Home Blog Page 11

(Edisi Khusus): Sandera Politik dan Ilusi Kekuasaan: Beijing Bersiap Tanpa Xi Jinping?

EtIndonesia. Pada 10 Juni 2025, dunia internasional dikejutkan dengan sebuah fenomena langka di halaman utama People’s Daily, media resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Wawancara eksklusif dengan Ren Zhengfei—pendiri dan CEO Huawei—dimuat besar-besaran. Ren menyatakan secara terbuka bahwa Huawei “tidak sehebat itu”, bahkan mengaku tertinggal satu generasi dan masih harus banyak berbenah.

Bukan hanya isi pernyataan yang mencuri perhatian, melainkan juga timing dan konteks kemunculannya. Dulu, pernyataan seperti ini bisa mengundang interogasi dari otoritas. Namun kini, justru dipajang di media nasional dengan tajuk mencolok: “Semakin Terbuka Negara, Semakin Mendorong Kami untuk Maju.”

Apa makna di balik narasi ini? Mengapa People’s Daily mengangkatnya ke halaman utama? Dan apa kaitannya dengan perkembangan geopolitik serta dinamika internal di Beijing? Laporan khusus ini mengurai lapis demi lapis drama di balik layar kekuasaan Tiongkok.

Propaganda Baru—“Surat Terbuka” untuk Trump atau Sinyal Krisis?

Sinkronisasi Narasi

Tidak lama sebelum wawancara Ren dipublikasikan, Presiden Trump di Washington secara terang-terangan menuntut keterbukaan dari Tiongkok: “We want to open up China.” Seolah menjawab langsung, keesokan harinya People’s Daily menyorot tema keterbukaan, kali ini bukan lewat pernyataan pejabat pemerintah, melainkan pengusaha.

Apakah ini murni wawancara eksklusif atau sebenarnya surat terbuka terselubung dari PKT kepada AS, yang “ditandatangani” Ren Zhengfei? Sebab, bagi Partai, membiarkan Ren bicara “lembut” di ranah publik jauh lebih elegan ketimbang mengakui kelemahan lewat pejabat negara.

Ren Zhengfei: Antara “Merendah” dan Menjaga Muka

Pernyataan Ren menjadi “topeng” baru: mengaku ketinggalan satu generasi, menepis kecemasan AS, namun tetap menegaskan bahwa Huawei masih punya potensi. Ini strategi komunikasi klasik: self-deprecation—merendahkan diri agar tak lagi dianggap ancaman utama, sembari menanti kelengahan lawan.

Pertarungan di London—Arena Negosiasi AS-Tiongkok

Pertemuan Puncak di Lancaster House

Pada hari yang sama, di Lancaster House, London,Inggris, dua delegasi ekonomi dari AS dan Tiongkok bertemu dalam atmosfer tegang. Delegasi AS dipimpin Menteri Keuangan, Scott Bessent dan Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, dengan tim elit negosiator Gedung Putih. Sementara itu, kubu Tiongkok dipimpin Wakil Perdana Menteri, He Lifeng dan Menteri Perdagangan, Bao Wentao.

Trump tidak hadir secara fisik, tetapi tetap mengendalikan arah negosiasi dari Gedung Putih. 

“Maybe we won’t do anything, and they’ll kneel,” ucapnya, menegaskan bahwa Tiongkok kini ada di posisi defensif.

Fokus Negosiasi: Rare Earth dan Semikonduktor

Isu utama perundingan adalah logam tanah jarang dan chip semikonduktor. AS mendesak kelonggaran ekspor logam tanah jarang dari Tiongkok, sementara Tiongkok ingin pembatasan teknologi chip dicabut. Namun, AS kali ini mengisyaratkan, bahkan tanpa aksi frontal, Tiongkok pasti akan mengalah pada tekanan pasar.

Tiongkok kini mengubah strategi total: tak lagi mengedepankan slogan “mandiri teknologi”, tetapi memunculkan Ren Zhengfei untuk memberikan sinyal “kami lemah, jangan khawatirkan kami.”

Evolusi Propaganda dan Ilusi Kekuasaan

Pembalikan 180 Derajat dalam Narasi

Dua tahun lalu, saat Huawei meluncurkan Mate 60, propaganda “Tiongkok jauh di depan Amerika” menggema di seluruh negeri. Saat itu, Huawei diangkat menjadi simbol perlawanan dan kebanggaan nasional.

Namun tahun 2025, narasi itu berbalik tajam. Kini, People’s Daily justru menampilkan pengakuan kelemahan. Ini adalah langkah sadar, bukan tanda menyerah, tetapi upaya menurunkan tensi dan mengelabui lawan—agar AS dan kapitalis global tetap mau berbisnis di Tiongkok.

Menghapus Jejak Xi dan Partai

Menariknya, dalam wawancara Ren Zhengfei, kata “Partai Komunis Tiongkok”, “Xi Jinping”, maupun “Sekretaris Jenderal” sengaja dihilangkan dari narasi utama. Hanya sekali, di ujung, disebut “negara di bawah kepemimpinan Partai”—itu pun sangat formal dan nyaris tanpa makna. Ini adalah manuver untuk mengaburkan wajah otoritas: agar tampak bahwa perubahan sudah dimulai, bahwa yang bicara bukan lagi politbiro, melainkan “warga sipil”.

Drama Politik—Kemunculan Xi Mingze dan Ilusi Jamuan Keluarga

Xi Mingze: Simbol atau Sandiwara?

Sementara Ren “merendah” di hadapan publik internasional, media Belarus mengabarkan kemunculan Xi Mingze—putri Xi Jinping yang selama ini seperti “bayangan”—dalam jamuan makan malam keluarga menyambut Presiden Lukashenko.

Narasi yang dibangun: Xi Jinping masih sehat dan memegang kendali, keluarganya tampil utuh dan harmonis. Namun, ketika ditelusuri, jamuan makan keluarga itu ternyata tidak pernah benar-benar terjadi. Rekaman hanya menunjukkan pertemuan formal pagi hari; tidak ada dokumentasi jamuan malam, dan kehadiran Xi Mingze pun tak pernah dikonfirmasi media resmi Tiongkok.

Opini dan Realitas: Pengaburan Fakta

Mengapa perlu sandiwara “jamuan keluarga”? Karena di saat bersamaan, di AS beredar kabar bahwa Xi Mingze tinggal di Amerika, bahkan masih dalam pengawasan otoritas AS. Ini adalah permainan opini untuk menutupi krisis internal di Zhongnanhai—seolah kekuasaan Xi masih kokoh, padahal justru sedang tergerus dari dalam.

Bocoran Intelijen—Xi Jinping Sudah Tersingkir?

Informasi Rahasia dari Rusia

Pada 9 Juni 2025, akun Telegram yang diklaim terafiliasi dengan intelijen luar negeri Rusia, SVR General, membocorkan bahwa Xi Jinping diduga mengalami serangan jantung beberapa waktu lalu dan dua kali kambuh di awal Juni. Lebih jauh, disebutkan bahwa elite PKT mulai menyiapkan transisi kekuasaan.

Moskow sendiri dikabarkan sudah “menghapus” Xi dari daftar mitra negosiasi dan mulai mencari figur pengganti untuk berurusan dengan Beijing.

Washington dan Moskow Sepakat: Era Xi Sudah Berakhir

Trump, bahkan tanpa tindakan nyata, kini merasa cukup percaya diri untuk mengatakan: “Biarkan mereka berubah sendiri.”

Amerika dan Rusia, meski berseberangan secara strategis, tampaknya sepakat—Tiongkok sedang memasuki fase baru tanpa kepastian siapa pemimpinnya.

Penutup—Akhir Ilusi, Awal Babak Baru

Era Xi Jinping telah selesai—bukan lewat pengumuman resmi, melainkan lewat penghapusan namanya dari narasi, media, dan percakapan diplomatik tingkat tinggi.

Kini, wajah-wajah “baru” seperti Ren Zhengfei dan Xi Mingze hanyalah topeng bagi sistem yang sedang berusaha bertahan di tengah badai perubahan global. Tiongkok tengah berupaya mempertahankan stabilitas dan kredibilitas, meski fondasi kekuasaan mereka sudah mulai runtuh dari dalam.

Wawancara di halaman utama People’s Daily, drama jamuan keluarga, hingga pembocoran data intelijen hanyalah potongan-potongan dari skenario besar untuk mengatur transisi kekuasaan tanpa kekacauan terbuka. Tapi satu hal pasti: dunia sedang menyaksikan babak baru sejarah Tiongkok, di mana ilusi tak lagi cukup untuk menutupi krisis nyata di jantung kekuasaan.

