Kecurangan Pilpres, “Deep State” Akan Dibersihkan?

CHUAN REN

Pada 8 November lalu,  di saat tuduhan penipuan pemilu belum mendapat  sanksi  hukum, media massa sayap kiri AS dan capres Partai Demokrat Joe Biden secara sepihak menyatakan dirinya terpilih sebagai presiden Amerika Serikat “yang baru”, terhadap hal ini, Presiden AS, Donald Trump menyatakan bahwa pilpres kali ini masih jauh dari selesai, tim kampanyenya sedang menempuh jalur hukum, untuk menciduk “tangan hitam” yang  melakukan kecurangan dalam pilpres kali ini. 

Pada hari yang sama, massa pendukung Trump dari 50 negara bagian di seluruh AS secara serempak mengadakan pertemuan “hentikan kecurangan pemilu” (Stop The Steal, red.) di masing-masing Negara Bagian, memprotes tim Biden yang telah melakukan kecurangan terorganisir dalam pilpres. 

Sejumlah anggota kongres dari Partai Republik menyatakan, media massa tidak bisa memastikan siapa yang menjadi presiden, hanya warga pemilih yang bisa menentukannya, pertempuran ini belum berakhir. Sebuah perang antara kebenaran melawan kejahatan yang akan secara mendalam membersihkan “deep state” di Amerika yang tengah berlangsung sengit.

Deep State, atau negara dalam negara, merupakan kelompok terpendam atau kekuatan hitam, yang terbentuk bukan melalui pemilihan umum oleh rakyat, melainkan terbentuk oleh kaum birokrat pemerintah, pegawai negeri, badan kompleks industri militer, industri moneter, konsorsium, badan intelijen, dan grup media massa, yang tujuannya mempertahankan kepentingan sepihaknya. Merupakan kelompok yang berada di balik layar dan berusaha mengendalikan negara. Kata ini berasal dari organisasi rahasia Turki yakni Derin Devlet. 

Organisasi  tersebut dibentuk pada 1923 oleh presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk,  dengan tujuan melindungi lembaga pemerintahan yang ada dengan aksi rahasia, seperti mencemarkan nama baik, dan membunuh tokoh oposisi. Pada 12 Agustus 2019 lalu, surat kabar New York Times menerbitkan artikel berjudul Who Rules America?, yang isinya membersihkan rumor terkait “deep state”,  mengatakan   bahwa teori “deep state” yang beredar luas ada kaitannya dengan kontribusi Presiden Trump, dan merupakan berita palsu yang diciptakan oleh Presiden Trump. Akan tetapi, fakta ada- nya kecurangan massal pada pilpres AS sekarang telah membuktikan bahwa “deep state” memang benar-benar eksis.

Pada 14 Oktober lalu, New York Post memberitakan putra kedua Biden yakni Hunter Biden memanfaatkan kekuasaan sang ayah untuk korupsi, meraup uang sebanyak-banyaknya. Banyak orang meng- unggah kembali berita tersebut lewat Twitter. 

Di hari yang sama, Twitter langsung mengumum- kan larangan bagi warganet untuk memublikasikan link berita dari New York Post tersebut, dan memperingatkan kepada siapa pun yang ingin meng-klik link tersebut bahwa “link itu mungkin tidak aman”. Pada saat bersamaan, raksasa media massa lain yakni Facebook juga mengambil tindakan yang sama, membatasi penyebaran berita tersebut beredar di arus beritanya, dengan alasan dibutuhkan audit pihak ketiga untuk memverifikasi kebenarannya. Tindakan Twitter dan Facebook itu kembali memicu kecaman warga terhadap sensor media sosial dan sentimennya, pada saat yang sama tindakan mereka itu juga membuktikan mereka adalah anggota penting dalam “deep state”. 

Atas hal ini, Komisi Hukum Senator AS menggelar forum dengar pendapat, dan CEO Twitter Jack Dorsey, CEO Google Sundar Pichai, dan CEO Facebook Mark Zuckerberg dipanggil menghadiri forum. Di forum tersebut, para senat mengecam para direktur perusahaan hitech tersebut telah melakukan sensor terhadap kebebasan pers. Forum dengar pendapat tersebut membuat “deep state” dari kalangan Iptek Amerika menjadi timbul ke permukaan. 

