EtIndonesia. Pada awal Mei 2024, badan intelijen Turki mengumumkan bahwa mereka telah menangkap 7 warga negara Tiongkok yang diduga terlibat dalam kegiatan mata-mata.
Menurut laporan media lokal, para tersangka tertangkap tangan membawa perangkat penangkap IMSI (International Mobile Subscriber Identity), sebuah alat yang bisa meniru menara sinyal palsu untuk menyadap ponsel di sekitar dan mengumpulkan data seperti riwayat panggilan, percakapan, hingga informasi penting lainnya. Target utama mereka adalah etnis Uighur asal Tiongkok yang melarikan diri ke Turki serta sejumlah pejabat setempat.
Para pejabat menyebut, ini adalah jaringan mata-mata paling canggih yang pernah ditemukan di Turki. Tidak seperti jaringan mata-mata profesional pada umumnya, kelompok ini tidak menggunakan agen intelijen terlatih, melainkan menyamarkan identitas mereka sebagai warga biasa dan menggunakan teknologi pengawasan canggih untuk melacak targetnya.
Beberapa anggota jaringan ini diketahui masuk ke Turki sejak Maret, sementara pemimpinnya—yang hanya diidentifikasi dengan inisial ZL—diketahui sudah tinggal di Turki sejak lima tahun lalu. Ia disebut telah melakukan berbagai persiapan awal, seperti mendirikan perusahaan ekspor-impor palsu dan mempelajari bahasa Turki.
Perangkat IMSI catcher ini bekerja dengan meniru sinyal dari menara komunikasi seluler legal. Ketika sebuah ponsel berada dalam jarak sekitar 50 meter dari “menara bayangan” ini, perangkat tersebut akan secara otomatis terkoneksi karena menganggapnya sebagai menara sinyal resmi.
Dilaporkan, semua data komunikasi yang disadap, termasuk detail percakapan dan koordinat lokasi, dikirim langsung ke seorang kontak di Tiongkok yang disebut sebagai “Bos Besar”.
Perangkat tersebut diselundupkan ke Turki secara terpisah: satu orang membawa antena, orang lain membawa baterai melalui penerbangan berbeda, sementara komponen lainnya dikirimkan secara terpisah oleh anggota lain.
Informasi intelijen menunjukkan bahwa kelompok ini juga menyasar pejabat pemerintah Turki, berusaha mengidentifikasi siapa saja yang berhubungan dengan komunitas Uighur atau organisasi terkait, serta mengumpulkan informasi sensitif lainnya.
ZL diyakini telah menjalani pelatihan spionase profesional, namun tidak demikian dengan anggotanya. Misalnya, seorang warga Tiongkok lainnya, ZYB, yang hanya lulusan sekolah dasar, bertugas mengemudikan mobil yang membawa perangkat dan sekadar menyalakan atau mematikan alat sesuai instruksi.
Ketujuh tersangka membantah terlibat dalam kelompok kriminal dan mengklaim tidak saling mengenal. Namun penyidik memiliki bukti bahwa mereka secara rutin mengadakan pertemuan dan tetap saling berkomunikasi.
Turki sendiri menjadi tempat tinggal bagi banyak pengungsi Uighur yang melarikan diri dari Tiongkok. Organisasi HAM sebelumnya telah menuduh pemerintah Tiongkok melakukan genosida terhadap etnis Uighur, termasuk menahan ratusan ribu orang di kamp-kamp re-edukasi di Xinjiang—klaim yang dibantah keras oleh Beijing.
Pada 2024 ini, Turki telah menangkap tujuh warga Tiongkok berlatar belakang Uighur dan menuduh mereka memata-matai komunitas Uighur lainnya. Para terdakwa mengaku terpaksa melakukan kegiatan itu karena keluarganya di Tiongkok diancam oleh intelijen Tiongkok.
Dugaan Spionase Tiongkok di Filipina Semakin Sulit Dipercaya
Pada 25 Januari, Biro Investigasi Nasional (NBI) Filipina menangkap lima warga Tiongkok di Puerto Princesa, ibu kota Provinsi Palawan. Dari ponsel dan perangkat mereka, penyidik menemukan banyak foto pelabuhan, kapal, bandara, serta pangkalan militer—mereka diduga kuat tengah mengumpulkan data intelijen secara ilegal.
Kelima orang ini tercatat sebagai anggota dari “Korps Relawan Tionghoa Filipina untuk Perdamaian dan Pembangunan” dan “Asosiasi Promosi Pembangunan Damai Tionghoa Filipina”—dua organisasi komunitas Tiongkok yang baru berkembang dalam dekade terakhir dan sebagian besar beranggotakan imigran Tiongkok baru.
Sejak 2020, senator sekaligus mantan perwira polisi Filipina, Panfilo Lacson, telah memperingatkan bahwa sekitar 2.000–3.000 tentara Tiongkok masuk ke Filipina dengan menyamar sebagai turis atau pekerja di industri kasino daring, menjalankan misi infiltrasi terselubung.
