Home Blog Page 5

Ratusan Orang Mengajukan Surat kepada Hu Jintao untuk Menuntut Xi Jinping – Analis: Xi Tak Jauh dari Lengser

Di tengah kabar bahwa pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping, mulai kehilangan kekuasaan, sebanyak lebih dari 500 perwakilan warga pencari keadilan dari kampung halaman Xi di Provinsi Shaanxi, Tiongkok mengirimkan surat terbuka bersama kepada Hu Jintao dan Wang Yang, memicu perhatian luas. Beberapa analis menilai, tindakan ini yang langsung menyasar pensiunan pemimpin senior untuk menuntut Xi, menunjukkan bahwa Xi benar-benar menjadi “musuh rakyat” dan tak lama lagi akan jatuh dari kekuasaan

EtIndonesia. Pada 9 Juni, situs Weiquanwang menerbitkan surat berjudul “Surat Kolektif Perwakilan Warga Pencari Keadilan Provinsi Shaanxi kepada Mantan Pemimpin Nasional Hu Jintao dan Wang Yang”. Surat tersebut menyebutkan bahwa para penandatangan adalah 550 warga pejuang hak dari berbagai daerah di Shaanxi, yang sejak tahun 2013 telah memulai kampanye surat kolektif dan telah berlangsung lebih dari satu dekade.

Surat tersebut menuduh bahwa sejak Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan, ia kerap menyuarakan slogan seperti “memberantas mafia dan kejahatan”, “menegakkan hukum”, “tidak lupa tujuan awal, mengingat misi”, “menangkap harimau, memukul lalat”, dan sebagainya—semuanya hanya janji-janji kosong. Namun, dalam masa jabatannya yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, jumlah kasus ketidakadilan di Shaanxi justru melonjak seperti bola salju. 

Tak hanya itu, kantor-kantor penerimaan petisi di berbagai lembaga pusat justru secara terbuka melakukan penangkapan paksa terhadap pelapor, dengan manipulasi antara pejabat pusat dan lokal, menutup paksa banyak kasus, dan membuat korban tidak terhitung.

Dalam surat itu disebutkan, para pejabat korup di Shaanxi telah lama bertindak semena-mena dan semakin kejam dalam menindas warga pencari keadilan. Mereka memanfaatkan para pelapor untuk mengeruk dana stabilitas sosial (weiwen), lalu menggelapkan uangnya demi kepentingan pribadi, mengabaikan hukum, dan membiarkan rakyat hidup menderita. 

Dikatakan pula, jika Partai Komunis Tiongkok (PKT) memang memiliki sistem petisi, dan pemerintah di semua tingkatan telah membentuk kantor layanan pengaduan, mengapa rakyat yang mencari keadilan justru dianggap seperti berjalan ke liang kubur? Mengapa mereka justru menjadi sasaran represif dari pemerintah lokal?

Surat itu juga menyebutkan bahwa antara Mei 2014 hingga Juli 2018, Xi Jinping enam kali mengeluarkan perintah pembongkaran vila ilegal di Pegunungan Qinling, tetapi tidak dilaksanakan. Akhirnya, ia marah dan mengutus Wakil Sekretaris Komisi Disiplin Pusat, Xu Lingyi, untuk memimpin pembongkaran beberapa vila tersebut. Namun, menurut rumor, Xi begitu gigih dalam membongkar vila-vila ini bukan karena peduli rakyat, melainkan karena bangunan itu dianggap mengganggu “garis naga” (feng shui) miliknya.

Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa mereka mendengar para pemimpin pusat saat ini berniat mengoreksi garis politik ekstrem kiri seseorang dan berencana mempromosikan sistem reformasi pengawasan demokratis. Warga Shaanxi menyatakan dukungan penuh terhadap hal ini dan memohon agar Hu Jintao dan Wang Yang menjadikan Provinsi Shaanxi sebagai proyek percontohan untuk reformasi sistem pengawasan demokratis, agar bisa menjadi peringatan bagi pejabat lain.

Seorang informan bernama Zhao mengatakan kepada NTD bahwa lebih dari 500 kasus ketidakadilan ini hanyalah puncak gunung es. “Tiongkok bukanlah negara hukum, melainkan negara kekuasaan, otokrasi, dan kediktatoran satu partai. Kita harus terus berjuang; kemajuan masyarakat tidak mungkin terjadi hanya karena satu individu.”

Terkait kejadian ini, komentator politik Yue Shan menulis di Epoch Times pada 13 Juni bahwa saat ini Xi Jinping kehilangan banyak kekuasaan, dan kabar akan segera diumumkannya pengunduran diri semakin menguat. Di kampung halamannya sendiri, warga berani secara terbuka mengajukan surat bersama kepada mantan pemimpin untuk menuduh Xi melakukan “pemberantasan korupsi palsu” dan “omong kosong soal supremasi hukum”, serta melaksanakan jalur politik kiri ekstrem yang menyebabkan banyak kasus ketidakadilan. Yue menyebut kejadian ini sangat sensitif dan layak dicermati.

Epoch Times juga mengutip informasi dari orang dalam yang menyatakan bahwa sejak April tahun lalu, Xi sudah mulai kehilangan kekuasaan. Meskipun secara formal masih menjabat, pada kenyataannya kekuasaannya sudah tidak utuh lagi. Tokoh seperti Wen Jiabao dan Zhang Youxia kini menjadi figur kunci dalam menentukan arah politik Tiongkok. Xi sekarang hanya menjalankan peran simbolik, mengikuti arahan apa pun yang diberikan kepadanya.

Yue Shan menyatakan bahwa selama ini warga pencari keadilan di seluruh Tiongkok telah mengajukan surat dan petisi berkali-kali, namun surat terbuka dari warga Shaanxi kali ini berbeda karena langsung ditujukan kepada para pensiunan pemimpin—sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Tindakan berani ini diduga terjadi karena konflik internal elite partai yang sudah mulai bocor ke masyarakat, dan desas-desus tentang perubahan rezim telah menyebar luas. Respons rakyat yang berani ini menunjukkan adanya dorongan kuat untuk perubahan, dan Xi kini menjadi sasaran kemarahan publik.

Yue juga menegaskan bahwa dalam sejarah, setiap kali terjadi perubahan rezim besar seperti jatuhnya “Kelompok Empat” (Gang of Four), selalu diawali dengan desas-desus yang menyebar luas. Kini, rumor-rumor serupa sudah mengakar di kalangan pejabat maupun masyarakat. Terlebih lagi, fakta bahwa warga di kampung halaman Xi sendiri berani mengajukan tuntutan terhadapnya, menandakan bahwa Xi benar-benar menjadi “musuh rakyat”, dan hari-hari kekuasaannya tinggal menghitung waktu.

Yue Shan menambahkan bahwa banyak orang sadar bahwa perubahan sejati di Tiongkok tidak akan terjadi hanya dengan reformasi ekonomi atau mengganti satu tokoh seperti Xi dan kelompoknya. Selama Tiongkok masih terbelenggu dalam sistem komunis, siapa pun yang memimpin tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah mendasar negara ini. (Hui/asr)

Sumber : NTDTV.com 

Israel dan Iran Saling Serang, Trump Desak Iran Teken Perjanjian Nuklir

EtIndonesia. Pada Jumat (13 Juni) dini hari, Israel melancarkan serangan udara intensif terhadap Iran. Ini merupakan salah satu serangan militer terbesar yang dialami Iran sejak Perang Iran-Irak pada 1980-an. Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menyerukan agar Iran segera menyepakati perjanjian nuklir.

 “Pada hari Jumat, Presiden AS Donald Trump dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa beberapa pejabat Iran yang sebelumnya terlibat dalam negosiasi nuklir dengannya telah tewas dalam serangan udara Israel kali ini. Presiden Trump memperingatkan Iran bahwa mereka harus menyepakati perjanjian nuklir sebelum ‘tidak memiliki apa-apa’, jika tidak, serangan Israel akan semakin dahsyat,” demikian laporan dari koresponden Gedung Putih, Tao Ming.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa perintah serangan terhadap fasilitas nuklir Iran sebenarnya telah ditandatangani sejak November tahun lalu, dan bukan keputusan mendadak. Ia juga menyebut bahwa Amerika Serikat telah diberitahukan  sebelumnya.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu:  “Faktanya, ini adalah instruksi yang saya keluarkan kepada pejabat keamanan tinggi enam bulan lalu, yakni pada November 2024. Saya bahkan membawa dokumen tersebut—isinya adalah perintah untuk menghapus program nuklir Iran. Instruksi ini dikeluarkan tidak lama setelah pembunuhan Hassan Nasrallah.”

Militer Israel melaporkan bahwa Iran telah meluncurkan puluhan rudal, dan memerintahkan seluruh warga negaranya untuk masuk ke tempat perlindungan anti serangan udara.

Juru bicara militer Israel, Effie Dverin:  “Rezim Iran telah secara jelas menyatakan tujuannya untuk menghancurkan Israel. Kami tidak akan duduk diam menunggu niat itu berubah menjadi tindakan nyata.”

Iran pun segera melancarkan serangan balasan. Pada malam itu, sirine serangan udara terdengar di berbagai wilayah Israel, termasuk Yerusalem dan Tel Aviv. Suara ledakan bergema di sejumlah lokasi, dan siaran televisi menunjukkan asap tebal membubung. Saat ini, belum ada laporan korban jiwa yang jelas.

Setelah serangan Israel ke Iran, perwakilan sementara Amerika Serikat di Irak bertemu dengan Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia’ al-Sudani. PM Irak mengecam tindakan Israel sebagai pelanggaran hukum internasional, dan menyatakan keprihatinan bahwa Israel kemungkinan menggunakan wilayah udara Irak dalam serangannya. Pihak AS menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam aksi tersebut dan menekankan bahwa mereka tidak ingin Irak terseret ke dalam konflik.

 “Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menegaskan bahwa Amerika tidak ikut serta dalam serangan tersebut, namun pejabat Gedung Putih mengungkapkan bahwa Presiden Trump telah beberapa kali melakukan percakapan telepon dengan Perdana Menteri Netanyahu untuk membahas latar belakang aksi tersebut,” demikian laporan reporter NTD.

“Gedung Putih menyatakan bahwa AS tetap berkomitmen menyelesaikan masalah nuklir Iran melalui jalur diplomatik. Namun, diketahui bahwa Iran kini menolak untuk mengikuti putaran keenam perundingan nuklir yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung hari Minggu dengan Amerika Serikat. Langkah mediasi selanjutnya masih belum jelas,” lanjutnya. (hui)

Laporan dari NTDTV, wartawan Tao Ming dan Yi Xin, dari Washington, AS.

Serangan Udara Israel ke Iran,  20 Komandan Tinggi Militer Iran Tewas

EtIndonesia. Israel melancarkan serangan udara semalaman ke Iran pada Jumat, 13 Juni malam waktu setempat. Serangan tersebut menghancurkan sejumlah fasilitas militer. Setidaknya 20 komandan tinggi Iran dilaporkan tewas.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan pada malam 13 Juni bahwa, “Sistem komando tinggi Angkatan Udara Garda Revolusi Iran terdeteksi telah berkumpul di pusat komando bawah tanah, bersiap melancarkan serangan terhadap Israel. Sebagai bagian dari serangan gabungan, jet tempur Angkatan Udara Israel menyerang pusat komando tersebut.”

Serangan itu dilaporkan menewaskan beberapa tokoh penting, termasuk:

  • Amir Ali Hajizadeh, kepala program misil Iran,
  • Taher Pour:   komandan unit drone Angkatan Udara Iran,
  • dan Davoud Shehian, kepala komando udara Angkatan Udara Iran.

Televisi nasional Iran mengakui kebenaran kabar ini pada 13 Juni sore.

Menurut laporan Reuters, dua sumber dari kawasan Timur Tengah menyebutkan bahwa setidaknya 20 komandan tinggi Iran tewas dalam serangan udara ini, termasuk:

  • Mayor Jenderal Mohammad Bagheri, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran,
  • dan Hossein Salami, Komandan Garda Revolusi Iran.

Mohammad Hagh-e-Ali dari Carnegie Middle East Center di Beirut menyatakan: “Ini adalah serangan besar-besaran — tokoh penting, pemimpin penting. Ini menimbulkan kerusakan besar terhadap kepemimpinan militer Iran dan program rudal balistiknya. Belum pernah terjadi sebelumnya.”

Ia menambahkan bahwa Iran kemungkinan tidak mampu membalas serangan dengan kekuatan setara, karena sejak serangan Hamas yang memicu perang Gaza, kemampuan misil dan jaringan militer Iran di kawasan telah sangat dilemahkan oleh Israel.

Menurut kantor berita resmi Iran (IRNA), pada 13 Juni, Iran telah menembakkan ratusan rudal balistik ke arah Israel.

Namun, militer Israel menyatakan bahwa jumlah rudal itu kurang dari 100 unit, dan sebagian besar berhasil dicegat atau gagal mencapai target, serta belum ada laporan korban jiwa.

Seorang pejabat senior kawasan yang dekat dengan otoritas Iran mengatakan bahwa serangan Israel telah mengguncang inti kepemimpinan Iran.

“Ketakutan menyelimuti para pemimpin,” katanya. “Kepanikan meluas, bukan hanya karena ancaman luar, tetapi juga karena cengkeraman mereka atas kekuasaan di dalam negeri semakin melemah,” ujarnya.

Seorang mantan pejabat Iran yang moderat menyatakan bahwa: “Serangan ini bisa jadi awal dari kehancuran. Jika terjadi protes besar di dalam negeri dan pemerintah menindas rakyat, itu hanya akan memperburuk keadaan.”

Ia juga menekankan bahwa sanksi internasional, inflasi, dan represi terhadap pihak oposisi telah memicu kemarahan publik Iran yang telah terpendam selama bertahun-tahun.

Sesaat setelah serangan itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pidato melalui video. Ia mengatakan bahwa dirinya berharap terjadi pergantian rezim di Iran, dan menyampaikan pesan kepada rakyat Iran:

“Perjuangan kami bukan melawan kalian, melainkan melawan rezim diktator brutal yang telah menindas kalian selama 46 tahun. Saya percaya hari pembebasan kalian sudah semakin dekat.” (Hui)

Sumber : NTDTV.com

Kecelakaan Pesawat Air India: Kisah Wanita yang Lolos dari Maut Karena Terlambat 10 Menit dan Pria yang Selamat Meluncur Keluar dari Pesawat

EtIndonesia. Seorang wanita India selamat dari kecelakaan mematikan pesawat Air India karena terlambat 10 menit. Ia gagal  naik ke pesawat yang jatuh saat dalam perjalanan ke London. Sementara itu, satu-satunya korban selamat dari pesawat menceritakan bagaimana ia lolos secara ajaib dari bola api setelah pesawat jatuh — sebuah kejadian yang bahkan tidak dapat ia jelaskan sendiri.

