Perang antara Rusia dan Ukraina Meningkat Tajam,  Pembicaraan Damai Sulit Dilakukan Hingga Semua Lapisan Masyarakat Khawatir

  • Pekan ini, Rusia dan Ukraina mengadakan putaran kedua perundingan damai, namun hasilnya sangat minim. Ukraina meledakkan puluhan pesawat pembom Rusia yang dapat membawa senjata nuklir serta Jembatan Krimea. 
  • Sebagai balasan, Rusia membombardir kota-kota besar Ukraina seperti Kyiv dan Kharkiv. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan menyampaikan kepada Presiden AS Donald Trump bahwa ia bersumpah akan melakukan pembalasan. 
  • Sementara itu, NATO meningkatkan dukungannya terhadap Ukraina, dan Trump tampaknya lebih memilih menggunakan sanksi untuk menekan kedua pihak agar menghentikan perang. Dunia kini sangat khawatir terhadap eskalasi konflik Rusia-Ukraina.

EtIndonesia. Pada 2 Juni, Rusia dan Ukraina mengadakan putaran kedua perundingan damai di Turki. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan berharap dapat mempertemukan langsung pemimpin kedua negara, namun hal ini tampaknya sulit terwujud. Beberapa hari sebelum perundingan damai, Ukraina meluncurkan serangan bertubi-tubi terhadap Rusia. Sebuah truk militer Rusia meledak di Yakymivka, Zaporizhzhia. Keesokan harinya, pasukan khusus Ukraina menyerang brigade marinir Rusia yang bermarkas di Vladivostok.

Sehari sebelum perundingan (1 Juni), Ukraina meluncurkan “Operasi Jaring Laba-laba”, menyerang empat pangkalan udara Rusia menggunakan drone. Serangan ini menghancurkan sepertiga kekuatan udara Rusia, termasuk pesawat pembom dan pesawat peringatan dini—serangan tunggal terbesar sejak Perang Dunia II.

Reporter bertanya : “Apakah Presiden Trump diberitahukan sebelumnya mengenai serangan Ukraina?”

Juru bicara Gedung Putih, Levitt: “Tidak.”

Sehari setelah perundingan damai (3 Juni), Ukraina meledakkan Jembatan Krimea dengan 1.100 kg bahan peledak bawah air. Di hari yang sama, fasilitas listrik di wilayah Zaporizhzhia dan Kherson yang dikuasai Rusia juga dibom.

Tentara Rusia: “Kerja bagus, teman-teman! Selamat! Vodolazhi kini milik kita!”

Tak tinggal diam, Rusia membalas dari tanggal 4 hingga 6 Juni dengan membombardir kota-kota besar Ukraina, termasuk Kharkiv, Kyiv, Lutsk, Ternopil, dan Lviv.

Presiden AS Donald Trump: “Kebencian yang luar biasa besar ada di antara kedua orang ini (Putin dan Zelenskyy), dan juga di antara kedua belah pihak yang berperang.”

Kanselir Jerman Friedrich Merz: “Kami (Amerika dan Jerman) sedang mencari berbagai cara untuk mengakhiri perang mengerikan ini (antara Rusia dan Ukraina).”

Pada 5 Juni, Kanselir Merz mengunjungi Gedung Putih dan menyebutkan bahwa 81 tahun lalu, tentara AS membebaskan Jerman dari Nazi. Kini, strategi Jerman terhadap perang Rusia-Ukraina memang berbeda dengan AS, namun Jerman siap bekerja sama.

Dalam pertemuan NATO sehari sebelumnya, Jerman berjanji membantu Ukraina mendapatkan sistem pertahanan udara. Inggris juga berjanji akan mengirimkan 100.000 drone sebagai bagian dari bantuan militer untuk Ukraina.

Salah satu penyebab utama perang Rusia-Ukraina adalah keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO, yang hingga kini tetap menjadi ganjalan bagi Rusia.

Pada 2 Juni, dalam memorandum gencatan senjata dari Rusia, masih tercantum syarat utama: melarang Ukraina bergabung dengan NATO.  Syarat lainnya termasuk:

  • Ukraina melepaskan keinginan bergabung dengan NATO;
  • Larangan penempatan pasukan asing;
  • Penghentian total bantuan senjata dan intelijen dari Barat;
  • Ukraina secara resmi mengakui Krimea dan empat wilayah di timur sebagai bagian dari Rusia.

Menteri Pertahanan Ukraina, Rustem Umerov, awalnya menyatakan perlu waktu seminggu untuk mempelajari syarat-syarat tersebut. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky segera menolaknya.

Zelensky: “Baik Ukraina maupun siapa pun tidak akan menganggap serius hal ini, karena ini bukanlah memorandum, melainkan ultimatum.”

Sementara itu, syarat gencatan senjata dari Ukraina adalah: Rusia harus menghentikan semua serangan tanpa syarat, membebaskan tawanan perang, dan mengembalikan anak-anak yang diculik.

Dari perundingan damai putaran kedua, hanya ada kesepakatan mengenai pertukaran prajurit yang terluka, tawanan perang, dan jenazah sekitar 6.000 prajurit yang gugur.

Pada 7 Juni, Rusia mengirimkan 1.212 jenazah tentara Ukraina ke lokasi pertukaran, namun Ukraina menunda pelaksanaan kesepakatan tersebut.

Ketua delegasi Rusia, Vladimir Medinsky, menyatakan alasan Ukraina sangat membingungkan dan menyerukan agar pertukaran dimulai segera.

Pekan ini, strategi drone Ukraina mengejutkan dunia, sementara serangan udara brutal Rusia juga mengingatkan dunia akan kekuatan destruktifnya. Pada 6 Juni, pangkalan udara Rusia di Ryazan dan Saratov kembali diserang Ukraina. Kebakaran besar terjadi di depot bahan bakar di pangkalan. Keesokan paginya, Ukraina menembak jatuh satu pesawat tempur Su-35 Rusia. Ketegangan perang terus meningkat.

Pada 4 Juni, setelah berbicara dengan Putin lewat telepon, Trump menyatakan bahwa Putin akan segera membalas. Di hari yang sama, ia membagikan artikel dari The Washington Post mengenai disahkannya “Undang-Undang Sanksi Rusia” oleh Kongres AS, yang memberi Trump kekuatan untuk menekan Putin agar menghentikan perang.

Trump: “(Sanksi dari AS) akan sangat-sangat berat, dan mungkin ditujukan ke kedua negara (Rusia dan Ukraina). Sejujurnya, satu tangan tak bisa bertepuk sendiri.” (Hui)

Laporan oleh: Lin Chao dan Yu Wei – Majalah Berita NTD

FOKUS DUNIA

NEWS