Mulai Mandat Masker Hingga Pengobatan dengan Aspirin, Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Pandemi Flu Spanyol 1918

Tessa Lena

Ulasan kali  ini mengenai flu pada tahun 1918 dan mitologi yang melingkupinya. 

Pembahasan ini mengenai mandat masker, overdosis aspirin sebagai sebuah kemungkinan penyebab kematian, dan paralel sejarah yang menarik.

Ketika kembali ke sejarah, kita bergantung pada “pendapat ahli.” Sejarah biasanya ditulis oleh pemenang dan dikemas dalam waktu nyata agar sesuai dengan narasi yang membantu pemenang itu menjual sudut pandang mereka saat ini–—dan itulah alasannya mengapa sedemikian menarik untuk menemukan fakta dan hipotesis yang bertentangan, seperti hipotesis mengenai keracunan aspirin yang berpotensi membunuh sejumlah besar orang selama pandemi tahun 1918.

Sejarah Pandemi Tahun 1918

Pandemi influenza yang terjadi pada tahun 1918 dan 1919 dianggap sebagai “wabah flu yang paling mematikan dalam sejarah.” 

Diperkirakan pandemi flu Spanyol itu membunuh 20 hingga 50 orang juta orang di seluruh dunia, termasuk sekitar 675.000 orang Amerika Serikat (menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS- CDC-; data historis terbatas). 

Biro Sensus AS memperkirakan bahwa pada tahun 1918, penduduk Amerika Serikat menjadi sedikit di atas 103 juta jiwa.

Menurut history.com, “Infeksi pertama yang tercatat terjadi pada personel Angkatan Darat Amerika Serikat yang ditempatkan di Fort Riley, Kansas, pada tanggal 4 Maret 1918. Meskipun pada awalnya Amerika Serikat dan negara-negara lain berperang menekan berita flu tersebut…ada perasaan bahwa mengikuti pencegahan-pencegahan kesehatan yang baru ini adalah patriotik.” 

Di Amerika Serikat, pihak berwenang setempat meluncurkan berbagai tindakan yang dirancang untuk menghentikan penyebaran flu tersebut. 

Langkah-langkah  bervariasi wilayah demi wilayah serta mencakup “penutupan sekolah dan tempat-tempat hiburan umum, menegakkan peraturan larangan meludah, mendorong orang-orang untuk menggunakan sapu tangan atau tisu sekali pakai dan mengharuskan orang-orang memakai masker di tempat umum.” Di sejumlah kota Amerika Serikat, tata cara pemakaian masker adalah inti tanggapan terhadap pandemi.

Masker Selama Pandemi Tahun 1918

“Seperti yang dikatakan oleh Iklan Layanan Masyarakat  Palang Merah, ‘pria atau wanita atau anak-anak yang tidak mengenakan masker sekarang adalah seorang pemalas yang berbahaya.’ Rasa tugas masa perang ini –— dan rasa takut terlihat sebagai seorang ‘pemalas’–—mungkin telah memotivasi mereka yang mematuhi perintah untuk mengenakan masker di kota-kota seperti San Francisco, Seattle, Denver dan Phoenix. 

Namun meskipun kepatuhan itu adalah tinggi, beberapa orang mengeluh bahwa masker adalah tidak nyaman, tidak efektif atau buruk untuk bisnis. Petugas tertangkap basah di depan umum tanpa mengenakan masker. Dan setelah perang tersebut berakhir, dan tidak ada lagi perasaan bahwa orang-orang harus mengenakan masker untuk menjaga pasukan yang aman, beberapa pembangkang bahkan membentuk ‘Liga Anti-Masker’ di San Francisco.” 

Selama pandemi tahun 1918, tata cara untuk mengenakan masker terutama dikeluarkan di pantai barat. Dilaporkan, sebagian besar orang mematuhinya di mana 4 dari 5 orang mengenakan masker. Pejabat publik “membingkai tindakan anti-flu sebagai suatu cara untuk melindungi pasukan dari serangan wabah yang mematikan.” 