Sejak Trump memerintah, “deep state” dari kalangan media massa juga terus memperolok dirinya sendiri akibat berulang kali menciptakan berita palsu. Media massa sayap kiri seperti surat kabar New York Times, CNN, dan CBS menjadikan aksi pemfitnahan dan  pencemaran  nama baik Trump sebagai misi yang diembannya, berniat untuk menciptakan atmosfir opini yang sangat buruk bagi Trump, tujuan akhirnya adalah membantu “deep state” agar dapat merebut kekuasaan.

 Pada September 2018, terhadap sebuah artikel yang berjudul I am Part of the Resistance Inside the Trump Administration, Trump merespon di Twitter sebagai berikut: “Kekuatan deep state dan sayap kiri beserta alat-alat mereka, dan media massa berita palsu, benar-benar sudah gila…” 

Kepada warga AS yang percaya “deep state” ini eksis, juru bicara “deep state” AS selain menyangkalnya lewat opini yang dikendalikan, juga “memberi label” bagi kelompok masyarakat ini dengan sebutan “QAnon”, tindakan sembari melakukan aksi kejahatan, sam- bil menyangkal dan memberi label bagi para penentangnya seperti ini persis seperti cara yang dilakukan partai sesat Komunis Tiongkok. 

Tak heran jika Presiden Trump berkali-kali berseru kepada warga AS bahwa “deep state” akan membawa Amerika menuju sosialisme.

Sekarang  “deep  state” di AS mempertaruhkan segalanya di dalam pilpres, dan melakukan kecurangan pemilu, aksi kudeta yang disamarkan ini telah disadari oleh banyak warga AS yang  memiliki jiwa keadilan, mereka ramai-ramai turun ke jalan menyatakan kemarahannya terhadap “deep state”.

Pada 6 November lalu, seorang pekerja Kantor Pos Pennsylvania yakni Richard Hopkins memberitahu wartawan investigasi Project Veritas yakni James O’Keefe,  bahwa Direktur Kantor Pos memerintahkannya agar mensortir surat suara yang tiba terlambat setelah 13 November untuk dipisahkan dengan benda pos lainnya, lalu distempel lagi cap pos bertanggal 3 November, untuk membantu Biden memenangkan pemilu. 

Selain itu mereka juga  melakukan kecurangan pada pena suara juga mesin voting, dan aplikasi perhitungan suara, bahkan surat suara palsu juga dikirim lewat pos, atau surat suara Trump dibuang ke tong sampah dan berbagai aksi curang untuk mengendalikan hasil pemilu. 

Demi mendapatkan hasil pemilu, “deep state” tidak takut terungkap identitasnya, tidak segan-segan melakukan aksi curang yang terorganisir dan sistematis, menunjukkan adanya kekuatan yang sangat besar di baliknya, warga AS yang berhati bajik telah terpojok oleh kekuatan ini, hukum dan keadilan pun menjadi tidak ada nilainya di hadapan “deep state”.

Pada 7 November pukul 12 tengah hari, lapangan di depan Pengadilan Tinggi Arizona dipadati ribuan massa yang meneriakkan: “Four more years” dan juga “U.S.A”, lindungi legalitas pemilu demokrasi AS, menuntut agar pengadilan menyelidiki kecurangan pemilu, di saat yang sama mengecam media massa. Anggota kongres dari Arizona yakni Walter Blackman pada pertemuan tersebut mengatakan, “Saya pernah mengikuti banyak ajang perang di luar negeri, melawan banyak kekuatan jahat, tapi tak disangka Amerika harus menghadapi kejahatan seperti ini.” 

Di saat yang sama CNN, Associated Press, Fox News, dan media arus utama lain telah mengumumkan kemenangan Biden, karena pengumuman mereka, Biden telah memenangkan Pennsyl- vania dan Nevada. Tapi Pennsylvania, Michigan, dan Nevada telah dituduh melakukan kecurangan, proses gugatan hukum masih  berlangsung. 