Wanita Terlambat dan Selamat dari Maut

Wanita tersebut bernama Bhumi Chouhan, dalam wawancara dengan India Today ia mengatakan bahwa ia terlambat karena terjebak macet di jalan.

“Penerbangan dijadwalkan berangkat pukul 13:10. Saya harus tiba satu jam sebelumnya untuk check-in, tetapi saya terjebak macet. Saat saya sampai di bandara, proses boarding sudah ditutup,” katanya.

Chouhan mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk bertemu suaminya di London. Awalnya ia merasa sangat sedih karena ketinggalan pesawat.

“Tapi saat saya sampai di rumah, saya mendapati bahwa pesawat yang seharusnya saya naiki ternyata mengalami kecelakaan.”

“Saya merasa sangat beruntung, seolah-olah mendapat kehidupan kedua. Namun, saya sangat terkejut karena tragedi ini telah merenggut begitu banyak nyawa tak bersalah,” katanya. 

Kisah Satu-satunya Korban Selamat: “Saya Keluar dari Bola Api”

Satu-satunya korban selamat adalah Vishwash Kumar Ramesh, yang kini sedang dirawat di rumah sakit. Pada 13 Juni, Perdana Menteri India mengunjungi lokasi kejadian dan juga menjenguk para korban luka.

Menurut media India, Ramesh duduk di kursi 11A dalam penerbangan tersebut. Sebuah video di media sosial memperlihatkan ia berjalan pincang keluar dari lokasi kejadian menuju ambulans, dengan kaos yang berlumuran darah.

Dalam wawancara dari tempat tidur rumah sakit dengan stasiun televisi DD News India, Ramesh berkata: “Semua terjadi tepat di depan mata saya. Saya bahkan tidak percaya saya bisa keluar hidup-hidup dari bencana ini.”

Ia menceritakan bahwa: “Sekitar satu menit setelah lepas landas, terasa seperti ada sesuatu yang macet… Saya sadar ada yang salah. Kemudian lampu hijau dan putih di dalam kabin menyala mendadak, lalu pesawat seolah mempercepat dan mengarah langsung ke sebuah asrama rumah sakit. Saya melihat semuanya dengan sangat jelas sebelum pesawat jatuh.”

“Awalnya saya pikir saya akan mati, tapi saat membuka mata, saya masih hidup. Saya melihat pramugari dan para penumpang lain, yang saya panggil paman dan bibi sesuai kebiasaan kami.” (Ramesh mulai terisak ketika berbicara.)

Ia melanjutkan: “Saya melepas sabuk pengaman dan mencoba melarikan diri. Saya berhasil. Saya rasa sisi tempat duduk saya tidak menghadap langsung ke gedung yang dihantam. Tempat saya mendarat lebih dekat ke tanah dan ada ruang kosong. Saat pintu di dekat saya terbuka karena benturan, saya melihat ada celah dan mencoba meluncur keluar.”

“Tangan kiri saya sedikit terbakar karena api, tetapi ambulans segera membawa saya ke rumah sakit. Di sini saya dirawat dengan sangat baik.”

Di kanal YouTube pribadi Ramesh, terdapat video saat Perdana Menteri Narendra Modi mengunjunginya di rumah sakit.

Menurut kantor berita Inggris Press Association, Ramesh tinggal di kota Leicester, Inggris. Saat wartawan mewawancarai keluarganya, mereka menyatakan bahwa salah satu saudara Ramesh juga berada dalam penerbangan nahas tersebut.

13 Juni 2025 – Ahmedabad, India, Pesawat Boeing 787-8 Dreamliner milik Air India jatuh tak lama setelah lepas landas menuju London, menabrak kawasan permukiman dan berubah menjadi bola api raksasa.

Di dalam pesawat terdapat 242 orang, termasuk awak dan penumpang. Seluruhnya tewas kecuali seorang pria dan setidaknya 24 orang di darat juga meninggal dunia akibat terkena dampak kecelakaan. (Hui)

Sumber : NTDTV.com

Korban Selamat Kecelakaan Air India Ceritakan Pengalamannya : Peralatan Pesawat Rusak Sebelum Jatuh

Pada Kamis (12 Juni), terjadi kecelakaan tragis pesawat Air India. Dari 242 orang di dalam pesawat, hanya seorang pria yang berhasil selamat secara ajaib, sementara 241 orang lainnya tewas. Pria yang selamat ini menceritakan pengalamannya saat melarikan diri, serta detik-detik mengerikan sebelum pesawat jatuh. Selain itu, penumpang lain yang pernah menaiki pesawat yang sama mengungkap bahwa sekitar dua jam sebelum kecelakaan, beberapa fasilitas di dalam pesawat telah mengalami kerusakan. Saat ini, salah satu kotak hitam pesawat telah ditemukan.

EtIndonesia. Tampak dalam video, seorang pria berjalan pincang sambil berbicara dengan orang-orang di sekitarnya. Ia adalah satu-satunya korban selamat dari kecelakaan mematikan pesawat Air India, dan hanya mengalami luka ringan—hal yang membuat banyak orang merasa ini sungguh luar biasa.

Vishwash Kumar Ramesh, korban selamat kecelakaan Air India:  “Semua terjadi tepat di depan mata saya. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana saya bisa selamat.”

Setelah pesawat jatuh, Vishwash Kumar Ramesh menyadari bahwa dirinya masih hidup, namun ia juga melihat bahwa tidak ada kehidupan di sekelilingnya. Ia duduk di kursi 11A, yang berada di dekat pintu darurat. Lokasi duduk ini memungkinkan dia melarikan diri melalui celah di pintu darurat.

Ia juga mengingat dengan jelas detik-detik mengerikan sebelum pesawat jatuh: “Kurang dari satu menit setelah lepas landas, saya merasa pesawat seperti berhenti di udara selama 5 hingga 10 detik. Lampu hijau dan putih di kabin menyala. Saya bisa merasakan dorongan mesin meningkat, tapi pesawat malah menabrak gedung dengan kecepatan tinggi.”

Kecelakaan ini mengakibatkan seluruh penumpang dan awak kecuali Ramesh tewas, dan karena pesawat jatuh menabrak asrama sekolah kedokteran, puluhan orang di darat juga menjadi korban luka atau meninggal.

Keluarga korban:  “Tolong izinkan saya melihat saudara laki-laki saya untuk terakhir kalinya.”

Keluarga korban yang mendengar kabar duka segera mendatangi lokasi kecelakaan. Seorang pria bernama Sheikh kehilangan empat anggota keluarganya, termasuk keponakannya sekeluarga.

Pada Jumat (13 Juni), Perdana Menteri India Narendra Modi mengunjungi rumah sakit untuk menjenguk korban luka. Ia juga mengunjungi lokasi kecelakaan dan mendengarkan laporan perkembangan proses penyelamatan.

Pihak kepolisian mengkonfirmasi bahwa kotak hitam di bagian ekor pesawat telah ditemukan, namun kotak hitam dari kokpit masih dalam pencarian.

Para pakar penerbangan yang meninjau video sebelum kecelakaan menemukan bahwa saat pesawat lepas landas, flap sayap (alat bantu angkat) tampaknya tidak diaktifkan dan roda pendarat tidak ditarik, sesuatu yang sangat tidak normal. Dilaporkan pula bahwa kapten sempat mengirim sinyal putus asa kepada menara kontrol.

Penumpang lain yang sebelumnya pernah menaiki pesawat yang sama mengungkap bahwa sekitar dua jam sebelum kecelakaan, beberapa perangkat penting di pesawat tidak berfungsi:

Seorang penumpang:  “AC-nya benar-benar tidak berfungsi, layar TV di kursi juga tidak menyala, bahkan tombol untuk memanggil awak kabin pun tidak bisa dipakai. Semuanya tidak berfungsi.”

Namun, menurut Menteri Transportasi AS Sean Duffy dan Pelaksana Tugas Kepala FAA (Administrasi Penerbangan Federal) Chris Rocheleau, belum ada alasan untuk mengandangkan semua pesawat Boeing 787. Mereka menyatakan bahwa penyebab pasti kecelakaan masih harus diselidiki lebih lanjut.

Chris Rocheleau, Pelaksana Tugas Kepala FAA:  “Kami telah membentuk tim ahli dan sedang bekerja sama dengan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) dan otoritas India untuk menyelidiki kecelakaan ini.”

Pada hari yang sama (Jumat), pesawat Air India AI 379 yang sedang dalam perjalanan dari Phuket ke New Delhi, menerima ancaman bom di tengah penerbangan dan terpaksa kembali ke Bandara Phuket secara darurat. Semua 156 penumpang dievakuasi dengan aman. (Hui)

Laporan disusun oleh reporter Yi Jing dari NTDTV

(Edisi Khusus): Serangan Besar Israel ke Iran 13 Juni 2025 — “Rising Sword” Mengguncang Timur Tengah

Etindonesia. Pada 13 Juni 2025 pagi waktu setempat, dunia dikejutkan oleh serangan militer besar-besaran yang dilancarkan Israel ke jantung Iran. Operasi militer ini diberi sandi “Rising Sword” atau “Pedang yang Bangkit”, menjadi tonggak baru dalam konflik panjang antara kedua negara. Tidak hanya skala serangannya yang masif, tetapi juga efek domino yang ditimbulkannya—bukan hanya bagi Iran, namun juga bagi seluruh kawasan Timur Tengah, dan bahkan politik global.

Detail Serangan: Presisi Tinggi, Target Vital Iran Dihancurkan

Operasi “Pedang yang Bangkit” merupakan puncak dari strategi militer Israel yang dikenal dengan prinsip “cepat, tepat, dan mematikan”. 

Dalam semalam, Israel mengerahkan lebih dari 200 pesawat tempur dan armada drone ke wilayah Iran, langsung menyasar fasilitas nuklir utama serta pimpinan tertinggi militer Iran. Salah satu target utama, fasilitas pengayaan uranium Natanz, dilaporkan hancur total akibat bom penembus bunker.

Target “Pemusnahan Kepala”: Pimpinan Militer dan Ilmuwan Nuklir Dilumpuhkan

Lebih dari itu, Israel berhasil melakukan “targeted decapitation” atau pemusnahan terarah terhadap sejumlah tokoh militer paling berpengaruh di Iran:

  • Jenderal Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
  • Hossein Salami – Komandan Tertinggi Garda Revolusi Islam (IRGC)
  • Gholam Ali Rashid – Wakil Kepala Staf dan Komandan Komando Pusat

Tidak berhenti di situ, setidaknya enam ilmuwan nuklir penting Iran turut tewas dalam serangan presisi ini. Bagi militer dan industri nuklir Iran, aksi ini ibarat “mati otak” secara seketika—sebuah pukulan telak yang melumpuhkan struktur komando mereka.

Teknologi dan Taktik: Integrasi Intelijen dan Serangan Multi-Lapis

Keberhasilan operasi ini bukan tanpa perencanaan matang. Beberapa tahun terakhir, badan intelijen Israel, Mossad, sudah menanamkan banyak jaringan dan melakukan operasi rahasia di Iran—melemahkan sistem pertahanan udara dan rudal strategis. Bahkan, sebelum operasi dimulai, agen Mossad telah menyelundupkan dan memasang sistem serangan drone di titik-titik vital dekat pertahanan rudal Iran.

Setelah jet-jet tempur Israel berangkat menempuh ribuan kilometer menuju Iran, drone-drone serang yang telah dipersiapkan sebelumnya bergerak serempak menghancurkan peluncur rudal darat-ke-udara dan silo rudal balistik utama Iran. Akibatnya, sistem pertahanan udara Iran lumpuh dan tidak mampu memberikan perlawanan berarti.

Serangan Udara Bergelombang: F-35, F-15, dan F-16 Banjiri Langit Iran

Serangan dimulai dengan F-35 sebagai garda terdepan, menghancurkan instalasi radar dan pertahanan udara di wilayah barat Iran. Gelombang berikutnya, puluhan F-15 dan F-16 didukung pesawat tanker pengisi bahan bakar, menembus lebih dalam ke jantung Iran. Sasarannya jelas: pemusnahan kepala komando militer, pakar nuklir, fasilitas pengayaan uranium bawah tanah, serta gudang rudal strategis.

Menurut pihak militer Israel, jet-jet tempur mereka menempuh lebih dari 1.500 kilometer dalam sekali serang—sebuah prestasi luar biasa yang memperlihatkan kekuatan logistik dan kemampuan tempur Israel yang selama ini hanya jadi spekulasi.

Efek Langsung: Seluruh Komando Militer Iran Lumpuh

Serangan ini juga disertai rekaman radar dan video yang viral di media sosial, menampilkan kilatan ledakan dan serbuan bom di berbagai lokasi strategis Iran. Bahkan, bom presisi yang digunakan bisa menembus dinding apartemen dan meledak tepat di kamar tidur target, tanpa menghancurkan struktur bangunan lain.

Dalam hitungan jam, seluruh jajaran pimpinan militer dan ilmuwan utama Iran tumbang. Sekitar 100 target strategis Iran hancur, termasuk fasilitas Natanz yang kini mengalami kebocoran radiasi, serta pabrik air berat Arak yang sangat penting untuk produksi plutonium.

Analisis Motif: Mengapa Israel Bergerak Sekarang?

Permusuhan Israel-Iran memang sudah berlangsung puluhan tahun. Namun, eskalasi besar-besaran kali ini berakar pada ancaman eksistensial: Israel merasa kelangsungan negaranya benar-benar terancam oleh program nuklir Iran.

Pernyataan Perdana Menteri Israel

Dalam pidatonya, Benjamin Netanyahu menegaskan:

“Selama puluhan tahun, rezim di Teheran secara terang-terangan mengancam akan memusnahkan Israel. Kini mereka hampir memiliki uranium berkadar tinggi yang cukup untuk membuat sembilan bom nuklir. Jika ini tidak dihentikan, maka hanya dalam beberapa bulan—atau bahkan minggu—Iran akan menjadi negara nuklir.”

Pernyataan ini didukung data dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang mencatat bahwa jumlah uranium Iran yang diperkaya hingga 60% melonjak drastis dalam tiga bulan terakhir—cukup untuk membuat beberapa bom nuklir dalam waktu singkat.

Faktor Amerika Serikat: Peran Kunci dalam Bayangan

Ada fakta menarik terkait waktu serangan ini. Pada 12 April 2025, Presiden AS Donald Trump memberi Iran ultimatum 60 hari untuk menandatangani perjanjian nuklir baru. Tenggat itu berakhir persis sehari sebelum Israel menyerang—menunjukkan adanya koordinasi atau setidaknya restu tidak langsung dari Amerika.

Tak lama setelah serangan, Trump menulis di media sosial:

“Saya telah berikan Iran kesempatan berkali-kali. Mereka tak memanfaatkannya. Sekarang mereka tahu konsekuensinya. Serangan berikutnya akan lebih kejam. Iran harus segera menandatangani perjanjian sebelum semuanya hilang.”

Respons Iran: Balas Dendam atau Kebingungan?