Greenpeace Indonesia Tuntut Perlindungan Permanen untuk Seluruh Ekosistem Raja Ampat

0

EtIndonesia. Pemerintah memutuskan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya dikarenakan melanggar perlindungan lingkungan hidup. Meski demikian, Greenpeace Indonesia menuntut agar dilakukannya tindakan perlindungan secara permanen terhadap ekosistem Raja Ampat. 

Nama-nama perusahaan tersebut adalah PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Mulia Raymond  Perkasa (Pulau Manyaifun dan Batang Pele), dan PT Nurham (Pulau Waigeo). 

“Pencabutan empat IUP ini menjadi setitik kabar baik dan salah satu langkah penting menuju perlindungan Raja Ampat secara penuh dan permanen dari industri nikel yang mengancam lingkungan hidup dan ruang-ruang hidup masyarakat,” kata Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (10/6/2025). 

Ia mengatakan, berbagai elemen masyarakat di Raja Ampat, termasuk masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, sudah bersuara dan berjuang mempertahankan Raja Ampat dari ancaman tambang nikel. 

Atas keputusan pemerintah terkait pencabutan IUP tersebut, Greenpeace Indonesia mengapresiasi keputusan ini. Akan tetapi, Greenpeace Indonesia menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah yang bisa dilihat secara terbuka oleh publik. 

Selain itu, Greenpeace Indonesia tetap menuntut perlindungan penuh dan permanen untuk seluruh ekosistem Raja Ampat, dengan pencabutan semua izin pertambangan yang aktif maupun yang tidak aktif. 

“Terlebih ada preseden bahwa izin-izin yang sudah pernah dicabut lantas diterbitkan kembali, termasuk di Raja Ampat, karena adanya gugatan dari perusahaan,” kata Kiki. 

Greenpeace Indonesia mengajak publik untuk terus mengawasi langkah pemerintah dalam merestorasi wilayah-wilayah yang sudah dirusak oleh pertambangan agar dikembalikan ke fungsi ekologisnya. 

Kampanye #SaveRajaAmpat telah menjadi bukti nyata dan harapan bahwa ketika masyarakat terus bersuara dan bersatu, kita bisa mendesak dan menciptakan perubahan bersama-sama. Kami mengapresiasi publik yang sudah ikut bersuara lewat tagar #SaveRajaAmpat dan 60.000 lebih orang yang telah turut menandatangani petisi.

Selanjutnya, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah mengatasi konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat karena keberadaan tambang, serta memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat yang sebelumnya menyuarakan penolakan terhadap tambang nikel di kawasan Raja Ampat. 

Tak hanya itu, pemerintah perlu fokus pula membangun ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat adat dan komunitas lokal, serta memastikan transisi yang berkeadilan dan jaminan atas pemenuhan hak-hak pekerja untuk masyarakat yang sebelumnya bekerja di sektor tambang.

Bukan hanya di Raja Ampat, izin tambang nikel di pulau-pulau kecil di wilayah lain di Indonesia timur telah menimbulkan kehancuran ekologis dan menyengsarakan hidup masyarakat adat dan lokal. Kami mendesak pemerintah untuk juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang tersebut. 

“Seluruh pembangunan di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, harus tetap memastikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, pelibatan publik secara bermakna, dan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) jika menyangkut masyarakat adat dan komunitas lokal,” pungkas Kiki. (asr)

Pelanggaran Lingkungan Hidup, Pemerintah Cabut Empat Izin Perusahaan Tambang di Raja Ampat

0

EtIndonesia. Pemerintah memutuskan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil setelah keempat perusahaan, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Nurham dinilai melakukan pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan hidup.

“Mempertimbangakan semua yang ada secara komprehensif, Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar PT GAG Nikel (izin) dicabut. Saya langsung melakukan langkah-langkah teknis berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup (LH) maupun Kementerian Kehutanan,” tegas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers di Istana Negara Jakarta, Selasa (10/6/2025) dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM. 

Pencabutan IUP empat perusahaan tersebut merupakan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto berdasarkan keputusan Rapat Terbatas (Ratas) serta hasil koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat, baik Gubenur Papua Barat Daya maupun Bupati Raja Ampat.

Selain mempertimbangkan hasil Ratas, pencabutan empat IUP nikel merupakan bagian proses panjang Pemerintah dalam mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dengan menjalankan kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.

Salah satu dasar pertimbangan Presiden adalah upaya menjaga kawasan geowisata Raja Ampat sebagai salah satu prioritas utama, dengan tujuan menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati laut agar terus terjaga, sekaligus mengembangkan potensi wisata kelas dunia secara berkelanjutan.

“Setelah kita turun mengecek ke lapangan, kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi dengan tetap memperhatikan biota laut dan juga ke arah konservasi. Bapak Presiden juga punya perhatian khusus untuk ini dan secara sungguh-sungguh untuk bagaimana menjadikan Raja Ampat tetap menjadi wisata dunia,” lanjut Bahlil.

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyampaikan apresiasi kepada seluruh elemen masyarakat yang sudah berkontribusi memberikan masukan dan informasi atas keberadaan tambang di kawasan konservasi Raja Ampat.

“Kami mewakili pemerintah tentu mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang terus memberikan masukan, memberikan informasi kepada pemerintah, terutama para pegiat-pegiat media sosial yang menyampaikan masukan dan kepedulian kepada pemerintah,” ujarnya.

Sebagai informasi, seluruh penerbitan perizinan 4 perusahaan pertambangan yang dicabut izinnya terbit sebelum penetapan Geopark Raja Ampat (Geopark ditetapkan 2017 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan 2023 oleh UNESCO).

Dari kelima perizinan, hanya PT Gag Nikel yang perizinannya tidak dicabut. Sesuai arahan Presiden, seluruh aktivitas pertambangan PT Gag Nikel akan diawasi dengan ketat, mulai dari Amdal, reklamasi dan dipastikan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

“Walaupun Gag tidak kita dicabut, tetapi kita atas perintah Bapak Presiden, kita mengawasi khusus dalam implementasi nya, jadi amdal nya harus ketat, reklamasi nya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang, jadi betul-betul kita akan awasi habis terkait dengan urusan (penambangan) di Raja Ampat,” jelas Bahlil. (esdm/asr)

(Edisi Khusus) Surat Wasiat Sang Raja: Benarkah Xi Jinping Sudah Siap Pergi Selamanya?

EtIndonesia. Awal Juni 2025 menjadi saksi peristiwa luar biasa di Beijing, ketika dunia elit politik Tiongkok diguncang kabar dramatis dari balik “meja makan malam ibu kota.” Sebuah malam yang seharusnya tenang, berubah menjadi ajang demonstrasi kekuatan militer secara terbuka dan tanpa kompromi. Di pusatnya berdiri satu nama: Jenderal Zhang Youxia, Wakil Ketua Komisi Militer Tiongkok, sosok veteran partai yang kini secara de facto memegang tongkat kekuasaan di negeri Tirai Bambu.

Pada malam 6 Juni 2025, tepat pukul 19: 00, seluruh kawasan “lingkar enam” Beijing—jantung politik dan administratif negara—mendadak berubah. Selama dua belas jam penuh, ribuan tentara berpatroli tanpa jeda, memadati setiap sudut strategis mulai dari Jalan Chang’an, sekitar Diaoyutai, hingga perimeter ketat Zhongnanhai—kompleks pemerintahan tertinggi Partai Komunis Tiongkok.

Setiap pos penjagaan sudah siaga, senjata dalam posisi siap tembak. Setiap persimpangan, dijaga rapat oleh aparat bersenjata tanpa memberi peluang sedikit pun. Di tengah ketegangan ini, Jenderal Zhang Youxia sendiri turun langsung ke jalan: berseragam penuh, pistol di pinggang, dan dikawal ketat. Video dirinya berpatroli menyebar diam-diam ke lingkaran elit, hingga akhirnya sampai ke puncak kekuasaan.

Tanda Kekuasaan Bergeser: Zhang vs Xi

Tak lama setelah video itu beredar, salah satu petinggi negara berkomentar lirih—dan pesimis—“Dia (Zhang) tiga tahun lebih tua dari saya, tapi tubuhnya tiga puluh tahun lebih bugar. Saya habis sudah…” 

Komentar ini langsung mengarah ke Xi Jinping, yang selama bertahun-tahun membanggakan stamina fisiknya, kini justru harus berhadapan dengan kenyataan pahit: kekuatan militer lebih menentukan daripada sekadar citra fisik atau sejarah kepemimpinan.