Resimen ke-39 AS di Seattle, pakai masker untuk mencegah influenza. Desember 1918. Para prajurit sedang dalam perjalanan ke Prancis selama pandemi Influenza ‘Spanyol’ 1918-1919. Oleh Everett Collection/Shutterstock

Pada saat itu, masker terbuat dari kain kasa, dan beberapa orang mengenakan masker “fashion” yang bahkan lebih berpori. Beberapa orang memberi lubang-lubang pada maskernya untuk merokok.

 Pihak berwenang cukup longgar terhadap jenis masker yang dikenakan orang-orang sejauh ada sesuatu yang menutupi di wajah mereka. Orang-orang yang melanggar semua tata cara itu dihukum berat, setidaknya inilah yang dikatakan laporan-laporan saat ini.

“Kota-kota yang meloloskan peraturan masker pada musim gugur tahun 1918 berjuang untuk menegakkan peraturan masker itu di antara sebagian kecil orang-orang yang memberontak. Hukuman yang umum adalah denda, hukuman penjara dan nama anda tercetak di kertas. Dalam satu insiden yang mengerikan di San Francisco [dijelaskan dalam artikel Atlantic dari tanggal 19 Maret 2020] seorang petugas khusus untuk Dewan Kesehatan menembak seorang pria serta dua pengamat yang menolak mengenakan masker.”

“Ini jauh berbeda dari perlakuan yang diterima para pemimpin San Francisco ketika mereka tidak mematuhi peraturan masker. Pada sebuah pertandingan tinju, seorang fotografer polisi mengambil gambar dari beberapa pengawas, seorang anggota kongres, seorang hakim, seorang laksamana angkatan laut, petugas kesehatan San Francisco dan bahkan Walikota San Francisco, semuanya tidak mengenakan masker.  Petugas kesehatan membayar denda 5 dolar AS dan Walikota San Francisco kemudian membayar denda  50 dolar AS, tetapi tidak seperti orang-orang ‘pemalas yang tidak mengenakan masker’ lainnya, mereka ini tidak menerima hukuman penjara (bahkan tidak ada yang menembak mereka ini).

Penulis merasa menarik untuk membandingkan metode psikologis yang digunakan pada tahun 1918 dengan metode psikologis yang digunakan pada tahun 2020 dan seterusnya dalam konteks COVID. 

Menurut Influenza Archive, “mengenakan sebuah masker segera menjadi sebuah simbol patriotisme masa perang… Dengan memanfaatkan retorika dan citra upaya perang dan patriotisme berat yang menyertainya, metode-pejabat kesehatan kota dan negara bagian berharap untuk mengungkapkan jika tidak langsung menggertak penduduk agar patuh.”

“Untuk pejabat kota, kepentingan tersebut tidak begitu besar dalam spesifikasi konstruksi masker melainkan sesuai dengan surat peraturan. Sementara sebagian besar penduduk San Fransiskan menuruti perintah untuk mengenakan masker, polisi menangkap seratus sepuluh orang pada tanggal 27 Oktober saja karena tidak mengenakan masker atau tidak mengenakan masker dengan benar. Masing-masing orang itu didakwa dengan ‘mengganggu perdamaian,’ dan sebagian besar orang-orang itu  dikenakan denda  5 dolar AS, dengan uang untuk pergi ke Palang Merah. Sembilan orang yang malang diadili sebelum satu hakim tertentu dijatuhi hukuman jangka pendek di penjara kabupaten. Hari berikutnya, kelompok lain yang terdiri dari lima puluh pelanggar ditangkap; lima orang dikirim ke penjara, dan tujuh orang lainnya didenda 10 dolar AS per orang. 

Banyak penangkapan berlanjut pada hari-hari berikutnya, di mana sebagian besar orang menerima denda kecil dan beberapa orang dihukum selama beberapa hari di penjara. Seperti yang kemudian dikatakan kepala polisi kota kepada para wartawan, jika terlalu banyak penduduk yang ditangkap dan diberi hukuman penjara karena gagal mengenakan masker flu mereka, ia akan segera kehabisan ruang di sel-selnya.”