Meskipun Iran secara simbolis mengibarkan bendera merah di Masjid Jamkaran—tanda seruan jihad dan balas dendam—kenyataannya, hingga setengah hari setelah serangan, Iran belum mampu melakukan serangan balasan berarti. Semua drone yang diluncurkan Iran untuk membalas Israel berhasil dihancurkan sebelum mencapai sasaran. Kondisi komando militer Iran disebut-sebut dalam keadaan lumpuh dan syok.

Uniknya, di jalan-jalan Teheran, mulai bermunculan poster bertuliskan “Israel, pukul mereka! Rakyat Iran mendukungmu”—pertanda bahwa sebagian masyarakat Iran sebenarnya sudah muak dengan rezim Khamenei dan Garda Revolusi.

Dampak Politik Domestik dan Kawasan: Potensi Perubahan Besar

Sejak Revolusi 1979, kekuatan Iran bersandar pada kolaborasi erat antara militer dan agama. Namun, sanksi ekonomi internasional yang berat serta ketimpangan sosial internal telah melahirkan kebencian rakyat kepada rezim. Kini, momentum pasca-serangan Israel ini dimanfaatkan oleh Putra Mahkota Riza Pahlavi, yang menyerukan agar aparat keamanan dan militer Iran berbalik mendukung rakyat.

Di sisi lain, Arab Saudi melalui Putra Mahkota Mohammad bin Salman, menegaskan bahwa Iran sedang membangun “rencana Hitler baru” untuk kawasan Timur Tengah. Dukungan tidak langsung ini menandakan isolasi Iran di antara negara-negara tetangga makin nyata.

Perkembangan Terkini: Titik Balik Sejarah Timur Tengah

Serangan ini bukan hanya memporakporandakan infrastruktur militer dan nuklir Iran, tapi juga mengguncang fondasi politik di kawasan. Laporan terbaru menyebutkan, Israel meluncurkan serangan roket tambahan ke kediaman Ali Khamenei. Sementara itu, kebocoran radiasi di fasilitas Natanz telah dilaporkan ke lembaga internasional, menimbulkan ancaman baru bagi kesehatan dan lingkungan.

Militer Iran akhirnya merespons dengan meluncurkan rudal balistik ke wilayah Israel, bahkan dilaporkan menghantam sebagian kota Tel Aviv. Namun, Israel tetap memegang inisiatif dan telah mengeluarkan ultimatum terakhir: Iran harus menyerah tanpa syarat, atau perang habis-habisan akan berlanjut.

Penutup: Menuju Masa Depan yang Tak Pasti

Aksi Israel pada 13 Juni 2025 menjadi momen penentu dalam sejarah konflik Timur Tengah. Dalam satu malam, kekuatan militer Iran dilumpuhkan, rezim Khamenei kehilangan taring, dan peta politik kawasan berubah drastis. Perang besar masih mungkin terjadi—dan dunia kini menahan napas menunggu babak selanjutnya dari konfrontasi dua musuh bebuyutan ini. (***)

Pakar Pengendali Nyamuk: Dua Trik Sederhana Ini Bisa Usir Nyamuk

EtIndonesia. Saat musim panas dan melakukan aktivitas di luar ruangan, tidak ada yang lebih mengganggu daripada diserang nyamuk. Obat nyamuk yang dijual di toko memang efektif untuk menjauhkan nyamuk, namun seringkali mengandung bahan kimia yang menyengat dan harganya tidak murah. 

Seorang pakar pengendali nyamuk mengungkapkan bahwa Anda dapat membuat sendiri obat pengusir nyamuk di rumah dengan bahan yang sederhana dan terjangkau.

Shannon Harlow-Ellis, pakar teknis dari perusahaan pembasmi serangga, mengatakan kepada situs Martha Stewart bahwa kunci menghindari nyamuk bukanlah dengan mengusir mereka, melainkan dengan mencegah mereka tertarik kepada Anda sejak awal.

Ia menjelaskan bahwa minyak esensial (essential oil) dapat menutupi bau tubuh yang menarik perhatian nyamuk. “Keringat, bau badan, karbon dioksida, bahkan golongan darah Anda bisa mengeluarkan aroma yang menarik nyamuk,” katanya.

Minyak esensial yang disarankan:

  • Eukaliptus
  • Lavender
  • Kayu manis
  • Thyme
  • Tea tree
  • Rosemary
  • Chamomile
  • Peppermint
  • Kayu cedar
  • Serai (citronella)

Selain itu, nyamuk juga tidak menyukai bau cuka. Maka dari itu, jika mereka mencium bau cuka, mereka cenderung menjauh.

Cara membuat obat nyamuk sendiri:

Harlow-Ellis menyarankan untuk mencampur minyak esensial dengan cuka atau minyak kelapa, lalu memasukkannya ke dalam botol semprot dan digunakan sebelum keluar rumah. Anda bahkan bisa mengkreasikan aroma khas Anda sendiri dari campuran minyak esensial pilihan.

1. Minyak kelapa + Peppermint (paling efektif)

Campurkan:

  • 1/3 cangkir minyak kelapa
  • 15 tetes minyak peppermint

Masukkan ke dalam wadah.

“Dalam suhu ruang, campuran ini cair, tapi jika dimasukkan ke kulkas akan mengeras,” kata Harlow-Ellis.
“Di cuaca panas, Anda bisa mengoleskannya ke kulit—cara menyegarkan untuk mengusir nyamuk.”

2. Cuka apel + minyak esensial

Campurkan:

  • 1/4 cangkir cuka apel
  • 1/4 cangkir air
  • 40 tetes minyak rosemary (atau lavender jika tidak suka rosemary)

Kocok dalam botol semprot sebelum digunakan.

Berapa lama efektivitas obat nyamuk buatan sendiri?

Begitu aroma minyak esensial menghilang, efek pengusir nyamuknya juga akan hilang. Maka dari itu, disarankan untuk menyemprot ulang secara berkala, apalagi saat berkemah atau berada di tempat lembab dan banyak nyamuk.

Tips: Buat dalam jumlah kecil tapi sering, agar campuran tetap segar dan tidak kehilangan khasiatnya sebelum digunakan.

Laporan oleh Jin Jing | Editor: Lin Qing – NTDTV.com 

Operasi Spionase dan Represi Transnasional PKT Menghadapi Penumpasan Amerika Serikat

 oleh Hui Huyu

Baru-baru ini, Kementerian Kehakiman AS mendakwa 2 orang mata-mata senior asal Tiongkok dan menunjukkan bahwa Xi Jinping adalah dalang di balik layar kegiatan spionase Partai Komunis Tiongkok (PKT). Ini merupakan sikap keras yang ditunjukkan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam menghadapi penindasan transnasional Partai Komunis Tiongkok. Pada saat yang sama, Negara Bagian Texas mengesahkan “Undang-Undang Anti-Penindasan Transnasional” (Transnational Repression Act), yang menjadikan kegiatan ilegal transnasional PKT sebagai tindak pidana berat. Rangkaian tindakan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat bekerja sama dengan lembaga peradilan dan perundang-undangan untuk secara tegas mengekang jaringan penindasan transnasional global PKT.

Kehakiman AS Mendakwa Mata-Mata PKT, Mengungkap Kebenaran Represi Transnasional 

Pada 31 Mei 2025, Kementerian Kehakiman AS mengumumkan bahwa juri agung federal telah mendakwa seorang warga negara Tiongkok bernama Cui Guanghai (43 tahun) dan warga negara Inggris yang memegang kartu hijau AS bernama John Miller (63 tahun). Keduanya dituduh melakukan penguntitan dan pelecehan terhadap para pembangkang asal Tiongkok di seluruh negara bagian di Amerika Serikat, dan diadili atas dugaan menyelundupkan teknologi militer Amerika Serikat ke PKT.

Atas permintaan Amerika Serikat, kedua tersangka ditangkap oleh polisi negara Serbia pada 24 April dan diekstradisi ke Amerika Serikat untuk diadili. Menurut dokumen pengadilan yang dirilis oleh Kementerian Kehakiman AS, Cui Guanghai dan John Miller adalah agen yang direkrut oleh Partai Komunis Tiongkok untuk melakukan tugas di Amerika Serikat, dengan tugas menargetkan seorang seniman yang tinggal di Los Angeles. Korban, Hui Bo, mengonfirmasi dalam sebuah wawancara dengan Voice of America bahwa dirinya adalah korban dalam kasus yang dirujuk oleh Kementerian Kehakiman.

Pada 15 Juni 2023, hari ulang tahun Xi Jinping, Hui Bo memutar film pendek berdurasi 13 detik di layar lebar di Times Square, New York, yang memperlihatkan patung Xi Jinping dan istrinya yang sedang berlutut. Hui Bo pernah mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa berbagai tindakan yang diambil oleh rezim Komunis Tiongkok selama merebaknya epidemi membawa bencana besar bagi Tiongkok dan dunia, dan ia membuat patung Xi Jinping yang sedang berlutut sebagai ungkapan atas ketidakpuasannya yang mendalam.

Video ini membuat marah pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok. Menurut dakwaan bahwa Cui Guanghai dan John Miller ditugaskan oleh Beijing untuk mencegah Hui Bo menghadiri protes KTT APEC di San Francisco yang diselenggarakan pada bulan November 2023, sekaligus menghancurkan patung berlutut yang dijadikan simbol perlawanan.

Kedua agen tersebut berusaha keras untuk menyelesaikan misi yang diemban. Tindakan mereka termasuk menguntit, memantau sampai menusuk ban mobil Hui Bo, mengintimidasi anggota keluarga Hui Bo yang berada di Tiongkok daratan, bahkan berencana untuk menyerang Hui Bo dengan kekerasan yang dikamuflasekan sebagai kasus perampokan harta. 

Benar saja Hui Bo gagal pergi ke San Francisco karena ban mobilnya pecah tertusuk. Pemimpin puncak PKT akhirnya mengutus para agennya untuk membeli patung Xi berlutut itu seharga USD 2.000,- hingga USD 3.000,- untuk dihancurkan.

Pada Februari 2025, Hui Bo kembali membuat patung Xi Jinping yang sedang berlutut dan dipajang di sebuah toko di California. Pada Maret, Cui Guanghai dan John Miller menerima perintah lain untuk melenyapkan patung baru tersebut dari pajangan. Namun PKT menemui dilema untuk bertindak di luar hukum, karena hasil seni mendapat perlindungan Konstitusi AS, dan para seniman bebas berkarya. Sehingga untuk melenyapkan patung, agen PKT terpaksa membelinya terlebih dahulu. Ironisnya, para mata-mata itu terpaksa terus membeli patung untuk dihancurkan, yang secara tidak langsung para agen itu selain memberikan dukungan finansial kepada para seniman pembangkang untuk membuat patung, juga mendukung reputasi opini publik.

Represi transnasional yang dilakukan PKT selain tidak masuk akal, tetapi juga pasti akan berakhir dengan sia-sia. Untungnya, pada April 2025, pihak berwenang AS dapat menangkap Cui Guanghai dan John Miller di Serbia sehingga kasus ini untuk sementara waktu teratasi.

Model Represi Transnasional PKT: Alih Daya Eksekusi, Penyamaran Berlapis, Menyasar Target Spesifik 

Menurut dokumen pengadilan Kementerian Kehakiman AS, kita dapat memahami beberapa detail kegiatan penindasan mata-mata PKT di luar negeri:

1. Warga asal Tiongkok sebagai penanggung jawab, orang Barat sebagai asisten dalam mengeksekusi. Dalam kasus ini, Cui Guanghai adalah kepala tim, yang memimpin John Miller dari Inggris, yang kemudian mempekerjakan warga AS setempat (salah satunya adalah informan FBI) untuk melakukan tindakan yang ditentukan.

2. Memperoleh otorisasi langsung dari pucuk pemimpin PKT. John Miller mengklaim bahwa rencana tersebut memiliki anggaran sebesar USD 100.000,- dan disetujui oleh “orang penting” di Beijing. Menurut pengungkapan John Miller kepada informan FBI, ia pergi ke Tiongkok pada Juni 2023 untuk bertemu dengan pejabat PKT, bertemu dengan orang setingkat gubernur di Provinsi Liaoning, dan bertemu dengan bos Cui Guanghai di Beijing, 2 orang “petinggi” PKT. Perlu dijelaskan di sini bahwa dakwaan Kementerian Kehakiman AS dengan jelas menyebutkan, FBI yakin bahwa Xi Jinping adalah bos besar yang berada di balik kasus ini.

  1. Merekrut personel lokal AS sebagai pelaksana rencana serangan untuk menghindari adanya jejak koneksi. Miller diminta untuk tidak meninggalkan petunjuk apa pun yang terkait dengan PKT, karena itu ia diwajibkan untuk bertindak “bersih.”

Model ini sangat mirip dengan kasus di mana mata-mata PKT dituntut karena membakar patung “Virus Xi Jinping” pada tahun 2022, yang menunjukkan bahwa sistem represi transnasional PKT telah beroperasi sejak lama, dengan struktur yang stabil dan metode yang semakin tersembunyi.

Pada 23 Juli 2021, sebuah patung yang disebut “Virus Xi Jinping” di Liberty Sculpture Park, California dibakar orang. Patung tersebut menggunakan wajah Xi Jinping sebagai globulin virus korona (virus PKT). Pembuatnya adalah Chen Weiming, seorang seniman pembangkang Tiongkok. Tujuan Chen menciptakan patung tersebut adalah untuk mengkritik otoritas PKT karena menyebarkan virus yang menyebabkan epidemi menyebar ke seluruh dunia.

Pada Maret 2022, Kementerian Kehakiman AS menggugat 3 orang terdakwa dalam kasus tersebut, yaitu Qiang “Jason” Sun, seorang karyawan perusahaan teknologi internasional Tiongkok. Fan “Frank” Liu, ketua “World Harmony Foundation” yang berbasis di New York, yang juga merupakan presiden “Congress Web TV Station” yang berbasis di New York. Dan Mathew Ziburis, mantan petugas pemasyarakatan dan pengawal Florida. Di antara mereka, Qiang “Jason” Sun yang memerintahkan Fan “Frank” Liu dan Mathew Ziburis untuk melacak dan menghubungi Chen Weiming, dan akhirnya merencanakan pembakaran patung tersebut.

Shen Yun Performing Arts Menjadi Target Utama Represi Transnasional Global PKT

Tindakan represi transnasional PKT tidak hanya menargetkan seniman pembangkang perorangan, tetapi juga menempatkan Shen Yun Performing Arts, yang didirikan oleh praktisi Falun Gong sebagai “musuh nasional.” 

Shen Yun adalah grup tari klasik Tiongkok terkemuka di dunia, yang mengadakan tur keliling dunia untuk ratusan pertunjukan setiap tahun. Grup ini menghidupkan kembali budaya tradisional Tiongkok dengan seni klasik dan menampilkan kondisi Tiongkok daratan sebelum komunisme. Grup ini sangat disambut oleh penonton dari semua kelompok etnis di seluruh dunia dan memiliki pengaruh yang luas. 

