Hakim Saldi Isra Ungkapkan Peristiwa “Aneh” yang “Luar Biasa” dan Jauh dari Batas Penalaran Tentang Putusan  MK 

Khawatir MK menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik yang meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik

ETIndonesia – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkapkan peristiwa “Aneh” yang “Luar biasa” dan jauh dari batas penalaran tentang putusan  Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabukan sebagian uji materi  Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tentang  usia capres-cawapres 40 tahun.  Uji materi ini  mengecualikan capres dan cawapres sudah berpengalaman sebagai kepala daerah. 

“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ungkapnya. 

Selanjutnya Saldi mengungkapkan, kronologis proses putusan serta komposisi hakim konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang terbagi menjadi dua gelombang; tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama, sedangkan Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang kedua. 

Ia juga mengatakan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi tanpa dihadiri Ketua MK Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).

Pada RPH berikutnya, sebut Saldi, beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menunjukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Padahal, kata dia, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Belum lagi adanya fakta, para Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para Pemohon. 

Saldi membeberkan misteri pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang 97 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Saldi juga menyoroti mengenai amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ia memaparkan bahwa lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” ternyata terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu tiga Hakim Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Tidak berhenti sampai di situ, dua Hakim Konstitusi dimaksud masih tetap mempertahankan prinsip “opened legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disepadankan atau dialternatifkan tersebut. 

Ia menyampaikan pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur. Dengan pilihan amar memaknai Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” seharusnya tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian”.

Selain itu, Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan “beban politik” Mahkamah untuk memutusnya.

“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tandasnya. (MK/asr)