Xi Jinping Muncul Setelah 15 Hari Hilang, Siapa Sebenarnya yang Mengendalikan Tiongkok?

EtIndonesia. Jagat politik Tiongkok kembali diguncang oleh kemunculan Xi Jinping di hadapan publik setelah 15 hari lamanya ‘menghilang’ tanpa jejak yang jelas. Publikasi pertemuan Xi dengan Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko pada 4 Juni justru memunculkan lebih banyak pertanyaan dibandingkan jawaban, menambah lapisan misteri terhadap dinamika kekuasaan di pusat pemerintahan Tiongkok.

Pertemuan yang Janggal dan Minim Ekspresi

Pada tanggal 4 Juni, Xi Jinping untuk pertama kalinya muncul kembali ke hadapan kamera setelah absen hampir dua pekan. Dia menerima kunjungan resmi Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko. Namun, ada kejanggalan mencolok dalam momen penting ini. Alih-alih diumumkan secara luas oleh media resmi Tiongkok seperti biasanya, foto-foto pertemuan justru pertama kali beredar melalui media pemerintah Belarusia. Media resmi Tiongkok hanya merilis rilis teks tanpa menyertakan dokumentasi visual apa pun.

Lebih jauh lagi, ekspresi wajah Xi dalam foto-foto yang beredar tampak dingin dan jauh dari kesan ceria yang biasa dipertontonkan dalam pertemuan diplomatik. Tidak ada senyum ramah, tidak ada gestur hangat, dan tidak pula terlihat antusiasme dalam gestur tubuhnya. Kemunculan Xi yang ‘datang dan pergi’ tanpa penjelasan, serta minimnya bukti visual dari pihak Tiongkok, memantik spekulasi liar di dalam dan luar negeri: benarkah itu Xi Jinping yang asli? Apakah dia masih memegang kendali penuh atas kekuasaan? Atau justru ada pergolakan besar yang sengaja ditutup-tutupi?

Analisis Para Pengamat: Krisis Kekuasaan atau Pengalihan Isu?

Cai Shengkun, seorang pengamat politik Tiongkok yang sering menjadi rujukan dalam menganalisis dinamika internal Partai Komunis Tiongkok (PKT), menilai kemunculan Xi di saat yang sangat sensitif — bertepatan dengan peringatan tragedi Tiananmen 4 Juni — lebih sebagai bentuk pengalihan isu. Menurutnya, keputusan memperlihatkan Xi di hadapan publik merupakan manuver strategis untuk mengurangi spekulasi mengenai potensi keretakan atau perebutan kekuasaan di tingkat tertinggi.

Namun, cara kemunculan yang tidak wajar dan minim eksposur visual justru memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di lingkaran dalam kepemimpinan. Sejumlah analis luar negeri bahkan berani menyebut, muncul kemungkinan bahwa Xi Jinping hanya menjadi ‘boneka’ sementara kendali nyata telah berpindah ke tangan kelompok elite partai lainnya.

Peran Kunci Para Sesepuh PKT: Wen Jiabao dan Zhang Youxia

Isu krisis kepemimpinan ini juga memunculkan nama-nama lama yang selama ini disebut-sebut telah pensiun dari panggung utama, yakni Wen Jiabao (mantan Perdana Menteri) dan Jenderal Zhang Youxia (mantan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat). Menurut laporan dan analisis yang beredar di media luar negeri, kedua sosok ini saat ini justru berperan penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di tengah situasi politik yang rapuh.

Wen Jiabao dikenal luas sebagai figur moderat yang selalu mengedepankan stabilitas nasional, sedangkan Zhang Youxia dianggap sebagai representasi kepentingan militer dan penjaga ortodoksi PKT. Ketegangan antara kelompok yang berfokus pada “weiwen” (stabilitas sosial) dan kelompok yang ingin menekan kemarahan rakyat (minyuan) kini menjadi pertarungan yang sangat menentukan masa depan Tiongkok.

Titik Balik: Tiongkok Menuju Keruntuhan, Fragmentasi, atau Demokrasi?

Dengan berbagai rumor kudeta, spekulasi kesehatan, hingga isu pemaksaan mundur yang beredar luas, Tiongkok benar-benar berada di persimpangan jalan sejarah. Para analis memprediksi, hasil tarik-menarik antara kekuatan penstabil (weiwen) dan arus besar ketidakpuasan masyarakat (minyuan) bisa berujung pada beberapa skenario ekstrem.

Pertama, skenario keruntuhan pusat: apabila otoritas di Zhongnanhai benar-benar goyah, ada kemungkinan Tiongkok mengalami fragmentasi atau pecahnya kontrol pusat, sehingga beberapa provinsi bisa saja memilih jalur sendiri, baik secara ekonomi maupun politik.

Kedua, skenario reformasi bertahap menuju demokrasi: jika para elite partai menyadari tekanan dari bawah terlalu kuat untuk dibendung, bukan tidak mungkin terjadi transisi damai ke arah sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis — meski jalannya tentu penuh tantangan dan resistensi dari kelompok konservatif.

Ketiga, status quo diperkuat dengan represi baru: apabila kelompok penguasa berhasil meredam kemarahan rakyat dan merebut kembali kendali, Tiongkok bisa saja kembali pada pola lama, memperkuat sistem pengawasan, meningkatkan represi, dan menjaga kekuasaan satu partai dengan tangan besi.

Media dan Opini Publik: Ketidakpastian Memuncak

Sikap diam dan minimnya transparansi dari pihak resmi Tiongkok membuat ruang spekulasi semakin luas. Media sosial Tiongkok dibanjiri berbagai teori konspirasi — dari rumor penggunaan doppelganger (pengganti) hingga cerita soal krisis kesehatan Xi yang parah. Sementara itu, media luar negeri dengan bebas menyebarluaskan analisis-analisis yang menambah panas suasana.

Dalam beberapa hari terakhir, istilah “di manakah Xi Jinping?” menjadi trending topic di platform-platform diskusi politik, tidak hanya di Tiongkok tetapi juga di dunia internasional. Banyak pihak menilai, apapun kebenaran di balik kemunculan Xi yang janggal ini, situasi politik Tiongkok saat ini sangat rentan terhadap gejolak dan perubahan besar.

Kesimpulan: Tiongkok di Ambang Babak Baru

Kemunculan Xi Jinping setelah 15 hari menghilang bukanlah penanda kembalinya stabilitas, melainkan alarm keras akan potensi krisis yang sedang berkembang di jantung kekuasaan Tiongkok. Apakah negara ini akan mampu melewati badai internal tanpa kehilangan kontrol? Ataukah justru babak baru dalam sejarah modern Tiongkok akan segera dimulai?

Masyarakat dunia menanti, dan para pengamat internasional tetap mewaspadai setiap gerak-gerik berikutnya dari para elite di Beijing. Untuk saat ini, teka-teki seputar Xi Jinping, kekuasaan, dan masa depan Tiongkok masih menjadi drama yang belum menemukan jawaban akhirnya.

FOKUS DUNIA

NEWS