Tidak hanya sekadar perbandingan kemampuan fisik, tetapi juga simbolisasi: “Siapa yang memegang senjata, dia yang menang.”

Zhang Youxia, di usia 75 tahun, masih tampil bugar, sementara Xi, tiga tahun lebih muda, dikabarkan mengalami penurunan drastis: stroke, tidak bisa berdiri atau duduk lama, bahkan tampil di publik harus didukung tata rias tebal dan skenario pengamanan super ketat.

Malam 6 Juni 2025, patroli militer itu bukan sekadar pengamanan rutin, melainkan sinyal keras ke seluruh negeri: “Kami akan mengantarmu pergi dengan terhormat—jangan pernah bermimpi kembali berkuasa.” 

Dan benar, sejak pemakaman Xu Qiliang (Wakil Ketua Komisi Militer yang wafat 2 Juni), kekuatan militer Xi Jinping resmi dinyatakan “berakhir”.

Misteri Pemakaman dan Hilangnya Tokoh Kunci

Upacara perpisahan Xu Qiliang pada 8 Juni berlangsung megah di Babaoshan, dihadiri semua tokoh kunci partai dan mendapat pemberitaan luar biasa. Namun, fokus utama justru pada ketidakhadiran He Weidong, anggota politbiro, Wakil Ketua Komisi Militer, dan perwira aktif paling berpengaruh setelah Xu. Tidak hanya absen, bahkan karangan bunga pun tidak dikirimkan, sesuatu yang sangat tidak lazim dalam tradisi partai.

Sejak April 2025, He Weidong benar-benar menghilang: tidak pernah muncul di media, tidak bicara, tidak kunjungan, seolah-olah dilenyapkan dari sistem. 

Sumber internal militer menyebutkan: “Jika bahkan mengirim bunga pun tak bisa, hanya dua kemungkinan: sudah ditahan, atau sudah tiada.”

Struktur Komisi Militer Xi Jinping kini kosong—yang satu wafat, yang satu hilang.

Sinyal Kudeta Sunyi dari Media Resmi

Biasanya, kudeta militer atau transisi kekuasaan di Tiongkok selalu ditutupi, namun kali ini sinyal disampaikan dengan cara halus namun mematikan: melalui editorial Xinhua. 

Pada 6 Juni, Xinhua menerbitkan artikel “Penelitian Palsu Tak Bisa Selesaikan Masalah Nyata” yang sepintas mengkritik birokrasi, namun sebenarnya berisi sindiran keras terhadap kepemimpinan Xi: “Pejabat keluar rumah selalu dikawal, pidato hanya baca naskah, kunjungan hanya formalitas, rela jadi murid SD, baru membumi.”

Ini jelas sindiran pada Xi Jinping, yang dikenal paranoid, selalu dikawal ketat, dan tidak pernah tampil spontan di depan publik. Editorial semacam ini—yang menertawakan istilah “murid SD” (olok-olok publik untuk Xi)—baru pertama kali diucapkan Xinhua secara terbuka. Bagi pengamat politik, ini adalah pengumuman de facto bahwa sistem propaganda siap “membersihkan” sisa-sisa narasi Xi dari panggung kekuasaan.

Tiga Tembakan Awal: Roadmap Pembersihan Xi

Dalam waktu kurang dari tiga hari, tiga “tembakan politik” dilancarkan:

  1. Penangkapan Gao Yichen: Eks Wakil Menteri Keamanan Nasional, pengendali kelompok penindasan dan oposisi, ditangkap dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Bukan sekadar pembersihan, tapi “pemutusan darah politik” terhadap jaringan loyalis Xi.
  2. Kembalinya Agenda Li Keqiang: Xinhua Jiangsu menyorot kembali “reformasi sisi penawaran”—istilah yang pernah dihapus era Xi—sebagai headline besar. Ini menandai rehabilitasi jalur ekonomi pra-Xi.
  3. Pencabutan Larangan Ekspor Rare Earth ke AS: Setelah tekanan diplomatik Amerika (termasuk “kartu visa Harvard” yang membuat panik anak pejabat), Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengalah, menghapus kebijakan konfrontatif era Xi.

Ketiganya—penangkapan, reformasi ekonomi, dan perubahan kebijakan luar negeri—adalah peta jalan sistematis untuk menghapus Xi dari sejarah. Agenda ini tidak lagi sekadar isu rumor, melainkan operasi nyata yang dijalankan terstruktur dari elite ke bawah.

Bocoran Intelijen, Surat Wasiat, dan Realitas Kesehatan Xi Jinping

Informasi eksklusif dari dinas intelijen Rusia yang bocor ke Kremlin menyebut, Xi Jinping mengalami serangan jantung pada malam 25-26 Mei, lalu kambuh dua kali di awal Juni. Fakta ini akhirnya digunakan sebagai justifikasi oleh kelompok anti-Xi: “Jika kamu sendiri sudah tak sanggup berdiri, harus menunggu negara kacau dulu baru kami mengambil alih?”

Tanda-tanda fisik Xi memang memburuk. Sejak akhir Mei, Xi hampir tak pernah tampil di publik. Video pendek dan kunjungan Lukashenko adalah upaya terakhir menjaga “citra stabilitas”. Dokter kepresidenan menyarankan Xi menghindari aktivitas berat, bahkan menyebut “dua kali rapat saja bisa berakibat fatal.”

Sumber menyebut, Xi sudah menyiapkan surat wasiat kepada politbiro—intinya:

  • Mohon keluarganya diperlakukan baik oleh partai dan militer,
  • Mohon tidak menyakiti keluarga setelah masa pembersihan.

Xi jelas paham risiko, mengingat sejarah pasca-Mao, di mana keluarga pemimpin lama tidak luput dari “balas dendam politik.” Kini, Xi tinggal menanti nasib, sembari berharap transisi berlangsung damai.

Zhang Youxia: “Kaisar Militer” dan Krisis Legitimasi

Dengan absennya Xi dan pembersihan lawan politik, Tiongkok kini berada di bawah kendali Zhang Youxia. Di balik layar sudah beredar draft “Triumvirat”: Wang Yang sebagai Sekretaris Jenderal (karakter kompromis, disukai para sesepuh), Hu Chunhua sebagai Perdana Menteri (teknokrat transisi, mengurusi ekonomi), dan Zhang Youxia sebagai Ketua Komisi Militer sekaligus pengendali keamanan.

Namun, kenyataannya, hanya satu sosok yang benar-benar berkuasa—Zhang Youxia. Julukan “Deng Xiaoping Baru” sudah mulai beredar di kalangan elit, tapi perbedaannya jelas: Zhang hanya menguasai militer, bukan birokrasi dan bukan rakyat.

Persoalannya, meski Zhang mampu menjaga stabilitas Zhongnanhai dan pusat kekuasaan, dia tidak memiliki legitimasi penuh untuk menyatukan negeri. Tidak seperti Deng, yang didukung kekuatan birokrasi sipil dan jaringan partai nasional, pemerintahan Zhang dikhawatirkan hanya mampu menunda krisis, bukan menyelamatkan negara. Jika pusat dianggap lemah, daerah-daerah kuat seperti Shanghai, Guangdong, Jiangsu, dan Sichuan bisa mulai bergerak sendiri, membentuk pusat kekuatan baru.

Menuju Perpecahan atau Kebangkitan Baru?

Mundurnya Xi Jinping bukan penutup, melainkan pembuka babak baru yang penuh ketidakpastian. Dengan sentralisasi kekuatan militer di tangan Zhang Youxia, namun tanpa legitimasi sipil dan dukungan partai yang solid, Tiongkok terancam masuk era “negara pusat lemah.” Ini adalah awal keretakan, bukan stabilitas. Para gubernur daerah mulai bertanya, “Kenapa harus patuh pada pusat, jika pusat sudah tak punya arti?”

Penutup: Sejarah Ditulis di Musim Semi Beijing

Musim semi 2025 akan tercatat sebagai awal keruntuhan tatanan Partai Komunis Tiongkok. Sejarah tidak lagi hanya tulisan, melainkan tragedi besar yang kini terjadi di depan mata dunia. Entah Tiongkok akan terjerumus dalam perpecahan internal atau mampu bangkit melalui reformasi, satu hal pasti: era Xi Jinping telah berakhir, dan kekuasaan sekarang berpindah ke tangan militer yang dingin dan tanpa kompromi.

