ada kesepakatan kecil di beberapa bidang, AS tidak akan begitu saja melepas upayanya menahan laju kebangkitan teknologi Tiongkok. Bidang seperti semikonduktor, kecerdasan buatan, dan komputasi kuantum dianggap sebagai poros pengaruh global AS ke depan. Maka dari itu, pertarungan di bidang teknologi dipastikan akan terus menjadi tema sentral dalam hubungan AS-Tiongkok ke depan.
Pasar Global: Tetap Waspada dan Menunggu
Reaksi pasar terhadap hasil pertemuan di London terbilang datar. Meskipun pernyataan resmi terdengar optimistis, kontrak berjangka S&P 500 nyaris tidak bereaksi, dan nilai tukar yuan maupun dolar Australia hanya menunjukkan fluktuasi ringan. Para analis berpendapat bahwa “iblis ada di dalam detail,” dan konsensus kerangka saat ini belum cukup kuat untuk mengubah arah.
Seorang analis dari National Australia Bank menyatakan: “Ini baru sekadar pernyataan politik tanpa kekuatan hukum. Tantangan nyata adalah membangun arsitektur ekonomi baru yang stabil.”
Strategis dari UBS pun mengingatkan bahwa pemulihan hubungan dagang global bisa saja hanya bersifat sementara, terutama dengan ketegangan yang masih tinggi dalam rantai pasok semikonduktor dan industri AI.
Kesepakatan Kerangka: Sekadar Penyangga, Bukan Solusi
Apa yang disebut “kerangka kesepakatan” dalam pertemuan London ini lebih menyerupai zona penyangga untuk meredakan ketegangan sementara, alih-alih menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Ini memberi kedua pihak ruang dialog, menghindari eskalasi konflik, namun tidak menyelesaikan krisis kepercayaan strategis maupun perbedaan ideologis yang mendalam. Kesepakatan ini mungkin mengatur prinsip-prinsip umum atau isu-isu kecil, tapi persoalan besar seperti defisit perdagangan, hak asasi manusia, dan perebutan dominasi geopolitik tetap menjadi batu sandungan utama.
Penutup: Sebuah Benturan yang Baru Dimulai
Secara keseluruhan, hasil pertemuan di London menggambarkan betapa kompleks dan rapuhnya hubungan AS-Tiongkok saat ini. Kedua belah pihak tampaknya ingin menghindari konflik langsung dan menunjukkan fleksibilitas diplomatik, namun perbedaan fundamental dalam kepentingan strategis dan ideologi menjadikan terobosan besar masih jauh dari harapan.
Pelepasan ekspor logam tanah jarang dan kelanjutan blokade teknologi mencerminkan pertukaran simbolik di permukaan, namun di baliknya berlangsung pertarungan geopolitik dua kekuatan besar. Masa depan hubungan AS-Tiongkok akan terus berayun antara kerja sama dan persaingan, dialog dan konfrontasi—dan penuh ketidakpastian.
Konflik yang Ditunda, Bukan Diselesaikan
Pertemuan London memang menunjukkan niat untuk menurunkan suhu ketegangan, namun kunci sebenarnya terletak pada apakah Trump dan Xi Jinping akan menyetujui kesepakatan samar ini dalam waktu dekat, dan apakah mereka bersedia berkompromi atas kepentingan nasional masing-masing.
Perang dagang AS-Tiongkok bisa jadi tengah “berhenti sementara” di atas kertas, tapi perdamaian sejati masih membutuhkan lebih banyak negosiasi, dan mungkin, lebih banyak konfrontasi. (jhn/yn)