Menarik juga untuk melihat bagaimana pada tahun 1918, seperti saat ini, di mana lebih ke kehadiran formal selembar kain di wajah daripada mengenai bagaimana menghentikan virus tersebut.

 “Banyak masker itu terbuat dari bahan-bahan yang meragukan, bahkan bahan-bahan yang lebih berpori dan tidak efektif daripada kasa bedah standar yang paling sering digunakan. Petugas kesehatan dan berbagai ahli’ masker memuji keefektifan semua jenis bahan….The San Francisco Chronicle menggambarkan beberapa penduduk kota mengenakan masker mulai dari kasa bedah yang standar hingga kreasi yang menyerupai kantong hidung, dari inspirasi kerudung muslim yashmak dari Turki hingga penutup sifon tipis yang menutupi mulut dan hidung. Beberapa orang mengenakan ‘mesin yang tampak menakutkan seperti moncong yang panjang’ di wajahnya saat mereka berjalan-jalan dan berbelanja di toko-toko di pusat kota.’”

Ilmu Pengetahuan Mengenai Masker Sejak Dulu

Sementara politisi di beberapa kota memberlakukan masker-masker berpori atas nama

patriotisme dan kebaikan masyarakat–—dan polisi memenjarakan para pembangkang–—para ilmuwan memperdebatkan nilai masker untuk mencegah flu tersebut. 

Misalnya, penelitian ini sejak dulu menyatakan sebagai berikut:

“Kegagalan masker adalah sebuah sumber kekecewaan, untuk percobaan pertama di San Francisco ditonton dengan penuh minat dengan harapan jika terbukti layak untuk menegakkan peraturan hasil yang diinginkan akan tercapai. Kebalikannya terbukti benar. Masker, bertentangan dengan harapan, dipakai dengan riang dan universal, dan juga bertentangan dengan harapan mengenai apa yang harus diikuti dalam keadaan seperti itu, tidak tampak ada efek pada kurva epidemi. Sesuatu adalah jelas salah dengan hipotesis kami”

Secara keseluruhan, penelitian ini sampai pada kesimpulan berikut:

1. Masker kain kasa memberikan sebuah pengaruh penahanan tertentu pada jumlah tetesan liur yang mengandung bakteri yang mungkin terhirup.

2. Pengaruh ini dimodifikasi oleh jumlah lapisan dan kerapatan tenunan kain kasa.

3. Ketika sebuah tingkat kepadatan yang cukup pada masker yang digunakan untuk menerapkan proses sebuah pengaruh penyaringan yang bermanfaat, pernapasan menjadi sulit dan kebocoran terjadi di sekitar tepi masker.

4. Kebocoran di sekitar tepi masker ini dan aspirasi  secara paksa tetesan liur yang sarat di udara melalui masker itu adalah memadai untuk memungkinkan pengurangan  dosis infeksi tidak lebih dari 50 persen efektif.

5. Eksperimen terkontrol di masa depan di rumah sakit penyakit menular tetap harus dilakukan untuk menentukan apakah pemakaian masker dengan tekstur semacam itu demi alasan kenyamanan adalah efektif dalam mengurangi kejadian infeksi.

6. Masker belum terbukti memiliki sebuah tingkat efisiensi yang akan menjamin wajib mengenakan masker untuk pemeriksaan epidemi.

Overdosis Aspirin

Pada tahun 2009, Karen M. Starko, seorang ahli epidemiologi Amerika Serikat, menerbitkan sebuah makalah yang menarik berjudul, “Salisilat and Mortalitas Influenza Pandemi, Farmakologi, Patologi, dan Bukti Sejarah Tahun 1918–1919.” 

Makalah Karen M. Starko menerima masukan yang positif di media dan bahkan ditulis di New York Times di tahun yang sama ia menerbitkan makalahnya.