Skandal Senjata Israel-Qatar Mencuat! Trump Tekan Netanyahu, Greta Thunberg Diusir, Dunia Heboh

EtIndonesia. Situasi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah sejumlah media Israel mengungkap informasi sensitif terkait transaksi penjualan senjata dan teknologi siber antara Israel dan Qatar. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, disebut-sebut pernah menyetujui penjualan senjata dan perangkat siber senilai lebih dari 100 juta dolar AS kepada Qatar, hanya beberapa bulan sebelum serangan besar-besaran Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

Yang menarik, transaksi ini terjadi meski kedua negara secara resmi tidak memiliki hubungan diplomatik. Sejumlah analis menilai langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Israel memperluas pengaruh regionalnya sekaligus memperkuat jaringan keamanan melalui “jalur belakang” diplomasi, terutama dalam konteks dinamika Timur Tengah yang sangat cair. Namun, seluruh proses transaksi disebut telah dihentikan segera setelah pecahnya perang di Gaza, sebagai respons langsung atas memburuknya situasi keamanan dan semakin kerasnya sikap politik kedua negara.

Perang Gaza: Tekanan Politik AS terhadap Israel

Sementara itu, dinamika hubungan Israel dan Amerika Serikat juga mengalami tekanan tinggi. Sumber di lingkaran pemerintahan Amerika Serikat melaporkan bahwa Presiden Donald Trump, yang kini kembali menjadi tokoh sentral dalam dinamika politik AS, secara pribadi mendesak Netanyahu untuk segera mengakhiri operasi militer Israel di Gaza. Trump juga menekan agar Israel tidak melancarkan serangan langsung ke Iran, demi mendukung tercapainya negosiasi pengendalian nuklir yang saat ini masih berjalan alot.

Tekanan ini tidak hanya datang dari ranah diplomatik, melainkan juga berdampak pada struktur pengambilan kebijakan luar negeri Israel. Gedung Putih dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa sejak intensitas konflik Gaza meningkat, pengambilan keputusan strategis Israel di bidang luar negeri kini diambil alih langsung oleh presiden—bukan lagi di bawah kendali penuh Kementerian Luar Negeri. Langkah ini dinilai sebagai upaya Amerika Serikat untuk memperkuat kontrol terhadap sekutu utamanya di Timur Tengah, sekaligus menjaga stabilitas kawasan di tengah ketidakpastian global.

Insiden Deportasi Greta Thunberg: Ketegangan Diplomatik Baru

Di tengah memuncaknya tensi geopolitik, Israel kembali menjadi sorotan setelah aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, dideportasi oleh otoritas Israel. Peristiwa ini terjadi usai Thunberg bersama tim relawan internasional berupaya menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur laut. Pemerintah Israel menuding aksi tersebut melanggar prosedur dan berpotensi menimbulkan insiden internasional yang lebih besar. Kementerian Luar Negeri Israel pun segera mengambil langkah tegas dengan menahan dan memulangkan Thunberg ke negara asalnya.

Insiden ini segera menarik perhatian dunia internasional. Pihak Kementerian Luar Negeri Israel menyampaikan kekhawatiran mereka atas kemungkinan munculnya kecaman global dan potensi krisis diplomatik baru akibat tindakan tersebut. Sementara itu, Donald Trump yang selama ini dikenal kritis terhadap gerakan lingkungan, dengan tajam mengomentari Greta Thunberg. Dalam pernyataannya, Trump menyebut Thunberg sebagai “orang aneh dan pemarah” yang dianggap tidak membawa solusi nyata atas masalah dunia.

Greta Thunberg sendiri merespons tindakan Israel dengan pernyataan keras di media sosial. Dia menyebut pemulangan paksa yang dialaminya sebagai “penculikan,” dan menegaskan bahwa dunia saat ini justru sangat membutuhkan lebih banyak perempuan muda yang berani bersuara dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan lingkungan. Pernyataan Thunberg ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan aktivis di Eropa dan Amerika Serikat.

Dampak dan Analisis: Babak Baru Hubungan Diplomatik Timur Tengah

Sejumlah analis internasional menilai rangkaian peristiwa ini sebagai bukti makin rapuhnya fondasi diplomasi dan aliansi di kawasan Timur Tengah. Penjualan senjata ke Qatar, meski sudah dihentikan, dinilai memperlihatkan rumitnya peta hubungan Israel dengan negara-negara Teluk, terutama saat menghadapi ancaman bersama dari kelompok bersenjata seperti Hamas. Sementara itu, tekanan dari Amerika Serikat, khususnya melalui figur Trump, menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Israel tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Washington.

Di sisi lain, insiden deportasi Greta Thunberg menambah daftar panjang krisis kemanusiaan yang masih terjadi di Gaza. Tindakan tegas Israel menuai pro dan kontra, baik di tingkat domestik maupun internasional, dan dikhawatirkan semakin memperlebar jurang perbedaan antara Barat dan Timur Tengah dalam menyikapi isu kemanusiaan dan lingkungan.

Penutup

Hingga saat ini, perang di Gaza belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Tekanan internasional terhadap Israel semakin kuat, baik terkait kebijakan militernya maupun respons terhadap bantuan kemanusiaan. Di tengah situasi yang semakin kompleks, dunia menanti langkah konkret dari para pemimpin kawasan dan komunitas internasional untuk menuntaskan konflik, membangun perdamaian, serta memastikan bahwa tragedi kemanusiaan tidak lagi berulang di tanah yang penuh sejarah ini.

Anak Tewas Tertimpa Kura-Kura yang Jatuh dari Atas – Pemilik di Tiongkok Dihukum Ganti Rugi Setara Rp 2,88 Miliar

Seorang anak di Provinsi Guangdong, Tiongkok, tewas setelah kepalanya tertimpa seekor kura-kura yang jatuh dari atas gedung saat bermain di lingkungan perumahan. Pemilik kura-kura tersebut dijatuhi hukuman untuk membayar kompensasi sebesar RMB. 1,28 juta (sekitar Rp2,8 miliar).

EtIndonesia. Informasi dari Pengadilan Menengah Shaoguan, Guangdong, pada 9 Juni, kejadian tragis ini terjadi pada akhir tahun 2024. Pasangan suami istri bermarga Zhao sedang bermain bersama anak mereka di lingkungan kompleks perumahan ketika seekor kura-kura tiba-tiba jatuh dari atas dan mengenai kepala sang anak. Anak itu segera dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong.

Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa kura-kura tersebut dipelihara oleh seorang penghuni kompleks bermarga Zhang.

Setelah kejadian tersebut, keluarga Zhao menggugat Zhang dan juga perusahaan pengelola properti kompleks ke pengadilan, menuntut kompensasi sebesar RMB.1,3 juta .

Pengadilan tingkat pertama memutuskan bahwa Zhang, sebagai pemilik dan pemelihara kura-kura, bertanggung jawab atas kematian anak tersebut, dan memerintahkannya untuk membayar kompensasi sebesar RMB.1,28 juta kepada keluarga Zhao.

Namun Zhang tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Menengah Shaoguan. Melalui mediasi pengadilan, keluarga Zhao setuju agar Zhang membayar ganti rugi secara mencicil, dengan masa tenggang 30 hari.

Kasus benda jatuh dari ketinggian yang menyebabkan kematian atau cedera kerap terjadi di Tiongkok.

  • Pada Maret 2018 di Dongguan, Guangdong, seorang nenek menggendong cucu perempuannya yang berusia 3 bulan bernama Fan Fan (nama samaran) keluar untuk berjemur. Tiba-tiba, sebuah apel jatuh dari atas dan mengenai kepala bayi tersebut, mengakibatkan cedera permanen yang membuatnya membutuhkan perawatan seumur hidup. Sebuah apel dari langit menghancurkan masa depan seorang anak.
  • Pada 15 Mei 2019, seorang anak perempuan berusia 1,5 tahun di Shenzhen tertimpa botol minuman yang belum habis diminum dan dilempar dari atas gedung saat sedang bermain di kompleks. Kepalanya berdarah parah di tempat kejadian.
  • Pada 13 Juni di tahun yang sama, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Xiao Hang (nama samaran) sedang berjalan ke taman kanak-kanak bersama ibunya sambil bercanda. Tiba-tiba, selembar kaca jendela jatuh dari atas dan menimpanya. Anak itu tewas meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Pemilik dan penyewa apartemen tersebut harus membayar kompensasi sebesar RMB.2 juta .
  • Pada 2 Juli, di Guiyang, Guizhou, seorang ibu bernama Nyonya Yuan sedang menjemur irisan kentang bersama anak bungsunya di dekat dinding kompleks. Tiba-tiba, sebuah tabung pemadam kebakaran yang dilempar dari atas oleh anak laki-laki berusia 10 tahun mengenai kepalanya dan menyebabkan kematian.

