Milton Ezrati
Beijing sedang melakukan upaya besar—beberapa mungkin menyebutnya putus asa—untuk menghidupkan kembali arus investasi asing yang dulu kuat ke negara itu.
Meskipun pemimpin partai komunis Tiongkok, Xi Jinping, telah menyatakan keinginannya untuk mengisolasi Tiongkok dari pengaruh asing, beberapa pihak di Beijing mulai menyadari pentingnya investasi asing bagi negara tersebut—baik untuk modal pengembangan maupun transfer teknologi. Oleh karena itu, para pejabat tinggi mulai aktif merayu investasi asing, tetapi mereka menghadapi tantangan yang berat.
Penurunan investasi asing di Tiongkok sangat drastis. Pada tahun 2024, arus modal masuk dari luar negeri turun lebih dari 27 persen dibandingkan dengan tahun 2023, menjadi penurunan paling tajam sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Penurunan tahun lalu mengikuti penurunan hampir 13,5 persen pada tahun 2023. Secara keseluruhan, arus investasi langsung telah anjlok hingga 90 persen dari puncaknya pada tahun 2021.
Arus investasi dari Amerika Serikat masih bertahan lebih baik dibandingkan dari negara lain. Namun, laju aliran dana dari AS juga melambat secara signifikan. Sejak tahun 2020, investasi langsung Amerika di Tiongkok hanya meningkat dengan laju tahunan 4 persen, kurang dari setengah rata-rata tahunan 11 persen antara 2010 dan 2020.
Eropa menunjukkan antusiasme yang lebih rendah. Pada tahun 2023, berdasarkan data terbaru yang tersedia, investasi langsung Eropa di Tiongkok turun 29 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Jepang, yang dulunya merupakan investor besar di Tiongkok, telah mengurangi arus investasinya sekitar 60 persen dalam satu dekade terakhir.
Beijing sebagian besar harus menyalahkan dirinya sendiri atas hilangnya investasi ini. Selama bertahun-tahun, investor asing mengeluhkan perlakuan Tiongkok terhadap mereka, terutama bias dalam pengadaan pemerintah yang lebih mengutamakan penyedia domestik, lemahnya penegakan hukum terhadap pencurian paten dari perusahaan Barat dan Jepang, serta persyaratan bahwa setiap perusahaan asing yang berbisnis di Tiongkok harus memiliki mitra lokal yang harus berbagi rahasia dagang dan teknologi mereka.
Masalah ini menjadi salah satu alasan utama Washington memberlakukan tarif terhadap Tiongkok pada tahun 2017 dan 2018. Sebagian besar investor asing tetap bertahan dalam lingkungan bisnis yang sulit ini karena upah rendah di Tiongkok membuat produksi lebih hemat biaya, dan karena ekonomi Tiongkok yang tumbuh pesat menawarkan peluang penjualan yang besar.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah melambat secara drastis, dan upah pekerja Tiongkok meningkat lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin.
Partai Komunis Tiongkok (PKT) memperburuk keadaan dengan menerapkan kebijakan nol-COVID selama bertahun-tahun setelah pandemi, sementara negara lain sudah mulai membuka diri.
Lockdown dan karantina yang diberlakukan oleh kebijakan nol-COVID Beijing mengganggu jadwal produksi dan sangat merusak reputasi Tiongkok sebagai sumber produk yang andal. Faktor-faktor ini mendorong investor asing untuk mencari tempat lain.
Namun, bukan hanya itu masalahnya. Ketegangan perdagangan yang meningkat antara Tiongkok di satu sisi dan Amerika Serikat, Eropa, serta Jepang di sisi lain semakin membuat investasi asing enggan masuk ke Tiongkok.
Kini, pemerintahan Trump kembali memberlakukan tarif baru. Meskipun tarif ini diterapkan pada berbagai sektor, jelas bahwa perdagangan dan produk-produk Tiongkok menjadi fokus utama. Setiap manajer bisnis yang berpikiran praktis dapat melihat bahwa keputusan paling bijak adalah menghindari perselisihan ini.
Hilangnya manfaat dari investasi asing selama beberapa tahun terakhir akhirnya mendorong Beijing untuk mencoba menghidupkan kembali arus modal tersebut. Dalam beberapa minggu terakhir, pejabat tinggi mengumumkan insentif baru untuk mencapai tujuan ini.
Dalam sebuah pertemuan eksekutif Dewan Negara Tiongkok—yang dipimpin oleh Perdana Menteri Li Qiang—pemerintah merancang langkah-langkah baru untuk menarik investasi asing. Pemerintah menyerukan perlindungan paten yang lebih besar dan penyederhanaan prosedur bagi tenaga kerja asing untuk bepergian ke dan di dalam Tiongkok. Komite juga menyarankan regulator untuk “menyederhanakan regulasi dan prosedur untuk merger dan akuisisi lintas batas.”
Komite berjanji untuk menghapus praktik lama dan memperlakukan semua perusahaan—baik domestik maupun asing—secara setara dalam pengadaan pemerintah. Sebagai dorongan tidak langsung bagi investasi asing, komite juga merekomendasikan kebijakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pariwisata dan pengeluaran konsumen, baik secara absolut maupun sebagai bagian dari perekonomian.
Masih menjadi pertanyaan terbuka seberapa besar upaya ini akan meningkatkan investasi asing. Beijing telah menyampaikan janji serupa di masa lalu, tetapi gagal merealisasikan perubahan yang nyata dan efektif. Yang menarik, Beijing belum memberikan rincian tentang perubahan kebijakan dan aspirasi tersebut.
Bahkan jika PKT berhasil melakukan perubahan lebih dari sebelumnya, warisan kegagalan masa lalu masih akan memengaruhi keputusan investor asing, begitu pula dengan ketegangan perdagangan yang terus berkembang dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Jika upaya ini berhasil menghidupkan kembali arus investasi asing, mencapai puncak seperti sebelumnya tetap akan sulit terwujud.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times
Milton Ezrati adalah editor kontributor di The National Interest, afiliasi dari Center for the Study of Human Capital di University at Buffalo (SUNY), dan kepala ekonom di Vested, sebuah firma komunikasi yang berbasis di New York. Sebelum bergabung dengan Vested, ia menjabat sebagai kepala strategi pasar dan ekonom untuk Lord, Abbett & Co. Dia juga sering menulis untuk City Journal dan menulis blog untuk Forbes. Buku terbarunya adalah “Thirty Tomorrows: The Next Three Decades of Globalization, Demographics, and How We Will Live.”