Nilai-nilai tradisional Shen Yun tentang persatuan antara manusia dan alam, penghormatan terhadap takdir, pembalasan atas kebaikan dan kejahatan, khususnya “kebajikan, kebenaran, kesopanan, kebijaksanaan, dan dapat dipercaya” tidak memberi tempat bagi budaya PKT yang penuh dengan kepalsuan, kejahatan, dan pertikaian. Oleh karena itu, grup ini dianggap sebagai duri dalam daging PKT dan harus disingkirkan secepatnya.

Dibandingkan dengan kejadian yang dialami kedua seniman pematung yang disebutkan di atas, penindasan PKT terhadap Shen Yun Performing Arts jauh lebih berbahaya dan kejam, termasuk (tetapi tidak terbatas pada) sengaja menyebabkan ban pecah dan kecelakaan mobil untuk melukai orang, ancaman bom untuk mengintimidasi penonton, dan menggunakan media Barat untuk memfitnah dan melecehkan dengan adu kekuatan hukum.

Misalnya, PKT sengaja memecahkan ban mobil Hui Bo agar ia gagal berangkat ke San Francisco, sementara mata-mata PKT sengaja menggores ban bus Shen Yun Performing Arts tidak sampai ban langsung kehabisan angin tetapi membiarkan ban pecah saat berjalan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan. Kecelakaan yang dirancang itu tak lain untuk membahayakan keselamatan para pemain Shen Yun yang berada dalam bus.

Pada 21 Februari 2025, Shen Yun mendapat ancaman bom sebelum pertunjukan perdananya di Kennedy Center, New York, sampai para penonton dalam gedung perlu segera dievakuasi. Insiden serupa juga terjadi berulang pada musim ini di teater-teater Amerika Serikat, Prancis, Italia, dan tempat-tempat lain. Hal ini tidak hanya membawa tantangan baru bagi keselamatan publik, tetapi juga merupakan ancaman teroris yang nyata bagi masyarakat biasa di Amerika Serikat dan Barat.

Selain itu, PKT menggunakan media Barat untuk menerbitkan artikel yang menyerang dan memfitnah Shen Yun, mencoba merusak pujian bulat yang telah lama diberikan oleh masyarakat AS dan Barat kepada Shen Yun, dan menghasut mantan pekerja magang Shen Yun untuk menuntut Shen Yun atas tuduhan yang dibuat-buat, menggunakan celah hukum Amerika Serikat untuk mencoba mengganggu operasi normal dengan menghabiskan energi dan waktu Shen Yun.

Pemimpin Puncak PKT Adalah Dalang di Balik Represi Transnasional Terhadap Shen Yun

Yuan Hongbing, seorang ahli hukum yang tinggal di Australia pernah mengungkapkan kepada Epoch Times pada 5 Desember 2024 bahwa rencana penyerangan terhadap Falun Gong di luar negeri itu secara langsung berasal dari konspirasi tingkat tinggi di Zhongnanhai, dalangnya tidak lain adalah Sekjen PKT Xi Jinping. 

Menurut pengungkapan Yuan Hongbing, PKT telah menggunakan sejumlah besar dana untuk menyusup ke media luar negeri, memengaruhi narasi publik, memfitnah Falun Gong, dan bahkan menyebarkan propaganda resmi dari PKT dengan menyuap para eksekutif dan jurnalis media.

“PKT terutama mengandalkan uang untuk menyuap beberapa tokoh kunci di media, seperti pemimpin redaksi, reporter, dan jurnalis terkenal.” Yuan Hongbing juga mengatakan: “Untuk menyusup ke media luar negeri, PKT telah menyisihkan sejumlah uang yang disebut dana front persatuan luar negeri. Uang ini secara khusus digunakan untuk menyuap tokoh-tokoh kunci di berbagai belahan dunia.”

Yuan Hongbing mengatakan bahwa intelijennya diperoleh dari orang-orang dalam PKT yang masih memiliki hati nurani, juga dari para pembangkang generasi merah kedua, beberapa di antara mereka ini sangat tidak puas dengan pemimpin PKT Xi Jinping.

Pada 8 Januari 2025, informasi yang diungkapkan kepada Epoch Times oleh orang dalam Biro Keamanan Publik PKT dengan nama samaran Shen Liang menguatkan pengungkapan Yuan Hongbing. Shen Liang mengatakan bahwa publikasi artikel fitnah tentang Shen Yun oleh New York Times adalah bagian dari represi transnasional PKT terhadap Falun Gong, yang dipimpin oleh Chen Yixin, Menteri Keamanan Nasional PKT. Adapun tujuan PKT adalah mencoba melibatkan Amerika Serikat ke dalam tindak penindasan untuk menutupi kebijakan genosida jangka panjang PKT terhadap praktisi Falun Gong.

Menurut pengungkapan Shen Liang, Chen Yixin menyarankan kepada Xi Jinping untuk melenyapkan Falun Gong karena dirinya khawatir bahwa begitu Amerika Serikat bergandengan tangan dengan Falun Gong untuk menyelidiki penganiayaan PKT terhadap Falun Gong dan kejahatan seperti pengambilan organ hidup-hidup, rezim PKT, pejabat seniornya dan bahkan Xi Jinping sendiri akan menghadapi pengadilan internasional.

Pada 24 Februari 2025, The Diplomat, sebuah majalah yang berbasis diplomat di Washington, melalui sebuah artikel panjang melaporkan bahwa PKT memperkuat kontrolnya terhadap media dan menggunakan perang hukum (lawfare) untuk menekan para pembangkang, terutama represi transnasional terhadap kelompok-kelompok Falun Gong.

Kebangkitan Keadilan Internasional: Rezim PKT Akan Menghadapi Tuntutan Mahkamah Internasional

Jelas bahwa hanya masalah waktu sebelum beberapa pemimpin PKT dan para pemimpin mereka dibawa ke mahkamah internasional. Selain Kementerian Kehakiman, Kongres AS dan beberapa negara bagian juga telah mulai mengambil tindakan hukum terhadap tindak represi transnasional dan penganiayaan hak asasi manusia yang dilakukan oleh PKT.

Pada 5 Mei 2025, DPR AS dengan suara bulat mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Falun Gong (Falun Gong Protection Act). RUU tersebut merupakan komitmen mengikat Kongres AS untuk menjatuhkan sanksi hukum kepada mereka yang terlibat dalam penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong dan berpartisipasi dalam pengambilan organ hidup-hidup dari praktisi Falun Gong. Setelah RUU tersebut disahkan oleh DPR-AS, RUU tersebut dikirim ke Senat. Jika Senat juga memberikan suara untuk meloloskannya, maka RUU tersebut akan diserahkan kepada Presiden Amerika Serikat untuk ditandatangani dan diberlakukan.

RUU tersebut memberikan sanksi kepada mereka yang berpartisipasi atau membantu PKT melakukan pengambilan organ paksa, RUU juga menginstruksikan Menteri Luar Negeri AS untuk menyelidiki apakah tindakan PKT merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, dan melaporkan tentang kebijakan transplantasi organ di Tiongkok. Selain itu RUU tersebut juga menetapkan kebijakan AS, yaitu selama PKT masih berkuasa, Amerika Serikat menolak seluruh kerja sama dalam industri transplantasi organ ilegal dengan PKT.

Pada 24 Mei 2025, Texas mengesahkan “Undang-Undang Anti-Penindasan Transnasional” yang mendefinisikan tindakan represi transnasional dan penegakan hukum asing yang tidak sah sebagai kejahatan berat, dengan hukuman penjara minimal 15 tahun dan tidak ada batasan hukuman maksimal. Ini merupakan tanggapan yang tegas terhadap represi transnasional PKT dan mengisi celah hukum dari “Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing”. Yang terakhir hanya mensyaratkan pendaftaran, bukan pelarangan perilaku agen, dan hukumannya relatif ringan sehingga sulit untuk mengekang perilaku nakal PKT.

“Undang-Undang Anti-Penindasan Transnasional” Texas telah menjadi preseden bagi negara bagian lain di Amerika Serikat untuk memberlakukan undang-undang serupa, yang akan memengaruhi arahan legislatif Amerika Serikat terhadap represi transnasional. Undang-undang baru tersebut sangat penting dalam menanggapi infiltrasi PKT yang luas di komunitas Tionghoa, dan efek jeranya terhadap mata-mata PKT terlihat jelas. 

Di masa lalu, mata-mata PKT seperti Chen Jun dan Lu Jianwang dijatuhi hukuman ringan hanya karena mereka gagal mendaftar sebagai agen asing. Namun, undang-undang Texas yang baru mendefinisikan pelecehan, penguntitan, dan penyerangan sebagai kejahatan berat, yang sangat meningkatkan biaya pelanggaran hukum. Bagi warga Tionghoa perantauan dan warga Barat yang dibujuk atau dipaksa oleh PKT, ini adalah garis merah hukum. Berpartisipasi dalam represi transnasional PKT dapat merusak masa depan pribadi mereka sendiri dan menghadapi hukuman penjara jangka panjang.

Meskipun PKT menggunakan mata-mata, preman, media yang tidak bermoral, intimidasi dan cara lain untuk mengekspor penganiayaan, menekan hak asasi manusia, dan menekan keyakinan, tetapi keadilan pada akhirnya akan muncul untuk mengalahkan mereka. Penuntutan berkelanjutan oleh Kementerian Kehakiman AS, pengenalan “Undang-Undang Anti-Penindasan Transnasional” di Negara Bagian Texas, pengenalan “Undang-Undang Perlindungan Falun Gong” oleh Kongres AS, bahkan kesadaran dunia akan yurisdiksi lengan panjang PKT merupakan langkah kunci menuju keadilan.

Di sini, penulis menyampaikan saran demi kebaikan para warga Tionghoa perantauan dan warga Barat: Jangan mau dimanipulasi oleh uang, ancaman, atau propaganda nasionalis PKT. Warga Tionghoa perantauan harus menghargai kebebasan dan supremasi hukum di Amerika Serikat dan menjauhi instruksi ilegal PKT. Warga Barat juga perlu waspada terhadap godaan uang dan menghindari dijadikan alat bagi penindasan PKT di luar negeri. (***)

(EDISI KHUSUS): Israel Gempur Iran – Awal Keruntuhan Rezim Teokrasi?

EtIndonesia. Pada Jumat, 13 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh kabar serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel terhadap berbagai fasilitas strategis milik Iran. Operasi militer ini dipandang bukan sekadar aksi balas dendam, melainkan langkah strategis yang bisa menjadi penentu arah geopolitik kawasan Timur Tengah, dan bahkan berpotensi merombak tatanan kekuasaan di Iran.

Serangan ini menjadi sorotan global karena dilakukan dengan tingkat presisi dan perencanaan yang luar biasa matang, menandai dimulainya babak baru—baik bagi Iran maupun komunitas internasional yang selama ini memantau ketegangan antara kedua negara.

Rangkaian Serangan: Sistematis, Presisi, dan Mematikan

Berdasarkan laporan yang dihimpun dari berbagai sumber, Israel telah meluncurkan serangan udara terkoordinasi terhadap puluhan fasilitas militer dan nuklir Iran. Sasaran utamanya meliputi:

  • Pangkalan pertahanan udara dan angkatan udara,
  • Pusat-pusat pengembangan nuklir,
  • Gudang amunisi strategis,
  • Markas besar militer,
  • Rumah para pejabat tinggi pertahanan.

Dampak dari serangan ini sangat signifikan—hampir seluruh jaringan pertahanan udara Iran dinyatakan lumpuh, dan kekuatan udara Iran dikabarkan tidak lagi mampu memberikan perlawanan berarti. Lebih mengejutkan lagi, banyak pejabat tinggi militer Iran tewas dalam serangan ini, termasuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Komandan Garda Revolusi, serta sejumlah ilmuwan dan teknokrat utama yang selama ini menjadi “otak” program nuklir Iran.

Siaran berita dari Al Jazeera—yang dikenal simpatik pada Iran—menampilkan suasana duka dan keterkejutan saat membacakan daftar nama-nama pejabat dan ilmuwan yang menjadi korban. Bahkan, muncul laporan belum terverifikasi mengenai cedera berat yang dialami beberapa pejabat kunci, termasuk penasihat militer tertinggi Pemimpin Tertinggi Iran.

Fakta Mengejutkan: Serangan dari Dalam Wilayah Iran

Salah satu aspek paling dramatis dari operasi ini adalah fakta bahwa rudal-rudal Israel tidak seluruhnya diluncurkan dari luar wilayah Iran. Intelijen Israel, melalui operasi jangka panjang, diketahui telah membangun pangkalan drone rahasia di dekat Teheran. Dengan kata lain, serangan itu sendiri dimulai dari jantung Iran—menggunakan persenjataan canggih yang telah “disusupkan” jauh hari ke wilayah lawan.

Di sekitar pangkalan rudal pertahanan udara Iran, Israel juga telah memasang perangkat penunjuk sasaran presisi tinggi, sehingga nyaris tak satu pun serangan mereka meleset. Inilah yang menyebabkan kehancuran besar-besaran di kubu Iran, dan membuktikan betapa rapuhnya sistem pertahanan negeri itu ketika dihadapkan pada operasi infiltrasi intelijen Israel.

Kebocoran di Tubuh Intelijen Iran: Mossad Menari di Tengah Kekacauan

Kisah kegagalan sistem pertahanan Iran tak lepas dari keberhasilan Mossad, badan intelijen Israel, dalam menyusupkan jaringannya ke dalam institusi keamanan Iran. Mantan Presiden Ahmadinejad pernah mengungkapkan, Iran telah membentuk tim khusus untuk memburu agen Israel—namun faktanya, kepala tim tersebut dan 20 anggotanya justru adalah agen Mossad sendiri.

Dengan kata lain, Iran benar-benar telah menjadi “saringan bocor”, di mana hampir setiap upaya kontra-intelijen justru memperkuat posisi musuh dalam negeri mereka sendiri. Hal ini mempermalukan reputasi Iran dan membuat komunitas internasional bertanya-tanya sejauh mana kekacauan internal yang terjadi di negara itu.

Aspirasi Rakyat Iran: “Israel, Strike Them”

Salah satu pemandangan yang tak kalah menarik adalah kemunculan spanduk dukungan bagi Israel di jalanan Iran, bertuliskan dalam bahasa Inggris: “Strike them. Israel, strike them. We Iranians are behind you.” Fenomena ini mencerminkan kebencian mendalam rakyat Iran terhadap rezim otoriter yang selama puluhan tahun menindas mereka.

Aksi-aksi protes besar di Iran dalam beberapa tahun terakhir telah mengungkap fakta bahwa mayoritas rakyat tidak lagi setia pada pemerintahnya. Dalam diaspora Iran, terutama di Kanada, hal ini terlihat nyata—berbeda dengan komunitas Tionghoa di luar negeri yang cenderung tetap mendukung tanah air dan partai penguasa. Kaum diaspora Iran secara terbuka mengkritik rezim, memperjuangkan kebebasan, dan menolak segala bentuk otoritarianisme.