Laporan oleh Luo Tingting / Editor: Wen Hui – NTDTV.com 

Lokasi Penyembunyian Jenazah Tokoh  Hamas Terungkap Hingga Aktivis Pro-Palestina Ditahan

Pada  Senin (9 Juni), Israel menahan sebuah kapal bantuan bernama “Marianne” yang sedang menuju Gaza. Sebanyak 12 aktivis pro-Palestina, termasuk aktivis lingkungan radikal asal Swedia Greta Thunberg, ditahan. Sementara itu, militer Israel mengungkapkan sebuah terowongan rahasia tempat jenazah seorang tokoh teroris Hamas ditemukan.

EtIndonesia. Militer Israel pada Senin menahan kapal bantuan “Marianne” yang sedang menuju Gaza. Sebanyak 12 aktivis pro-Palestina ditahan, termasuk Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan radikal asal Swedia.

 “Saya mengapresiasi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang dengan cepat dan aman mengambil alih kapal Marianne, mencegahnya menembus blokade dan mencapai pantai Gaza,” kata Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant. 

Gallant menyatakan bahwa ia telah memerintahkan IDF untuk memutar video serangan teroris Hamas pada 7 Oktober kepada para awak kapal setelah kapal tersebut tiba di Pelabuhan Ashdod.

Kapal pesiar berbendera Inggris, “Marianne”, dioperasikan oleh aliansi pro-Palestina “Freedom Flotilla Coalition”, dan dijadwalkan mengirim bantuan simbolis ke Gaza pada hari Senin.

Greta Thunberg kemudian merilis sebuah video yang menyatakan dirinya telah “diculik”. Pemerintah Israel membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa seluruh awak kapal akan segera dipulangkan ke negara asal masing-masing.

Juru Bicara Pemerintah Israel, Eylon Levy:  “Selama lebih dari 20 bulan, Greta tidak pernah sekalipun menyerukan pembebasan sandera kami — tidak sekali pun. Namun kini, dengan tanpa rasa malu, ia mengklaim dirinya telah diculik.”

Sementara itu, operasi militer Israel di wilayah Gaza terus berlanjut. Asap dari ledakan terus terlihat membumbung di atas wilayah Gaza.

Sehari sebelumnya, militer Israel menunjukkan kepada wartawan asing sebuah terowongan di bawah Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Gaza.

Menurut juru bicara IDF, terowongan tersebut dulunya merupakan pusat komando utama Hamas. Bulan lalu, pemimpin Hamas Yahya Sinwar tewas dalam ledakan di dalam terowongan itu. Jenazahnya ditemukan pada  Minggu.

Mayor Jenderal IDF Effi Defrin:  “Ini adalah contoh lain dari kekejaman Hamas — mereka menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia dan memanfaatkan infrastruktur sipil, seperti rumah sakit. Berkali-kali, kami menemukan bukti seperti ini.”

Selain menemukan jenazah pemimpin Hamas, pasukan Israel juga menyita senjata, amunisi, uang tunai, dan dokumen milik Hamas dari terowongan tersebut.

Sementara itu, dari pihak Iran, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi pada Senin menyatakan sedang mencoba menyelesaikan isu pengayaan uranium skala besar Iran melalui jalur diplomatik.

Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman berencana mengajukan resolusi ke Dewan Keamanan PBB untuk menyatakan bahwa Iran gagal memenuhi kewajiban non-proliferasi nuklirnya.

Iran pada  Senin mengancam akan mengambil langkah balasan jika IAEA menyetujui resolusi tersebut terhadap program nuklirnya. (Hui)

Laporan oleh Zhao Fenghua, New Tang Dynasty Television

Kerusuhan Los Angeles Kian Memanas: Bukti Keterlibatan Marxis dan Miliarder Pro-Komunis Terkuak!

EtIndonesia. Situasi di Los Angeles terus memburuk setelah kerusuhan yang telah berlangsung selama lima hari berturut-turut. Pemerintah Amerika Serikat, melalui Gedung Putih, mengecam keras aksi kekerasan yang meletus di berbagai penjuru kota dan menyebutnya sebagai tindakan pemberontakan yang mengancam keamanan nasional.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil langkah tegas dengan menandatangani nota khusus untuk mengerahkan hingga 4.000 anggota Garda Nasional ke Los Angeles dalam upaya menekan kerusuhan dan mengembalikan stabilitas. Gedung Putih juga mengisyaratkan kemungkinan pengerahan personel militer tambahan, termasuk Marinir AS, apabila kekerasan terus meningkat. 

“Jika situasi memburuk, kami siap mengambil tindakan lebih jauh demi menjaga keamanan nasional,” tegas perwakilan Departemen Pertahanan AS.

Kerusuhan Terorganisir dan Penjarahan Meluas

Laporan investigasi langsung dari The Epoch Times versi bahasa Inggris mengungkapkan bahwa aksi kerusuhan berlangsung secara sistematis dan terorganisir. Para pelaku disebut-sebut membagi tugas dan lokasi, sehingga aksi penjarahan terjadi serempak di berbagai toko dan pusat perbelanjaan di pusat kota. Banyak toko menjadi sasaran perampokan dan pengrusakan, menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan.

Pada 10 Juni malam, ratusan Marinir AS telah tiba di Los Angeles untuk mendukung aparat kepolisian. Pentagon memastikan jumlah personel keamanan akan bertambah dalam beberapa hari ke depan. Penambahan pasukan dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan eskalasi kekerasan yang lebih luas.

Kepolisian Los Angeles telah menyiapkan bus-bus khusus untuk mengangkut para tersangka dalam operasi penangkapan massal. Aparat memprioritaskan keamanan warga dan properti vital, serta menghimbau masyarakat agar tetap tenang dan mengikuti arahan resmi.

Di tengah situasi genting ini, Los Angeles juga diguncang gempa berkekuatan Magnitudo 3,4 pada sore hari, yang mana menambah kecemasan warga.

Perang Pernyataan Antar Pejabat dan Respons Gedung Putih

Situasi makin memanas setelah Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, secara terbuka menulis di platform X (sebelumnya Twitter):  “Kami berkewajiban melindungi aparat penegak hukum federal, bahkan jika Gubernur California, Gavin Newsom, menolak bekerja sama.” 

Pernyataan ini menuai kontroversi, terutama setelah Kepala Urusan Perbatasan Gedung Putih, Tom Homan, menyebut bahwa menghalangi penegakan hukum adalah tindak pidana serius.

Presiden Trump menambah tensi politik dengan menyatakan: “Jika saya jadi Homan, saya pasti sudah menangkap Newsom. Saya suka orangnya, dia baik, tapi jelas sangat tidak kompeten.” 

Trump juga menyoroti lambannya proses perizinan di tingkat negara bagian dan kota. 

“Izin federal sudah selesai, tapi pemerintah daerah benar-benar gagal mengelola. Jika saya tidak mengirim pasukan, kota indah ini mungkin sudah hancur,” ujar Trump dalam pernyataan resminya.

Gubernur Newsom membalas keras tudingan tersebut dengan menuding pemerintah federal mengirim pasukan tanpa persiapan logistik yang memadai. 

“Pasukan kalian datang tanpa bahan bakar, makanan, air, bahkan tempat tidur,” sindir Newsom. Komentar Newsom segera dibalas oleh mantan Wali Kota New York, Rudy Giuliani, yang menuduh Newsom mempolitisasi isu keamanan: “Kenapa tidak sekalian beri makan enak, kamar hotel, dan uang saku, seperti ke imigran ilegal?”

Adu Bukti dan Isu Penegakan Hukum

Newsom juga mengklaim bahwa Presiden Trump tidak pernah menghubunginya atau menunjukkan perhatian pada krisis di Los Angeles. Namun, Trump secara terbuka mempublikasikan rekaman percakapannya dengan Newsom sebagai bantahan.

