EtIndonesia. Kelompok Tujuh (G7) baru-baru ini mengadakan pertemuan menteri luar negeri dan merilis pernyataan bersama yang lebih keras terhadap Tiongkok. Yang paling mencolok, dalam pembahasan mengenai Taiwan, tidak lagi disebutkan “Kebijakan Satu Tiongkok” seperti dalam pernyataan sebelumnya.
Para analis menilai bahwa sikap ini mencerminkan konsensus yang semakin kuat di antara negara-negara Barat dalam menghadapi ancaman dan provokasi Beijing.
Pernyataan G7 Menghapus “Kebijakan Satu Tiongkok”
Pada 13-14 Maret, para menteri luar negeri G7 bertemu di La Malbaie, Kanada.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan, terlihat bahwa banyak kata-kata yang biasanya digunakan untuk meredakan hubungan dengan Beijing telah dihapus.
Di pernyataan-pernyataan sebelumnya, G7 selalu menyebutkan bahwa mereka tidak berusaha memisahkan diri dari Tiongkok dan mengakui prinsip Kebijakan Satu Tiongkok. Namun, kali ini semua kalimat tersebut tidak muncul dalam pernyataan G7.
Dr. Chung Chih-tung, peneliti di Institut Penelitian Keamanan dan Pertahanan Nasional Taiwan, menilai bahwa penghapusan frasa “Kebijakan Satu Tiongkok” merupakan bentuk tekanan terhadap Beijing.
“Komunitas internasional semakin menyadari ambisi dan niat Tiongkok (Partai Komunis Tiongkok) terhadap Taiwan, yang ingin mengubah status quo secara sepihak melalui kekuatan militer. Dengan tidak menyebutkan ‘Kebijakan Satu Tiongkok’, G7 mengirimkan pesan kepada Beijing agar bertindak sesuai dengan tuntutan masyarakat internasional, bukan hanya sekadar mengklaim kedaulatan sepihak atas Taiwan.”
Chung menambahkan bahwa sejak 2021, isu Taiwan pertama kali masuk dalam pernyataan bersama G7, dan sejak saat itu, dukungan G7 terhadap Taiwan terus meningkat.
“Ini adalah bukti bahwa isu Taiwan semakin menjadi perhatian internasional.”
Beijing Gagal dalam Upaya Memengaruhi Taiwan, Kini Meningkatkan Ancaman Militer
Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah lama menggunakan kombinasi propaganda dan ancaman militer untuk menekan Taiwan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, upaya Beijing untuk memengaruhi pemilu di Taiwan terus mengalami kegagalan.
Sebagai tanggapan, Beijing semakin meningkatkan ancaman untuk mencaplok Taiwan dengan kekuatan militer.
“Belakangan ini, seruan ‘penyatuan dengan kekuatan militer’ semakin nyaring. Ini mencerminkan rasa frustrasi Beijing dalam upayanya untuk menyatukan Taiwan secara damai. Akibatnya, mereka kini semakin mengandalkan ancaman militer sebagai strategi alternatif,” ujar Chung.
Pada 13 Maret, Presiden Taiwan Lai Ching-te menegaskan bahwa Taiwan menghadapi lima ancaman besar dari Beijing dan mengumumkan 17 kebijakan untuk mengatasi ancaman tersebut. Lai juga secara terang-terangan menyebut Tiongkok sebagai “kekuatan musuh dari luar”.
AS dan Sekutunya Kian Dekat dengan Taiwan, Tanda Perang Dingin Baru?
Prof. Yeh Yao-yuan, ketua Departemen Studi Internasional di Universitas St. Thomas, AS, menilai bahwa keputusan G7 mencerminkan upaya dunia demokratis untuk semakin menjauh dari Tiongkok, yang dapat mengarah pada situasi Perang Dingin baru.
“Baik pernyataan Presiden Lai maupun keputusan G7 saling berkaitan. Keduanya mencerminkan pendekatan yang lebih tegas terhadap Beijing. Dalam strategi ini, mereka mengambil posisi yang lebih stabil dan tidak lagi mengakomodasi kepentingan PKT.”
Menurut Yeh, salah satu tujuan utama AS adalah membuat hubungan diplomatik Taiwan lebih normal dan memastikan Taiwan tidak lagi dikekang oleh kebijakan Satu Tiongkok yang dipaksakan Beijing.
G7 menegaskan kembali dalam pernyataan mereka bahwa mereka menentang segala upaya untuk mengubah status quo di Selat Taiwan secara sepihak, terutama melalui kekuatan militer atau pemaksaan. Mereka juga mendukung partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional yang sesuai.
“Amerika Serikat telah berupaya untuk menormalkan hubungan diplomatik Taiwan, termasuk mendukung partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional. Ini adalah langkah untuk memastikan bahwa Taiwan tidak lagi terkekang oleh propaganda ‘Kebijakan Satu Tiongkok’ yang selama ini dijalankan oleh Beijing,” ujar Yeh.
Lebih lanjut, Yeh menegaskan bahwa Taiwan merupakan kepentingan nasional bagi AS. Meskipun ada pandangan di Taiwan bahwa mereka harus bersikap netral antara AS dan Tiongkok, realitas geopolitik membuat hal tersebut tidak mungkin terjadi.
“Jujur saja, Tiongkok adalah satu-satunya negara di dunia yang secara aktif ingin mencaplok Taiwan. Berpikir bahwa Taiwan bisa mendekati Tiongkok tanpa risiko sama saja dengan mengabaikan kenyataan. Ini adalah kesalahan logika yang fatal,” tegas Yeh.
G7 Soroti Provokasi Militer Tiongkok di Indo-Pasifik
Salah satu fokus utama pertemuan G7 kali ini adalah provokasi militer Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam pernyataan bersama, G7 kembali menekankan pentingnya menjaga Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, makmur, dan aman. Mereka juga menyatakan kekhawatiran atas ekspansi nuklir Tiongkok.
Beberapa analis menilai bahwa G7 semakin mengakui ancaman yang ditimbulkan oleh Beijing, baik terhadap Taiwan maupun terhadap stabilitas kawasan secara keseluruhan.
Dengan penghapusan frasa “Kebijakan Satu Tiongkok” dari pernyataan G7, ini menandai perubahan signifikan dalam sikap negara-negara demokratis terhadap Beijing. Langkah ini juga dapat semakin memperkuat posisi Taiwan di panggung internasional dan meningkatkan tekanan global terhadap rezim PKT. (jhn/yn)