Kelima orang yang ditangkap sempat mengaku sebagai warga Taiwan, yang menimbulkan kekhawatiran besar di antara komunitas Taiwan di Filipina. Seorang warga Taiwan di Palawan mengungkapkan bahwa saat ini hanya ada belasan warga Taiwan di daerah tersebut, namun warga Tiongkok jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan, dan mengaku sebagai warga Taiwan sudah menjadi hal biasa di sana.
Pada 17 Januari, aparat Filipina juga menangkap seorang warga Tiongkok lain bernama Deng Yuanqing, lulusan Universitas Teknik Angkatan Darat Tiongkok. Deng dituduh terlibat spionase dan kedapatan membawa perangkat canggih yang diduga digunakan untuk memetakan fasilitas militer secara diam-diam.
Menurut Jeremy Lotoc dari Divisi Kejahatan Siber NBI, Deng adalah ahli teknik kontrol dan telah tinggal di Filipina selama lima tahun. Ia disebut telah “menyatu dengan masyarakat lokal”, sehingga dikategorikan sebagai agen tidur (sleeper agent).
Perangkat yang ditemukan pada kendaraan Deng mampu membuat peta 3D tanpa harus masuk ke dalam bangunan. Teknologinya menggunakan sistem GNSS RTK, biasa dipakai untuk pemetaan akurat, navigasi, penargetan artileri, hingga logistik militer. Melalui alat pelacak GPS tersembunyi di kendaraan para tersangka, otoritas Filipina berhasil memantau bahwa mereka sering berada di sekitar lokasi sensitif dan mengirim data secara real-time ke Tiongkok.
Menurut Panglima Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Romero Brawner Jr., target pengintaian Deng termasuk markas militer dan pangkalan Amerika Serikat di Filipina—data topografi lokasi itu bisa sangat berguna untuk tujuan militer Tiongkok.
The Wall Street Journal: Aktivitas Spionase Beijing Kini Mengerikan
Menurut laporan Chosun Ilbo (Korea Selatan), mantan Panglima Angkatan Darat AS untuk Komando Pasifik, Jenderal Charles Flynn, dalam forum tertutup di Korea menyatakan bahwa dari 325.000 mahasiswa pascasarjana asal Tiongkok di AS, lebih dari 10% dicurigai sebagai agen intelijen. Flynn menegaskan, kegiatan spionase semacam itu tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga menjalar ke Korea Selatan, Jepang, dan kawasan Asia Timur lainnya, menjadi ancaman serius bagi keamanan regional.
Pada 7 Juni 2023, polisi Seoul mengajukan seorang peneliti asal Tiongkok ke kejaksaan atas tuduhan mencuri teknologi robotik inti. Ia juga diketahui sebagai peserta dalam “Program Seribu Talenta” Tiongkok—program yang dikritik karena kerap digunakan untuk merekrut agen spionase industri atas nama penghargaan akademik.
Pada Oktober 2024, The Wall Street Journal menggambarkan operasi spionase Tiongkok sebagai sesuatu yang “tidak masuk akal” dan “menyeramkan”. Dalam satu bulan saja, FBI mengungkap jaringan spionase besar terkait Beijing yang menyerang hingga 260.000 perangkat jaringan, termasuk kamera pengawas dan router di AS, Inggris, Prancis, dan Rumania. Penyelidikan Kongres juga menemukan bahwa crane buatan Tiongkok di pelabuhan AS telah dipasangi teknologi backdoor untuk kontrol jarak jauh.
Gubernur Negara Bagian New York, Kathy Hochul, bahkan dikaitkan dengan kasus mantan staf keturunan Tiongkok yang diduga sebagai agen Beijing.
Pada bulan September, lima mahasiswa asal Tiongkok di Universitas Michigan tertangkap menyusup ke lokasi latihan militer Garda Nasional AS sambil memotret. Latihan itu kebetulan sedang melibatkan pasukan Taiwan.
FBI juga telah memperingatkan bahwa ratusan router di AS telah dibajak oleh Tiongkok untuk menyusup ke sistem suplai air dan energi. Banyak pihak khawatir bahwa jika AS sampai campur tangan atas Taiwan, serangan sabotase infrastruktur dari dalam negeri bisa terjadi lebih dahulu.
Agen Tiongkok: Nekat dan Tak Terduga
Pejabat intelijen Barat mengungkapkan bahwa agen Tiongkok sering kali bertindak di luar nalar, bahkan tidak takut tertangkap basah. Tidak seperti Rusia yang biasanya mengganti agen mereka jika tertangkap, Tiongkok justru membiarkannya. Hal lain yang membuat Tiongkok sulit ditangkal adalah fakta bahwa operasi intelijennya melibatkan banyak lembaga pemerintah dan perusahaan swasta, serta bersifat desentralisasi—menjadikannya hampir mustahil untuk disusupi. Selain itu, operasi mereka kerap tidak terkoordinasi secara rapi dan tidak sepenuhnya mengikuti strategi dari pejabat tinggi pusat. (jhon)
Sumber: secretchina.com