Profesor Peringatkan Dampak Komputer dan AI terhadap Seni

Mihai Nadin mengatakan bahwa komputer hanya meniru apa yang sudah ada tanpa menciptakan sesuatu yang benar-benar baru

 Dylan Morgan

Mihai Nadin, seorang akademisi dan peneliti dalam bidang estetika serta interaksi manusia-komputer, memperingatkan tentang meningkatnya seni yang dihasilkan oleh komputer dan dampaknya.

“Jika Anda mengharapkan mesin mana pun di dunia … untuk menghasilkan seni, maka Anda tidak memahami apa itu seni,” katanya. “Seni dibuat oleh seniman. Seni bukan dibuat oleh mesin.”

Profesor berkewarganegaraan Rumania-Amerika ini membahas gambar yang dihasilkan komputer serta dampak teknologi terhadap budaya dan seni dalam episode terbaru program Bay Area Innovators di EpochTV.

Nadin telah mempelajari teknik elektro, ilmu komputer, dan desain komputasi. Selama bertahun-tahun, ia telah menulis banyak buku dan artikel tentang topik tersebut serta memberikan kuliah di berbagai belahan dunia.

Nadin mengatakan bahwa komputer hanya meniru apa yang sudah ada tanpa benar-benar menciptakan sesuatu yang baru. Menurutnya, meniru seni bukan berarti menjadi seniman, melainkan hanya sebatas plagiarisme.

“Mereka hanya bisa menghasilkan tiruan dari apa yang kita sebut seni, tetapi tidak pernah bisa menciptakan karya seni yang sesungguhnya,” ujarnya. “Ini bukan kreativitas. Ini hanya proses mekanis.”

Ia menekankan pentingnya penciptaan dalam seni dan memperingatkan bahwa komputer menciptakan ilusi seolah-olah tiruan sudah cukup untuk disebut seni. Seorang seniman, katanya, seharusnya bisa menggunakan apa saja—dengan atau tanpa komputer—untuk menciptakan seni.

Ia menambahkan bahwa meskipun mesin dari masa lalu selalu menarik bagi seniman, mereka hanya berfungsi sebagai alat dalam proses kreatif, bukan sebagai pengganti proses itu sendiri.

Dalam salah satu artikelnya yang terbaru, “The Age of the Fake—the New Normal”, Nadin menyoroti “Théâtre d’Opéra Spatial”, sebuah gambar yang dihasilkan oleh AI dan memenangkan tempat pertama dalam kategori seni digital di Kompetisi Seni Rupa Pameran Negara Bagian Colorado 2022. Ini adalah salah satu gambar AI pertama yang memenangkan penghargaan semacam itu.

Baru-baru ini, Museum Getty di Los Angeles juga mengakuisisi foto AI pertamanya yang berjudul “Cristian en el Amor de Calle”.

Pada bulan Januari, di tengah meningkatnya penerimaan dan popularitas seni yang dihasilkan AI, Kantor Hak Cipta AS menetapkan bahwa karya seni yang dibuat AI dengan “kontrol manusia yang tidak mencukupi” tidak dapat diberi hak cipta karena tidak memenuhi syarat sebagai karya manusia.

Nadin mengatakan bahwa tanpa pendidikan estetika yang serius, masyarakat mulai menerima seni palsu, yang semakin menjadi normalisasi.

“Nyawa seni berasal dari interaksi antara karya seni dan mereka yang bersedia menghidupkannya kembali melalui pengalaman persepsi seni,” tulisnya dalam artikelnya. “Penelitian bisa menjadi inspiratif atau justru membawa ke jalan buntu.”

Ia memberikan contoh permainan catur.

“Saat ini, permainan catur sudah kehilangan unsur seninya, karena semua kemungkinan permainan catur telah dimainkan oleh komputer,” katanya.

Ketika mesin menciptakan ilusi, katanya, yang dirayakan adalah mesinnya—bukan seninya.

Ia menegaskan bahwa menciptakan karya seni itu seperti sebuah tindakan cinta.

“Mesin hanya berurusan dengan apa, sedangkan seni berurusan dengan mengapa,” pungkasnya.

FOKUS DUNIA

NEWS