Tiongkok Membungkam Suara yang Menentang Invasi Rusia ke Ukraina

Nicole Hao

Lima sejarawan terkenal dari lima universitas top Tiongkok bersama-sama mengeluarkan sebuah pernyataan menentang invasi Rusia ke Ukraina pada 26 Februari. Namun demikian, 1,5 jam kemudian, pernyataan itu dihapus dan semua posting dari akun media sosial yang membuat postingan tersebut juga menghilang.

Beberapa hari terakhir, lebih banyak cendekiawan Tiongkok telah memposting ulang komitmen yang dibuat oleh rezim Tiongkok ke Ukraina selama beberapa tahun terakhir, di mana Beijing berjanji untuk melindungi Kyiv. Pasalnya, Ukraina telah mendukung Belt and Road milik Beijing dan proyek-proyek lain yang diluncurkan rezim Tiongkok di masyarakat dunia.

Beberapa cendekiawan lain mendesak rezim Tiongkok untuk mengklarifikasi posisinya di perang Rusia-Ukraina, setelah para mahasiswa Tiongkok di Ukraina mempertanyakan apakah Beijing mendukung invasi oleh Moskow itu.

Namun, sebagian besar dari postingan ini dan posting terkait lainnya juga telah diambil secara offline, mungkin karena penyensoran yang aktif oleh rezim Tiongkok Kepemimpinan rezim Tiongkok juga belum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara publik.

Diam mengenai Invasi Rusia

Pada 25 Februari saat konferensi pers harian di Beijing, juru bicara untuk Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin ditanya berulang kali mengenai sikap Beijing terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Wang Wenbin menjawab semua pertanyaan dengan satu jawaban yang sama, yaitu bahwa “kedaulatan dan integritas wilayah semua negara harus dihormati dan ditegakkan.” Ia menolak untuk mengakui bahwa konflik saat ini dipicu oleh invasi Rusia, ia juga tidak memberikan kata-kata dukungan untuk Ukraina. Ia tidak  mengkritik tindakan Rusia atau mengatakan bahwa Tiongkok sedang mempertimbangkan kemungkinan memberikan sanksi.

Pada 26 Februari, Kedutaan Besar Tiongkok di Ukraina memperingatkan semua warganegara Tiongkok yang berada di Ukraina untuk tinggal di rumah. Kedutaan Besar Tiongkok di Ukraina menggambarkan pertempuran antara Rusia dan Ukraina di jalanan sebagai “perilaku yang ekstrem,” dan mengatakan bahwa orang-orang mengumpat-umpat dan menembak satu sama lain karena emosi yang ekstrim.

Berbeda dengan komentar dari pemerintah pusat di Beijing, pihak Kedutaan Besar Tiongkok di Ukraina mengatakan mereka sedang dalam proses mengatur penerbangan darurat untuk mengevakuasi orang-orang Tiongkok di Kyiv, karena keadaan yang semakin “memburuk dengan cepat.”

Dua hari sebelumnya, Kedutaan Besar Tiongkok di Ukraina menyatakan kepada orang-orang Tiongkok di Ukraina, bahwa mereka “memegang bendera Tiongkok saat mengendarai mobil mereka,” mengklaim bahwa para tentara tidak akan menyerang jika mereka memperlihatkan bendera Tiongkok.

Orang-orang Tiongkok yang masih berada di Ukraina, kemudian membalas saran-saran di Twitter bahwa mereka sebenarnya tidak berani memberitahu orang-orang lain bahwa mereka itu adalah orang-orang Tiongkok, lebih suka mengklaim bahwa mereka itu adalah orang-orang Jepang atau Korea ketika ditanya. 

Sebuah akun Twitter untuk Peishiun Wu membagikan sebuah video di mana seorang mahasiswa Tiongkok menjelaskan bahwa sejumlah besar orang-orang daratan Tiongkok, memposting di media sosial Tiongkok bahwa mereka menginginkan para pria Ukraina dibunuh agar mereka dapat menikahi wanita-wanita Ukraina. Postingan ini dilaporkan oleh media Ukraina, membuat marah orang-orang Ukraina, yang mengarah kepada ketegangan bagi beberapa orang Tiongkok di Ukraina.

Kesedihan untuk Ukraina

Pukul 18:01 26 Februari, Sun Jiang, seorang profesor sejarah di Universitas Nanjing; Wang Lixin, seorang profesor sejarah di Universitas Beijing; Xu Guoqi, seorang profesor sejarah di Universitas Hong Kong; Zhong Weimin, seorang profesor sejarah di Universitas Tsinghua; dan Chen Yan, seorang profesor sejarah di Universitas Fudan bersama-sama menerbitkan sebuah pernyataan di akun WeChat milik Sun Jiang.

“Seorang anggota tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang merupakan sebuah negara besar dan memiliki senjata-senjata nuklir, ditembakkan ke negara miliknya yang lemah dan masih bersaudara!” kata para sejarawan dalam pernyataan itu, merujuk pada invasi Rusia ke Ukraina. “Kami merasa sangat sedih ketika kami melihat luka-luka Ukraina.”

Para sejarawan itu mengatakan bahwa para ahli di seluruh dunia, orang-orang Ukraina, dan orang-orang Rusia menentang perang ini, dan juga menentang invasi ini. Para sejarawan itu mengatakan bahwa orang-orang Tiongkok dulu menderita akibat perang-perang, jadi orang-orang Tiongkok “merasa senasib seperti orang-orang Ukraina.”

Para sejarawan itu mengkritik Rusia, karena melanggar aturan internasional dan menyerang sebuah negara berdaulat. Mereka menyatakan dukungan untuk orang-orang Ukraina karena orang-orang Ukraina membela negara Ukraina, dan khawatir bahwa invasi Rusia akan menyebabkan bencana kemanusiaan di sebuah wilayah yang luas, yang tidak terbatas pada Ukraina atau Eropa.

“Kami sangat mendesak rezim Rusia dan Presiden Vladimir Putin untuk menghentikan perang tersebut, dan menyelesaikan perselisihan-perselisihan melalui negosiasi,” kata para sejarawan.

Namun, semua postingan Sun Jiang menghilang pada pukul 19:30. Sun Jiang dan para profesor lainnya belum mengomentari hilangnya posting tersebut sejak itu.

Di platform media sosial Tiongkok, Weibo, hampir semua postingan yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina pada 26 Februari yang menunjukkan dukungan untuk Rusia, hanya dengan beberapa postingan dari orang-orang Rusia yang memprotes di jalan-jalan menentang invasi tersebut.

The Epoch Times belum dapat membuktikan apakah rezim Tiongkok sedang menyensor postingan anti-Rusia.

Pada 26 Februari, Reuters mengutip seorang diplomat Barat di Beijing yang mengatakan: “Reaksi pertama rezim Tiongkok yang menyangkal adanya sebuah invasi adalah mengejutkan bagi kami … Ini adalah sebuah kontradiksi total dengan posisi-posisi lama mereka terhadap kedaulatan, integritas teritorial, non-intervensi.”

Diplomat tersebut menolak disebutkan namanya karena sensitifitas masalah ini, menurut Reuters. (Vv)