Respons Militer Iran: Gagal Membalas, Struktur Komando Lumpuh

Tak tinggal diam, militer Iran segera menyatakan dimulainya “gelombang pertama pembalasan” dengan mengerahkan 100 drone tempur ke wilayah Israel. Namun, hampir seluruh drone itu ditembak jatuh di atas Yordania sebelum mencapai target. Hal ini menandakan lemahnya sistem komando dan pertahanan Iran, yang praktis tak mampu memberikan respons efektif terhadap serangan Israel.

Kepanikan kini menyelimuti elit militer dan politik Iran. Dengan sistem pertahanan yang nyaris lumpuh dan kepemimpinan yang tercerai-berai, Iran berada di posisi terlemah dalam sejarah modernnya.

Amerika Serikat: Sang “Pengatur Layar” di Balik Serangan

Presiden AS, Donald Trump, dalam pernyataannya, terang-terangan mendukung aksi Israel dan bahkan menyindir elite Iran yang selama ini menggembar-gemborkan ancaman balasan. 

Trump mengatakan: “Mereka yang selama ini berkoar paling keras kini semuanya sudah mati. Ke depannya, situasi bisa lebih parah bagi Iran.”

Trump juga menekankan bahwa posisi Iran dalam negosiasi nuklir kini sangat lemah, dan memperingatkan agar Iran segera menerima tawaran damai dari AS sebelum keadaan menjadi lebih buruk. Amerika Serikat sendiri sejak awal diketahui memberikan “lampu hijau” atas operasi ini, sebagaimana yang selalu mereka lakukan dalam setiap perang besar Timur Tengah.

Model sinergi “good cop, bad cop” antara AS dan Israel kembali dimainkan—di mana Israel bertindak sebagai eksekutor lapangan, sementara AS menjadi aktor diplomasi yang menentukan akhir cerita.

Konteks Historis: Serangan Preventif, Bukan Invasi

Berbeda dengan invasi Rusia ke Ukraina, Israel tidak bermaksud menduduki Iran atau menggulingkan pemerintahannya. Tujuan utama Israel adalah memastikan Iran tidak pernah menjadi negara nuklir—menghilangkan ancaman eksistensial bagi negara Yahudi itu, dan memaksa Iran kembali ke meja perundingan dalam posisi lemah.

Dalam sejarah, kebijakan pertahanan Israel selalu menekankan serangan pre-emptive, dengan alasan negara itu terlalu kecil untuk bertahan jika musuh lebih dulu menyerang dengan senjata pemusnah massal.

Dampak Geopolitik: Menuju Perubahan Besar di Timur Tengah

Jika rezim Iran benar-benar tumbang akibat serangan ini, dampaknya akan merambat jauh melampaui batas negara itu sendiri. Jalur pasokan energi utama yang selama ini menopang ekonomi Tiongkok dan beberapa negara lain akan terganggu. Bagi rakyat Iran, ini bisa menjadi momentum untuk merebut kembali kebebasan yang lama dirampas.

Serangan Israel juga menjadi pelajaran keras bagi rezim otoriter di kawasan lain, khususnya Partai Komunis Tiongkok, bahwa era penindasan dan pengekangan kebebasan lambat laun akan berhadapan dengan arus perubahan zaman.

Modernisasi dan Aspirasi Generasi Muda Iran

Dewasa ini, generasi muda Iran semakin terbuka dan berpikir maju. Arus globalisasi dan modernisasi sulit dibendung, dan nilai-nilai demokrasi serta kebebasan semakin merasuki kehidupan masyarakat, meskipun pemerintah berusaha menahan laju perubahan.

Sebagaimana pengalaman di Tiongkok, upaya menahan perubahan sosial dan politik melalui kekuatan militer dan sensor informasi, pada akhirnya akan menghadapi jalan buntu. Justru, rezim yang terlalu mengekang cenderung makin rapuh secara struktural.

Kesimpulan: Perjuangan Peradaban Melawan Kekelaman Otoritarianisme

Serangan Israel ke Iran pada 13 Juni 2025 bukan sekadar peristiwa militer biasa, melainkan simbol pertarungan antara peradaban dunia bebas melawan kekuatan otoriter yang mengancam stabilitas dan keamanan global. Dunia Barat tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir, bukan hanya demi Israel, tapi demi seluruh umat manusia.

Akhir dari rezim teokrasi Iran mungkin belum pasti terjadi hari ini. Namun satu hal jelas: gelombang perubahan besar telah dimulai, dan masa depan Iran—mungkin untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun—ada di tangan rakyatnya sendiri.

Serangan Udara ‘Jaring Laba-Laba’ Ukraina Mengubah Operasi Sabotase Konvensional

oleh Shen Zhou

Pada 1 Juni, Dinas Keamanan Ukraina meluncurkan serangan udara yang diberi nama “Jaring Laba-Laba” dengan menggunakan pesawat nirawak untuk menyerang 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia. Serangan yang mengejutkan ini telah merusak sejumlah pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini Rusia. Disadari atau tidak, operasi Ukraina ini telah memaksa militer dari berbagai negara untuk memahami kembali infiltrasi dan serangan sabotase yang mungkin dilancarkan oleh pihak musuh, termasuk tidak menutup kemungkinan militer Partai Komunis Tiongkok melancarkan operasi serupa ke daratan Amerika Serikat.

Serangan Udara yang Dilancarkan dari Wilayah Rusia

Ukraina telah berulang kali meluncurkan serangan udara jarak jauh ke sejumlah target di Rusia dengan menggunakan pesawat nirawak, termasuk pangkalan udara, depot minyak, depot amunisi, pabrik produksi perangkat militer, dll. Rusia juga melakukan hal yang sama, bahkan tanpa pandang bulu menyerang fasilitas sipil Ukraina. Namun, dalam operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina pada 1 Juni itu, pesawat nirawak kecil lepas landas dari tempat yang tidak jauh dari 4 Pangkalan Angkatan Udara Rusia dan berhasil menyelesaikan tugas serangan dalam waktu singkat.

Meskipun 2 pangkalan udara Rusia yang diserang Ukraina tidak begitu jauh, tetapi seperti Pangkalan Angkatan Udara Olenya itu memiliki jarak sampai 1.900 Km dari Ukraina, apalagi Pangkalan Udara Belaya di Siberia jaraknya sekitar 4.000 Km dari Ukraina, yang memang tidak mungkin bisa terjangkau oleh pesawat nirawak kecil Ukraina. Tetapi jika pesawat nirawak itu diluncurkan dari Ukraina, hal yang dikhawatirkan adalah sulit lolos dari gempuran sistem pertahanan udara Rusia, sehingga menurunkan tingkat keberhasilan serangan.

Pada 20 Januari 2025, Ukraina menggunakan pesawat nirawak jarak jauh untuk menyerang pabrik pembuat pesawat pengebom Tu-160 di Kazan, Rusia yang berjarak sekitar 1.000 kilometer dari Ukraina dan menimbulkan beberapa ledakan. Meski Rusia kemudian mengklaim bahwa pihak militer berhasil melumpuhkan semua pesawat nirawak Ukraina sehingga kerugian yang dialami tidak besar.

Kali ini, Ukraina menggunakan pesawat nirawak kecil yang diluncurkan dari lokasi di wilayah Rusia yang tidak jauh dari pangkalan AU, membuat militer Rusia kewalahan dalam membendung serangan. Pesawat nirawak ini hanya butuh waktu terbang yang pendek untuk memasuki pangkalan AU Rusia menuju target aset utama seperti pesawat pengebom strategis dan pesawat peringatan dini, serta menjatuhkan bom kecil. Serangan mendadak ini telah menimbulkan kerusakan yang membuat pesawat-pesawat tidak lagi dapat digunakan atau tidak dapat diperbaiki dalam jangka waktu pendek. Inisiatif ini menumbangkan taktik infiltrasi dan serangan sabotase konvensional yang dilancarkan dari belakang garis musuh. Selain itu, operasi “Jaring Laba-Laba” ini juga memberikan makna tentang mode serangan udara baru yang sebenarnya dapat diluncurkan di belakang musuh.

Satu-satunya serangan yang sebanding dengan ini mungkin adalah Operasi Grim Beeper Israel. Pada 17 September 2024, Israel menargetkan pager dan walkie-talkie yang umum dipakai anggota Hizbullah di Lebanon, meledakkan bahan peledak yang terlebih dahulu ditanamkan di dalamnya. Pelaksanaan Operasi Grim Beeper ini memiliki kondisi khusus dan sulit untuk ditiru lagi. Namun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina masih dapat ditiru.

Diberitakan bahwa pesawat nirawak Ukraina ini dirakit di dalam wilayah Rusia, menggunakan sistem kendali otonom AI, menyewa truk Rusia untuk mengangkutnya dan diparkir di tempat yang tidak jauh dari pangkalan udara Rusia. Pesawat nirawak terbang bersamaan dari dalam truk menuju sasaran yang ditentukan. Video daring menunjukkan bahwa pesawat nirawak yang telah diprogram itu menyerang target yang merupakan titik lemah pesawat, seperti sambungan antara sayap dan tangki bahan bakar. Dari rekaman video terlihat asap hitam pekat mengepul dari badan pesawat akibat ledakan mengenai bahan bakarnya.

Operator Ukraina mengevakuasi diri lebih awal untuk meminimalkan risiko sekaligus membuktikan bahwa serangan dilakukan oleh pesawat yang tanpa awak. 

A map of land with red squares

AI-generated content may be incorrect.

Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina menyerang Pangkalan Angkatan Udara Rusia, yang terjauh berada di Timur Jauh yang berjarak sekitar 4.000 kilometer dari Ukraina. (video screenshot)

Kekuatan Pengeboman Strategis Rusia Menurun Drastis

Ukraina telah mengerahkan paling tidak 117 unit pesawat nirawak dalam operasi serangan ini, dan mengklaim berhasil menghancurkan atau merusak 41 unit pesawat pengebom strategis Rusia, termasuk Tu-95, Tu-22M3, Tu-160 dan pesawat peringatan dini A-50, yang mencakup sekitar 34% dari pembawa rudal jelajah strategis Rusia, dengan penilaian kerugian yang dihitung relatif optimis yaitu sekitar USD 7 miliar. Tetapi bagaimanapun juga, operasi Ukraina ini telah menimbulkan penurunan serius kekuatan tempur militer Rusia.

Tu-22 adalah pesawat pengebom kelas menengah Rusia model lama yang mampu membawa rudal jelajah Kh-22 yang beratnya sekitar 5,82 ton dan sulit dibawa oleh pesawat tempur Rusia, termasuk pesawat serang Su-34. Rusaknya pesawat pengebom Tu-22 berarti kemampuan militer Rusia untuk menggunakan rudal besar yang diluncurkan dari udara untuk menyerang Ukraina dari jarak jauh telah melemah.

Tu-95 adalah pesawat pengebom jarak jauh Rusia terdahulu yang mampu membawa hingga 8 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102, dengan berat rudal berkisar antara 1,65 ton hingga 2,4 ton.

Tu-160 adalah pesawat pengebom jarak jauh yang mulai beroperasi sebelum berakhirnya Perang Dingin dan dapat membawa 12 buah rudal jelajah Kh-55/Kh-101/Kh-102. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Ukraina mewarisi 16 Tu-160, dan kemudian menjual 8 unit ke Rusia. Rusia masih memproduksi Tu-160 meskipun tidak gencar, dan sekarang ada 22 unit yang masih beroperasi. Setelah pesawat pengebom tersebut rusak, akan sangat sulit untuk diperbaikinya lantaran jalur produksi kedua jenis pesawat pengebom telah ditutup. 

Rusaknya pesawat pengebom strategis karena serangan Ukraina telah melemahkan kemampuan serangan jarak jauh militer Rusia secara serius. Menurut Ukraina, pada 6 Maret 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 8 rudal jelajah Kh-101 ke sasaran Ukraina. Pada 26 Juni 2022, pesawat pengebom Rusia meluncurkan 4 hingga 6 buah rudal jelajah Kh-101 ke Ukraina.

Pesawat pengebom ini juga merupakan bagian dari pencegahan nuklir strategis Rusia, kerusakan sejumlah pesawat tersebut juga melemahkan kemampuan Rusia dalam menghadapi NATO. Belakang ini jet tempur NATO dan AS sering mencegat pesawat pengebom Tu-160 Rusia yang terbang di dekat perbatasan. Begitu pula setiap tahun pesawat pengebom PKT melakukan latihan dengan pesawat pengebom Rusia di Laut Jepang, Laut Tiongkok Timur, dan Pasifik, bahkan telah mencapai Alaska, Amerika Serikat.

A person looking at a puzzle

AI-generated content may be incorrect.2

Pada 1 Juni 2025, Dinas Keamanan Ukraina merilis foto-foto operasi “Jaring Laba-Laba” dengan target utamanya adalah pesawat pengebom strategis Rusia. (Dinas Keamanan Ukraina)

Model Baru tentang Operasi Sabotase di Belakang Garis Musuh

Dalam semua perang sebelumnya, pihak yang bertikai akan mengirim sejumlah personel untuk menyusup ke belakang garis musuh guna melakukan operasi sabotase, termasuk memenggal kepala pejabat senior dan jenderal musuh di semua tingkatan, menghancurkan depot amunisi dan aset strategis utama musuh, merusak jaringan komunikasi dan jalur pasokan musuh, dan lain sebagainya untuk melemahkan kemampuan perang musuh. Selama Perang Dingin, antara NATO dan Pakta Warsawa juga secara diam-diam melakukan operasi infiltrasi dan sabotase serupa.

Di masa lalu, personel yang terlibat dalam serangan di belakang garis musuh menghadapi bahaya besar, dan operasi yang walau telah direncanakan secara cermat pun bisa gagal karena pengaruh berbagai faktor yang tak terduga, sehingga sulit mencapai tujuan yang direncanakan. Setelah pecahnya perang Rusia-Ukraina, kedua belah pihak juga langsung melaksanakan operasi serupa.

Pada Februari 2022, militer Rusia mengirim tim pembunuh untuk menyelinap ke Ibukota Kiev dalam upaya untuk membunuh Presiden Ukraina Zelensky, tetapi gagal. 

Pada 24 Februari 2022, pasukan terjun payung elit Rusia tiba-tiba diterjunkan ke Bandara Antonov di pinggiran kota Kiev untuk merebut titik-titik strategis terlebih dahulu, tetapi menghadapi serangan balik dari tentara Ukraina sehingga tujuan militer Rusia mengalami kegagalan.

Ukraina juga telah melakukan pengeboman di Rusia dan membunuh jenderal, pakar senjata Rusia dan lainnya. Belakangan tindakan tersebut tampaknya semakin gencar terjadi.

