Berinvestasi di Tiongkok Menjadi Lebih Berisiko bagi AS dan Perusahaan Asing

Antonio Graceffo

Ongkos operasional di Tiongkok melonjak sebagaimana risikonya. Pada saat yang sama, anjloknya ekonomi Tiongkok menurunkan investasi dan mencegah konsumen membelanjakan uang. Masa ekonomi yang sulit mengubah kebiasaan belanja konsumen Tiongkok. Mereka membeli lebih sedikit. Ketika mereka berbelanja, mereka semakin memilih merek domestik dan menuntut harga yang lebih rendah.

Kombinasi faktor ekonomi dan sosial ini menurunkan pangsa pasar perusahaan asing. Akibatnya, merek internasional menghadapi ongkos yang lebih tinggi, risiko yang lebih besar, dan pendapatan penjualan yang lebih rendah.

Berbagai kamar dagang bilateral melaporkan bahwa banyak perusahaan asing di Tiongkok pindah ke negara lain, mempertimbangkan  pindah dari Tiongkok, atau mengalihkan Foreign Direct Investment (FDI) masa depan ke negara lain.

Menurut Kamar Dagang Amerika di Tiongkok, 25 persen perusahaan AS di Shanghai memangkas investasi mereka. Selain itu, 53 persen perusahaan AS secara nasional berencana  mengurangi investasi pada tahun depan jika pembatasan COVID-19 tetap ada. Dan, 23 persen responden survei Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok mengatakan, mereka sedang mempertimbangkan mengalihkan investasi saat ini atau yang direncanakan keluar dari Tiongkok.

Di antara perusahaan asing yang memindahkan setidaknya beberapa operasi dan investasi masa depan mereka untuk keluar dari Tiongkok adalah Samsung, LG Electronics, Adidas, Puma, Zoom, Sharp, Hasbro, Kia Motors, Hyundai Motor Group, Hyundai Mobis, Stanley Black & Decker, Dell, HP, Google Alphabet, Microsoft, Linkedin, GoPro, Intel, Sony, Nintendo, Under Armour, Steve Madden, dan Old Navy. Apple, pemberi kerja sektor swasta terbesar di negara itu, berencana  mengalihkan manufakturnya ke negara lain.

Perekonomian Tiongkok yang melambat, berarti pengangguran  lebih tinggi, lebih sedikit lapangan pekerjaan terbaru di negara dari 10 juta lulusan universitas serta mengalami penurunan penjualan ritel.

Meningkatnya risiko politik merupakan faktor lainnya yang menghambat investasi. Bahkan sebelum lockdown. Kamar Dagang Amerika melaporkan bahwa lebih dari sepertiga anggotanya berencana mengurangi investasi. Pasalnya,  perubahan kebijakan pemerintah, yang mana telah menjadi racun bagi banyak perusahaan.

Penjualan ritel juga terpukul gara-gara meningkatnya kontrol politik. Tahun lalu, seorang ratu streaming  terkemuka kehilangan platformnya ketika dia didakwa dengan penggelapan pajak. Tahun ini, seorang bintang ritel online terkemuka di-de-platformed, karena menunjukkan makanan penutup berbentuk tank menjelang peringatan 4 Juni pembantaian Lapangan Tiananmen. Pada April, penjualan turun 11 persen tahun-ke-tahun, dan pada Mei, mereka turun 6,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan perusahaan dan orang-orang Tiongkok yang melanggar sensor, perusahaan AS harus berhati-hati.

Namun demikian, risiko lain yang dihadapi perusahaan AS adalah regulasi entry-exit  yang dibatasi. Tiga perempat dari perusahaan A.S, telah melaporkan kesulitan mendapatkan karyawan masuk dan keluar dari negara itu. Dari awal tahun hingga Maret, sebagian besar penerbangan internasional telah dibatalkan. Visa bisnis telah dikurangi secara signifikan, Visa Dependent hampir dihapus, dan  karantina selamat tiga minggu bagi kedatangan dari  luar negeri.

Beberapa pembatasan terkait COVID ini telah dicabut. Namun, aturan COVID sering berubah dan tanpa peringatan. Seseorang tidak pernah mengetahui di mana dan kapan mereka dapat muncul kembali atau bentuk apa yang akan mereka ambil.

Umumnya investasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekspor, yang telah menurun di Tiongkok selama beberapa tahun. Dan, tren penurunan diperkirakan akan terus berlanjut. Sekarang, bank-bank investasi besar telah menurunkan proyeksi pertumbuhan Tiongkok pada tahun ini. Moody’s memangkas perkiraan pertumbuhan Tiongkok 2022 menjadi 4,5 persen. Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan PDB  menjadi 4,3 persen, sementara Goldman Sachs mengurangi perkiraan Tiongkok menjadi 4 persen.

Situasi Taiwan menimbulkan risiko investasi bagi orang-orang Amerika di Tiongkok. Orang tidak pernah tahu apakah dan kapan rezim Tiongkok akan menyerang Taiwan, pada titik mana, semuanya taruhan akan ditinggalkan. Ada kemungkinan Tiongkok  menasionalisasi perusahaan AS atau mengusir manajer dan karyawan Amerika. Sudah sulit melakukan repatriasi profit  yang diperoleh di Tiongkok.  Jika perang meletus,  mungkin menjadi lebih impossible.

Tahun ini, perang Ukraina dan kudeta di Myanmar, menambah risiko tambahan. Ongkos bahan baku dan energi naik, hingga ongkos pun menjadi mahal. Selain itu, ada kemungkinan besar bahwa Amerika Serikat akan memberikan sanksi sekunder terhadap Tiongkok karena membantu Rusia atau mendukung rezim Junta Myanmar.

Kenaikan suku bunga Federal Reserve AS akan meningkatkan biaya pinjaman dan menambah lebih banyak tekanan pada ekonomi Tiongkok. Tarif yang lebih tinggi di Amerika Serikat menarik investasi dari Tiongkok. Reaksi  Xi Jinping adalah memperketat kontrol arus keluar modal, yang mempersulit perusahaan asing di Tiongkok membeli bahan mentah, mengirimkan profit kembali ke kantor pusat, atau membayar investor AS.

Risiko investasi Tiongkok meningkat sementara return menurun. Atas alasan ini, banyak perusahaan AS dan asing mengalihkan investasi mereka kembali ke Amerika Serikat atau di luar Tiongkok. Tren ini diperkirakan akan berlanjut dan dapat meningkat jika perang meletus. (asr)