Sementara itu, Sheriff Riverside County, Chad Bianco, mengecam Gubernur Newsom yang dinilai membiarkan kekacauan terjadi. 

“Ini adalah kerusuhan penuh kekerasan! Newsom benar-benar tidak paham penegakan hukum, justru mendorong kekacauan ini,” ungkap Bianco dalam wawancara eksklusif dengan Fox News.

Indikasi Keterlibatan Organisasi Ekstrem dan Pengaruh Asing

Investigasi lanjutan dari New York Post pada 9 Juni menyebutkan, Partai Sosialis & Pembebasan berhaluan Marxis diduga sebagai dalang utama kerusuhan di Los Angeles. Organisasi ini tercatat pernah terlibat dalam protes anti-Israel di Universitas Columbia dan diduga berhubungan dengan pelaku penembakan di Washington DC.

Laporan tahun 2024 dari Rutgers University Network Contagion Research Institute juga menyoroti dugaan hubungan antara beberapa tokoh sosialis Amerika, miliarder Neville Roy Singham dan istrinya, serta pendiri organisasi radikal Code Pink, Jodie Evans, dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Mereka diketahui menghadiri “Forum Inovasi Komunikasi Citra Internasional Tiongkok 2023” di Universitas Fudan, Tiongkok. Singham bahkan disebut menyalurkan jutaan dolar ke berbagai organisasi nirlaba yang mempromosikan agenda PKT secara global.

Analisis dan Pandangan Para Pakar

Jaksa Agung AS Pam Bondi menilai situasi di Los Angeles sangat memprihatinkan. 

“Lihatlah jalanan kota ini, seperti negara dunia ketiga, padahal ini Amerika,” ujarnya. 

Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi  Noem, bahkan menuduh banyak demonstran dibayar dan mengorganisir kerusuhan secara profesional.

Reporter investigasi Joshua Philipp melaporkan adanya koordinasi dan komunikasi canggih antar kelompok demonstran. 

“Mereka mengatur pembagian lokasi, bahkan menentukan siapa yang bertanggung jawab membakar kendaraan. Ini bukan aksi spontan,” ungkapnya.

Trump Tegaskan Sikap dan Persiapan Perayaan Hari Ulang Tahun

Menyongsong peringatan 250 tahun Angkatan Darat AS dan hari ulang tahun Presiden Trump pada 14 Juni, Trump menegaskan tidak akan mentoleransi aksi protes lanjutan. 

“Siapapun yang berniat melakukan protes pada hari perayaan, akan berhadapan dengan kekuatan penuh negara,” katanya. 

Trump menyebut para perusuh sebagai “pemberontak” dan menegaskan aksi mereka telah dibiayai oleh pihak tertentu. (***)

Larangan Perjalanan Trump Mulai Berlaku: 12 Negara Dilarang Masuk AS, 7 Negara Dikenai Pembatasan

Larangan perjalanan yang ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 4 Juni  resmi berlaku mulai Senin (9 Juni) dini hari. Kebijakan ini melarang total masuknya warga dari 12 negara, yang mayoritas berasal dari Afrika dan Timur Tengah, serta memberlakukan pembatasan ketat terhadap warga dari 7 negara lainnya.

EtIndonesia. Mulai 9 Juni, warga dari negara-negara berikut dilarang masuk ke Amerika Serikat untuk alasan apa pun:

  • Afghanistan
  • Myanmar
  • Chad
  • Republik Kongo
  • Guinea Khatulistiwa
  • Eritrea
  • Haiti
  • Iran
  • Libya
  • Somalia
  • Sudan
  • Yaman

Sementara itu, negara-negara berikut dikenai pembatasan masuk yang lebih ketat, termasuk bagi pemegang visa imigran, visa bisnis, wisata, maupun pelajar:

  • Burundi
  • Kuba
  • Laos
  • Sierra Leone
  • Togo
  • Turkmenistan
  • Venezuela

Namun, bagi warga dari negara-negara tersebut yang sudah berada di wilayah AS dengan visa yang sah, mereka dapat tetap tinggal, tetapi pengajuan visa baru akan ditolak kecuali memenuhi persyaratan pengecualian yang sangat ketat.

Presiden Trump menegaskan bahwa larangan ini diberlakukan dengan pertimbangan keamanan nasional dan keselamatan publik, dengan tujuan mencegah masuknya individu yang berpotensi menjadi ancaman. Ia menyinggung insiden serangan teror di Boulder, Colorado, baru-baru ini, di mana pelaku diketahui melewati masa berlaku izin tinggal, menunjukkan betapa seriusnya masalah imigrasi ilegal.

Dalam pengumuman tersebut juga dijelaskan alasan spesifik untuk beberapa negara:

  • Afghanistan dilarang karena Taliban masih berkuasa.
  • Iran dilarang karena dianggap sebagai pendukung terorisme dan tidak bekerja sama dengan AS.
  • Somalia dilarang karena tingginya aktivitas terorisme di dalam negeri.

Selain itu, jumlah besar warga Haiti yang masuk secara ilegal menyebabkan tingginya tingkat overstay (tinggal melebihi izin) dan memicu peningkatan kejahatan terorganisir. Beberapa pemerintah asing yang menolak menerima kembali warga mereka yang dideportasi juga menjadi alasan AS memberlakukan pembatasan tersebut. (hui)

Laporan oleh Liu Jiajia, wartawan NTDTV dari Amerika Serikat

Trump Tak Percaya Janji Xi Jinping! Hari Kedua Perundingan AS-Tiongkok di London Ungkap Retakan “Perang Dingin Baru”

EtIndonesia. Pada 9 Juni, delegasi dagang dari Amerika Serikat dan Tiongkok memulai babak baru perundingan langsung di Lancaster House, London, Inggris,  sebagai tindak lanjut dari pembicaraan telepon antara Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping. Meski kedua negara masih terjebak dalam berbagai perbedaan struktural yang dalam, mereka menunjukkan sinyal niat kompromi terbatas, terutama terkait ekspor logam tanah jarang dan pelonggaran pengendalian teknologi tinggi.

Menurut pejabat pemerintahan Trump, AS bersedia mempertimbangkan pelonggaran ekspor teknologi tertentu sebagai imbalan jika Tiongkok melonggarkan pembatasan ekspor logam tanah jarang dan produk magnet turunannya.

Hari Kedua: Logam Tanah Jarang Jadi Kartu Tawar, Trump: “Mereka Tidak Mudah Dihadapi”

Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Keuangan, Scott Bessent, Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, dan Perwakilan Dagang, Jamieson Greer. Sementara dari pihak Tiongkok, delegasi dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, He Lifeng. Meskipun pertemuan hari pertama berlangsung lebih dari enam jam dan digambarkan “beratmosfer positif”, tidak ada kesepakatan resmi yang ditandatangani.

Pada 10 Juni, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick menyatakan kepada media bahwa pembicaraan hari kedua berjalan lancar, dengan fokus pada upaya menghindari eskalasi menuju babak baru perang dagang.

“Kemarin kami berbicara sepanjang hari, dan saya rasa hari ini pun akan sama. Pembicaraan terus berlangsung positif,” ujar Lutnick.

Presiden Trump sendiri menyatakan dalam wawancara di Gedung Putih: “Kami mencatat beberapa kemajuan dengan Tiongkok. Mereka memang sulit diajak berunding, tapi saya pikir pembicaraan kali ini akan berjalan cukup baik.”

Namun, Trump menolak membeberkan rincian kesepakatan, sementara penasihat ekonomi utamanya, Kevin Hassett, secara terbuka menyatakan bahwa AS siap melonggarkan beberapa kontrol ekspor, asalkan Tiongkok sepenuhnya memulihkan pasokan tanah jarang.

“Kami berharap usai ‘jabat tangan’ di London, akan ada pelonggaran dari pihak kami, dan pembukaan ekspor dari pihak mereka,” ujar Hassett.

Meski demikian, Hassett menegaskan bahwa chip AI canggih seperti Nvidia H20 tetap berada dalam daftar larangan ekspor, sementara chip dan produk teknologi lainnya mungkin akan dipertimbangkan untuk dilepas.

Pelonggaran Tiongkok Masih Terbatas, AS Khawatir “Pemberian Izin Pilihan”

Pihak Tiongkok menyatakan telah mengeluarkan beberapa izin ekspor logam tanah jarang, namun tidak mengungkapkan rincian secara terbuka. Media resmi Tiongkok, Xinhua, menegaskan bahwa kontrol ekspor tersebut “sah dan rasional”, bukan upaya balasan terhadap AS.