Pada 30 Mei dini hari, dua ledakan kuat terjadi di fasilitas angkatan laut Rusia di dekat Vladivostok di Timur Jauh Rusia. Seorang sumber pasukan khusus Ukraina mengatakan kepada media bahwa ledakan itu merupakan hasil tindakan departemen intelijen militer Ukraina. Tetapi Rusia mengatakan bahwa itu terjadi akibat kecelakaan pada tangki bahan bakar.

Pada 1 Juni, dua jembatan di daerah perbatasan antara Rusia barat dan Ukraina runtuh karena ledakan, menyebabkan dua kereta tergelincir, menewaskan sedikitnya 7 orang dan melukai 69 orang lainnya. Perusahaan Kereta Api Moskow mengatakan bahwa pihaknya juga menemukan beberapa rel yang rusak di jalur kereta api lainnya. Rusia menuduh pasukan khusus Ukraina melakukan sabotase. Badan Intelijen Militer Ukraina (HUR) mengatakan bahwa kereta militer Rusia yang membawa truk kargo dan bahan bakar meledak dan tergelincir.

A large tree in the water

AI-generated content may be incorrect.

Pada 3 Juni 2025, rekaman video yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina (SBU) menunjukkan bahwa Jembatan Kerch di Krimea diduga telah diledakkan selama operasi khusus. Jalur pasokan utama yang menghubungkan daratan Rusia ke Semenanjung Krimea ini telah diserang oleh Ukraina untuk ketiga kalinya. (Dinas Keamanan Ukraina/AFP)

Pada 3 Juni, Dinas Keamanan Ukraina merilis video pendek tentang pengeboman Jembatan Kerch di Krimea, mengklaim bahwa bahan peledak bawah air seberat 1,1 ton telah dipasang sebelumnya di bawah jembatan, dan ledakan tersebut menyebabkan pilar jembatan mengalami kerusakan parah.

A group of people standing on a road

AI-generated content may be incorrect.

Pada 3 Juni 2025, foto yang dirilis oleh Dinas Keamanan Ukraina menunjukkan bahwa dek jembatan rusak sebagian setelah pengeboman Jembatan Krimea. (Dinas Keamanan Ukraina)

Ini semua adalah bentuk serangan di belakang garis musuh yang konvensional. Operasi “Jaring Laba-Laba” yang dilakukan Ukraina untuk menyerang 4 pangkalan angkatan udara Rusia pada 1 Juni itu sangat berbeda dengan operasi-operasi di atas. Serangan udara yang dilancarkan militer Ukraina dari jarak jauh di waktu sebelumnya kurang efektif karena ketatnya pertahanan udara di pangkalan militer Rusia. Sedangkan menggunakan pasukan khusus untuk menyusup ke pangkalan militer berisiko sangat tinggi, bahkan mungkin saja sulit mewujudkan misi yang diemban, juga memastikan keselamatan diri. Oleh karena itu, Dinas Keamanan Ukraina secara kreatif merencanakan serangan udara dengan memanfaatkan pesawat tak berawak yang diluncurkan dari dekat pangkalan untuk menerobos kelemahan pertahanan di pangkalan udara Rusia.

A truck with a black smoke coming out of it

AI-generated content may be incorrect.

Pada 1 Juni 2025, operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina melakukan serangan udara di 4 pangkalan angkatan udara Rusia. Video daring menunjukkan bahwa sebuah pesawat nirawak kecil terbang keluar dari truk menuju sasaran. (video screenshot)

Tantangan Baru bagi Militer Berbagai Negara

Serangan udara “Jaring Laba-Laba” telah menumbangkan operasi sabotase konvensional dan membawa tantangan baru bagi pertahanan militer berbagai negara. Bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh terhadap fasilitas-fasilitas utama di wilayah sendiri langsung menjadi isu utama. 

Situs web lembaga pemikir AS CSIS menerbitkan sebuah artikel berjudul “Bagaimana Operasi ‘Jaring Laba-Laba’ Ukraina Mendefinisikan Ulang Perang Asimetris” pada 2 Juni. Artikel menjelaskan bagaimana sistem nirawak yang canggih dan murah mampu memberikan dampak strategis jauh di belakang garis musuh, dan tanpa pertahanan anti-drone khusus, maka infrastruktur strategis akan tetap rentan terhadap serangan. Dari infrastruktur militer utama hingga fasilitas sipil, kerentanan sistem yang kecil, tepat, dan sulit dideteksi semakin meningkat.

Amerika Serikat memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, tujuan AS mengerahkan militernya secara global adalah untuk menjauhkan musuh dari negara. Namun, Amerika Serikat sendiri pun akan sulit menghadapi serangan mirip Operasi “Jaring Laba-Laba”. Bagi musuh yang lebih lemah ia mungkin dapat membuat kerusakan pada fasilitas dan personel utama di AS dengan meniru model tersebut. Kasus mahasiswa asal Tiongkok yang menerbangkan drone di dekat pangkalan militer di Amerika Serikat sudah pernah terjadi beberapa waktu lalu.

Dr. Lawrence Sellin, seorang pensiunan kolonel Angkatan Darat AS yang memiliki kemampuan seperti paranormal pada 12 Mei tahun ini mengirim pesan melalui akun X yang isinya mempertanyakan, apakah PKT sudah memiliki kemampuan pesawat nirawak untuk melakukan serangan militer dan pengawasan terhadap gerak-gerik militer di Amerika Serikat. Dalam pesannya ia juga memperingatkan bahwa pada tahun 2024, perusahaan Tiongkok ‘SkyTech UAV’ yang terkait dengan militer PKT telah membuka kantornya di komunitas Tionghoa di Flushing, New York, dan melampirkan foto pesawat nirawak produksi perusahaan tersebut.

Menurut situs web ‘SkyTech’, pihaknya mengekspor pesawat nirawaknya ke seluruh dunia, dan pada tahun 2024 telah mendirikan dan menunjuk kantornya di New York sebagai pusat penjualan dan layanan luar negeri. Produk perusahaan tersebut meliputi pesawat nirawak kelas transportasi S300 Transport Drone 8-poros, yang diklaim mampu membawa muatan hingga 150 kg, dengan waktu terbang selama 30 menit saat membawa muatan 100 kg. Kecepatan jelajahnya dapat mencapai lebih dari 72 km/jam. berdasarkan spesifikasi tersebut, pesawat ini seharusnya dapat terbang sekitar 36 kilometer.

Sebagai mantan personel militer, Dr. Lawrence Sellin sadar bahwa jenis pesawat nirawak ini dapat digunakan untuk keperluan militer yang bakal menimbulkan potensi ancaman terhadap daratan AS. 

PKT Mungkin Meniru Tetapi Juga Takut

Militer PKT berusaha menantang militer AS, tetapi mereka tahu bahwa ada kesenjangan besar dalam semua aspeknya. Operasi “Jaring Laba-Laba” dapat membangkitkan minat PKT untuk meniru metode serupa guna menyerang daratan AS. Bisa jadi mereka sudah memiliki ide serupa sejak lama. Apalagi PKT yang tidak peduli dengan nyawa manusia, dapat saja menggunakan agen PKT atau tenaga yang disuap untuk mengoperasikan pesawat nirawak di dekat fasilitas utama AS untuk melakukan penyerangan.

Tidak menutup kemungkinan pangkalan militer AS di Hawaii, Guam, Jepang, dan Filipina menghadapi ancaman seperti itu dari PKT. Jika PKT siap berperang dan terlebih dahulu melakukan serangan seperti itu dalam skala besar, maka kemampuan operasi militer AS dapat mengalami penurunan. Militer AS telah menempatkan sejumlah perangkat sistem peperangan elektronik dan sistem pertahanan udara untuk melawan pesawat nirawak, dan uji cobanya telah dilakukan lewat latihan militer “Balikatan” dengan Filipina. Namun, bagaimana menangani serangan berskala besar dari jarak dekat oleh pesawat nirawak kecil musuh kiranya masih menjadi masalah utama.

PKT juga takut kalau militer AS dan sekutunya menggunakan cara yang sama. Para pemimpin tertinggi dan jenderal militer senior PKT tidak khawatir tentang fasilitas militer yang diserang, tetapi yang paling mereka takutkan adalah kemungkinan operasi “pemenggalan kepala”. Perjuangan internal PKT yang brutal juga dapat menggunakan cara yang sama. Ketika para pemimpin tertinggi PKT mengunjungi berbagai tempat, otoritas berwenang langsung melarang keras penerbangan dengan pesawat nirawak. Salah satu alasannya adalah karena mereka takut kalau adegan yang memalukan terekam video, dan yang lainnya adalah karena mereka takut pesawat tanpa awak dapat melancarkan serangan atau lepas kendali.

Bagaimana pun operasi “Jaring Laba-Laba” Ukraina dan pengembangan pesawat nirawak telah menumbangkan konsep konvensional tentang penyerangan dan pertahanan militer, sekaligus membawa tantangan baru bagi semua negara. (***)

Kolaborasi Artotel TS Suites Surabaya dan Prambanan Jazz Festival Hadirkan Jazz Night Bertajuk PJF Tunes Up Your City

0

SURABAYA — Sebagai bagian dari rangkaian Roadshow Prambanan Jazz Festival (PJF) 2025 bertajuk “PJF Tunes Up Your City”, kolaborasi antara Artotel Wanderlust dan Prambanan Jazz Festival menghadirkan pertunjukan musik mini yang berlangsung meriah pada Jumat malam, 13 Juni 2025, mulai pukul 19.00 WIB di One Deck Gastropub, ARTOTEL TS Suites Surabaya.

Acara ini merupakan bagian dari perjalanan PJF ke berbagai kota besar di Indonesia menjelang puncak penyelenggaraan Prambanan Jazz Festival ke-11 yang akan digelar pada 4, 5, dan 6 Juli 2025 di pelataran megah Candi Prambanan, Yogyakarta.

Surabaya menjadi kota keempat dalam rangkaian roadshow setelah Jakarta, Bandung, dan Semarang. Mini showcase ini dibuka secara gratis untuk umum dan disambut antusias oleh ratusan pengunjung yang memadati area One Deck Gastropub sejak sore hari. Cahaya lampu temaram yang artistik berpadu dengan tata suara yang menggelegar namun nyaman, menghadirkan nuansa intimate yang sempurna. Penonton tampak larut dalam harmoni musik yang dibawakan oleh deretan musisi lokal pilihan, antara lain Girl and Her Badmood, The Caroline’s, Yellow Flower Living Water, dan Fusion Jazz Community.

Teddy Patrick, S.E., M.Par., CHA General Manager ARTOTEL TS Suites Surabaya mengatakan, “Kolaborasi ini menjadi bentuk nyata dari komitmen kami dalam mendukung ekosistem kreatif dan industri musik lokal. Kami bangga dapat mendukung dan menyuguhkan pengalaman artistik yang berbeda bagi masyarakat Surabaya.”

Rangkaian roadshow ini juga menjadi wadah promosi interaktif menuju acara puncak, sekaligus memperkuat semangat kolaborasi antara musik, seni, dan destinasi di berbagai kota di Indonesia.

(Edisi Khusus): “Perang Diam-diam yang Meledak: Bagaimana Israel Menjebak Iran di Tengah Malam?”

EtIndonesia. Pada 13 Juni hari yang menegangkan, dunia kembali dikejutkan oleh eskalasi besar-besaran di Timur Tengah. Israel secara resmi meluncurkan serangan udara besar-besaran ke Iran, menandai dimulainya babak baru dalam perang antara dua musuh bebuyutan tersebut. Serangan ini bukan hanya mengirimkan pesan keras kepada rezim Teheran, tetapi juga mengancam menimbulkan dampak luas terhadap stabilitas regional dan keamanan dunia. Situasi kian memanas saat Iran merespons dengan mengirimkan jet tempur dan meluncurkan rudal ke wilayah Israel.

Latar Belakang: Mengapa Serangan Ini Terjadi?

Israel kali ini benar-benar bertekad untuk menghancurkan kemampuan nuklir Iran. Berdasarkan laporan intelijen terbaru, Israel menilai bahwa Iran tinggal selangkah lagi untuk benar-benar memperoleh senjata nuklir, yang dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi seluruh bangsa Israel.

 “Ini soal hidup dan mati bagi jutaan rakyat kami,” demikian pernyataan tegas Pemerintah Israel. Atas dasar itu, operasi militer ini dinilai sebagai tindakan pre-emptive, upaya pencegahan sebelum ancaman berubah menjadi bencana yang tak bisa dikendalikan.

Detail Operasi Militer: Gelombang Serangan dan Target

Dalam pernyataan resmi, militer Israel mengumumkan bahwa puluhan jet tempur telah berhasil menuntaskan gelombang serangan pertama. Target utama adalah fasilitas-fasilitas terkait program nuklir Iran yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, sejumlah pangkalan militer, pusat komando, dan infrastruktur pendukung militer Iran turut menjadi sasaran. Israel menegaskan bahwa seluruh sistem pertahanan sudah berada dalam status siaga penuh, siap membalas setiap kemungkinan serangan balasan dari Iran.

Situasi Darurat di Israel: Respons Nasional

Seiring dengan dimulainya serangan, sirene peringatan serangan udara menggema di seluruh penjuru Israel. Pemerintah segera menutup seluruh wilayah udara untuk penerbangan non-Israel, menangguhkan kegiatan di luar ruangan, termasuk sekolah, pertemuan publik, hingga kegiatan ekonomi. Seluruh negeri memasuki status darurat, menyiapkan diri menghadapi kemungkinan perang besar yang nyata.

Iran dan Jaringan Proksi: Ancaman dari Segala Arah

Sejak meletusnya perang di Gaza, Iran dituding sebagai dalang utama di balik banyak aksi teror terhadap Israel, baik secara langsung maupun melalui kelompok-kelompok proksi seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza. Rezim Iran bahkan secara terbuka menyatakan keinginan mereka menghancurkan negara Israel—sebuah ancaman yang tidak lagi disamarkan. Kini, ketika Iran semakin dekat dengan ambisi nuklirnya, kekhawatiran dunia semakin memuncak.

Sistem Pertahanan Udara Berlapis Israel: Tembok Tak Tertembus?

Israel bukan negara yang mudah digempur. Negeri ini telah mengembangkan sistem pertahanan udara berlapis yang disebut-sebut sebagai yang tercanggih di dunia:

  1. Iron Dome (Kubah Besi)
    Sistem pertahanan ini mampu mencegat roket jarak pendek, meriam otomatis, dan drone kecil. Dengan biaya relatif rendah dan reaksi sangat cepat, Iron Dome telah terbukti mampu menahan lebih dari 90% serangan yang mengancam kawasan pemukiman.
  2. David’s Sling (Ketapel Daud)
    Sistem ini berfungsi menangkal rudal jarak menengah, rudal jelajah, dan drone berukuran besar, dengan jangkauan hingga 300 kilometer. Akurasinya sangat tinggi.
  3. Arrow-2
    Didesain untuk menghadang rudal balistik jarak menengah hingga tinggi seperti Scud, sistem ini dapat mencegat rudal di ketinggian atmosfer.
  4. Arrow-3
    Pengembangan bersama Amerika Serikat, Arrow-3 diperuntukkan menahan rudal balistik antarbenua, bahkan yang melintas di luar atmosfer, dengan jangkauan lebih dari 2.000 kilometer.
  5. Iron Beam (Sinar Besi)
    Sistem laser baru yang sedang diuji, dirancang untuk menahan roket murah dan drone kecil yang jumlahnya banyak. Laser ini diharapkan menjadi solusi efektif dan murah untuk serangan massal.

