Miles Maochun Yu : Provokasi Selat Taiwan Namun Sasaran Utamanya Amerika Serikat 

Mantan penasihat utama kebijakan dan perencanaan terhadap Tiongkok pada Kemenlu AS yang juga Direktur Hudson Institute yakni Miles Maochun Yu, baru-baru ini dalam artikelnya di media Taiwan yang berbahasa Inggris yakni The Taipei Times menganalisa tindakan “perang semu” Beijing terhadap Taiwan berikut maksud yang sebenarnya.

Ia menyatakan, perang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap Taiwan adalah palsu, provokasi Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Selat Taiwan, sasaran utamanya sebenarnya adalah AS.

“Strategi besar PKT terus menerus melakukan provokasi di Selat Taiwan, adalah untuk mendorong pertarungan global PKT dalam rangka melawan pemimpin negara demokrasi kapitalis dunia yakni AS. Semua krisis besar di Selat Taiwan, diprovokasi oleh Beijing untuk mendorong strategi besar PKT berkonfrontasi melawan AS,” Miles menulis. 

Disebutkannya beberapa contoh sejarah krisis di Selat Taiwan sejak awal hingga akhir.

Yang paling awal adalah di era Mao Zedong (dibaca: mau ce tung). Untuk mengkonfrontasi pasukan marinir AS yang mendarat di Libanon, serta memboikot gerakan “Revisionisme” dan “Anti-Revolusi Kapitulasi” oleh pemimpin Uni Soviet kala itu Nikita Khrushchev terhadap imperialisme AS dan aksinya di Timur Tengah, pada Agustus 1958 Mao Zedong mengobarkan serangan meriam dahsyat terhadap Kepulauan Kinmen dan Matsu (milik Taiwan, namun secara geografis lebih dekat ke RRT). Kejadian ini pun membuat seluruh dunia nyaris di ambang perang nuklir akibat krisis di Selat Taiwan ini.

Mantan dokter pribadi Mao Zedong yakni Li Zhisui dalam memoarnya menuliskan, “Ini adalah aksi provokasi Mao terhadap Khrushchev yang berusaha meredakan ketegangan hubungan Uni Soviet dengan AS… Bagi Mao, serangan meriam terhadap Kinmen dan Matsu hanyalah sebuah pertunjukan, untuk membuat Khrushchev dan Eisenhower mengetahui bahwa mereka tidak bisa mengekang PKT, sekaligus merusak permainan Khrushchev untuk mencari perdamaian. Permainan ini adalah suatu pertaruhan yang menakutkan, seluruh dunia mengalami ancaman meletusnya perang nuklir, mungkin akan mengorbankan jutaan nyawa rakyat Tiongkok yang tak berdosa.”

Pada 1995-1996, PKT kembali meluncurkan rudal di perairan dekat Taiwan, menciptakan krisis Selat Taiwan berikutnya. Aksi ini adalah untuk menakut-nakuti warga pemilu di Taiwan, tapi yang lebih penting lagi adalah mengancam Washington. Setelah kejadian, Sekjen PKT Jiang Zemin secara terbuka membual, “Dalam masalah Taiwan… dua kali latihan perang kami di Selat Taiwan telah menggertak luar dalam pemerintahan AS.” 

PKT Maksimalkan Ketegangan di Selat Taiwan, Berusaha Memaksa AS Mengalah Untuk Bekerjasama

Miles mengatakan, kelicikan ala Machiavellian (disebut juga Thick Face Black Heart Theory, red.) oleh PKT ini masih terus berlanjut hingga kini.

“PKT menilai, yang dimaksud AS sebagai kunci untuk melawan konspirasi PKT adalah seperangkat strategi ‘berinteraksi sembari mengepung’. PKT juga merasa yakin, aksi penanggulangan Beijing seharusnya adalah ‘konfrontasi untuk mendorong kerjasama’.” simpulnya.

Miles menyatakan, karena adanya perhitungan semacam inilah, PKT telah memicu timbulnya krisis di Selat Taiwan saat ini.

“Tujuannya adalah semaksimal mungkin meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan, memaksa kalangan petinggi AS yang dianggapnya lemah dan plin-plan untuk tunduk terhadap persyaratan yang diajukan PKT dan mau bekerjasama dengan Beijing. Mereka berusaha memaksa AS untuk tidak mendukung Taiwan yang mencintai kebebasan, kedaulatan, dan demokrasi, dan memanfaatkan situasi ini untuk menjatuhkan wibawa dan posisi kepemimpinan AS di seluruh dunia”, imbuh Miles.

Miles menjelaskan, Partai Komunis Tiongkok (PKT) adalah penganut ideologi Marxisme-Leninisme. Dan semua pemimpin PKT, mulai dari Mao Zedong sampai Xi Jinping, sama sekali tidak menutupi niatnya untuk menggulingkan kapitalisme di seluruh dunia, bahkan secara rinci dan terbuka memaparkan tujuan strategis PKT yang berlandaskan pada keyakinan PKT ini.

