Perusahaan Barat Protes Aturan Baru Ekspor Logam Tanah Jarang Tiongkok: Dipaksa Serahkan Rahasia Dagang

EtIndonesia.Tiongkok memperketat pengawasan ekspor logam tanah jarang, termasuk mensyaratkan perusahaan asing menyerahkan informasi bisnis sensitif demi memperoleh izin ekspor. Langkah ini memicu kekhawatiran global atas kebocoran rahasia dagang dan stabilitas pasokan logam tanah jarangĀ  yang vital untuk berbagai teknologi tinggi.

Dalam situasi memanasnya ketegangan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat, kebijakan baru Pemerintah Tiongkok terkait persetujuan ekspor logam tanah jrang kembali menjadi sorotan. Financial Times melaporkan bahwa perusahaan asing kini menghadapi risiko tersembunyi namun makin besar: sistematisnya potensi kebocoran informasi dagang saat mengajukan izin ekspor magnet tanah jarang dari Tiongkok.

Perusahaan Asing: Terpaksa Menyerahkan Data Rahasia

Menurut laporan Financial Times, Kementerian Perdagangan Tiongkok mewajibkan perusahaan yang mengajukan izin ekspor untuk memberikan berbagai informasi sensitif, seperti detail proses produksi, daftar lengkap pengguna akhir, foto fasilitas produksi, bahkan rekam jejak transaksi bisnis sebelumnya. Meski Tiongkok berdalih bahwa langkah ini sah demi alasan keamanan dan kepatuhan, perusahaan-perusahaan Barat dan asosiasi industri menyuarakan keprihatinan bahwa kebijakan ini berpotensi digunakan untuk menguasai data rantai pasok teknologi global.

CEO produsen magnet asal Jerman Magnosphere, Eckard, mengatakan: “Ini adalah cara Tiongkok mendapatkan informasi sensitif secara resmi—tanpa perlu spionase.”

Dia menambahkan, jika tidak menyerahkan dokumen yang diminta, proses izin ekspor akan langsung terhenti.

Direktur rantai pasok perusahaan Italia B&C Speakers, Pratesi, mengungkapkan bahwa mereka diminta menyerahkan rekaman video jalur produksi, analisis pasar, dokumen pesanan klien yang disamarkan, hingga daftar lengkap pelanggan.

“Jika kami tidak memberikannya, seluruh pengajuan izin langsung dibekukan,” tegasnya.

Hal serupa juga terjadi pada perusahaan Inggris Magnet Applications. Manajer produk mereka, Swarow, menyebutkan bahwa permohonan mereka beberapa kali ditolak karena “tidak adanya bukti pengguna akhir”, sehingga mereka akhirnya terpaksa menyerahkan deskripsi penggunaan lengkap, disertai foto dan video.

Persyaratan Resmi Tak Jelas, Kekhawatiran Soal Penyalahgunaan Kekuasaan Meningkat

Meskipun Kementerian Perdagangan Tiongkok belum menanggapi laporan ini, sejumlah ahli hukum internasional menilai bahwa permintaan data dari Pemerintah Tiongkok sering kali melampaui batas pedoman resmi. Seorang pengacara Tiongkok mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan kerap diminta menyerahkan model bisnis pengguna akhir, parameter teknis, dan informasi detail tentang lini produksi.

Ketua Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok, Jens Eskelund, mengatakan:”Proses persetujuan yang rumit dan standar peninjauan yang tidak jelas membuat banyak perusahaan kesulitan memenuhi permintaan, apalagi jika informasi itu bocor, bisa sangat merugikan daya saing perusahaan-perusahaan Eropa.”

Dia menambahkan bahwa beberapa industri mungkin akan menarik diri dari rantai pasok rare earth Tiongkok karena tingginya risiko pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Namun, sebagian besar perusahaan memilih kompromi.

Seorang eksekutif teknologi asal Eropa yang enggan disebut namanya mengatakan: “Yang paling penting sekarang adalah menjaga kelancaran pasokan. Kami tahu ini berisiko, tapi kami tidak punya pilihan lain.”

Di Balik Kebijakan: Tiongkok Semakin “Memperalat” Rare Earth Secara Strategis

Banyak analis menilai bahwa kebijakan ini bukan sekadar untuk memastikan kepatuhan ekspor, melainkan bagian dari strategi penguasaan rantai pasok global. Saat ini, Tiongkok mengendalikan sekitar 90% kapasitas pemrosesan dan produksi magnet tanah jarang dunia. Bahan ini sangat penting dalam produksi mobil listrik, radar militer, chip AI, dan berbagai perangkat pintar lainnya.

Sejak awal 2024, Tiongkok memperkenalkan persetujuan ekspor baru terhadap bahan magnetis seperti samarium dan kobalt, serta menjadikan “ketidakjelasan penggunaan akhir” sebagai alasan penolakan. Akibatnya, banyak pengajuan ekspor ditunda atau ditolak. Hal ini dipandang sebagai respons Tiongkok terhadap pembatasan ekspor teknologi tinggi seperti chip, AI, dan teknologi kedirgantaraan yang dilakukan oleh negara-negara Barat.

Langkah-langkah tersebut memperkuat kekhawatiran di kalangan perusahaan Barat terhadap ketergantungan rantai pasok pada Tiongkok, serta mendorong diskusi serius di pemerintahan negara-negara Barat untuk membuat cadangan strategis atau mencari alternatif pasokan dari Asia Tenggara dan Afrika.