Dengan empat lapisan utama ini, serangan rudal balasan dari Iran diprediksi hanya akan menghasilkan dampak terbatas di Israel.

Posisi Negara-Negara Arab: Mengapa Mereka Kini Diam?

Dulu, musuh utama Israel adalah negara-negara Arab di sekitarnya. Namun, peta politik kawasan sudah berubah drastis. Banyak negara Arab kini berdamai dengan Israel, bahkan menjalin hubungan diplomatik. Mesir dan Yordania telah lebih dulu menandatangani perjanjian damai, sementara negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko ikut menormalisasi hubungan melalui Abraham Accords.

Mengapa demikian? Setelah serangkaian perang besar yang selalu berujung kekalahan, negara-negara Arab menyadari bahwa mengalahkan Israel lewat jalur militer adalah mustahil. Kini, justru Iran—negara non-Arab, bermazhab Syiah—yang tampil sebagai musuh utama Israel. Permusuhan ini dipicu oleh agenda ekspansi ideologis dan kebutuhan politik domestik rezim Iran untuk memperkuat legitimasi di dalam negeri.

Sejarah Singkat Perang Besar di Timur Tengah

  1. Perang Arab-Israel 1948:
    Setelah Israel berdiri berdasarkan keputusan PBB, negara-negara Arab menyerang. Israel bertahan, bahkan memperluas wilayahnya.
  2. Perang Suez 1956:
    Inggris, Prancis, dan Israel menyerang Mesir setelah nasionalisasi Terusan Suez, namun akhirnya dipaksa mundur oleh tekanan Amerika dan Uni Soviet.
  3. Perang Enam Hari 1967:
    Israel melancarkan serangan pre-emptive dan merebut wilayah strategis dari Mesir, Suriah, dan Yordania hanya dalam enam hari.
  4. Perang Yom Kippur 1973:
    Mesir dan Suriah melakukan serangan mendadak. Israel nyaris kalah sebelum akhirnya diselamatkan oleh bantuan darurat Amerika.
  5. Perang Lebanon 1982:
    Israel menyerang Lebanon untuk memukul mundur PLO, kemudian muncul Hizbullah sebagai kekuatan baru yang didukung Iran.
  6. Perang Gaza:
    Kini konflik utama terjadi antara Israel dan kelompok teror seperti Hamas dan Hizbullah yang didukung penuh oleh Iran.

Motif Politik: “Musuh Bersama” Sebagai Alat Kekuasaan

Rezim Iran menjadikan permusuhan terhadap Israel sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan di dalam negeri. Musuh bersama ini dijadikan kambing hitam atas berbagai kegagalan ekonomi dan sosial. Dalam dunia politik otoriter, istilah “keamanan nasional” seringkali berarti keamanan rezim, bukan keamanan rakyat. Beda halnya dengan Israel yang lebih mementingkan perlindungan nyata bagi warganya.

Dimensi Global: Pertarungan Dua Kubu Dunia

Konflik ini bukan sekadar urusan dua negara. Di belakang layar, dua poros besar dunia ikut terlibat:

  • Poros Barat: Amerika Serikat, Israel, NATO, Jepang, Taiwan.
  • Poros Timur: Tiongkok, Rusia, Iran, Pakistan, Korea Utara.

Bantuan teknologi nuklir Iran diyakini melibatkan Pakistan dan, secara tidak langsung, Tiongkok. Persaingan kekuatan global kini bukan lagi soal ideologi, melainkan soal “siapa yang paling kuat dan bisa bertahan”.

Amerika Serikat: Dukung Diam-diam

Meskipun serangan kali ini dilakukan tanpa dukungan terbuka dari Amerika Serikat, jelas terlihat adanya “lampu hijau diam-diam” dari Washington. Amerika kini lebih fokus menghadapi Tiongkok, sehingga memberi ruang bagi Israel untuk mengambil tindakan sendiri demi mencegah Iran punya senjata nuklir.

Risiko Perang Lebih Luas: Seberapa Besar Kemungkinannya?

Karena tidak berbatasan langsung, Israel dan Iran tidak bisa saling menyerang lewat darat. Selama negara-negara Arab sekitar tetap netral atau bahkan mendukung Israel secara diam-diam, risiko perang besar yang meluas relatif kecil. Apalagi, Iran berbeda mazhab dengan mayoritas negara Arab (Syiah vs. Sunni), sehingga sering terjadi konflik internal di dunia Islam sendiri. Negara-negara Arab Sunni, seperti Arab Saudi, secara tidak langsung justru khawatir pada kekuatan nuklir Iran.

Jika perang meluas, dampaknya bisa menghancurkan kawasan, apalagi jika senjata nuklir jatuh ke tangan kelompok teror.

Manfaat Ganda bagi Israel: Perlindungan dan Politik Dalam Negeri

Bagi Israel, serangan ini punya manfaat ganda:

  1. Melindungi kelangsungan hidup bangsa dan mencegah ancaman nuklir.
  2. Mengalihkan perhatian dari isu-isu dalam negeri, seperti kasus korupsi dan kritik atas kegagalan intelijen pada peristiwa 7 Oktober lalu.

Namun, alasan terbesar tetap mencegah Iran—rezim yang secara terang-terangan ingin memusnahkan Israel—memiliki senjata pemusnah massal.

Dampak Kemanusiaan dan Ancaman Lebih Besar

Jika Iran benar-benar memiliki senjata nuklir, risikonya bukan hanya untuk Israel, tetapi untuk seluruh dunia. Apalagi, Iran dikenal mendukung kelompok-kelompok ekstremis yang tak segan melancarkan serangan teror ke manapun, bahkan ke negara-negara Arab tetangga. Dunia internasional pun harus memperhitungkan keterlibatan negara-negara besar di balik pengembangan nuklir Iran.

Israel: Demokrasi, Kebebasan, dan Realitas di Lapangan

Israel hari ini dikenal sebagai negara demokrasi modern yang multikultur. Bukan hanya orang Yahudi, komunitas Muslim, Kristen, dan kelompok lain bisa hidup berdampingan secara damai di banyak kota besar seperti Tel Aviv dan Yerusalem. Berbeda dengan narasi propaganda, kenyataan di lapangan menunjukkan tingkat kebebasan dan keterbukaan masyarakat Israel yang tinggi.

Sebaliknya, di banyak wilayah yang dikuasai kelompok teror, justru kebebasan rakyatnya jauh lebih terancam. Misalnya di Gaza, kelompok seperti Hamas kerap mengorbankan rakyat sipil demi tujuan politik mereka sendiri.

Penutup: Perang yang Tak Kunjung Usai dan Jalan Menuju Perdamaian

Konflik Israel-Iran adalah puncak dari pertarungan panjang yang sarat kepentingan politik, agama, dan geopolitik global. Dalam situasi rumit seperti ini, hanya diplomasi, tekanan internasional, dan kerja sama antarnegara yang bisa membuka jalan menuju perdamaian abadi di Timur Tengah. Namun selama ambisi nuklir Iran belum dihentikan, dan selama kelompok-kelompok radikal masih didukung negara-negara besar, perdamaian sejati di kawasan ini tetap menjadi impian yang sulit digapai.

(Edisi Khusus): “Hanya 10 Menit: Israel Hancurkan Elit Militer dan Ilmuwan Nuklir Iran Sekejap!”

EtIndonesia. Selama bertahun-tahun, banyak pihak menganggap ancaman Israel terhadap Iran hanyalah gertakan kosong—perang kata-kata tanpa aksi nyata. Namun, pada pertengahan 13 Juni, dunia menyaksikan babak baru yang menegangkan: Israel benar-benar bergerak, melancarkan serangan langsung ke jantung Iran, menghancurkan target strategis di Teheran dan kota-kota utama lain. Dari para jenderal Garda Revolusi, ilmuwan nuklir top, hingga basis peluncuran rudal, semua menjadi sasaran yang dilumpuhkan dalam hitungan menit.

Langkah Israel ini tidak berdiri sendiri. Amerika Serikat, jauh sebelum serangan dimulai, telah mengevakuasi diplomatnya dari Irak dan memperketat pengamanan di seluruh pangkalan militer di kawasan. Fakta ini menunjukkan bahwa Washington sepenuhnya mengetahui skenario besar yang akan terjadi. Bahkan, Presiden Donald Trump secara terbuka mengakui bahwa dia sudah diberitahu terlebih dahulu, dan mengisyaratkan adanya “duet peran” antara AS dan Israel—sandiwara politik yang bukan hanya menipu Iran, tetapi juga rezim komunis Tiongkok.

Babak Baru Perang Timur Tengah: Skenario “Hari Kiamat” Dimulai

Pada dini hari 13 Juni, saat dunia barat tertidur, Timur Tengah sedang dipaksa untuk menghadapi kenyataan keras: lebih dari 200 jet tempur Israel menembus langit Iran. Target mereka bukan sembarangan: mulai dari fasilitas nuklir, pangkalan militer, gudang senjata, hingga markas komando tertinggi Iran dihancurkan dalam satu malam.

Yang mengejutkan, Mossad—dinas intelijen legendaris Israel—telah lama membangun jaringan rahasia di dalam wilayah Iran. Mereka menanam “penanda” target, menyiapkan basis drone, bahkan menduplikasi metode operasi militer seperti “jaringan babi” Ukraina (atau justru Ukraina yang belajar dari Mossad, mengingat Presiden Zelenskyy juga berdarah Yahudi).

Hasilnya? Sistem pertahanan udara Iran, yang selama ini digadang-gadang sebagai perisai utama, justru menjadi “pajangan”—tidak mampu membendung gempuran udara yang begitu terkoordinasi dan presisi.

Strategi Israel: Bergerak Mandiri, Tak Menunggu Restu Amerika

Israel tidak lagi menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB ataupun “lampu hijau” resmi dari Amerika Serikat. Setelah bertahun-tahun memperingatkan dunia soal ancaman nuklir Iran, Tel Aviv akhirnya mengambil keputusan mutlak: bertindak sebelum semuanya terlambat. Menurut sumber intelijen, Iran telah berhasil mengumpulkan cukup uranium untuk membuat hingga 15 bom nuklir dan proses militerisasi sudah berjalan.

Bagi Israel, waktu habis. Sanksi ekonomi dan diplomasi sudah tidak lagi efektif. Setelah selama bertahun-tahun berhasil “memotong tangan” Iran di Suriah dan Lebanon, serta menekan kekuatan ekonomi mereka melalui embargo AS, para pemimpin Israel—Perdana Menteri Netanyahu dan Menteri Pertahanan, Katz—mengambil keputusan strategis: Operasi “Kebangkitan Singa” diluncurkan.

Dalam operasi ini, lebih dari 200 pesawat tempur Israel—termasuk F-15, F-16, dan F-35—lepas landas serentak. Mereka membawa bom presisi tinggi, menembus wilayah udara Irak dan Suriah tanpa terdeteksi, dan menghantam jantung pertahanan Iran.

Sasaran Utama: Program Nuklir dan Elite Militer Iran

Pada gelombang pertama serangan, lebih dari 330 bom presisi dijatuhkan ke 100 target strategis. Sasaran utama adalah fasilitas pengayaan uranium Natanz, markas besar militer di Teheran dan Isfahan, gudang amunisi, serta pangkalan bawah tanah Garda Revolusi.

Selain itu, jet F-35 Israel dengan bantuan data koordinat Mossad berhasil menembus bunker beton yang didesain untuk tahan bom, membunuh sejumlah pejabat tinggi militer, termasuk:

  • Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
  • Hossein Salami – Komandan Garda Revolusi Iran
  • Amir Ali Hajizadeh – Komandan Angkatan Udara Garda Revolusi
  • Abbas Pour – Komandan Drone
  • Khalil Shaikhsian – Kepala Sistem Pertahanan Udara

Tak hanya para jenderal, sejumlah ilmuwan nuklir utama Iran juga menjadi korban. Sedikitnya 10 tokoh penting program nuklir tewas, termasuk:

  • Abbasi-Davani – “Bapak” teknologi pengayaan uranium Iran
  • Teranchi – Ahli desain hulu ledak
  • Minouchehr – Pakar sistem sentrifugal
  • Zolfaghari – Kepala produksi uranium berkadar tinggi
  • Hosseini – Mantan kepala riset nuklir
  • Matbibizadeh – Ahli kualitas rantai produksi uranium

Akibatnya, dalam hitungan menit, seluruh “otak” program nuklir militer Iran dilumpuhkan—sebuah kerugian yang tidak mudah untuk dipulihkan, bahkan dalam waktu puluhan tahun ke depan.

Natanz: Simbol Kehancuran Program Nuklir Iran

Natanz, pusat program pengayaan uranium Iran, menjadi target utama. Di fasilitas bawah tanah yang dijaga ketat ini, ribuan sentrifugal memproses uranium hingga mendekati kadar senjata. Serangan Israel dengan bom penghancur beton membuat seluruh instalasi Natanz luluh lantak.

Berbeda dari insiden sabotase tahun 2020 dan 2021 yang hanya memperlambat proses, kali ini Natanz dihancurkan total. Peran Mossad sangat vital, dengan tim kecil yang menanam alat penanda dan sistem laser bawah tanah, sehingga bom presisi Israel menghantam titik vital dengan akurat.

Satu-satunya fasilitas yang luput adalah Fordow—bunker pengayaan di kedalaman pegunungan Qom, yang hanya bisa dihancurkan oleh bom MOP milik AS. Israel memang tak punya akses atau pesawat pembawa bom super berat ini, tapi pesan mereka jelas: apapun yang bisa dihancurkan, akan dihancurkan; sisanya, akan terus diawasi dengan segala cara.

Operasi Intelijen dan Sandiwara Psikologis

Operasi militer ini didahului oleh manuver intelijen dan perang psikologis canggih. Israel mengadakan “rapat kabinet palsu” seolah-olah membahas sandera Gaza, padahal yang terjadi adalah penandatanganan perintah perang tertutup. Berita-berita “palsu” tentang pernikahan keluarga Netanyahu dan agenda kunjungan diplomatik disebarkan demi mengecoh musuh.

Sementara itu, Trump juga turut berperan dalam “sandiwara” internasional. Hanya beberapa jam sebelum serangan, dia menegaskan komitmen mencari solusi damai, sehingga Iran dan dunia internasional lengah.