Tindakan “terburu-buru” mereka ini kembali membuat “deep state” di AS semakin mencuat ke  permukaan. Pada 8 November lalu, sebanyak 50 negara bagian di seluruh AS mengadakan rapat akbar “Stop The Steal”, yang memprotes “deep state” telah melakukan kecurangan terorganisir dalam pemilu.

Menghadapi kecurangan pemilu terorganisir dalam skala besar tersebut, tim kampanye Trump mulai melakukan gugatan hukum, untuk menjamin perlindungan terhadap undang-undang pemilu, dan memastikan pemenang yang legal- lah yang meraih jabatan. 

Presiden Trump mengatakan, warga AS patut mendapatkan satu kali pemilu yang jujur: ini berarti harus menghitung setiap surat suara yang sah, dan bukan memasukkan surat suara yang ilegal ke dalam perhitungan. Ini adalah satu-satunya jalan untuk menjamin keyakinan penuh masyarakat pada pemilu kita. 

Namun tim kampanye Biden menolak menyetujui prinsip fundamental ini, dan menginginkan semua surat suara dihitung, walaupun surat suara itu dipalsukan, atau dibuat oleh sekelompok orang, atau bersumber dari warga yang tidak memenuhi syarat atau telah meninggal dunia. 

Trump mengatakan, hanya pihak yang telah melakukan tindakan ilegal yang akan menghalangi tim pengawas untuk memasuki ruang perhitungan — lalu mencegah tim pengawas memasuki pengadilan. Bisa dilihat, “memenangkan pemilu” dengan mencurangi pemilu, “deep state” di Amerika telah muncul ke permukaan.

“Deep State” secara  terorganisir mencurangi pilpres kali ini,  saat ini telah diperoleh semakin banyak bukti yang mendukung pernyataan tersebut. 

Pada 9 November lalu, CEO Facebook  Mark Zuckerberg   digugat karena telah memberikan dana dalam jumlah besar bagi Swing State bahkan memberikan “bonus” kepada hakim, dengan maksud mempengaruhi hasil pemilu, dan telah dituntut secara hukum di pengadilan. Di hari yang sama, Jaksa Umum negara bagian  Michigan  yakni  Dana  Nessel mengeluarkan surat perintah penghentian kepada wartawan yang menuntut agar menghapus “video rahasia yang mengungkap dirinya melatih warga pemilih berbuat  curang di Detroit” dan hal itu terungkap di internet… bukti kuat kecurangan pemilu yang begitu banyak itu.  

Akhirnya pun membuat Jaksa Agung AS, William Barr tidak tahan lagi, dan pada 9 November Barr mengeluarkan memo yang memberikan kewenangan bagi jaksa federal untuk melakukan investigasi terhadap tuduhan pelanggaran pemilu dalam jumlah besar tersebut.

Di saat yang sama, Presiden Trump tiba-tiba memecat Menteri Pertahanan Mark Esper, surat perintah tersebut berlaku saat itu juga. Praktisi media massa senior AS menilai, ini mungkin merupakan langkah pertama Trump yang selanjutnya hendak menerapkan “UU anti pemberontakan”, karena menghadapi bukti kecurangan yang begitu banyak ini, “deep state” telah muncul ke permukaan, mereka akan segera membuat perhitungan dengan pemerintahan Trump, di saat mereka kalah di pengadilan mungkin akan terdesak, dan kembali mengobarkan kerusuhan “ANTIFA” dan “BLM”, pemerintahan Trump telah mengantisipasi  hal ini.

Tidak bisa dipungkiri, perang antara kebenaran melawan kejahatan sedang berkobar sengit di AS, pada saat ini 9 orang hakim agung Pengadilan Tertinggi AS telah ditempatkan pada posisinya, yang menantikan para pelaku kecurangan adalah pengadilan untuk menegakkan keadilan. (lie)

Keterangan Foto : Ratusan pendukung Donald Trump berkumpul di ibu kota negara bagian Pennsylvania untuk menunjukkan kemarahan mereka pada hasil pemilihan jam setelah negara bagian dipanggil untuk Joe Biden di Harrisburg, Pa., Pada 7 November 2020. (Spencer Platt / Getty Images)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=T2-bvfqKAN8