EtIndonesia. Dalam perkembangan militer dan diplomatik yang mengguncang kawasan Timur Tengah serta mengundang reaksi global, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memerintahkan serangan udara intensif terhadap kelompok pemberontak Houthi di Yaman. Operasi ini, yang dimulai pada Sabtu (15/3), melibatkan beberapa pesawat tempur yang dikerahkan dari kapal induk USS Truman dan telah mengakibatkan penembakan jatuh sekitar 12 drone Houthi. Dalam konteks yang sama, Trump mengungkapkan bahwa target berikutnya adalah Iran, meskipun sejumlah analis menyebutkan bahwa sasaran akhir sebenarnya adalah kekuatan Partai Komunis Tiongkok.
Aksi Militer dan Strategi Pertahanan
Seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan AS menyatakan kepada Fox News bahwa drone-drone Houthi yang menyerang telah diarahkan ke kapal induk USS Truman, namun upaya tersebut berhasil diantisipasi dengan tembakan pertahanan sebelum drone sempat menimbulkan ancaman signifikan.
Menteri Pertahanan, Pete Hegseth, dalam wawancara di program “Sunday Morning Futures” menegaskan bahwa serangan terhadap Houthi tidak akan berhenti sampai kelompok tersebut menghentikan serangan terhadap kapal-kapal yang melintasi Laut Merah.
“Era di mana perdamaian dicapai melalui kekuatan telah kembali,” ujarnya, menekankan pentingnya kebebasan navigasi sebagai kepentingan inti nasional AS.
Selain itu, Hegseth menegaskan bahwa serangan udara yang menghancurkan infrastruktur dan sistem pertahanan rudal Houthi telah berhasil, dengan beberapa pemimpin kunci pemberontak tewas dalam operasi tersebut. Operasi militer ini juga diklaim sebagai peringatan kepada Iran dan pendukungnya, dengan sinyal bahwa dukungan terhadap Houthi tidak akan ditoleransi.
Pernyataan Para Pejabat dan Isyarat terhadap Iran
Menteri Luar Negeri AS, Rubio, dalam wawancara dengan CBS “Face the Nation” menyatakan bahwa operasi ini merupakan upaya berkelanjutan untuk mengurangi kemampuan Houthi dalam membatasi kebebasan navigasi. Menurutnya, tanpa dukungan Iran, Houthi tidak akan mampu menjalankan serangan mereka. Operasi ini, menurut pejabat-pejabat AS, tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan stabilitas di wilayah tersebut, tetapi juga merupakan pesan keras kepada Iran agar tidak terus mendukung kelompok yang dianggap brutal itu.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Michael Waltz, mengungkapkan keberhasilan operasi dengan tegas: serangan udara telah menghancurkan infrastruktur pertahanan Houthi dan menghilangkan pimpinan utama kelompok tersebut. Di media sosial, Presiden Trump melalui “Truth Social” menampilkan foto dirinya menyaksikan langsung serangan tersebut, sedangkan Komando Pusat AS membagikan rekaman video operasi lewat platform AXS.
Dinamika Regional dan Dampak terhadap Navigasi Global
Sejak November 2023, Houthi telah kerap menyerang kapal-kapal, termasuk kapal yang tidak terkait dengan Israel, memaksa pelaku industri maritim internasional untuk mencari rute alternatif yang menambah biaya dan waktu pengiriman.
Menteri Pertahanan AS menegaskan bahwa serangan terhadap kapal, pesawat, dan personel AS tidak akan dibiarkan tanpa respons. Banyak analis melihat penghancuran kemampuan Houthi sebagai langkah strategis untuk mengurangi pengaruh Iran di kawasan Laut Merah, meskipun sasaran akhir operasi ini masih mengincar aktor geopolitik lain seperti Partai Komunis Tiongkok.
Ketegangan Diplomatik dengan Tiongkok dan Afrika Selatan
Di luar sorotan kawasan Timur Tengah dan kebijakan imigrasi, dinamika hubungan internasional juga mencuat. British Financial Times melaporkan bahwa Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menolak undangan untuk menghadiri Konferensi Puncak 50 Tahun Hubungan Tiongkok-Eropa di Brussels. Meskipun Perdana Menteri Li Qiang dijadwalkan hadir, keputusan Xi Jinping untuk tidak datang menimbulkan kekecewaan di pihak Uni Eropa, yang berharap kehadiran pimpinan tertinggi Tiongkok dapat meningkatkan kualitas pertemuan di tengah situasi pasca-invasi Rusia ke Ukraina.
Sementara itu, hubungan AS dengan Afrika Selatan menunjukkan tanda-tanda ketegangan baru. Duta Besar Afrika Selatan untuk AS, Ebrahim Rasool, diwajibkan meninggalkan Amerika Serikat dalam waktu 72 jam setelah menyampaikan kritik keras terhadap Presiden Trump, menyebutnya sebagai figur supremasi kulit putih. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan antara kedua negara, meskipun pemerintah Afrika Selatan kemudian menyatakan penyesalan atas insiden tersebut dan menekankan harapan untuk tetap menjaga kerja sama bilateral yang saling menguntungkan.