Kementerian Perdagangan Tiongkok mengklaim bahwa langkah tersebut didasari oleh peningkatan permintaan global dalam industri energi baru dan teknologi pintar.

Namun, menurut sejumlah pejabat AS, Tiongkok masih menjalankan strategi “persetujuan selektif”, yakni menyetujui ekspor hanya untuk perusahaan atau produk tertentu, dengan batas waktu pendek dan volume terbatas. Reuters melaporkan bahwa izin ekspor hanya diberikan kepada beberapa pemasok perusahaan AS seperti GM, Ford, dan Stellantis, dengan masa berlaku hanya enam bulan.

Ekspor Dijadikan Senjata: Strategi “Cekik Leher” Beijing

Banyak analis menilai bahwa Tiongkok telah menjadikan ekspor sebagai alat tekanan geopolitik, dengan logam tanah jarang sebagai senjata utama dalam konflik perdagangan.

Andrew Gilholm, analis senior di perusahaan “Control Risks”, menyebut: “Tiongkok kini memiliki posisi tawar yang luar biasa melalui kontrol ekspor. Mereka bisa menekan negara-negara tertentu secara selektif. Ini kekuatan negosiasi yang belum pernah ada sebelumnya.”

Tiongkok menguasai sekitar 90% produksi global magnet tanah jarang, bahan vital bagi motor mobil listrik, radar militer, hingga smartphone. Menurut laporan Gavekal Dragonomics, Beijing telah membangun rantai pasok terintegrasi dari penambangan hingga aplikasi teknologi tinggi, yang kini digunakan sebagai kartu tawar strategis.

AS Pertimbangkan Longgarkan Embargo Teknologi—Kecuali untuk AI Canggih

Pemerintahan Trump juga mengisyaratkan perubahan taktis dalam kebijakan pembatasan teknologi ekspor. Menurut Hassett, AS dapat mencabut larangan terhadap perangkat lunak desain chip, material industri, dan produk energi dalam beberapa minggu ke depan.

Namun, chip AI canggih seperti Nvidia H20 tetap masuk dalam daftar hitam, karena dikhawatirkan dapat memperkuat kapabilitas militer dan AI Tiongkok. Dalam laporan The Wall Street Journal, disebutkan bahwa AS juga menekan Jepang dan Belanda untuk membatasi penjualan peralatan fabrikasi chip ke Tiongkok, menambah ketegangan dalam dialog dagang ini.

Pemerintah dan media resmi Tiongkok menyebut langkah-langkah AS sebagai “tidak tulus” dan “unilateral”, serta mengecam penggunaan kontrol ekspor sebagai alat politik.

Perselisihan Struktural Tak Kunjung Reda

Selain isu logam tanah jarang dan teknologi, masih banyak titik konflik lain antara AS dan Tiongkok, seperti tarif, keamanan data, pengawasan keuangan, dan subsidi industri.

Meski dalam pertemuan Mei di Jenewa kedua negara menyepakati gencatan senjata tarif sementara, dengan penurunan tarif AS dari 145% ke 30% dan Tiognkok dari 25% ke 10%, krisis kepercayaan masih membayangi.

Daniel Russel, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute untuk Keamanan Internasional, menilai bahwa Beijing akan menuntut AS melonggarkan ekspor semikonduktor canggih dan teknologi kedirgantaraan untuk program pesawat komersial C919.

Perundingan ini digelar di tengah memburuknya hubungan ekonomi bilateral. Menurut data Biro Sensus AS, perdagangan langsung AS-Tiongkok dari Januari hingga April tahun ini turun seperempat dibanding periode sama 2022. Sementara itu, jumlah visa bisnis dan turis yang dikeluarkan Kedubes AS di Beijing hanya 19.109, turun 45% dibandingkan April 2017.

Jabat Tangan Mungkin Terjadi, Tapi Kolaborasi Tetap Sulit

Seiring berjalannya hari kedua perundingan, apakah konsensus teknis terkait pelonggaran ekspor dan normalisasi pasokan rare earth dapat tercapai masih menjadi tanda tanya besar.

Namun secara fundamental, kedua negara masih terjebak dalam konfrontasi struktural yang mendalam. Bahkan jika terjadi “jabat tangan”, peluang kerja sama jangka panjang tetap suram.

Pertarungan di bidang rare earth dan teknologi hanyalah permukaan dari kompetisi strategis AS-Tiongkok yang semakin luas. Di tengah persaingan geopolitik, perbedaan sistem, dan perebutan pengaruh global yang semakin tajam, perundingan London mungkin bisa meredakan ketegangan sesaat—tetapi belum tentu dapat mengakhiri “Perang Dingin Baru” yang kini tengah berlangsung. (jhn/yn)

Tiongkok Longgarkan Ekspor Logam Tanah Jarang, AS Isyaratkan Pelonggaran Kontrol Ekspor? Hari Pertama Perundingan Dagang AS-Tiongkok di London Dianggap “Membuahkan Hasil”

EtIndonesia. Putaran baru perundingan ekonomi dan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok resmi dimulai pada sore hari tanggal 9 Juni waktu setempat di London, Inggris. Para pejabat dari kedua negara melakukan pembicaraan selama lebih dari enam jam di Lancaster House, sebuah bangunan bersejarah tempat berlangsungnya banyak pertemuan diplomatik penting. Hari pertama negosiasi pun berakhir, dan kedua belah pihak dijadwalkan akan melanjutkan perundingan pada hari kedua.

Usai pembicaraan, Menteri Keuangan AS,  Scott Bessent menggambarkan pertemuan itu sebagai sebuah “diskusi yang baik”, sementara Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick menyebutnya sebagai pertemuan yang “berbuah hasil”.

Menurut laporan berbagai media internasional, delegasi AS dalam perundingan ini terdiri dari Howard Lutnick, Scott Bessent, dan Perwakilan Dagang, Jamieson Greer. Sementara itu, dari pihak Tiongkok, perundingan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, He Lifeng, Menteri Perdagangan, Wang Wentao, dan Perwakilan Perunding Perdagangan Internasional, Li Chenggang. Kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan perundingan pada 10 Juni pukul 10 pagi waktu London (pukul 17.00 WIB).

AS Siap Longgarkan Kontrol Ekspor, Tiongkok Bakal Buka Keran Logam Tanah Jarang?

Pihak AS memberi sinyal kesediaan untuk mencabut sebagian pembatasan ekspor teknologi, dengan imbalan agar Tiongkok melonggarkan ekspor logam tanah jarang—bahan penting dalam berbagai industri berteknologi tinggi.

Menurut sumber yang mengetahui isi negosiasi, pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan untuk mencabut pembatasan terhadap perangkat lunak desain chip, komponen mesin pesawat terbang, bahan kimia industri, serta material nuklir.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, Kevin Hassett, menyatakan kepada CNBC bahwa pemerintahan Trump menargetkan adanya “kesepakatan berjabat tangan” di London, yang kemudian diikuti dengan pelonggaran besar terhadap kontrol ekspor AS dan pembukaan keran ekspor logam tanah jarang oleh Tiongkok secara signifikan.

Pernyataan Hassett tersebut merupakan indikasi paling jelas sejauh ini bahwa AS bersedia melakukan konsesi dalam perundingan ini. Namun, dia juga menegaskan bahwa chip kecerdasan buatan (AI) paling canggih buatan NVIDIA—seperti seri H20—tidak akan termasuk dalam pelonggaran ini.

“Yang saya maksud adalah potensi pencabutan pembatasan ekspor untuk chip lain, yang juga sangat penting bagi mereka (Tiongkok),” ujarnya.

Trump: “Berurusan dengan Tiongkok Tidak Pernah Mudah”

Presiden ASm, Donald Trump dalam sebuah pertemuan menyatakan bahwa “berurusan dengan Tiongkok bukanlah hal yang mudah”, namun dia memuji tim perundingnya karena telah “berkinerja sangat baik” dalam negosiasi tersebut.

Saat ditanya apakah AS akan mencabut kontrol ekspor terhadap Tiongkok, Trump menjawab diplomatis: “Kita lihat saja nanti.”

Hubungan dagang antara AS dan Tiongkok mengalami ketegangan tinggi sejak Trump menaikkan tarif bea masuk secara besar-besaran terhadap produk Tiongkok, yang kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan kebijakan serupa. Perang dagang ini membawa dampak menyakitkan bagi kedua ekonomi besar dunia, serta meningkatkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang terpaksa harus beradaptasi dengan perubahan mendadak dalam kebijakan perdagangan.