Persaingan Pasokan Logam Tanah Jarang Memasuki Babak Perang Informasi

Rincian persetujuan ekspor yang kini terungkap menunjukkan bahwa Tiongkok sedang mempercepat penggunaan sistem regulasi sebagai instrumen geopolitik. Dalam kompetisi teknologi tinggi global yang kini sarat dengan elemen militer dan dominasi AI, informasi teknis dan data tidak lagi sekadar aset bisnis, melainkan senjata strategis.

Bagi perusahaan Barat, tantangannya kini bukan hanya bagaimana menjamin pasokan, tetapi juga bagaimana melindungi keamanan data dan kedaulatan teknologi di tengah ketergantungan dagang dengan Tiongkok.

Mengapa Tiongkok Sangat Dominan dalam Industri Logam Tanah Jarang?

Dominasi Tiongkok dalam industri logam tanah jarang bukan hanya karena cadangan mineralnya yang melimpah, tetapi juga karena penguasaan teknologi pemrosesan dan ekosistem industrinya yang lengkap. Keunggulan ini dibangun melalui puluhan tahun dukungan pemerintah—seperti subsidi ekspor, dana dari program sains nasional seperti “Proyek 973”, dan kelemahan negara-negara Barat dalam produksi domestik akibat regulasi lingkungan yang ketat.

Tiongkok saat ini menguasai lebih dari 85% kapasitas pemrosesan logam tanah jarang dunia, termasuk monopoli de facto terhadap unsur-unsur kritis seperti dysprosium, terbium (logam tanah jarang berat), dan neodymium, praseodymium (logam tanah jarang ringan).

Pada awal April 2025, Tiongkok menerapkan kebijakan izin ekspor baru terhadap tujuh jenis logam tanah jarang dan turunannya, fokus pada unsur-unsur menengah dan berat. Alasan resmi yang diberikan adalah demi keamanan nasional dan kewajiban non-proliferasi, karena unsur-unsur tersebut bisa digunakan untuk keperluan militer maupun sipil.

Namun, proses perizinan ini sangat ketat. Eksportir wajib menyertakan rincian pengguna akhir dan tujuan penggunaan. Tingkat persetujuan awal hanya sekitar 25%, dengan banyak pengajuan ditolak karena “kurangnya bukti pengguna akhir”. Hal ini memperlihatkan bahwa kontrol ekspor bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan bagian dari strategi jangka panjang yang termuat dalam Undang-Undang Pengendalian Ekspor Tiongkok tahun 2020.

Dampak Global: Industri Otomotif, Pertahanan, dan Elektronik Terancam

Kebijakan ekspor ini memberi dampak luas pada berbagai sektor industri global, termasuk otomotif (mobil listrik dan konvensional), robotika, pertahanan, penerbangan, hingga elektronik konsumen. Komponen vital yang terdampak antara lain:

Ā·        Motor permanen

Ā·        Sistem navigasi dan aktuator

Ā·        Sistem bidik militer

Ā·        Paduan ringan struktural

Ā·        Magnet tahan suhu tinggi pada mesin jet

Ā·        Sistem penggerak listrik

Ā·        Sensor dan sistem kemudi

Ā·        Injektor bahan bakar

Ā·        Katalis konverter

Ā·        Sistem pengereman regeneratif

Ā·        Sistem bantuan berkendara

Ketidakpastian pasokan logam tanah jarang menjadi ancaman nyata terhadap produksi dan inovasi di sektor-sektor tersebut.

Penutup: Dari Ekonomi Menuju Geopolitik

Kepemimpinan Tiongkok dalam industri logam tanah jarang adalah hasil dari strategi pemerintah selama puluhan tahun, peningkatan teknologi yang konsisten, dan toleransi terhadap biaya lingkungan. Dominasi ini kini berkembang dari keunggulan ekonomi menjadi senjata geopolitik yang kuat.

Penerapan UU Pengendalian Ekspor Tiongkok 2020 dan pengawasan ketat terhadap elemen-elemen rare earth menunjukkan bahwa kebijakan ini memiliki dua sisi:

Ā·        Defensif, untuk melindungi sumber daya strategis Tiongkok.

Ā·        Ofensif, untuk menekan rantai pasok global dan mendapatkan posisi tawar dalam negosiasi perdagangan.

Tuntutan terhadap informasi bisnis sensitif dalam proses perizinan ekspor makin memperbesar kekhawatiran dunia internasional akan kebocoran teknologi dan data penting.

Langkah ini telah merusak struktur industri global secara nyata, memaksa negara-negara besar seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang untuk mempercepat upaya diversifikasi rantai pasok dan pembangunan kapasitas produksi domestik. Meski demikian, membangun alternatif yang layak membutuhkan waktu, dana, dan teknologi besar, serta harus siap menghadapi dominasi Tiongkok yang berkelanjutan dan potensi aksi balasan.

Secara keseluruhan, isu logam tanah jarang kini bukan lagi sekadar soal perdagangan komoditas, melainkan telah menjadi pusat dari persaingan teknologi global dan pertarungan kekuasaan geopolitik. Dunia internasional perlu merespons dengan strategi terkoordinasi, menyeluruh, dan jangka panjang, guna membangun rantai pasok mineral kritis yang tangguh dan beragam untuk menghadapi tantangan strategis di masa depan. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS