Ragam berita kali ini adalah :
- SpaceX memimpin tender sistem pertahanan rudal “Kubah Emas” yang diprakarsai Trump
- Para ahli: Lima tanda bahwa AS dan Tiongkok mungkin sedang menuju perang panas
- Ukraina izinkan tawanan perang asal Tiongkok berbicara di depan media
- Perang dagang memanas, investor khawatir saham Tiongkok akan delisting
- 19 warga Taiwan dicabut kewarganegaraannya karena memiliki identitas Tiongkok; 30 lainnya sedang diselidiki
SpaceX Memimpin Tender Sistem Pertahanan Rudal “Kubah Emas” Trump
Pertama, kita lihat perkembangan terbaru dari proyek sistem pertahanan rudal ambisius Presiden Trump yang diberi nama “Kubah Emas”.
Elon Musk, miliarder dan pendiri SpaceX, memimpin konsorsium bersama perusahaan perangkat lunak Palantir dan produsen drone Anduril dalam tender sistem pertahanan rudal “Kubah Emas”. Tim ini diunggulkan untuk mendapatkan kontrak konstruksi inti dari sistem ini.
Menurut Reuters, ketiga perusahaan ini baru-baru ini telah bertemu dengan pejabat pemerintah Trump dan Pentagon untuk mempresentasikan rencana mereka.
SpaceX mengusulkan peluncuran 400 hingga 1000 satelit untuk membentuk jaringan luar angkasa yang mendeteksi dan melacak lintasan rudal global. Selain itu, mereka akan meluncurkan 200 satelit bersenjata rudal atau laser untuk menghancurkan rudal musuh yang terdeteksi.
Namun, SpaceX menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam persenjataan satelit. Mereka juga menawarkan model layanan berlangganan, di mana pemerintah hanya membayar untuk penggunaan teknologi tersebut, bukan memilikinya secara langsung.
Pada 27 Januari, Trump menandatangani perintah eksekutif yang memerintahkan Menteri Pertahanan Pete Hegseth untuk merancang sistem seperti “Iron Dome” milik Israel, guna melindungi AS dari ancaman rudal asing.
Lebih dari 180 perusahaan tertarik untuk berpartisipasi dalam proyek “Kubah Emas”, termasuk startup seperti Epirus. Kontraktor tradisional seperti Northrop Grumman dan Boeing juga diperkirakan akan memainkan peran penting.
Perkiraan awal SpaceX untuk membangun jaringan satelit deteksi ini berkisar antara 6 hingga 10 miliar dolar AS. Dengan armada roket Falcon 9 dan ratusan satelit mata-mata yang sudah dimiliki, SpaceX memiliki keunggulan kompetitif dalam tender ini.
Jika konsorsium SpaceX memenangkan kontrak, ini akan menjadi pencapaian terbesar Silicon Valley dalam industri pertahanan nasional, sekaligus pukulan besar bagi kontraktor pertahanan tradisional.
Diperkirakan total biaya proyek “Kubah Emas” bisa mencapai ratusan miliar dolar, dan fase awalnya kemungkinan mulai beroperasi pada tahun 2026.
Ahli AS: Lima Tanda AS-Tiongkok Mungkin Menuju Perang Panas
Seorang ahli AS menulis bahwa ada lima tanda mengkhawatirkan bahwa konflik AS-Tiongkok mungkin tidak berhenti pada perang dagang.
James Stavridis, mantan Panglima Tertinggi NATO dan pensiunan laksamana Angkatan Laut AS, dalam kolom opini Bloomberg pada 17 April memperingatkan bahwa konflik ini mungkin berkembang menjadi perang panas. Berikut lima tanda yang ia sebutkan:
- Serangan Siber:
Tiongkok semakin meningkatkan kemampuan serangan sibernya, menargetkan infrastruktur penting AS. Serangan paling terkenal dikenal sebagai “Volt Typhoon”. Menurut Wall Street Journal, targetnya adalah pelabuhan, perusahaan air, dan bandara di AS.
- Ancaman terhadap Taiwan:
Tahun 2024, pelanggaran zona identifikasi pertahanan udara Taiwan oleh PKT meningkat lebih dari 3.000 kali, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Frekuensi ini dianggap sebagai indikator penting niat militer Beijing.
- Ekspansi di Laut Tiongkok Selatan:
PKT telah membangun tujuh pulau buatan untuk memperkuat kehadiran militernya. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mempererat kerja sama militer dengan AS dan membuka pangkalan militer di dekat Tiongkok. Ini meningkatkan risiko konflik langsung.
- Pembangunan Angkatan Laut:
PKT membangun 20-30 kapal perang setiap tahun dan kini memiliki lebih dari 360 kapal, melampaui AS. Targetnya adalah memiliki lebih dari 400 kapal. Kecepatan ini menunjukkan persiapan perang yang serius.
- Perang Ekonomi:
Perang tarif semakin panas. Trump menaikkan tarif impor dari Tiongkok, sementara Beijing membalas dengan membatasi ekspor logam tanah jarang dan mineral penting. Ini mengingatkan pada Jepang pra-Perang Dunia II yang menyerang Pearl Harbor akibat blokade sumber daya.