Negosiasi di London Lanjutkan Kesepakatan Jenewa

Pertemuan di London ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan antara delegasi AS dan Tiongkok di Jenewa, Swiss, sebulan yang lalu. Dalam pertemuan sebelumnya, kedua belah pihak menyepakati penurunan tarif selama 90 hari, untuk memberi waktu dalam menyusun strategi penyeimbangan terhadap dugaan ketimpangan perdagangan akibat praktik tidak adil, sebagaimana diklaim oleh pemerintah Trump.

Baru-baru ini, percakapan telepon antara Presiden Donald Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping dinilai telah memberikan semangat baru bagi tercapainya terobosan dalam perundingan dagang ini.(jhn/yn)

122 Imigran Gelap Tiongkok Dideportasi oleh Amerika Serikat

Pada 3 Juni 2025, sebanyak 122 imigran gelap asal Tiongkok telah dideportasi kembali ke Tiongkok daratan oleh otoritas Amerika Serikat, dengan menggunakan pesawat carter khusus di bawah koordinasi Kantor ICE (Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai) cabang Dallas.

EtIndonesia. Pada 9 Juni, ICE mengumumkan bahwa mereka telah memulangkan para imigran gelap tersebut, yang terdiri dari 96 pria dan 26 wanita berusia antara 19 hingga 68 tahun. Banyak dari mereka memiliki catatan kriminal.

Josh Johnson, Pejabat Pelaksana Divisi Penegakan dan Deportasi ICE Dallas, menyatakan dalam siaran pers:

“Melalui kerja sama antar-departemen dan koordinasi dengan kantor-kantor ICE di berbagai daerah, kami berhasil mendeportasi individu-individu ini, yang sebagian besar telah melakukan kejahatan yang sangat serius.”

“Tindakan ini tidak hanya meningkatkan keamanan publik di berbagai komunitas di AS, tetapi juga memperkuat keamanan nasional. Rekan-rekan kami di ICE setiap hari bekerja untuk mengidentifikasi, menangkap, dan mendeportasi warga asing ilegal yang mencoba menghindari hukum imigrasi negara ini.”

Menurut siaran pers, para imigran gelap ini sebelumnya telah ditahan di berbagai pusat penahanan ICE di seluruh negeri, dan mereka telah menerima perintah deportasi final.

ICE menegaskan bahwa para imigran tersebut telah melanggar hukum imigrasi AS.

“Semua warga asing yang melanggar hukum imigrasi Amerika Serikat, tanpa memandang kewarganegaraan, dapat ditangkap, ditahan, dan jika dinyatakan dapat dideportasi, maka akan dideportasi.”

Siaran pers juga menyebutkan bahwa di antara mereka yang dideportasi terdapat pelaku pembunuhan, pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, penyelundup manusia, pemerkosa, dan pengedar narkoba.

Contohnya: Seorang pria Tiongkok berusia 47 tahun dihukum karena pembunuhan, pria 49 tahun dihukum karena perdagangan narkoba, pria 27 tahun dihukum karena pemerkosaan, wanita 50 tahun dihukum karena penyuapan dan pria 55 tahun dihukum karena penyelundupan manusia . (Hui/asr)

Sumber : NTDTV.com 

“Sakit Pinggang Akibat Terlalu Lama Duduk” Tak Bisa Dianggap Sepele – Waspadai 5 Jenis Kanker yang Ditandai Nyeri Pinggang

EtIndonesia. Seiring dengan meningkatnya otomatisasi dan penggunaan mesin dalam berbagai bidang pekerjaan, semakin banyak orang yang beralih ke pekerjaan kantor yang menuntut duduk dalam waktu lama. Dalam kondisi ini, nyeri pinggang menjadi keluhan yang umum, apalagi jika sudah berkembang menjadi cedera otot pinggang atau penyakit pada tulang belakang lumbal, maka ketidaknyamanan pada pinggang akan semakin terasa.

Bagi wanita yang sudah melahirkan, keluhan “sakit pinggang” sudah menjadi hal yang biasa dan sering terjadi. Justru karena terlalu umum, keluhan ini sering diabaikan. Banyak yang menganggap bahwa sakit pinggang hanya karena duduk terlalu lama atau efek pasca-melahirkan. Namun, siapa sangka nyeri pinggang juga bisa menjadi sinyal adanya kanker!

Terutama jika nyeri muncul tanpa riwayat penyakit sendi atau otot, tidak kunjung mereda meski sudah istirahat atau minum obat, bahkan semakin hari semakin parah, maka perlu diwaspadai kemungkinan keterlibatan sel kanker.

5 Jenis Kanker yang Dapat Menimbulkan Nyeri Pinggang Hebat:

1. Kanker Pankreas

Pankreas merupakan organ yang terletak dalam rongga perut, yang berperan penting dalam memproduksi enzim pencernaan, untuk mencerna protein, lemak, dan gula.

Sayangnya, kanker pankreas sulit terdeteksi pada tahap awal, karena gejalanya sering tidak jelas. Bahkan saat sudah mencapai tahap menengah, gejalanya sering hanya berupa gangguan pencernaan ringan. Namun ketika kanker mulai menyebar ke organ di sekitarnya, maka nyeri pinggang yang hebat bisa terjadi.

2. Kanker Payudara

Mungkin terdengar mengejutkan, namun kanker payudara juga bisa menyebabkan nyeri pinggang.

Hal ini terjadi karena dalam proses perkembangannya, sel kanker payudara bisa menyebar ke tulang, termasuk tulang belakang lumbal, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tajam dan menetap di bagian pinggang.

3. Kanker Serviks

Keterangan gambar: Kanker serviks yang sudah menyebar ke tulang dapat menyebabkan nyeri pinggang yang hebat. (Sumber gambar: Adobe Stock)

Serviks (leher rahim) adalah bagian penting dari sistem reproduksi wanita, yang terletak di dalam rongga panggul. Jika seorang wanita terinfeksi virus HPV (Human Papillomavirus), maka ada risiko berkembangnya kanker serviks.

Selain dapat menyerang sistem reproduksi, kanker serviks juga dapat menyebar ke tulang, terutama tulang pinggang, menyebabkan nyeri hebat di area tersebut, dan dalam beberapa kasus menyebar ke kaki, menyebabkan nyeri menjalar yang tak tertahankan.

4. Kanker Prostat

Jika tadi membahas kanker yang umum pada wanita, maka pada pria, kanker prostat adalah salah satu yang paling banyak terjadi, terutama pada usia di atas 60 tahun.

Kanker prostat juga terletak di dalam rongga panggul pria, dan ketika kanker berkembang ke tulang belakang bagian bawah, gejalanya bisa berupa nyeri pinggang yang tajam dan persisten, terutama pada stadium menengah hingga lanjut.

5. Kanker Ginjal

Meski secara statistik kanker ginjal tidak seumum jenis kanker lainnya, namun gejala nyeri pinggang juga bisa muncul bila kanker ini berkembang.

Hal ini karena letak ginjal berada di kedua sisi pinggang, sehingga saat tumor tumbuh di area ginjal, penderita akan mulai merasakan nyeri di area pinggang. Lebih lanjut, kanker ginjal juga berisiko menyebar ke tulang, yang dapat memicu kanker tulang sekunder dan menimbulkan nyeri yang lebih parah.

Kesimpulan: Waspadai, Tapi Jangan Panik

Memang benar bahwa banyak jenis kanker dapat menimbulkan gejala nyeri pinggang, namun nyeri pinggang tidak serta-merta berarti seseorang menderita kanker.

Pasalnya, banyak gejala kanker—terutama nyeri tulang belakang—baru muncul saat kanker sudah menyebar (metastasis ke tulang). Ini menandakan bahwa nyeri pinggang karena kanker biasanya terjadi di stadium menengah hingga lanjut.

Namun, sebelum sampai ke tahap tersebut, banyak kanker sudah lebih dulu menunjukkan gejala-gejala lain, seperti perubahan sistem pencernaan, perdarahan abnormal, penurunan berat badan drastis, atau kelelahan tanpa sebab.

Maka dari itu, jangan hanya terpaku pada “sakit pinggang” saja, tapi perhatikan seluruh sinyal yang diberikan tubuh. Jika mengalami gejala yang tidak wajar, segera konsultasikan dengan dokter untuk pemeriksaan lanjutan.(jhn/yn)