Kutipan langsung dari New York Times:

“Yang menimbulkan kecurigaan Dr. Karen M. Starko bahwa  dosis tinggi aspirin, jumlah dosis yang dianggap tidak aman saat ini, biasanya digunakan untuk mengobati penyakit tersebut, dan gejala overdosis aspirin mungkin sulit dibedakan dari gejala-gejala flu, terutama di antara orang-orang yang meninggal segera setelah jatuh sakit. Bahkan beberapa keraguan meningkat pada saat itu. Setidaknya satu ahli patologi kontemporer yang bekerja untuk Layanan Kesehatan Masyarakat berpikir bahwa jumlah kerusakan paru-paru terlihat selama otopsi pada kematian dini adalah terlalu kecil untuk dikaitkan dengan pneumonia virus, dan sejumlah cairan dan darah di paru-paru pasti memiliki penyebab lain.”

Dalam kata-kata Dr. Karen M. Starko, “Hipotesis yang disajikan di sini adalah bahwa terapi salisilat untuk influenza selama pandemi tahun 1918-1919 mengakibatkan toksisitas dan edema paru-paru, yang berkontribusi pada kejadian dan tingkat keparahan Sindrom Gangguan Pernapasan Akut-mirip paru-paru, infeksi bakteri berikutnya, dan kematian secara keseluruhan. Data farmakokinetik, yang tidak tersedia pada tahun 1918, menunjukkan bahwa rejimen aspirin dianjurkan untuk ‘influenza Spanyol’ yang cenderung menyebabkan toksisitas paru yang parah.”

“Sebuah pertemuan berbagai peristiwa menciptakan sebuah ‘badai yang sempurna’ untuk toksisitas salisilat yang meluas. Hilangnya paten Bayer pada aspirin pada bulan Februari 1917 memungkinkan banyak produsen memasuki pasar aspirin yang menguntungkan. ‘

Anjuran resmi untuk terapi dosis toksik aspirin didahului oleh ketidaktahuan mengenai kinetika non-linier salisilat yang tidak biasa (tidak diketahui sampai tahun 1960-an), yang merupakan predisposisi akumulasi dan toksisitas; kaleng dan botol salisilat tidak berisi peringatan dan sedikit instruksi; dan ketakutan akan influenza ‘Spanyol,’ penyakit yang menyebar seperti api.”

Dr. Karen M. Starko mengusulkan empat baris bukti yang mendukung peran keracunan salisilat pada kematian influenza: farmakokinetik, mekanisme aksi, patologi, dan

serentetan anjuran-anjuran resmi untuk rejimen toksik aspirin segera sebelum lonjakan kematian pada bulan Oktober 1918.

Anjuran-anjuran resmi untuk aspirin dikeluarkan pada tanggal 13 September 1918 oleh Ahli Bedah Umum, pada tanggal 26 September 1918 oleh Angkatan Laut Amerika Serikat, dan pada tanggal 5 Oktober 1918 oleh Journal of American Medical Association. Anjuran sering menyatakan rejimen dosis yang saat ini diketahui adalah tidak aman. 

“Di kamp Angkatan Darat Amerika Serikat dengan angka kematian tertinggi, dokter mengikuti anjuran pengobatan Osler, yang mencakup aspirin, memesan 100.000 tablet. Penjualan aspirin meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1918 hingga 1920.”

“Jumlah kematian di Amerika Serikat meningkat tajam, memuncak pertama kali di Angkatan Laut Amerika Serikat pada akhir bulan September, lalu di Angkatan Darat Amerika Serikat pada awal bulan Oktober, dan akhirnya pada penduduk umumnya pada akhir bulan Oktober. Ahli homeopati, yang mengira aspirin adalah racun, mengklaim sedikit kematian. Orang-orang lainnya mungkin menduga bahwa aspirin bertanggung jawab. Pada tanggal 23 November 1918, Horder menulis di The Lancet bahwa, untuk ‘kasus yang sangat beracun…aspirin dan semua yang disebut obat penurun panas harus secara keras dikeluarkan dari pengobatan’ (halaman 695).