Stavridis memperingatkan bahwa jika kelima indikator ini berubah dari “kuning” menjadi “merah”, krisis global bisa terjadi. Sejarah menunjukkan bahwa perang besar sering dipicu oleh insiden kecil, seperti Perang Dunia I yang dimulai dari sebuah peluru di Balkan. Ia menyerukan kewaspadaan tinggi.
Sementara itu, artikel opini dari Epoch Times menyatakan bahwa dengan memburuknya ekonomi domestik dan meningkatnya ketidakpuasan publik, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mungkin memilih melancarkan perang di Selat Taiwan untuk mengalihkan perhatian dan meredam tekanan internal.
[Tahanan Perang Asal Tiongkok Dihadapkan ke Media – Apa Pesan yang Ingin Disampaikan Ukraina?]
Pemerintah Ukraina pekan lalu mengumumkan identitas dua orang tawanan perang asal Tiongkok dan menggelar konferensi pers, di mana keduanya secara langsung menjelaskan bagaimana mereka bergabung dengan militer Rusia. CNN menilai bahwa menempatkan tawanan perang di hadapan media dan kamera hampir pasti melanggar hukum kemanusiaan internasional. Namun, Ukraina tampaknya menganggap bahwa menampilkan tawanan perang asal Tiongkok membawa makna yang lebih besar.
Partai Komunis Tiongkok (PKT) selama ini menyatakan bersikap netral dalam perang Rusia-Ukraina. Meskipun demikian, sebagai jalur kehidupan penting bagi diplomasi dan ekonomi Moskow, setiap gerakan Tiongkok diawasi ketat oleh Ukraina dan komunitas internasional.
Kedua tawanan tersebut menegaskan bahwa mereka bertindak atas nama pribadi. Mereka mengaku termotivasi oleh video-video rekrutmen yang beredar di platform video pendek Tiongkok, Douyin (versi Tiongkok dari TikTok). Salah satu dari mereka mengatakan bahwa video-video tersebut sangat menggugah di Tiongkok, karena masyarakat di sana sangat memuja kekuatan militer, namun kesempatan untuk benar-benar ikut bertempur dan memperoleh pengalaman nyata sangatlah langka.
Walaupun Ukraina sebelumnya juga pernah menggelar konferensi pers dengan tawanan perang dari Nepal dan beberapa negara Afrika, namun memperlihatkan tawanan asal Tiongkok secara langsung di depan kamera tetap merupakan tindakan yang tidak lazim. CNN menilai bahwa waktu pelaksanaan konferensi pers ini sangat penting.
Saat ini, Ukraina tengah berusaha keras untuk menarik perhatian dan dukungan dari Presiden AS Donald Trump. Mengingat pemerintahan Trump menganggap PKT sebagai musuh utama AS dan terus menaikkan tarif impor terhadap Tiongkok, maka dari sudut pandang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, setiap indikasi bahwa PKT mendukung Rusia, baik dari sisi diplomatik maupun ekonomi, patut diperbesar pengaruhnya.
Namun, target komunikasi dari tindakan Zelensky ini mungkin bukan hanya Amerika Serikat.
Di tengah tekanan tarif dari Trump, Tiongkok sedang gencar mencari dukungan dari Eropa. Ukraina khawatir bahwa Uni Eropa akhir-akhir ini mulai menunjukkan sinyal positif terhadap Tiongkok. Jika dapat dibuktikan bahwa PKT secara langsung terlibat dalam agresi Rusia, maka Uni Eropa tidak akan bisa terus bersikap lunak terhadap PKT.
[Perang Dagang Memanas, Investor Khawatir Saham Perusahaan Tiongkok Terancam Delisting di AS]
Di tengah memuncaknya perang dagang antara AS dan Tiongkok, Menteri Keuangan AS, Bessent, pada 9 April menyatakan bahwa ia tidak menutup kemungkinan untuk menghapus perusahaan Tiongkok dari bursa saham Amerika Serikat. Pernyataan ini memicu kekhawatiran di kalangan investor tentang potensi risiko di masa mendatang.
Pada 21 Februari, Presiden Trump menandatangani memorandum kebijakan investasi “America First”, yang menginstruksikan Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS) untuk memperluas pembatasan terhadap investasi Tiongkok di sektor strategis seperti teknologi dan energi. Memorandum ini juga melarang perusahaan, lembaga penelitian, dan dana pensiun AS untuk menanamkan modal pada teknologi yang berkaitan dengan Tiongkok, guna mencegah aliran teknologi dan modal ke luar negeri.
Memorandum tersebut memerintahkan agar semua perusahaan yang tunduk pada Undang-Undang Akuntabilitas Perusahaan Asing dievaluasi apakah mereka mematuhi standar audit keuangan Amerika Serikat.
PKT telah menghalangi perusahaan Tiongkok untuk menyerahkan laporan keuangan mereka kepada otoritas pengawas AS. Pada masa jabatan pertama Trump tahun 2020, AS meloloskan Undang-Undang Akuntabilitas Perusahaan Asing, yang mewajibkan semua perusahaan asing yang terdaftar di bursa saham AS untuk mematuhi standar audit AS.