Miles menyatakan, AS adalah pemimpin dunia dalam sistem kapitalisme, hanya dalam hal ini saja, AS telah dipandang sebagai musuh nomor 1 PKT; dan Beijing tidak dapat mentolerir AS yang menjadikan Taiwan sebagai sekutu dan rekannya, AS telah meningkatkan jalinan hubungan tidak resminya dengan kawasan otonomi kepulauan ini.

Mengungkap Kurangnya Alasan Kuat PKT Mengumumkan Perang Terhadap Taiwan Sehingga Mencari Berbagai Alasan

Miles berkata, sejak merebut kekuasaan di Tiongkok, PKT terus mengobarkan “perang palsu” (phoney war, red.) terhadap warga dan pemerintahan Taiwan, karena PKT selalu menghadapi lawan imajiner dengan gelar yang semu, seperti Don Quixote menyerang kincir angin.

Dalam “perang palsu” ini, banyak prasyarat fiktif yang disebutkan PKT sama sekali tidak mendasar. Seperti, selama ini Taiwan tidak pernah menjadi bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PKT). Sejak 1949, tidak satu inci pun wilayah Taiwan yang berada di dalam wilayah kekuasaan rezim PKT.

Miles mengatakan, isu Separatisme Taiwan yang diciptakan oleh Beijing hanya bertujuan untuk mengalihkan perhatian, saat ini belum ada seorang pun politisi Taiwan yang berinisiatif untuk merdeka.

Ia menyatakan, semua pemimpin politik Taiwan sekarang ini, yakni: kedua partai besar baik Partai Progresif Demokrat maupun Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok, red.), selalu berupaya mempertahankan kondisi ini. Dan kondisi ini dapat ditelusuri hingga tahun 1949. 

“Jika sejak 1949 faktanya Taiwan telah berada dalam kondisi merdeka, maka sekarang ini (dengan sendirinya) Taiwan tidak perlu mengumumkan kemerdekaannya”, cetus Miles.

Pada 2016, satu keputusan bersejarah dari Mahkamah Arbitrase Antar Bangsa di Den Haag secara jelas menyebutkan, berlandaskan pada hak sejarahnya, klaim ekspansi oleh Beijing yang hendak menggariskan kedaulatannya atas wilayah darat atau laut yang belum pernah dikuasai sebelumnya, “adalah tidak memiliki dasar hukum”. Ruang lingkup pengaruh dari keputusan ini bahkan jauh melampaui wilayah Laut Tiongkok Selatan.

Membandingkan Peta 1949, Wilayah Yang Dijual PKT Setara Dengan Beberapa Pulau Taiwan

Miles menjelaskan, karena PKT bermuka dua dan oportunis, “perang palsu” PKT terhadap Taiwan bahkan bersifat menipu. PKT masih berupaya menciptakan semacam persepsi yang keliru bahwa Taiwan adalah wilayah milik PKT yang hilang yang harus dikembalikan kepada si empunya.

Ia menyatakan, sebenarnya, rezim RRT selalu meremehkan wilayah kedaulatan Tiongkok dan hanya mengambil keuntungan. Cukup dengan membandingkan peta wilayah Tiongkok yang diterbitkan secara resmi oleh PKT saat berkuasa pada 1949, dengan peta wilayah Tiongkok saat ini, maka akan dapat ditemukan titik terangnya.

Sejak 1949, pemerintah partai komunis Beijing dengan sukarela menyerahkan wilayah Tiongkok bagi negara tetangganya utamanya sesama negara komunis, seperti Uni Soviet, Mongolia, dan Burma. Semua wilayah yang telah diberikan PKT itu, luasnya mencapai puluhan kali lipat luas Taiwan yang hanya berupa pulau kecil.

Diplomatik PKT Tidak Memiliki Prinsip Yang Bisa Dipercaya

Menurut Miles, Beijing menentang prinsip “satu Tiongkok satu Taiwan” sebagai cara untuk menyelesaikan konflik antar negara berdaulat dengan politik dan ideologi yang sama sekali berbeda namun memiliki warisan budaya dan sejarah yang sama.

Akan tetapi, secara diplomatik, pada 1992 Beijing mengakui Semenanjung Korea dengan kebijakan “satu Pyongyang satu Seoul”, semudah itu PKT mengkhianati Korea Utara yang selama ini merupakan sekutunya. Sama halnya dengan secara diplomatik PKT mengakui Jerman Barat, tapi juga menjalin hubungan resmi dengan Jerman Timur yang dikuasai komunis. “Dalam hal hubungan diplomatik PKT selalu berorientasi pada oportunisme, dan bukan mengedepankan prinsip”, demikian disimpulkan oleh Miles. (sud)