Menurut Dr. Karen M. Starko, “tepat sebelum lonjakan kematian tahun 1918, aspirin telah dianjurkan dalam rejimen yang sekarang diketahui berpotensi beracun dan menyebabkan edema paru. Oleh karena itu, aspirin mungkin berkontribusi pada kematian pandemi secara keseluruhan dan beberapa misterinya. Kematian orang dewasa muda dapat dijelaskan dengan kemauan untuk menggunakan terapi baru yang dianjurkan dan kehadiran kaum muda dalam pengaturan perawatan (militer). Mortalitas yang lebih rendah pada anak-anak mungkin disebabkan oleh kurangnya penggunaan aspirin… Terjadinya penyakit seperti sindrom Reye sebelum tahun 1950-an adalah diperdebatkan dan konsisten dengan fakta bahwa aspirin anak-anak tidak dipasarkan sampai akhir tahun 1940-an. Memvariasikan penggunaan aspirin juga dapat berkontribusi pada perbedaan kematian antar kota-kota dan antar kamp-kamp militer.”

Seluruh makalah oleh Dr. Karen M. Starko adalah sangat menarik, dan penulis sarankan anda membacanya dan meninjau diri anda sendiri. Melihat ke belakang, sulit untuk mengatakan sejauh mana tepatnya overdosis aspirin harus disalahkan dibandingkan dengan faktor-faktor lain, dan apa yang lebih mematikan —– epidemi itu sendiri atau antusiasme para pejabat kesehatan —– tetapi hipotesis tersebut secara pasti membuat satu pertanyaan menjadi dasar dari apa yang kita kenal sebagai “benar.” 

“Pelangi Tidak Terlihat”

Ada juga hipotesis oleh Arthur Firstenberg, penulis “Pelangi Tidak Terlihat,” yang perlu disebutkan. 

Arthur Firstenberg “menelusuri sejarah kelistrikan dari awal abad kedelapan belas hingga saat ini, membuat sebuah kasus yang menarik bahwa banyak masalah lingkungan, serta penyakit-penyakit utama peradaban industri–—penyakit jantung, diabetes, dan kanker==—berkaitan dengan polusi listrik.”

Sudut itu layak mendapat sebuah cerita tersendiri–—dan itu terlepas dari bagaimana perasaan orang terhadap perdebatan sengit antara teori kuman dengan teori medan. 

Kuman atau medan, sekarang diketahui dengan sangat baik bahwa polusi elektromagnetik memiliki sebuah dampak besar pada fungsi seluler manusia dan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Alasan mempengaruhi sistem kekebalan manusia saja, perlu diselidiki dengan sungguh-sungguh. 

Secara pribadi, penulis menduga bahwa ketika sensor topik dampak polusi elektromagnetik pada kesehatan manusia akhirnya mengikuti Teflon dan asbes, hal tersebut akan banyak membantu kita. 

Bukan berarti Teflon dan asbes telah menghilang… kenyataannya, percaya atau tidak, asbes baru menjadi keren dalam konteks memerangi “darurat iklim.” Tetapi setidaknya seseorang dapat berbicara mengenai Teflon dan asbes tanpa menjadi disebut seorang ahli teori konspirasi!

Rekonstruksi Virus Flu Tahun 1918

Pada awal tahun 2000-an, virus influenza tahun 1918 direkonstruksi. Menurut kata-kata Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS- CDC-, “Peneliti CDC dan rekan-rekan mereka berhasil merekonstruksi virus influenza yang menyebabkan pandemi flu tahun 1918-1919, yang menewaskan sebanyak 50 juta orang di seluruh dunia.”

Ada sebuah rincian yang mengerikan dan menjijikkan dalam proses rekonstruksi tersebut. Untuk membuat sebuah urutan genom dari apa yang para ilmuwan setuju untuk percayai sebagai virus flu tahun 1918, para ilmuwan terpaksa menggali sebuah kuburan di lapisan es Alaska dan menodai mayat seorang wanita Inuit yang dimakamkan di sana. 

Para ilmuwan juga mengekstrak sampel-sampel dari mayat dua anggota layanan Amerika Serikat yang terakhir, satu di Carolina Selatan, dan yang lainnya di Negara Bagian New York. Tidak ada kebutuhan mendesak untuk penelitian ini. Para peneliti melakukannya karena mereka penasaran dan merasa berhak. (Vv)