EtIndonesia. Harian The Guardian pada Kamis (6 Juni) melaporkan bahwa DoubleThink Lab, sebuah lembaga riset di Taiwan, telah merilis survei terbaru yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu yang dihabiskan pengguna Taiwan di TikTok, semakin besar kemungkinan mereka menerima pandangan pro-Tiongkok, bahkan menunjukkan tingkat penerimaan terhadap pengorbanan demokrasi.
Survei ini dilakukan pada Maret 2025 dan berfokus pada isu hubungan lintas selat (Taiwan-Tiongkok), sistem demokrasi, dan topik penyatuan. Data menunjukkan bahwa pengguna berat TikTok lebih cenderung percaya bahwa “Taiwan kekurangan kebebasan berbicara”, bahwa “penyatuan dengan Tiongkok tidak bisa dihindari”, dan bahkan merasa bahwa “demi perdamaian, demokrasi dapat dikorbankan.”
Contohnya, di kalangan pendukung Partai Progresif Demokratik (DPP), 26,8% pengguna TikTok menyatakan setuju untuk mengorbankan demokrasi demi perdamaian, 10 poin persentase lebih tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan TikTok.
Peneliti utama Eric Hsu menjelaskan bahwa TikTok dapat mempengaruhi sikap politik penggunanya, bahkan membuat orang yang awalnya anti-Komunis mulai bersimpati pada Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan menolak sistem demokrasi.
Sebagai contoh, 23,9% pengguna TikTok setuju dengan pernyataan “Taiwan tidak memiliki kebebasan berbicara”, sedangkan di kalangan non-pengguna hanya 9,3% yang setuju.
TikTok dimiliki oleh perusahaan Tiongkok ByteDance, dan telah lama dicurigai oleh publik sebagai alat propaganda PKT. Beberapa negara telah membatasi atau melarang penggunaan TikTok, dan pemerintah Taiwan juga melarang pemasangan aplikasi tersebut di perangkat milik pemerintah.
Yu-hui Tai, asisten profesor di Universitas Nasional Yang Ming Chiao Tung Taiwan, menyatakan bahwa PKT selalu menekankan penggunaan “senjata dan pena” secara bersamaan, dan TikTok adalah salah satu alat opini publik mereka. Ia menyebut Taiwan kini berada di garis depan dalam menghadapi kampanye propaganda yang kompleks.
Faktanya, sejak tahun 2019 The Guardian pernah mengungkap bahwa TikTok menyesuaikan diri dengan kebijakan Beijing untuk menyensor isu-isu sensitif. Pada 2023, penelitian dari Universitas Rutgers AS juga menunjukkan bahwa algoritma TikTok memperbesar konten pro-Tiongkok dan menekan suara-suara yang kritis terhadap PKT.
Meskipun ByteDance terus membantah tuduhan ini, Titus C. Chen, peneliti di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, menekankan bahwa meskipun pengguna tidak secara aktif mencari konten politik, algoritma TikTok tetap mendorong konten sesuai minat, yang bisa secara perlahan menyisipkan konten pro-PKT.
Ia menegaskan, “Hampir semua konten di TikTok berada di bawah pengaruh pemerintah PKT. Hampir tidak terlihat suara-suara yang mendukung kebebasan dan demokrasi.”
Laporan ini sekali lagi memicu kekhawatiran tentang pengaruh dan tingkat infiltrasi TikTok di masyarakat Taiwan, khususnya di kalangan anak muda. (Hui)
Sumber : NTDTV.com