Hasilnya, bahkan media Tiongkok dan Duta Besar Tiongkok di Israel pun terbawa skenario, tampil di TV lokal dengan pesan anti-nuklir Iran dan menentang Hamas—tanpa menyadari mereka sedang menjadi bagian dari panggung besar Mossad.

Respons Iran dan Lingkaran Sekutunya: Gagal Total

Tak butuh waktu lama, Iran langsung merespons dengan meluncurkan lebih dari 100 drone dari wilayah Irak dan Suriah ke arah Israel. Namun, seluruh upaya ini sia-sia. Sistem pertahanan udara Israel (Iron Dome, David’s Sling, dan Magic Wand) bekerja sempurna, bahkan dibantu oleh jet tempur Yordania yang ikut mencegat ancaman.

Di dalam negeri Iran, Pemimpin Tertinggi Khamenei hanya mampu melontarkan ancaman tanpa aksi nyata. Pemerintah Lebanon pun melarang Hizbullah ikut campur, dan Rusia—yang selama ini bermitra strategis dengan Iran—hanya mengirim nota protes simbolis.

Tiongkok, di sisi lain, sebatas menyampaikan keprihatinan melalui juru bicara Kemenlu, tanpa tindakan konkret. Ini membuktikan bahwa saat krisis nyata terjadi, “lingkaran pertemanan” Iran sekadar ilusi politik—tak ada satu pun yang benar-benar bisa diandalkan.

Amerika Serikat: Mendukung dari Balik Layar

Meski secara resmi menyatakan serangan ini “inisiatif penuh Israel”, Amerika Serikat memberikan ruang strategis yang sangat besar. Trump, lewat media sosial, menegaskan bahwa dia telah memberi Iran banyak kesempatan negosiasi dan memperingatkan, jika Iran membalas ke kepentingan AS, maka Amerika akan membalas dengan kekuatan penuh.

Amerika juga memberikan sinyal jelas: untuk saat ini, mereka tidak akan turun tangan langsung, tetapi tetap siap jika kepentingan mereka terancam. Sementara itu, akses ke senjata penghancur bunker (MOP) tetap menjadi hak eksklusif AS, dan Israel memahami batas operasional yang ada.

Pesan untuk Dunia: Tradisi “Berdiri Sendiri” Israel dan Akhir Era “Deterrence Nuklir”

Dari serangan ke reaktor Osirak (Irak) tahun 1981, fasilitas nuklir Suriah 2007, hingga Iran hari ini, Israel selalu memegang prinsip: “Jangan beri kesempatan musuh membangun senjata pemusnah massal.”

Netanyahu menegaskan bahwa serangan ini bukan hanya demi keamanan Israel, melainkan juga dunia internasional. Pesan ini ditujukan untuk negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia yang selama ini menjadi “payung” Iran, baik teknologi maupun logistik.

Operasi Israel ke Iran menjadi babak baru dalam strategi keamanan global: pencegahan melalui serangan pre-emptive (pre-emptive strike) kini menjadi realitas, menggantikan teori deterrence lama. Serangan ini menunjukkan bahwa negara-negara yang merasa benar-benar terancam akan memilih aksi langsung ketimbang menunggu bencana datang.

Penutup: Garis Merah yang Baru untuk Dunia

Israel telah menciptakan garis merah baru dalam geopolitik dunia: ancaman nyata harus dilawan dengan tindakan nyata. Bagi Israel, ini soal kelangsungan hidup; bagi dunia, ini pengingat akan bahaya membiarkan otoritarianisme dan teknologi destruktif berkembang tanpa batas.

Netanyahu menutup pidatonya dengan peringatan tegas: “Kami melakukan ini demi anak-anak kami, juga demi anak-anak kalian di seluruh dunia. Ketika senjata nuklir jatuh ke tangan penguasa yang tak bertanggung jawab, seluruh umat manusia terancam.”

Apa yang terjadi di malam 13 Juni adalah lebih dari sekadar operasi militer—ini adalah peristiwa yang akan dikenang sebagai penanda zaman: ketika dunia menyadari, kadang satu aksi nyata lebih berarti dari seribu janji diplomatik.

(Edisi Khusus): “Xi Jinping Disingkirkan? Di Balik Kepanikan Beijing dan Barter Masa Depan Tiongkok”

EtIndonesia. Bayangkan sebuah negara adidaya rela menggunakan “aset strategis” berupa logam tanah jarang yang menjadi penopang industri dunia—hanya demi satu hal: memastikan anak-anak pejabat elite tetap bisa belajar di kampus-kampus elit Amerika, khususnya Harvard. Inilah babak baru dari drama geopolitik global yang menggemparkan dunia di awal Juni 2025.

Pada 9–10 Juni, Beijing terlihat “bertekuk lutut” di meja perundingan di London. Sementara itu, dari seberang Atlantik, Donald Trump, dengan gaya santainya, hanya memasukkan tangan ke saku sambil melontarkan kalimat yang membekukan dunia: “Tiongkok akan menyediakan seluruh logam tanah jarang yang kita butuhkan, sebagai imbalannya, pelajar mereka boleh kembali ke universitas kami.”

Kalimat inilah yang jadi sinyal awal betapa kerasnya tekanan yang sedang melanda Beijing, dan betapa besarnya taruhan yang dipasang oleh elite-elite Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Sinyal Kekalahan dari Beijing—Dibalik Wawancara Ren Zhengfei

Tak lama setelah itu, People’s Daily, corong resmi PKT, menerbitkan wawancara eksklusif dengan Ren Zhengfei, pendiri Huawei, yang nadanya jauh dari gaya agresif biasanya.

“Kami tidak sehebat itu, Amerika tidak perlu takut,” ujar Zhengfei

Sebuah ironi pahit: Huawei, yang selama ini jadi simbol perlawanan Tiongkok, kini justru tampil rendah hati di muka umum.

Dulu, siapapun yang meremehkan Huawei pasti kena “interogasi”—atau minimal dipanggil “minum teh” oleh otoritas Tiongkok. Namun kini, justru sang pendiri Huawei yang mengucapkan kata-kata itu, dipajang di halaman utama media partai, disusul judul yang tidak kalah merendah

“Semakin terbuka negara, semakin besar kemajuan yang dicapai,” katanya.

Ini bukan sekadar perubahan nada, tapi kode keras—Beijing sedang mengirim pesan pada dunia, terutama Washington: kami siap berkompromi, kami sudah kalah, asal anak-anak kami tetap bisa belajar di kampusmu.

Menghilangnya Xi Jinping—Drama di Balik Panggung

Di tengah situasi genting ini, ada satu hal yang jauh lebih mencolok: Xi Jinping benar-benar lenyap dari sorotan publik selama tiga hari penuh.

Bukan tanpa sebab. Intelijen Rusia bahkan membocorkan bahwa Xi telah tiga kali mengalami serangan jantung sejak akhir Mei, dan di dalam tubuh partai sudah muncul pergerakan senyap untuk mengambil alih kendali kekuasaan.

Sementara dunia menunggu “konfirmasi” dari Beijing, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya—Xi hanya muncul di dua upacara pemakaman, bukan di forum-forum penting kebijakan, bukan di ruang negosiasi. Dalam sistem politik Tiongkok, ini jelas bukan kebetulan, melainkan “pengasingan simbolik” yang sangat terencana.

Sandiwara Konsesi dan Kudeta Sunyi di Beijing

Lebih menarik lagi, semua dokumen, peraturan, dan keputusan penting yang keluar selama periode ini—termasuk soal jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan—tidak lagi mencantumkan nama Xi secara eksplisit.

Biasanya, setiap instruksi besar selalu diawali frasa: “Berdasarkan pemikiran Xi Jinping tentang sosialisme era baru…”

Namun kali ini, nama Xi hanya muncul satu kali, itu pun secara samar dan seolah sengaja dihapus dari konteks dokumen utama.

Apa artinya ini?

Di dunia birokrasi Tiongkok, tidak ada ruang untuk “kelalaian” dalam penyusunan dokumen tingkat tinggi. Setiap kata, bahkan tanda baca, dipastikan melalui audit ketat. Jadi jika nama Xi benar-benar hilang, itu berarti ada kekuatan baru yang sedang mengambil alih, dan sengaja menghilangkan jejaknya.

Inilah yang disebut sebagai “uji coba kekuasaan” oleh kelompok penerus. Xi “disembunyikan”, People’s Daily menggantikan peran, Ren Zhengfei tampil sebagai aktor kerendahan hati, dan di belakang layar, Trump mengetuk palu kemenangan. Lebih halus dari kudeta militer, tapi dampaknya sama mematikannya.

Barter Logam Tanah Jarang  dan Visa Harvard—Anak Elite Jadi Taruhan

Kebijakan barter ini makin jelas ketika pada 11 Juni pagi, Trump mengumumkan secara terang-terangan di media sosial: “Kesepakatan sudah tercapai—Tiongkok akan segera menyediakan seluruh logam tanah jarang dan magnet, sebagai gantinya pelajar mereka bisa kembali ke universitas kami.”

Trump bahkan menambahkan: “Saya dan Xi akan bekerja keras membuka pasar Tiongkok bagi Amerika, ini kemenangan besar bagi kedua pihak.”

Namun faktanya, Tiongkok harus tetap menerima tarif 55% atas ekspor mereka, hanya mendapat konsesi 10%, dan harus membuka keran rare earth mereka secara penuh.

Lalu, kenapa Beijing mau menerima kesepakatan yang jelas-jelas timpang ini?

Jawabannya sangat sederhana namun getir:

Bukan demi ekonomi nasional, tapi demi masa depan anak-anak para pejabat elit PKT.

Baru dua pekan lalu, Gedung Putih menghentikan sementara visa pelajar internasional Harvard—mengirim pesan keras ke Beijing.

“Jika ingin anak-anak elite kalian tetap bersekolah, serahkan sesuatu yang berharga.”

Beijing pun menyerah, logam tanah jarang  jadi “tebusan”, dan seluruh sistem tunduk pada kehendak Washington.

Krisis Waktu, Ancaman Tarif, dan Kepanikan dalam Sistem

Kesepakatan ini hanyalah perjanjian jeda sementara—lanjutan dari gencatan senjata dagang di Jenewa pada Mei. Masih tersisa 60 hari menuju deadline final. Jika dalam waktu itu tak tercapai kesepakatan komprehensif, tarif impor AS atas produk Tiongkok akan melonjak ke 145%.

Jadi, bukan kesadaran atau “pemulihan hubungan”, tapi karena terdesak waktu dan situasi internal yang rapuh.

Lebih ironis lagi, sandiwara “konsesi” ini dikemas sebagai “terobosan besar hubungan bilateral”—masyarakat diminta bersyukur, investor diimbau tenang, dan elite partai diminta patuh.

Namun siapa sebenarnya yang memutuskan? Bukan Xi. Seluruh proses negosiasi hanya diisi pejabat teknis, tanpa suara “seorang pemimpin besar” yang biasanya mendominasi headline.

Beijing dan Kudeta Sunyi—Sistem Tanpa Xi

Dalam kurun waktu satu minggu, Xi Jinping tak pernah memberi pernyataan, tak menghadiri rapat, bahkan tak membalas sindiran Trump. Ia hanya muncul di altar duka, tidak pernah di meja negosiasi.

Inilah yang disebut sebagai “pengasingan simbolik”—Xi masih menyandang semua gelar, tapi sudah bukan pengambil keputusan.

Intelijen Rusia, SVR, mengonfirmasi lewat laporan yang akurat: “Xi Jinping telah mengalami tiga kali serangan jantung, kekuasaan riil sudah dicabut, ia hanya jadi simbol.”

Sistem komando partai kini dirombak—semua instruksi dan dokumen tak lagi menyebut Xi, hanya “partai memperhatikan” atau “kami akan laksanakan”.

Pergantian kepemimpinan berlangsung tanpa suara, tanpa darah, tanpa drama.

Tiongkok di Tengah Badai Timur Tengah—Diam Seribu Bahasa

Bersamaan dengan itu, krisis di Timur Tengah memuncak—Amerika dan Israel bersiap melakukan operasi militer ke Iran.

Namun, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Beijing kini memilih diam, tidak ikut campur, tidak mengutuk, bahkan tidak membela Iran secara terbuka.

“Tiongkok selalu mendukung penyelesaian diplomatik isu nuklir Iran.”

Jawaban jubir Kementerian Luar Negeri sangat normatif dan kosong makna—tak ada sikap nyata, hanya kalimat-kalimat klise.

Pernyataan ini hanyalah upaya “pura-pura mati”, menandakan Beijing tak ingin, bahkan tak berani, ikut dalam eskalasi. Bagi Rusia dan Iran, ini sinyal nyata: Beijing telah berubah haluan, atau bahkan telah berkhianat.

Skandal Ekspor Rudal—Jejak Lama Warisan Xi

Tak berhenti sampai di situ, Wall Street Journal mengungkap laporan eksklusif bahwa Iran telah memesan ribuan ton ammonium perchlorate dari perusahaan Tiongkok untuk kebutuhan rudal balistik.

Transaksi ini terjadi sejak lama, di bawah “pengawasan” sistem Xi. Namun ketika krisis meledak, tak ada satupun pejabat tinggi yang tampil untuk membela atau menjelaskan, apalagi Xi sendiri. Semua “menghilang”, semua sistem menutup diri.

Simbol Tanpa Kuasa—Xi Jinping Dilewati Sejarah

Akhirnya, pada 12 Juni, Xi hanya muncul di upacara duka cita—tanpa suara, tanpa instruksi, tanpa kebijakan. Di satu sisi, dunia tengah bergolak dengan perang dan negosiasi panas, di sisi lain, Beijing hanya hening di altar pemakaman.

Inilah momen ketika seorang pemimpin besar “dilupakan sejarah”—bukan karena digulingkan, tapi karena dilewati oleh waktu dan peristiwa.

Penutup: “Akselerator Besar” Kini Hanya Masa Lalu

Sepanjang satu dekade, Xi Jinping kerap membanggakan kepemimpinan “tangan besi”-nya: mengendalikan kampus, modal, diplomasi, bahkan industri chip. Kini, karena terlalu sering intervensi, sistem menjadi kacau—Xi secara de facto sudah lengser, tapi secara de jure masih dipertahankan demi wajah partai.

Trump, Putin, Khamenei—semua kini bergerak tanpa memperhitungkan Xi. Tiongkok hari ini dikelola oleh “pemangku takhta” tanpa wajah, negosiator baru yang memilih kompromi sunyi ketimbang perlawanan terbuka.

Bagi elite PKT, prioritas tertinggi bukan lagi supremasi ideologi, tapi keselamatan generasi penerus mereka—anak-anak elite partai yang belajar di Amerika.

Logam tanah jarang, kebijakan, bahkan reputasi negara, semua bisa dijadikan taruhan.

Dan begitulah akhir paling pahit bagi seorang pemimpin besar: bukan digulingkan, tapi dilupakan dunia.