Perusahaan yang tidak bisa atau tidak mau patuh harus keluar dari bursa AS. Saat itu, beberapa perusahaan Tiongkok seperti Didi Chuxing dan PetroChina memilih delisting dan beralih ke bursa Hong Kong.
Selain alasan audit keuangan, pemerintah AS juga dapat memaksa perusahaan Tiongkok keluar dari pasar saham atas dasar “keamanan nasional” melalui perintah presiden. Ini bukan hal baru: pada tahun 2021, mantan Presiden Joe Biden memerintahkan penangguhan perdagangan dan delisting untuk tiga perusahaan milik negara Tiongkok—China Telecom, China Unicom, dan China Mobile—karena dugaan hubungan dengan militer PKT.
Menurut laporan yang dirilis oleh HSBC pada 14 April, saat ini terdapat sekitar 280 perusahaan Tiongkok yang terdaftar di bursa saham AS, dengan total kapitalisasi pasar sekitar 880 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, ada 20 perusahaan dengan nilai pasar lebih dari 10 miliar dolar yang hanya terdaftar di AS, termasuk Pinduoduo, Full Truck Alliance, dan Vipshop—perusahaan-perusahaan ini sangat rentan terhadap risiko delisting.
Jika rumor delisting terus berkembang, kita mungkin akan menyaksikan gelombang listing ulang di Hong Kong. Namun, valuasi perusahaan yang berpindah ke Hong Kong kemungkinan besar akan turun, terutama untuk sektor teknologi, dan likuiditas pasar saham Hong Kong juga lebih rendah dibandingkan bursa saham AS.
[19 Warga Taiwan Kehilangan Status Kependudukan karena Memiliki Identitas Tiongkok, 30 Orang Diselidiki karena Sering Bolak-balik ke Tiongkok]
Direktur Jenderal Urusan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Taiwan, Chen Yung-Chih, dalam konferensi pers pada 17 April mengatakan bahwa pemerintah telah memulai penyelidikan menyeluruh terkait isu status kewarganegaraan Tiongkok dari pasangan warga negara Tiongkok dan warga Taiwan, serta pernyataan-pernyataan mengenai “penyatuan paksa Taiwan dengan kekuatan militer.”
Menteri Dalam Negeri Liu Shih-Fang mengumumkan bahwa sebanyak 19 warga Taiwan telah dicabut status kependudukannya karena terbukti memiliki KTP Tiongkok, yang bertentangan dengan ketentuan kewarganegaraan dan kependudukan Taiwan saat ini. Selain itu, 3 orang pasangan Tiongkok kehilangan izin tinggal di Taiwan karena menyuarakan dukungan terhadap penyatuan paksa Taiwan oleh militer PKT.
Sekitar 30 orang yang sering keluar-masuk ke Tiongkok juga sedang dalam proses penyelidikan, dan sebagian dari mereka sudah dicabut status kependudukannya di Taiwan.
Selain itu, sejumlah penduduk asal Tiongkok yang telah menetap di Taiwan baru-baru ini menerima pemberitahuan untuk melengkapi dokumen bukti kehilangan kewarganegaraan asal. Jika tidak, mereka akan menghadapi risiko pencabutan status kependudukan.
Pejabat Direktur Jenderal Imigrasi Lin Hung-En menjelaskan bahwa Dewan Urusan Daratan (Mainland Affairs Council) telah mengeluarkan pengumuman bahwa terdapat enam kondisi yang memungkinkan penggantian dokumen dengan pernyataan tertulis dan tiga metode perpanjangan masa kelonggaran. Mulai 21 April, seluruh kantor layanan Imigrasi di Taiwan akan menerima permohonan kelengkapan dokumen tersebut.
Menurut statistik dari Badan Imigrasi Taiwan, saat ini terdapat sekitar 12.000 penduduk asal Tiongkok yang tinggal di Taiwan, dan sekitar 5.000 orang di antaranya diperkirakan dapat memanfaatkan mekanisme pernyataan atau perpanjangan dokumen tersebut.
Liu Shih-Fang juga menanggapi kekhawatiran masyarakat tentang apakah ada anggota militer, pegawai negeri, atau guru negeri yang memiliki dokumen atau kewarganegaraan Tiongkok. Ia mengatakan bahwa proses penyelidikan sedang berjalan dan telah mencapai 99%. Hasil awal menunjukkan bahwa tidak ada pegawai aktif dari kalangan militer, PNS, atau pengajar negeri yang memegang kewarganegaraan atau dokumen Tiongkok.
Lebih lanjut, semua pegawai negeri baru juga wajib menandatangani pernyataan tertulis bahwa mereka tidak memiliki kewarganegaraan Tiongkok.
Sebelumnya, tiga pasangan warga Tiongkok yang juga merupakan influencer media sosial—Liu Zhenya , Zhang Yan, dan Zhao Chan—telah dicabut izin tinggalnya di Taiwan karena menyuarakan dukungan terhadap “penyatuan paksa Taiwan” melalui media sosial. (hui)
Sumber : NTDTV.com